c. Mengetahui pola interaksi El Niño Modoki
di Samudera Pasifik terhadap perilaku curah hujan monsunal di Indonesia.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dinamika Atmosfer Indonesia
Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan wilayah perairan yang relatif cukup
luas, memiliki karakteristik yang berbeda dengan atmosfer di wilayah khatulistiwa
lainnya. Ramage 1968 menyebut kondisi ini sebagai Indonesia Maritime Continent IMC
atau lebih dikenal dengan “Benua Maritim Indonesia” BMI. Hal ini disebabkan
diantaranya oleh letak geografis Indonesia yang unik, yakni diapit oleh dua benua besar
Asia dan Australia dan dua samudera besar Hindia dan Pasifik.
Benua Maritim Indonesia merupakan wilayah dengan proses konveksi yang paling
aktif deep convection di dunia Hamada et al. 2002. Proses tersebut merupakan salah
satu faktor yang mendominasi cuaca dan iklim di BMI. Selain karena pengaruh posisi
geografisnya berada di khatulistiwa sehingga menerima energi radiasi matahari yang besar,
kondisi Indonesia yang 23 bagian wilayahnya terdiri atas perairan ikut mempengaruhi status
deep convection ini. Oleh karena itu, BMI merupakan daerah surplus energi dan uap air,
yang keduanya merupakan bahan bakar utama dalam proses konveksi. Oleh karena adanya
konveksi aktif dari lautan tersebut, maka menjadi pemicu terhadap pembentukan dan
pertumbuhan awan hujan cumulonimbus. Selain itu, aliran panas dari daratan yang
dikelilingi lautan, sirkulasi angin darat–laut, dan topografi pegunungan dapat mendorong
terjadinya proses konveksi. Inilah yang membuat keragaman curah hujan BMI sangat
tinggi. Menurut letak astronomisnya Indonesia berada pada 6⁰LU-11⁰LS dan 96⁰BT-141⁰BT.
Kondisi ini memposisikan Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki 18 bagian
keliling bumi. Keseluruhan karakteristik tersebut menjadikan Indonesia sebagai
laboratorium atmosfer terbesar di dunia. Dinamika atmosfer Indonesia sangat
kompleks. Wilayah Indonesia menjadi pertemuan antara sirkulasi zonal timur–barat
dan sirkulasi meridional utara–selatan. Kombinasi fenomena interaksi lautan
atmosfer di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang membentuk sirkulasi zonal
menjadi faktor penentu yang relatif mempengaruhi keragaman iklim Indonesia.
Keragaman iklim merupakan fluktuasi unsur- unsur iklim yang terjadi pada rentang waktu
tertentu seperti variasi musiman atau tahunan pergeseran waktu dan durasi musim hujan
dan kemarau termasuk kejadian iklim ekstrim. Faktor monsun yang dihasilkan dari
sirkulasi meridional dan faktor lokal juga berkaitan erat terhadap keragaman iklim
Indonesia.
2.2 Interaksi Lautan dan Atmosfer di Samudera Pasifik
Salah satu faktor pengendali keragaman iklim khususnya curah hujan antar tahunan di
wilayah Indonesia adalah fenomena berskala global yang dikenal dengan istilah El Niño.
Fenomena El Niño terjadi akibat adanya penyimpangan dari kondisi normal interaksi
antara lautan dan atmosfer di sepanjang Samudera Pasifik ekuator. Secara umum,
peristiwa El Niño berulang antara 2–7 tahun. Di Indonesia, peristiwa El Niño diidentikkan
dengan musim kering yang melebihi kondisi normalnya. Hal ini berbanding terbalik
dengan peristiwa La Niña yang mampu menghasilkan curah hujan melebihi batasan
normalnya Ropelweski Halpert 1987. 2.2.1 El Niño Konvensional
a. Definisi
El Niño
Istilah El Niño telah mengalami perkembangan definisi dari tahun ke tahun,
sehingga dapat menimbulkan kebingungan dalam penggunaannya. Oleh karena fenomena
ini semakin terlihat jelas dalam beberapa tahun terakhir sebagai mode dominan
keragaman iklim antar tahunan di seluruh dunia, maka diperlukan definisi El Niño yang
lebih baik dan definitif Trenberth 1997.
Pada awalnya terminologi El Niño digunakan untuk memberi nama arus air laut
yang menghangat dari kondisi normal tahunan yang mengalir ke arah selatan sepanjang
pesisir Peru dan Ekuador pada bulan desember. Hingga saat ini banyak ditemukan
defini tentang El Niño, hal ini disebabkan perbedaan cara pandang para ahli dalam
memahami El Niño.
Quinn et al. 1978 membuat daftar kejadian El Niño mulai dari tahun 1726 dan
ukuran intensitas El Niño pada skala 1 sampai 4 kuat, sedang, lemah, dan sangat lemah.
Ukuran yang digunakan untuk mendefinisikan El Niño dan intensitasnya terutama didasarkan
pada fenomena di sepanjang pantai Amerika Selatan. Pada awal 1980–an, sebuah Komite
Ilmiah untuk penelitian kelautan, kelompok kerja SCOR WG 55 1983 dibentuk dan
mendefinisikan El Niño sebagai berikut: “El Niño adalah munculnya anomali air hangat di
sepanjang pantai Ekuador dan Peru hingga sejauh bagian selatan Lima 12°S dengan
anomali suhu muka laut melebihi nilai standar deviasinya untuk setidaknya empat bulan
berturut-turut. Anomali suhu muka laut selanjutnya disingkat menjadi aSML yang
melebihi kondisi normal ini harus terjadi setidaknya pada tiga dari lima stasiun di
pantai Peru”. Definisi ini ditolak banyak ilmuwan karena hanya memperhatikan
kejadian di Pesisir Peru saja. Para praktisi ilmiah memiliki cara pandang berbeda-beda
terhadap El Niño. Menurut Japan Meteorological Agency JMA, definisi El
Niño La Niña adalah normalisasi data anomali SML 5 bulanan area 4°N–4°S dan
150°W–90°W dikenal dengan wilayah Niño3 melebihi standar deviasi anomali SML
0.5ºC –0.5ºC atau lebih tinggi lebih rendah selama enam bulan berturut–turut atau lebih
Trenberth 1997.
Gambar 1 Plot deret waktu Niño 3 atas dan Niño 3.4 bawah; 1950–1979.
NOAA 2011
Gambar 1 menunjukkan aSML Niño3 dan Niño3.4, dengan normalisasi data lima
bulanan menggunakan data dari NOAA pada periode dasar klimatologi 1950–1979.
Normalisasi data aSML di wilayah Niño3 dan Niño3.4 dilakukan untuk mengurangi dampak
variasi antar musiman di Pasifik tropis. Nilai ambang batas ±0.5°C untuk Niño3 dan ±0.4°C
untuk Niño3.4 diberi warna untuk menunjukkan peristiwa El Niño. Wilayah
Niño3 dibatasi oleh 170⁰–120⁰W dan 5°S– 5°N. Sedangkan wilayah Niño3.4 dibatasi
oleh 120°W–170°W dan 5°S –5°N. Aktivitas El Niño sepanjang tahun dapat
diukur melaui indeks anomali suhu muka laut setiap bagian wilayah yang berbeda di
sepanjang samudera Pasifik tropis Trenberth dan Stepaniak 2001. Samudera Pasifik tropis
terbagi menjadi 4 bagian wilayah Niño Gambar 2, yaitu NIÑO3 5⁰N–5⁰S, 150W–
90⁰W, NIÑO3.4 5⁰N–5⁰S, 170⁰W–120⁰W, NIÑO1+2 0⁰–10⁰S, 90⁰W–80⁰W, dan
NIÑO4 5⁰N–5⁰S, 160⁰E–150⁰W. Adapun N untuk Lintang Utara, S untuk Lintang Selatan,
W untuk Bujur Barat, dan E untuk Bujur Timur. Keempat wilayah Niño tersebut
memiliki indeksnya masing-masing sesuai dengan kondisi anomali suhu muka lautnya.
Gambar 2 Wilayah Niño. IRI
2011 NOAA menggunakan indeks Niño3.4
untuk menentukan kejadian El Niño. Indeks ini didefinisikan sebagai rata–rata 3 bulanan
data SML wilayah kritis Pasifik ekuator wilayah Niño3.4; 5°N–5°S, 120°W–170°W.
Wilayah ini merupakan apa yang disebut oleh para ilmuwan sebagai “equatorial cold
tongue”, kolam dingin yang terbentang di sepanjang ekuator dari pantai selatan Amerika
hingga Samudera Pasifik tengah. Pergerakan rata–rata bulanan SML di wilayah ini sangat
penting dalam menentukan penyebab utama tidak hanya pada pergeseran pola curah hujan
tropis disana, tapi juga mempengaruhi jet streams dan pola suhu udara serta hujan di
dunia.
NOAA 2003 memberikan definisi terbaru untuk kejadian El Niño dan La Niña
berdasarkan indeks Niño3.4, yaitu: El Niño, fenomena di Samudera Pasifik ekuator yang
dicirikan oleh SML mulai beranjak positif di atas normal periode klimatologis 1971–2000
sebagai acuan di wilayah Niño3.4 yang melebihi atau sama dengan 0.5ºC, rata–rata 3
bulan berturut–turut atau lebih. Sedangkan La Niña, fenomena di Samudera Pasifik ekuator
yang dicirikan oleh SML mulai beranjak
negatif di bawah normal periode klimatologis 1971–2000 sebagai acuan di wilayah Niño3.4
yang melebihi atau sama dengan 0.5ºC, rata- rata tiga bulan berturut-turut atau lebih.
b.
Mekanisme Fisik El Niño
Pemahaman tentang mekanisme fisik fenomena iklim global El Niño La Niña
terlebih dahulu memerlukan pemahaman terhadap sistem angin pasat normal di Lautan
Pasifik tropis. Wilayah ekuator menerima radiasi matahari yang lebih banyak dan merata
sepanjang tahun dibanding wilayah lainnya seperti subtropis dan kutub. Akibatnya udara
di sekitar wilayah ekuator yang bertekanan rendah akan cenderung naik akibat
densitaskerapatan udara yang kecil dari permukaan. Udara yang naik ini digantikan
oleh aliran udara dari wilayah subtropis. Gaya Coriolis membelokkan aliran ini ke kanan di
belahan bumi utara BBU dan ke kiri di Belahan Bumi Selatan BBS sehingga
terdapat sabuk angin pasat yang besar mengalir menuju ekuator dan ke arah barat
dari Pasifik tropis. Kondisi tersebut menimbulkan sistem kopel dan interaksi
lautan–atmosfer di Pasifik tropis. Angin menentukan suhu muka laut, tetapi suhu muka
laut juga menentukan angin. Sifat angin mengalir dari wilayah bertekanan udara tinggi
ke wilayah bertekanan udara rendah.
Kondisi normal Gambar 3a ditandai dengan suhu muka laut yang lebih dingin di
Pasifik timur dan lebih hangat di Pasifik barat. Angin mengalir menuju suhu air laut yang
lebih hangat karena tekanan udara diatas muka lautnya lebih rendah. Suhu air laut yang
hangat memanaskan udara di atasnya sehingga udara tersebut naik. Udara yang naik
digantikan oleh udara di tempat lain. Karena tekanan angin pasat tersebut, muka air laut di
Indonesia lebh tinggi sekitar 0.5 meter daripada di Peru. Angin yang bergerak ke
barat sepanjang ekuator mendorong air panas ke barat sehingga termoklin naik dan air
dingin di bawahnya muncul ke muka upwelling di wilayah Pasifik timur ekuator.
Upwelling mendinginkan air permukaan di Pasfik timur Wiratmo 1998.
Pada saat El Niño terjadi Gambar 3b, seluruh sistem yang dijelaskan di atas
melemah. Angin pasat melemah, khususnya di batas barat Pasifik ekuator sehingga air yang
menumpuk di barat akan berbalik ke timur dan membawa kolam hangat tersebut
bersamanya. Wilayah udara yang terangkat ke atas bergeser pula ke timur seiring dengan
bergesernya kolam hangat tersebut ke timur sehingga udara hangat dan kelembaban yang
dipompa ke atmosfer atas juga ikut bergeser. Pergeseran ini menyebabkan pola cuaca dunia
juga turut berubah. Angin pasat melemah, sehingga upwelling juga turut melemah.
Kolam panas yang bergeser ke timur menyebabkan air yang di–upwelling–kan juga
tidak sedingin seperti pada kondisi normal. Bila suhu muka laut di Pasifik tropis bagian
timur hangat, maka perbedaan suhu timur– barat menjadi lebih kecil sehingga angin pasat
menjadi lemah. Upwelling merupakan peristiwa naiknya massa air di bawah
permukaan laut menuju permukaan laut. Angin pasat mendorong air permukaan laut ke
Pasifik tropis bagian barat dan menyebabkan upwelling di pantai barat Amerika Selatan
Wiratmo 1998.
a. Kondisi Normal
b. El Niño Konvensional
Gambar 3
Skematik mekanisme fisik kondisi Normal dan El Niño
Konvensional. Ashok Yamagata 2009
2.2.2 El Niño Modoki a.
El Niño Modoki sebagai Tipe Baru Fenomena El Niño
El Niño Modoki yang juga merupakan fenomena couple atmosfer–lautan di kawasan
Pasifik tropis berbeda dengan fenomena El Niño yang biasanya terjadi selanjutnya
disebut sebagai El Niño Konvensional yang muncul di Pasifik tropis. El Niño
Konvensional ditandai dengan anomali penghangatan yang kuat di bagian timur
Pasifik ekuator Gambar 4a. Sedangkan, El
Niño Modoki berkaitan dengan anomali penghangatan yang kuat di pasifik tropis
bagian tengah disertai dengan pendinginan di wilayah bagian timur dan baratnya Gambar
4b. Sehubungan dengan pola penghangatan dan pendinginan yang tidak biasa ini,
telekoneksinya pun sangat berbeda dari pola telekoneksi El Niño Konvensional. Oleh
karena itu, fenomena yang termasuk baru ini menjadi daya tarik tersendiri bagi kajian
komunitas peneliti iklim global dunia JAMSTEC 2011.
a. El Niño Konvensional
b. El Niño Modoki
Gambar 4 Pola Penghangatan El Niño
Konvensional dan El Niño Modoki di Pasifik tropis.
Weng et al. 2007
Menurut Ashok et al. 2007, keberadaan pola aSML yang tidak biasa ini Gambar 4b
juga pernah ditemukan oleh para peneliti sebelumnya seperti Weare et al. 1976,
Rasmusson dan Carpenter 1982, Donguy dan Dessier 1983, dan Meyers et al. 1999.
Namun baru diteliti secara mendalam oleh Yamagata 2004 beserta timnya dari Japan
Agency for Marine-Earth Science Technology JAMSTEC, karena sifat khusus yang terlihat
berbeda jelas dengan El Niño Konvensional, bahkan berbeda dari yang didefinisikan oleh
NOAA 2003. Dengan mengacu kepada pola unik dan tidak biasa anomali suhu muka laut
hasil observasi tahun 2004 di sepanjang Pasifik tropis, Ashok et al. 2007 menamakan
pemanasan yang hanya terkonsentrasi di wilayah Pasifik tropis bagian tengah
mencakup wilayah Niño4 dan diapit oleh aSML yang lebih dingin di bagian timur dan
baratnya sebagai El Niño Modoki Pseudo El Niño.
Istilah El Niño Modoki pertama kali diperkenalkan dan dipublikasikan oleh Toshio
Yamagata dalam berbagai press release media informasi Jepang terkait penjelasannya dalam
hal kemungkinan penyebab kondisi iklim musim panas yang tidak normal di Jepang
pada tahun 2004 seperti dikutip dalam Japan Times pada 24 Juli 2004 dibawah judul “Mock
El Niño: culprit behind heat wave, floods”. Toshio Yamagata adalah seorang Profesor di
Universitas Tokyo dengan spesialisasi bagian dinamika iklim global.
Fenomena yang sepintas terlihat seperti El Niño di Pasifik bagian tengah pada tahun
2004 telah memicu terjadinya gelombang panas dan banjir di berbagai belahan wilayah
Jepang. Yamagata 2004 mengatakan bahwa peningkatan aSML di wilayah ini mampu
mengaktifkan arus konveksi dan memicu terbentuknya tekanan yang lebih tinggi di
Pasifik tengah. Di Jepang berakibat musim panas yang lebih hangat dari kondisi musim
panas normalnya. Sedangkan untuk dampak di Indonesia, masih belum dikaji secara
mendalam.
Gambar 5
Komposit aSML ºC selama kejadian El Niño Modoki positif
kuat a tujuh musim panas boreal, yaitu musim JJAS 1986, 1990,
1991, 1992, 1994, 2002, dan 2004 b delapan musim dingin boreal,
yaitu musim DJF 1979–80, 1986– 87, 1990–91, 1991–92, 1992–93,
1994–95, 2002–03, dan 2004–05. Nilai Signifikan di atas selang
kepercayaan 95 dari uji t–student dua arah. Ashok et al. 2007
Gambar 5 dapat memperjelas gambaran bahwa pada musim panas boreal JJAS terlihat
adanya dua kutub penghangatan di Pasifik
bagian tengah. Pola penghangatan yang unik ini semakin terlihat dengan jelas pada musim
dingin boreal DJF. Istilah boreal mengacu pada kondisi iklim di belahan bumi utara.
Istilah El Niño Modoki sekarang sudah populer di kalangan peneliti dan pengamat
iklim global terutama di Jepang dan Asia. Ashok et al. 2007 menjelaskan bahwa kata
Modoki berasal dari bahasa Jepang klasik yang berarti “serupa tapi tidak sama” similar
but different thing, mengacu kepada fenomena yang menyerupai El Niño
Konvensional namun jelas berbeda secara spasial dan temporal serta bersifat independen
dari fenomena El Niño Konvensional.
Berawal dari tujuan untuk menjelaskan fenomena unik 2004 di Pasifik tengah dengan
definisi yang tepat, Ashok et al. 2007 mengklasifikasikan kejadian 2004 dan
kejadian lain yang serupa sebagai suatu entitas yang berbeda dengan El Niño Konvensional,
sehingga menghasilkan pola telekoneksi yang juga berbeda. Pola unik ini semakin sering
terjadi sejak akhir tahun 1970–an hingga sekarang. Tercatat beberapa kejadian unik El
Niño Modoki sepanjang 1979–2004: 1986, 1990, 1991, 1992, 1994, 2002, dan 2004.
Anomali suhu muka laut positif yang berlangsung lama dari tahun 1990–1994
disebut sebagai El Niño Modoki yang berlarut–larut. Ada juga yang menyebut
bahwa kejadian ini merupakan El Niño yang berlangsung sangat lama. Yeh et al. 2009
menyatakan kejadian El Niño Pasifik tengah istilah lain yang mengacu kepada El Niño
Modoki akan lebih sering ditemukan jika pemanasan global terus meningkat.
Pola aSML El Niño Modoki yang tidak biasa bukan merupakan bagian dari evolusi El
Niño Konvensional sebagaimana yang disebutkan oleh Trenberth dan Stepaniak
2002. Jika hipotesis tersebut berlaku, maka kondisi El Niño Modoki pada musim panas
boreal 2004 sudah diikuti didahului oleh El Niño Konvensional setelahnya sebelumnya
dengan perkiraan lag time 3–12 bulan. Tapi pada kenyataannya, berdasarkan data
observasi aSML Niño3 dan Niño3.4 tidak satu pun dari hal yang disebutkan diatas terjadi.
Hanya kejadian periode 1982–1983 yang sesuai dengan hipotesis tersebut. Tahun 1997
yang disebut sebagai El Niño Konvensional sangat kuat didahului oleh El Niño Modoki
yang sangat lemah. Hipotesis ini juga tidak berlaku pada kejadian El Niño 1990–1994
yang berlarut–larut Ashok et al. 2007.
Gambar 6 Wilayah Perhitungan El Niño
Modoki Index. Ashok et al. 2007
Secara matematis, Ashok et al. 2007 mendefinisikan El Niño Modoki melalui suatu
persamaan sebagai berikut: EMI = [SSTA]
Central
– 0.5[SSTA]
East
+ 0.5[SSTA]
West
Keterangan: [SSTA]
Central
= 165⁰E–140⁰W, 10⁰S–10⁰N
[SSTA]
East
= 110⁰W–70⁰W, 15⁰S–5⁰N [SSTA]
West
= 125⁰E–145⁰E, 10⁰S–20⁰N.
SSTA yang merupakan singkatan dari Sea Surface Temperature Anomalies merupakan
istilah global yang merujuk pada anomali suhu muka laut aSML. Persamaan diatas
menghasilkan suatu indeks yang dikenal sebagai El Niño Modoki Index EMI. EMI
menjadi tolak ukur kejadian El Niño Modoki. Gambar 6 mendeskripsikan cakupan wilayah
dalam perhitungan EMI.
Menurut Ashok et al 2007, aSML dikategorikan termasuk ke dalam fase El Niño
Modoki kuat ketika amplitudo indeksnya ≥
0.7 σ, dengan σ adalah standar deviasi
musiman, sehingga berdasarkan ketentuan tersebut diperoleh 0.50⁰C dan 0.54⁰C sebagai
threshold EMI untuk musim panas boreal summer dan musim dingin boreal winter.
b. Mekanisme Fisik El Niño Modoki