a Tahun Normal 2007
b Tahun El Niño Biasa 2006
c Tahun El Niño Modoki 2004
d Tahun El Niño Modoki 2002
Gambar 26 Perbandingan analisis
spasial terhadap distribusi curah hujan
tahunan wilayah Indonesia tahun El Niño Modoki kuat, El Niño
Konvensional, dan tahun normal. Penurunan curah hujan pada El Niño
Konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan El Niño Modoki telihat dari spektrum
warna yang lebih gelap mengarah ke hijaukuning yang menunjukkan interval
2000-3000 mmtahun Gambar 26. Walaupun begitu, baik El Niño Modoki maupun El Niño
Konvensioal memiliki karakteristik dan intensitas yang berbeda-beda pada setiap
kejadiannya. Sehingga ada kemungkinan pada periode mendatang dampak El Niño Modoki
dibandingkan El Niño Konvensional lebih kuat dalam hal penurunan curah hujan
monsunal di Indonesia.
4.2.3 Analisis Regresi Anomali Curah
Hujan Wilayah Kajian Terhadap Anomali SML EMI, Niño3.4, dan
Niño4
Korelasi merupakan teknik analisis yang termasuk dalam salah satu teknik pengukuran
asosiasi hubungan measures of association mengenai ada dan tidaknya hubungan antara
dua fenomena atau lebih Hasan 2003. Keeratan hubungan ini dijelaskan melalui nilai
koefisien korelasi r. Dengan menggunakan periode data bulanan 1971–2000 dan
memisahkan antara musim basah DJF, musim kering JJA dan musim peralihan
MAM dan SON, diperoleh koefisien korelasi curah hujan per musim masing-
masing wilayah kajian.
Berdasarkan karakteristiknya, curah hujan monsunal dapat dibagi menjadi empat musim,
yaitu: DJF, MAM, JJA, dan SON. DJF merupakan musim basah dan terjadi sekitar
bulan Desember–Februari. JJA merupakan musim kering dan terjadi sekitar bulan Juni–
Agustus. MAM merupakan musim peralihan dari musim basah ke musim kering dan terjadi
sekitar bulan Maret–April. SON merupakan peralihan dari musim kering ke musim basah
dan terjadi sekitar bulan September– November.
Menurut Hendon 2003, korelasi curah hujan di Indonesia terhadap El Niño
Konvensional lebih kuat pada musim kemarau sedangkan pada musim hujan menunjukkan
korelasi yang lemah. Hasil pada Tabel 4 ternyata juga menunjukkan hal yang sama
antara pengaruh El Niño Modoki terhadap curah hujan monsunal wilayah kajian. El Niño
Modoki berpengaruh lebih kuat pada musim kering daripada musim basah. Sedangkan
pada musim peralihan, pengaruhnya lebih kuat pada musim SON daripada musim
MAM.
Tabel 4 Koefisien Korelasi anomali curah
hujan terhadap EMI musiman: DJF, MAM, JJA, SON
Curah Hujan EMI
DJF P-value MAM P-value Lampung
0.03 0.87 -0.24 0.21 Sumbawa
Besar 0.34 0.07 -0.26 0.16
Makassar -0.15 0.44 0.03 0.88
Banjar Baru -0.32 0.09 0.17 0.36
Indramayu 0.15 0.43 -0.29 0.12
Curah Hujan EMI
JJA P-value SON P-value Lampung
-0.32 0.04 -0.24 0.20 Sumbawa
Besar -0.37 0.04 -0.50 0.01
Makassar -0.40 0.03 -0.62 0.00
Banjar Baru -0.47 0.01 -0.60 0.00
Indramayu -0.08 0.69 -0.41 0.03
Oleh karena kajian ini menggunakan selang kepercayaan 95, jika P-value 0.05
maka hubungan dikatakan signifikan. Hasil regresi pada Tabel 4 menunjukkan bahwa
koefisien korelasi masing-masing wilayah untuk musim kering JJA dan musim peralihan
SON bernilai lebih tinggi dan signifikan dibandingkan musim basah DJF dan musim
peralihan MAM. Nilai signifikansi P-value musim DJF dan MAM jauh melebihi batas
0.05 sehingga dapat dikatakan bahwa El Niño Modoki tidak memberikan pengaruh yang
signifikan pada kedua musim tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa El Niño Modoki lebih
memberikan pengaruh signifikan pada JJA dan SON daripada DJF dan MAM.
Berdasarkan nilai kritis pada Tabel 2, hasil korelasi dikatakan signifikan jika koefisien
korelasi Pearson Pearson Coefficient Correlation 0.31 one-tailed test pada
selang kepercayaan 95 dengan N = 30 atau df N-2 = 28. N = 30 karena periode yang
diuji adalah kondisi musiman data 30 tahun 1971–2000. Sehingga menurut ketentuan
tersebut, El Niño Modoki memberikan pengaruh yang jelas terhadap penurunan curah
hujan di wilayah Sumbawa Besar, Makassar, dan Banjar Baru pada musim JJA dan semakin
kuat pengaruhnya pada musim SON. Wilayah Lampung hanya merasakan pengaruhnya
dengan jelas pada musim JJA saja. Pengaruh El Niño Modoki juga terasa di Indramayu
namun hanya pada musim SON.
Nilai korelasi negatif pada Tabel 4 dan Tabel 5 mengindikasikan adanya hubungan
yang berbanding terbalik. Artinya, pada saat anomali SML El Niño Modoki meningkat,
maka curah hujan wilayah Indonesia khususnya yang bertipe monsunal akan turun,
hal sebaliknya juga berlaku. Secara fisis dapat diartikan bahwa ketika suhu muka laut di
wilayah pasifik tropis mulai menghangat dari kondisi normalnya, maka wilayah Indonesia
yang bertipe curah hujan monsunal akan mengalami penurunan curah hujan dari
kondisi normal yang terlihat jelas pada musim JJA dan pengaruhnya semakin menguat pada
musim SON ditandai dengan musim kering akan terasa sangat kering dan lebih lama
daripada kondisi biasanya.
Sebagaimana penjelasan di atas, El Niño Modoki memberikan pengaruh yang jelas
terhadap penurunan curah hujan monsunal pada musim JJA dan SON. Oleh karena itu,
Tabel 5 hanya membandingkan hubungan antara curah hujan monsunal di wilayah kajian
terhadap anomali SML EMI, Niño3.4, dan Niño4 pada musim JJA dan SON saja.
Koefisien korelasi pada musim DJF dan MAM dapat dilihat di bagian lampiran.
Koefisien korelasi pada Tabel 5 dapat dijadikan acuan untuk menentukan anomali
SML yang lebih baik EMI, Niño3.4, atau Niño4 digunakan sebagai prediktor perilaku
curah hujan monsunal masing-masing wilayah kajian. Anomali SML wilayah Niño3.4 masih
sangat baik digunakan sebagai prediktor dalam menjelaskan perilaku curah hujan
monsunal di wilayah Lampung, Indramayu, dan Banjar Baru. Hal tersebut berdasarkan
pada hasil koefisien korelasi rata-rata dari kedua musim JJA dan SON antara anomali
curah hujan terhadap aSML Niño3.4 yang lebih tinggi dan signifikan dibanding EMI dan
Niño4. Nilai korelasi wilayah Lampung, Indramayu, dan Banjar Baru pada musim JJA:
-0.50, -0.72, -0.60 dan -0.51, -0.72, -0.53 pada musim SON. Walaupun begitu, ketika pola
penghangatan Pasifik tropis mengarah pada El Niño Modoki maka untuk wilayah Banjar
Baru lebih baik menggunakan aSML EMI sebagai prediktor. Karena pada kejadian
bertipe El Niño Modoki seperti 1994, curah hujan Banjar Baru terpengaruh kuat dibanding
wilayah kajian lainnya.
Wilayah Sumbawa Besar lebih baik menggunakan anomali EMI sebagai prediktor
curah hujannya karena anomali curah hujannya terhadap EMI lebih tinggi dan
signifikan dibandingkan dengan Niño3.4 dan Niño4. Sedangkan wilayah Makassar lebih
baik menggunakan Niño4 sebagai prediktor untuk menjelaskan perilaku curah hujannya.
Tabel 5 Koefisien Korelasi anomali curah hujan terhadap EMI, Niño3.4, dan Niño4 musiman: JJA dan SON
Curah Hujan
JJA
EMI P-value Niño3.4 P-value Niño4 P-value Lampung -0.32
0.04 -0.50
0.01 -0.57
0.00 Sumbawa Besar
-0.37 0.04
-0.21 0.27
-0.23 0.22
Makassar -0.40 0.03
-0.65 0.00
-0.61 0.00
Banjar Baru -0.47
0.01 -0.72
0.00 -0.63
0.00 Indramayu -0.08
0.69 -0.60
0.00 -0.49
0.01 Curah Hujan
SON
EMI P-value Niño3.4 P-value Niño4 P-value Lampung -0.24
0.20 -0.51
0.00 -0.47
0.01 Sumbawa Besar
-0.50 0.01
-0.21 0.26
-0.38 0.04
Makassar -0.62 0.00
-0.76 0.00
-0.85 0.00
Banjar Baru -0.60
0.00 -0.72
0.00 -0.74
0.00 Indramayu -0.41
0.03 -0.53
0.00 -0.54
0.00
4.3 Pola Interaksi El Niño Modoki Terhadap Perilaku Curah Hujan