Metode ini memuat nilai-nilai estimator yang masih dianggap benar dalam tingkat
kepercayaan tertentu confidence interval. Misalnya estimasi dari
θ berupa selang kepercayaan 1-
α100 dengan 1-α adalah koefisientaraf kepercayaan.
α adalah taraf nyata atau tingkat signifikansi atau taraf
kesalahan. Nilai α yang umum digunakan
adalah 0.10; 0.05; 0.01. Dengan demikian, jika
α = 0.10 maka akan menghasilkan 90 selang kepercayaan; jika
α = 0.05 maka akan memiliki 95 selang kepercayaan; sedangkan
α = 0.01 akan menghasilkan 99 selang kepercayaan Gall 2001.
Tabel 2 Nilai Kritis Koefisien Korelasi Pearson Pearson dalam Nazir
1988
= N-2 N=
number of pairs
Level of significance for one- tailed test
0.05 0.025 0.01 0.005 Level of significance for two-
tailed test 0.10 0.05 0.02 0.01
1 0.99 1.00 1.00 1.00
2 0.90 0.95 0.98 0.99
3 0.81 0.88 0.93 0.96
5 0.67 0.75 0.83 0.87
7 0.58 0.67 0.75 0.80
9 0.52 0.60 0.69 0.74
10 0.50 0.58 0.66 0.71
12 0.46 0.53 0.61 0.66
22 0.34 0.40 0.47 0.52
23 0.34 0.40 0.46 0.51
24 0.33 0.39 0.45 0.50
25 0.32 0.38 0.45 0.49
26 0.32 0.37 0.44 0.48
27 0.31 0.37 0.43 0.47
28 0.31 0.36 0.42 0.46
30 0.30 0.35 0.41 0.45
100 0.16 0.20 0.23 0.25 250 0.10 0.15 0.15 0.16
500 0.07 0.09 0.10 0.11 Nilai kritis pada Tabel 2 merupakan suatu
perkiraan nilai minimum koefisien korelasi agar dapat dikategorikan signifikan secara
statistik. Nilai kritis tersebut ditentukan berdasarkan jumlah pasangan data yang diuji
dan batas selang kepercayaan yang digunakan. One-tailed digunakan pada koefisien korelasi
yang bernilai positif atau negatif. Sedangkan two-tailed digunakan pada koefisien korelasi
yang bernilai absolut.
3.3.4 Analisis Korelasi Silang
Menurut Juanda 2009, waktu yang diperlukan agar timbulnya respon Y
terhadap suatu pengaruh X disebut lag beda waktu. Spesifikasi dari struktur beda waktu
lag merupakan suatu fungsi dari satuan yang periode–periode waktu mengenai data
tersebut. Umumnya semakin jauh lag dari data peubah X
t–k
, maka semakin berkurang pengaruhnya terhadap peubah respon Y
t
. Untuk menganalisis dan menentukan jeda
waktu time lag suatu data deret waktu dapat menggunakan metode korelasi silang cross–
correlation yang diuji pada selang kepercayaan 95 a=0.05.
Formula perhitungan korelasi silang Makridarkis Wheelwright 1989:
C C
C C
S S
...….…… 7 merupakan korelasi silang antara deret x dan
deret y pada lag ke–k, C
∞
…..… 8 merupakan kovarian antara deret x dan y
pada lag ke–k, C 0
∞
…….…..…… 9 merupakan variansi silang peubah x,
C
∞
……….…… 10 merupakan variansi silang peubah y.
Analisis korelasi silang cross correlation pada kajian ini menggunakan data aSML EMI
dan anomali curah hujan monsunal wilayah kajian. Analisis ini dilakukan untuk melihat
pengaruh dari fenomena El Niño Modoki terkait pola perubahan curah hujan monsunal
di wilayah kajian terhadap waktu yang diistilahkan sebagai lag time atau jeda waktu.
Lag time dilihat dari koefisien korelasi silang tertinggi terutama yang berada setelah lag 0
dan mencapai garis selang kepercayaan 95. Karena asumsi yang dipakai adalah akan
terjadi perubahan pola penurunan curah hujan monsunal terhadap kondisi normal pada
selang waktu tertentu setelah pola penghangatan El Niño Modoki terbentuk.
Sehingga analisis tersebut menghasilkan pola interaksi waktu terjadinya El Niño Modoki
terhadap perilaku curah hujan monsunal wilayah kajian.
Gambar 13 Diagram metodologi penelitian.
IV. PEMBAHASAN
Adanya perubahan karakteristik dan perilaku ENSO El Niño–Southern
Oscillation di Samudera Pasifik ekuator bagian tengah yang disebut sebagai El Niño
Modoki Ashok et al. 2007 semakin menambah kompleksitas dan dinamika kajian
interaksi atmosfer dan lautan. Fenomena El Niño Modoki yang baru dipublikasikan oleh
Badan Riset Kelautan Jepang, JAMSTEC, menarik perhatian para peneliti iklim dunia
dan masih terus dikaji hingga sekarang. Karena El Niño baik bertipe Konvensional
maupun Modoki masih menjadi faktor dominan yang mempengaruhi keragaman
iklim global. Bahkan kondisi iklim di beberapa belahan dunia sangat dipengaruhi
secara kuat oleh kedua fenomena iklim global tersebut.
Indonesia yang diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia menjadi suatu
kawasan yang tidak terlewati oleh pengaruh fenomena iklim global. Selain membahas
tentang pengaruh El Niño Modoki terhadap perilaku curah hujan monsunal di Indonesia,
kajian penelitian ini diawali dengan membandingkan antara El Niño Konvensional
dan El Niño Modoki berdasarkan sudut pandang temporal.
Data yang digunakan adalah data anomali suhu muka laut aSML. Data aSML
4 wilayah Niño di sepanjang Pasifik tropis, yaitu: Niño1+2, Niño3, Niño4, dan Niño3.4
digunakan untuk mendefinisikan kejadian El Niño Konvensional. Sedangkan data EMI El
Niño Modoki Index mendefinisikan kejadian El Niño Modoki. Data anomali SML Niño3.4
dan EMI dipilih dalam membandingkan kejadian El Niño Konvensional dan El Niño
Modoki.
4.1 El Niño Konvensional dan El Niño Modoki
Data aSML Samudera Pasifik ekuator untuk setiap wilayah Niño yang dipilih
sebagai periode kajian adalah data rata-rata bulanan deret waktu ±30 tahun periode 1979–
2010. Pemilihan deret waktu ini terkait dengan syarat klimatologis bahwa diperlukan
data ±30 tahun untuk menyatakan kondisi normal. Periode 1979–2010 dipilih bukan
disebabkan oleh data aSML yang dikaji mulai tersedia pada tahun tersebut, akan tetapi
terkait dengan ketersediaan kualitas data yang lebih baik dan dapat diandalkan.
Mengacu kepada Ashok et al 2007, hal lain yang menjadi pertimbangan adalah untuk
menghindari adanya stratifikasi peristiwa sebelum dan setelah pergeseran rezim Pasifik