1
I. PENDAHULUAN A.
LATAR BELAKANG
Masalah Bahan Bakar Minyak BBM merupakan masalah global yang saat ini harus dihadapi oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
Beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menjadi negara importir minyak bumi. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya permasalahan bahan bakar
minyak di Indonesia antara lain produksi minyak Indonesia yang terus menurun, pertumbuhan konsumsi energi dalam negeri yang semakin tinggi
dan kecenderungan harga minyak dunia yang terus meningkat. Pada periode bulan Januari-Juli 2006 lalu, produksi BBM Indonesia
hanya mencapai 1,029 juta barel per hari, sedangkan konsumsi BBM mencapai sekitar 1,3 juta barel per hari sehingga terdapat defisit BBM sebesar
270.000 barel yang harus dipenuhi melalui impor Hambali et al., 2007. Harga minyak dunia pada bulan Januari 2008 sudah di atas US 90 per barel.
Bahkan, pada awal Januari mencapai posisi tertinggi sepanjang sejarah yaitu sebesar US 100,09 untuk minyak mentah Light Sweet Crude di New York
dan US 98,50 untuk Brent Anonim, 2008. Penggunaan bahan bakar dari minyak bumi memunculkan beberapa
ancaman serius yaitu berupa masalah ketersediaan bahan bakar fosil, harga dan fluktuasinya serta polusi akibat emisi pembakaran yang berdampak buruk
bagi lingkungan. Polusi yang ditimbulkan dapat berupa gas-gas berbahaya seperti CO, CO
2,
NOx, UHC unburn hydrocarbon dan juga unsur metalik seperti timbal Pb. Polusi tersebut memiliki dampak langsung maupun tidak
langsung kepada kesehatan manusia. Cadangan minyak bumi dunia yang semakin menipis menyebabkan
harga minyak dunia semakin meningkat. Tingginya harga minyak dunia mengakibatkan harga minyak dalam negeri juga mengalami kenaikan.
Pencarian sumber energi alternatif adalah salah satu upaya untuk mengurangi beban suplai energi berbasis minyak bumi. Usaha pencarian sumber energi
alternatif harus mengarah kepada sumber energi yang ramah lingkungan agar
2 tidak menambah parah terjadinya polusi udara yang diakibatkan oleh
penggunaan minyak bumi. Bahan bakar nabati bioenergi merupakan alternatif utama untuk
mengatasi krisis bahan bakar berbasis minyak bumi. Selain dapat mengurangi penggunaan minyak bumi, bioenergi juga sangat ramah lingkungan. Bioenergi
adalah bahan bakar alternatif yang diturunkan dari biomassa, yaitu material yang berasal dari makhluk hidup tanaman, hewan dan mikroorganisme.
Pengembangan bioenergi ini sangat cocok diaplikasikan di Indonesia karena didukung oleh potensi sumber daya alam hayati yang melimpah dan
ketersediaan lahan. Salah satu jenis bioenergi yang dapat dikembangkan adalah bioetanol yang dapat digunakan sebagai pengganti bensin.
Bioetanol dapat dibuat dari tanaman yang mengandung komponen pati. Salah satu jenis tanaman yang potensial untuk pembuatan bioetanol
adalah sagu. Sagu memiliki kandungan pati cukup tinggi dibandingkan palma lain. Menurut Haryanto dan Pangloli 1992, pada umur 3-11 tahun tinggi
batang bebas daun sekitar 3-16 m, bahkan dapat mencapai 20 m. Berat empulurnya sekitar 75-83 persen dari berat batang dan empulur sagu
mengandung aci sekitar 15-20 persen. Keunggulan utama tanaman sagu dibandingkan dengan tanaman
penghasil karbohidrat lain adalah produktivitasnya yang tinggi. Sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 tonhatahun. Kandungan pati beras
hanya 6 tonhatahun, sedangkan pati kering jagung hanya 5,5 tonhatahun. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2006
.
Produktivitas sagu setara dengan tebu, namun lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang
dengan produktivitas pati kering 10-15 tonhatahun Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, 2007. Keunggulan komparatif lainnya
antara lain dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama, dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal musim serta resiko terkena hama penyakit tanaman
kecil Djoefrie, 1999. Sagu merupakan tanaman tahunan. Sagu akan tetap berproduksi secara
berkelanjutan selama puluhan tahun dengan sekali tanam. Tanaman penghasil karbohidrat lainnya seperti padi, jagung, ubi kayu, dan tebu merupakan
3 tanaman semusim. Namun, untuk panen pertama paling tidak harus menunggu
8 tahun. Sagu tumbuh baik pada lahan marginal seperti gambut, rawa, payau atau lahan tergenang di mana tanaman lain tidak mampu tumbuh. Oleh karena
itu, pengembangan sagu untuk produksi bioetanol tidak akan mengganggu tanaman penghasil karbohidrat lain untuk ketahanan pangan nasional. Panen
sagu relatif mudah, namun batang sagu cukup berat sehingga menjadi kendala dalam pengangkutannya ke tempat pengolahan. Selain itu, lokasi hutan sagu
umumnya terpencil dan terdapat pada lahan basah sehingga sulit dijangkau Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, 2007.
Potensi sagu di Indonesia juga cukup berlimpah. Di dunia ini diperkirakan terdapat 2 juta ha hutan sagu dan kurang lebih setengah hutan
sagu dunia ada di Indonesia. Sekitar 90 di antaranya terdapat di Papua Marsudi dan Aprillia, 2006. Potensi produksi maupun luas sagu sangat besar
tetapi baru sebagian kecil yang dimanfaatkan. Indonesia memiliki 1,4 juta hektar lahan sagu yang dapat menghasilkan enam juta ton sagu yang tidak
dipanen. Indonesia setiap tahunnya menyia-nyiakan sekitar enam juta ton produksi sagu kering yang berpotensi menghasilkan sekitar tiga juta ton
bioetanol Anonim, 2007. Pemanfaatan pati sagu untuk industri bioetanol diharapkan dapat membantu pemerintah dalam pembangunan wilayah
Indonesia bagian timur yang saat ini masih tertinggal dibandingkan dengan daerah lain.
Bioetanol dihasilkan melalui proses fermentasi. Fermentasi etanol dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis mikroorganisme dan
substrat. Saccharomyces sp. sering dipakai pada fermentasi etanol karena dapat menghasilkan etanol yang tinggi toleran terhadap kadar etanol yang
tinggi, mampu hidup pada suhu tinggi hingga 47
o
C, stabil selama kondisi fermentasi dan dapat bertahan hidup pada pH rendah hingga pH 3 Frazier
dan Westhoff, 1978. Keuntungan menggunakan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides adalah mempunyai waktu fermentasi lebih cepat, yaitu 20-30
jam. Khamir ini mampu menghasilkan rendemen alkohol tinggi dan merupakan strain khamir utama untuk pembuatan wine.
4 Suyandra 2007 meneliti tentang pemanfaatan sirup glukosa hasil
hidrolisis pati sagu untuk produksi bioetanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae
. Penelitian kali ini akan meneliti tentang pemanfaatan dekstrin dan sirup glukosa dari pati sagu untuk produksi bioetanol menggunakan khamir
Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus serta meneliti pengaruh rekayasa
proses agitasi terhadap proses produksi bioetanol. Pembuatan dekstrin hanya melalui tahap likuifikasi, sedangkan pembuatan sirup glukosa harus melalui
tahap likuifikasi dan sakarifikasi. Pemanfaatan dekstrin diharapkan dapat menghemat waktu dan biaya pada proses produksi bioetanol. Keuntungan
menggunakan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus adalah waktu fermentasi yang lebih cepat. Menurut Puspitasari 2008, Saccharomyces
cerevisiae var. ellipsoideus mampu menghasilkan biomassa dan etanol lebih
banyak daripada Saccharomyces cerevisiae.
B. TUJUAN
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memproduksi bioetanol dari pati sagu menggunakan Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus dalam
sistem curah batch. Tujuan khusus pada penelitian ini meliputi : 1. Pemilihan jenis substrat dan konsentrasi gula substrat berdasarkan kadar
etanol dan jumlah biomassa tertinggi, serta pengaruhnya terhadap parameter fermentasi lainnya sisa total gula dan pH.
2. Penentuan pengaruh rekayasa proses full agitation dan stop agitation terhadap kadar etanol, jumlah biomassa, sisa total gula dan pH.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA A.