LAJU ADSORPSI Laju Adsorbsi Isotermal β-Karoten dari Metil Ester Minyak Sawit dengan Menggunakan Atapulgit dan Magnesium Silikat Sintetik

15 memberikan bentuk puncak yang ideal, sedangkan yang konkaf akan memberikan benuk puncak yang condong ke belakang McCabe et al., 1989. Puncak yang berbentuk condong tailing biasanya terjadi karena adsorben yang terlalu aktif dan juga disebabkan oleh permukaan yang di beberapa bagian tidak mempunyai sisi aktif. Hal ini dapat disebabkan adsorben yang tidak murni dan karena adanya pengaruh geometris pemukaannya, sehingga bagian permukaan lebih reaktif dan disebut reactive site. Hal ini dapat dikurangi dengan menutup sisi aktif dengan zat lain atau dengan menaikan suhu. Cara lain adalah dengan mengurangi banyaknya sampel yang dipisahkan, diatur tidak melebihi bagian linier dari kurva konveks Adnan, 1997.

E. LAJU ADSORPSI

Laju reaksi kimia merupakan laju penurunan konsentrasi pereaksi atau peningkatan konsentrasi hasil reaksi per satuan waktu. Laju reaksi akan menentukan ukuran keaktifan dan kestabilan yang diberikan oleh sistem. Jumlah variabel yang diamati mempengaruhi laju reaksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu 1 konsentrasi reaktan, produk dan katalis, 2 faktor lingkungan seperti suhu, tekanan, dan oksigen, 3 panjang gelombang dan intensitas cahaya, dan 4 faktor fisik seperti viskositas Petrucci, 1992. Menurut Suhartono 1987, untuk menilai suatu reaksi maka tingkat energi reaktan harus terlebih dahulu dinaikan sehingga mencapai tingkat energi yang aktif. Energi yang digunakan untuk meningkatkan tingkat energi disebut energi aktivasi Ea. Nilai Ea dapat dijadikan parameter besarnya ketergantungan laju reaksi terhadap suhu. Semakin tinggi nilai Ea maka semakin besar pengaruh perubahan suhu terhadap laju reaksi. Selanjutnya energi aktivasi Ea diartikan sebagai energi penghalang yang harus dilalui reaksi untuk menjadi suatu produk. Semakin besar penghalang, semakin sedikit tumbukan antar molekul yang membutuhkan energi cukup untuk melaluinya. Nilai Ea yang besar menyebabkan nilai k kecil dan reaksi berjalan lambat, demikian pula sebaliknya. Lebih tinggi suhu menyebakan lebih banyak energi yang dibutuhkan. 16 Laju reaksi berkaitan erat dengan terjadinya reaksi kimia dari suatu zat dalam membentuk hasil reaksi. Reaksi kimia terjadi sebagai akibat adanya tumbukan antara molekul-molekul dari zat yang bereaksi. Akan tetapi akibat adanya distribusi energi kinetik molekul-molekul yang bertumbukan, maka hanya sebagian tumbukan molekul-molekul yang efektif yang menghasilkan reaksi. Hal ini kemudian menunjukkan adanya suatu energi yang harus dimiliki oleh molekul sehingga mampu bereaksi. Energi tersebut adalah energi aktivasi. Hanya sebagian molekul-molekul atau fraksi molekul yang teraktifkan, yaitu molekul-molekul yang memiliki energi kinetik melebihi energi aktivasi, yang dapat menghasilkan tumbukan yang efektif sehingga mampu bereaksi. Semakin tinggi nilai energi aktivasi, semakin kecil fraksi molekul yang teraktifkan dan semakin lambat reaksi berlangsung. Selain itu, tumbukan molekul yang menghasilkan reaksi juga tergantung dari orientasi molekul tersebut. Oleh karena itu, laju reaksi dipengaruhi oleh fraksi molekul yang teraktifkan dan orientasi dari molekul tersebut Petrucci, 1992; Saeni, 1989. Energi aktivasi juga berarti energi yang harus disimpan dalam spesies antara intermediate species. Spesies antara merupakan kelanjutan gambaran mengenai terjadinya tumbukan, yaitu kompleks teraktifkan yang terbentuk selama tumbukan. Spesies ini ada dalam waktu singkat, dan kemudian terurai, dapat menjadi pereaksi-pereaksi awal dalam hal ini tidak terjadi reaksi atau menjadi molekul-molekul hasil reaksi. Pada kompleks teraktifkan ini terdapat ikatan lama yang meregang mendekati putus, dan ikatan baru hanya terbentuk sebagian. Hanya molekul-molekul yang memiliki energi kinetik yang besar yang dapat membentuk kompleks teraktifkan dan kemudian terurai menjadi molekul-molekul hasil reaksi. Molekul-molekul tersebut berarti memiliki energi kinetik yang melewati energi aktivasi Petrucci, 1992; Saeni, 1989. Peningkatan fraksi molekul yang memiliki energi kinetik melebihi energi aktivasi dilakukan dengan meningkatkan suhu. Peningkatan fraksi molekul yang teraktifkan ini menyebabkan meningkatnya laju reaksi. Oleh karena itu, suhu berpengaruh terhadap laju reaksi, yaitu dapat meningkatkan laju reaksi. Untuk kebanyakan reaksi, dengan meningkatnya suhu sebesar 17 10C akan meningkatkan laju reaksi menjadi dua atau tiga kali semula Petrucci, 1992; Saeni, 1989. Peningkatkan laju reaksi juga dapat dilakukan dengan mendapatkan jalan reaksi dengan energi aktivasi yang rendah. Katalis dalam suatu reaksi kimia berperan untuk mendapatkan jalan reaksi alternatif tersebut. Katalis akan mengarahkan reaksi menuju jalan reaksi dengan energi aktivasi yang rendah. Katalis ini tidak mengalami perubahan selama reaksi karena katalis tidak menjadi pereaksi, sehingga tidak dikonsumsi dan jumlahnya kecil. Selain itu, katalis tidak merubah kondisi kesetimbangan, yaitu kondisi dimana laju pereaksi menjadi hasil reaksi sama dengan laju kebalikannya. Hal ini terjadi karena katalis memberikan pengaruh yang sama terhadap peningkatan laju pereaksi menjadi hasil dan laju kebalikannya sehingga kondisi kesetimbangannya juga menjadi sama Petrucci, 1992; Saeni, 1989. Hubungan antara fraksi molekul yang teraktifkan, orientasi molekul, suhu, dan energi aktivasi dengan laju reaksi dalam hal ini konstanta laju reaksi, kemudian secara kuantitatif dirumuskan oleh Svante Arrhenius 1889 menjadi sebuah persamaan yang dikenal dengan persamaan Arrhenius. Persamaan Arrhenius tersebut adalah sebagai berikut: RT Ea exp A k   . ............................................................... 1 k adalah konstanta laju reaksi, Ea adalah energi aktivasi, R adalah konstanta gas, dan T adalah suhu mutlak. Faktor A merupakan sebuah konstanta proporsionalitas yang besarnya tergantung dari frekuensi tumbukan dan orientasi molekul selama tumbukan. Persamaan Arrhenius ini bermanfaat untuk menentukan nilai energi aktivasi dari pengukuran konstanta laju reaksi pada berbagai kondisi suhu Petrucci, 1992; Saeni, 1989. 18 III. METODOLOGI

A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan