menunjukkan suhu muka laut yang lebih dingin.
a. Kondisi Normal
b. El Niño Modoki
Gambar 7 Skematik Kondisi Normal dan El Niño Modoki.
Ashok Yamagata 2009 Kejadian El Niño Modoki Gambar 7b
merupakan sejenis kondisi anomali yang perbedaannya sangat jelas dengan El Niño
Konvensional. SML yang lebih hangat terbentuk di Pasifik bagian tengah, diapit
dengan SML yang lebih dingin di kedua sisi barat dan timurnya. Sehingga pola khusus
konveksi atmosfer yang terjadi adalah tekanan udara di sisi timur dan barat yang lebih tinggi
akibat udaranya yang lebih dingin membuat angin yang bertiup berasal dari kedua kutub
tersebut menuju ke bagian tengah Pasifik tropis ekuator. Angin tersebut mengakibatkan
awan-awan konvektif yang bersumber dari sisi barat dan timur berpusat di bagian tengah.
Sehingga wilayah Pasifik bagian tengah mengalami anomali yang tidak biasa menjadi
lebih basah dan kedua sisi yang mengapitnya akan lebih kering akibat penarikan awan-awan
konvektif itu sendiri.
2.3 Keragaman Curah Hujan Wilayah Indonesia
2.3.1 Karakteristik Curah Hujan Wilayah Indonesia
Hujan merupakan salah satu unsur iklim yang paling sering dikaji di Indonesia karena
memiliki tingkat keragaman yang sangat tinggi baik secara temporal waktu maupun
secara spasial keruangan. Keadaan ini disebabkan oleh posisi Indonesia yang
dilewati oleh garis khatulistiwa dan keberadaannya diantara dua benua dan dua
samudera. Selain itu keadaan Indonesia yang memiliki banyak pulau besar dan kecil dengan
topografi yang beragam juga dapat mengakibatkan tingginya keragaman hujan di
Indonesia. Karena memiliki tingkat keragaman yang tinggi, kondisi data curah
hujan di Indonesia memerlukan observasi yang panjang dengan perwakilan sebaran data
yang memadai As-Syakur 2010.
Gambar 8 Pola Curah Hujan di Indonesia; terbagi menjadi 3, wilayah A
Monsoonal pada garis tebal, wilayah B Equatorial pada
garis samar pendek dan Wilayah C Local pada garis samar
panjang Aldrian Susanto 2003
Berdasarkan Gambar 8, pola curah hujan di Indonesia memiliki tiga tipe Aldrian
Susanto 2003, yaitu: 1.
Monsoonal; ciri khusus wilayah yang memiliki tipe monsunal adalah hujan
berlangsung selama enam bulan dan enam bulan berikutnya berlangsung musim
kemarau.
2. Equatorial; ciri khusus wilayah tipe curah
hujan ekuatorial ditandai dengan sifat hujannya yang memiliki dua puncak
maksimum dalam setahun, biasa berlangsung pada bulan Maret dan
Oktober.
3. Local; ciri khusus wilayah tipe hujan lokal
berbalikan dengan tipe monsunal.
2.3.2 Faktor Pengendali Curah Hujan Wilayah Indonesia
Ditinjau dari pergeseran posisi matahari maka Indonesia yang terletak di sekitar
ekuator mengalami dua kali pemanasan maksimum, yaitu ketika matahari bergerak ke
selatan melintasi ekuator, dan pada waktu kembali ke utara melintasi ekuator. Keadaan
ini menyebabkan puncak aktivitas konveksi
yang menghasilkan hujan terjadi dua kali, yang pada umumnya dapat dilihat pada pola
curah hujan bulanan yang memiliki dua puncak. Dengan demikian maka iklim di
daerah Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor global, faktor regional, dan
faktor lokal Tabel 1.
Menurut Aldrian dan Susanto 2003, efek kejadian El Niño pada curah hujan di
Indonesia akan dimulai pada bulan April dan berakhir pada bulan Desember. Curah hujan
wilayah bagian selatan Indonesia atau wilayah A merupakan daerah sensitif El Niño
sementara curah hujan di wilayah C yang terletak di bagian timur Indonesia juga
merupakan wilayah sensitif El Niño. Gambar 9 menjelaskan secara skematik mekanisme
sirkulasi global seperti El Niño ikut mempengaruhi curah hujan Indonesia.
Tabel 1 Faktor–faktor yang Mempengaruhi Cuaca dan Iklim Indonesia
Faktor Global
Faktor Regional
Faktor Lokal
Skala Besar Skala
Sedang Skala Kecil
Interannual Seasonal Intra
Seasonal
Pemanasan Global
Monsoon Dingin Asia
Topografi dan
Geografi Daratan
Monsoon Panas Asia
Monsoon Dingin
Australia Monsoon
Panas Australia
ENSO Seruak Laut
Cina Selatan Orografi
Seruak Pantai Barat
Australia
Angin Pasat Trade
wind Sirkulasi
Laut di Indonesia
Angin Lokal
Angin Darat dan
Laut
Osilasi Madden
Julian ITCZ
Interaksi harian
Daratan dan Lautan
Sirkulasi Global
Walker– Hadley
ARLINDO Siang dan
Malam Sumber: Purwandani et al. 1998
Pada saat ini, kemungkinan memperoleh data curah hujan yang diperlukan dalam
berbagai aplikasi ilmiah dapat diperoleh dari satelit meteorologi. Satelite meteorologi dapat
menyediakan data hujan dengan sebaran yang lebih baik serta dengan penggabungan
berbagai jenis satelite dan data dari pos pengamatan hujan dalam suatu model iklim
akan lebih mampu meningkatkan keakuratan data yang dihasilkan oleh satelite meteorologi.
Karena sebaran keberadaan pos penakar hujan tidak merata khususnya di daerah dengan
topografi sulit, daerah tidak berpenghuni, dan di daerah sekitar lautan mengakibatkan
berkurangnya tingkat keakuratannya dalam menampilkan sebaran pola spasial curah hujan
As–Syakur 2010.
Gambar 9 Skema faktor pengendali curah hujan wilayah Indonesia.
BMKG 2011
III. METODOLOGI