Fase Pertumbuhan El Niño Modoki Curah Hujan Wilayah Kajian

4.1.4 Fase Pertumbuhan El Niño Modoki

Komposit analisis dilakukan dengan melihat kondisi rata-rata aSML EMI pada kejadian El Niño Modoki kuat 198687, 199091, 199293, 199495, 20022003, 20042005, dan 20092010. Berdasarkan hasil analisis komposit tujuh kejadian El Niño Modoki yang muncul sejak periode 1979 hingga 2010, pola penghangatan SML El Niño Modoki akan mulai terbentuk sekitar bulan Maret atau April. Gambar 21 Fase pertumbuhan El Niño Modoki. Secara umum dapat ditandai bahwa aSML Pasifik Tropis bagian tengah berada pada anomali hangat melebihi nilai threshold 0.53⁰C pada bulan Agustus hingga Januari Gambar 21. Artinya, fase pertumbuhan dimulai sekitar bulan Maret atau April hingga Januari dan dilanjutkan oleh fase penurunannya dimulai Februari. SML EMI akan mencapai puncak anomalinya pada kisaran waktu bulan Agustus–Januari. Anomali hangat biasanya konsisten berada diatas nilai threshold sekitar Juli–Maret. 4.2 Perbandingan Pengaruh El Niño Modoki dan El Niño Konvensional Terhadap Curah Hujan Monsunal di Indonesia

4.2.1 Curah Hujan Wilayah Kajian

Secara umum, pola curah hujan di Indonesia terdiri dari tiga macam: monsunal, ekuatorial, dan local Aldrian dan Susanto 2003. Kajian ini mengambil pola curah hujan monsunal untuk melihat pengaruh interaksi El Niño Modoki terhadap perilaku curah hujan di Indonesia. Karena sebagian besar wilayah Indonesia mengalami pola curah hujan monsunal. Jika curah hujan ini dibuat grafiknya, maka nilai puncak maksimum terjadi pada bulan Januari, dan nilai puncak minimum terdapat pada bulan Juli. Indonesia hanya mengenal dua musim yaitu musim basah dan musim kering. Puncak musim hujan umumnya terjadi pada Januari. Sementara itu, puncak musim kemarau terjadi pada Juli. Dengan demikian, musim basah dan musim kering dapat dibedakan dengan jelas dan pengaruh interaksi El Niño Modoki terhadap perilaku curah hujan musimannya dapat terlihat juga dengan jelas. Gambar 22 Peta wilayah kajian bertipe curah hujan monsunal. Wilayah kajian yang dipilih Gambar 22 adalah beberapa wilayah yang memiliki pola curah hujan monsunal di Indonesia, yaitu Lampung Pulau Sumatera, Indramayu Jawa Barat, Makassar Sulawesi Selatan, dan Banjar Baru Kalimantan Selatan. Data curah hujan yang digunakan adalah data rata-rata curah hujan wilayah masing-masing dengan resolusi temporal bulanan periode 1971–2000. Menurut ketentuan klimatologis Wiratmo 1998, kondisi normal mengacu pada nilai rata-rata unsur klimatologi seperti curah hujan, suhu, tekanan, dan angin dalam periode tahunan. Dalam memilih panjang periode yang sesuai agar mengandung kecenderungan abad secular trend, para ahli iklim sepakat memilih periode 30 tahun untuk menyatakan kondisi normal. Tabel 3 Curah hujan normal wilayah kajian Wilayah Kajian Curah hujan normal mmtahun Awal musim kering Lampung 1853 Mei Indramayu 1816 April Sumbawa Besar 1221 April Makassar 3272 April Banjar Baru 2541 Juni Tabel 3 memperlihatkan hasil perhitungan rata-rata terhadap data curah hujan bulanan per wilayah selama 1971–2000. Hasil tersebut mewakili kondisi normal terhadap total curah Gambar 23 Pola osilasi dominan curah hujan monsunal wilayah kajian. hujan tahunan dan waktu terjadinya penurunan curah hujan yang menandai awal musim kering. Pada kondisi normal, awal terjadinya musim kering bervariasi di setiap wilayah kajian. Namun secara umum terjadi antara antara bulan April–Juni. Adapun jumlah curah hujan normal per bulan setiap wilayah kajian dan simpangan baku rata-rata klimatologis 30 tahun dapat dilihat pada bagian lampiran lampiran 2. Merujuk pada Irawan 2006, Irianto 2003 juga telah melakukan perhitungan kondisi normal curah hujan monsunal di Indonesia namun dengan memanfaatkan data curah hujan bulanan per provinsi selama 1970–1998. Setelah dibandingkan, kondisi normal yang ditunjukkan oleh Tabel 3 tidak menyimpang jauh dari hasil sebelumnya. Walaupun begitu, nilai normal tersebut berhubungan dengan ketidakpastian yang bergantung pada jumlah tahun pengamatan. Simpangan baku dari nilai rata-rata menurun dengan bertambahnya waktu pengamatan. Gambar 23 merupakan hasil analisis Power Spectral density PSD terhadap curah hujan wilayah kajian. Masing-masing wilayah menunjukkan puncak energi spektral yang berbeda-beda. Puncak energi spektral curah hujan wilayah Indramayu plot spektral ungu berada pada periode 15 bulanan ~1,5 tahunan. Sedangkan wilayah Makassar plot spektral merah dan Lampung plot spektral biru gelap berada pada periode yang sama, yaitu 20 bulanan ~2 tahunan. Wilayah Banjar Baru dan Sumbawa Besar juga menunjukkan sinyal periodesitas yang berbeda. Puncak energi spektral Banjar Baru plot spektral biru terang pada periode 40 bulanan ~3,5 tahunan dan Sumbawa Besar plot spektral hijau pada periode 60 bulanan ~5 tahunan. Namun, kelima curah hujan wilayah kajian menunjukkan puncak energi spektral tertinggi yang sama dan sinyal yang lebih teratur ketika berada tepat pada periode 60 bulanan, kecuali untuk wilayah Lampung. Artinya, selain wilayah Lampung, curah hujan monsunal wilayah kajian memiliki pola osilasi dominan yang kuat dan menunjukkan puncak energi spektral yang sama tepat pada periode ~5 tahunan. Sehingga hasil analisis PSD ini menunjukkan bahwa keragaman iklim global antar tahunan inter-annual variability ikut mempengaruhi curah hujan monsunal. 4.2.2 Perbandingan pengaruh El Niño Modoki 1994 dan El Niño Konvensional 1997 Terhadap curah hujan wilayah kajian Memanfaatkan data curah hujan bulanan per wilayah periode 1970-2000 untuk mengevaluasi penurunan persentase curah hujan bertipe monsunal dari kondisi normal, maka dilakukan perbandingan pada data curah hujan tahun 1994 terhadap 1997. Tahun tersebut dipilih karena kedua kasus anomali SML pada tahun tersebut merupakan kasus El Niño Modoki dan El Niño Konvensional. Gambar 24 merepresentasikan kondisi anomali curah hujan wilayah kajian pada saat anomali suhu muka laut Pasifik tropis berada pada fase positif. Fase positif yang tergambar melalui plot garis berwarna biru tua menandai suhu muka laut Pasifik tropis yang menghangat, seperti yang terjadi pada 1994 dan 1997. Pada tahun tersebut, SML Pasifik tropis menghangat dari keadaan normal. Kondisi ini mempengaruhi curah hujan monsunal di Indonesia. Hal ini terlihat dari anomali curah hujan monsunal wilayah kajian berada pada anomali negatif baik pada kejadian bertipe El Niño Modoki 1994 Gambar 24a maupun El Niño Konvensional 1997 Gambar 24b. Anomali negatif curah hujan menunjukkan terjadinya penurunan jumlah curah hujan. Akibat kedua tipe kejadian El Niño ini, curah hujan di wilayah Indonesia khususnya bertipe monsunal di wilayah kajian pada umumnya mengalami penurunan di bawah curah hujan normal. a. El Niño Modoki 1994 b. El Niño Konvensional 1997 Gambar 24 Kondisi anomali curah hujan wilayah kajian pada kejadian El Niño Modoki 1994 dan El Niño Konvensional 1997. Berdasarkan diagram pada Gambar 25, penurunan curah hujan terbesar terjadi di Lampung dan Indramayu yang mencapai ~43 dan ~34 pada kasus El Niño Konvensional 1997 lalu ~31 dan ~26 pada kasus El Niño Modoki 1994. Sedangkan persentase penurunan curah hujan tahunan dari kondisi normal di wilayah Makassar dan Banjar Baru tidak berbeda jauh antara tahun 1994 dan 1997. Perhitungan terhadap penurunan curah hujan wilayah Sumbawa Besar tidak karena adanya beberapa data kosong pada tahun 1994 terutama pada musim JJA. Sehingga walaupun dilakukan teknik analisis komposit untuk mengisi data yang kosong, maka tetap tidak akan mewakili kisaran persentase penurunan yang layak untuk diperbandingkan. Secara umum penurunan curah hujan tahunan pada kejadian El Niño Konvensional 1997 adalah sebesar ~33 sedangkan pada kejadian El Niño Modoki 1994 hanya sebesar ~26. Penurunan curah hujan tersebut lebih besar pada kasus El Niño Konvensional 1997 daripada kasus El Niño Modoki 1994. Irawan 2006 menyebutkan bahwa menurut hasil kajian Irianto 2003 yang mengevaluasi persentase penurunan curah hujan menurut musim hujan dan musim kemarau yang disebabkan oleh kejadian El Niño Konvensional tahun 198283 dan 199798, wilayah pulau Jawa dan Nusa Tenggara mengalami penurunan jumlah curah hujan yang mencapai 60 dari kondisi normalnya. Gambar 25 Persentase penurunan total curah hujan tahunan pada kejadian El Niño Modoki 1994 dan El Niño Konvensional 1997 terhadap kondisi normal. Gambar 26 menunjukkan perbandingan distribusi spasial jumlah curah hujan tahunan pada kejadian El Niño Modoki kuat 2002 dan 2004, El Niño Konvensional 2006, sedangkan 2007 untuk tahun normal. Analisis spasial ini memperkuat hasil persentase di atas dimana El Niño Konvensional lebih tinggi tingkat penurunan terhadap curah hujan monsunal daripada El Niño Modoki. Berdasarkan penyebaran spektrum warnanya, curah hujan wilayah Indonesia pada saat terjadinya El Niño Modoki kuat menurun dari tahun normal 2007 namun tidak lebih besar daripada penurunan El Niño Konvensional 2006. a Tahun Normal 2007 b Tahun El Niño Biasa 2006 c Tahun El Niño Modoki 2004 d Tahun El Niño Modoki 2002 Gambar 26 Perbandingan analisis spasial terhadap distribusi curah hujan tahunan wilayah Indonesia tahun El Niño Modoki kuat, El Niño Konvensional, dan tahun normal. Penurunan curah hujan pada El Niño Konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan El Niño Modoki telihat dari spektrum warna yang lebih gelap mengarah ke hijaukuning yang menunjukkan interval 2000-3000 mmtahun Gambar 26. Walaupun begitu, baik El Niño Modoki maupun El Niño Konvensioal memiliki karakteristik dan intensitas yang berbeda-beda pada setiap kejadiannya. Sehingga ada kemungkinan pada periode mendatang dampak El Niño Modoki dibandingkan El Niño Konvensional lebih kuat dalam hal penurunan curah hujan monsunal di Indonesia.

4.2.3 Analisis Regresi Anomali Curah