Kelembagaan Hutan Rakyat Tinjauan Pustaka .1 Hutan Rakyat

bahan baku kayu yang dihasilkan dari luar kawasan hutan milik negara Syahadat, 2001. Syahadat 2001 berpendapat bahwa untuk lebih mengoptimalkan dalam pemanfaatan kayu rakyat oleh masyarakat dan untuk mempermudah dalam pemberian ijin pemanfaatan hutan rakyat, maka dalam pemanfaatan kayu rakyat dari hutan rakyat dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu : a Pemanfaatan kayu rakyat untuk memenuhi kebutuhan kayu sendiri atau digunakan sendiri, dan b Pemanfaatan kayu rakyat untuk dikomersilkan atau diperjualbelikan. Untuk hutan rakyat di pulau Jawa, pemanfaatan kayu rakyat dapat meliputi keduanya. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Hardjanto 2001 bahwa usaha hutan rakyat oleh masyarakat di pedesaan Jawa, juga termasuk dalam kategori usaha pertanian skala kecil dengan hasil baik untuk keperluan sendiri maupun untuk dijual dan dapat menjadi komoditi ekspor. Program sertifikasi hutan rakyat yang telah banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia dapat membantu menaikkan harga dan kualitas kayu rakyat, karena terdapat kecenderungan pasar yang lebih tinggi terhadap kayu bersertifikat. Sertifikasi hutan dianggap sebagai sebuah mekanisme yang bisa mewujudkan keadilan dalam usaha hutan rakyat, karena program ini mungkin bisa memberikan insentif yang lebih baik kepada pengusaha hutan yang bisa mengelola hutan secara lestari. Namun masih banyak kendalatantangan yang bisa menghambat proses sertifikasi hutan rakyat. Hinrich 2008 menyebutkan bahwa kendala tersebut secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu internal constraints, yang merupakan kendala dari dalam diri petani hutan dan pengelolaan hutan rakyat itu sendiri, dan external constraints, yang merupakan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan hutan rakyat dan petani hutan, namun mempunyai peran yang sangat besar dalam menentukan minat petani hutan untuk mengadopsi sertifikasi hutan.

2.1.3 Kelembagaan Hutan Rakyat

Istilah lembaga kemasyarakatan merupakan terjemahan dari social- institution yang menurut Soekanto 1981 menunjuk pada suatu bentuk dan sekaligus juga mengandung pengertian-pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri dari pada lembaga tersebut. Tetapi ada juga yang mempergunakan istilah pranata-sosial, dimana definisi tersebut menekankan pada sistim tata kelakuan atau norma-norma sebagaimana dinyatakan oleh Koentjaraningrat, bahwa “pranata sosial adalah suatu sistim tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.”Lembaga menunjuk pada bentuk struktur, sedangkan pranata sosial menunjuk pada norma2 atau aturan main. Istilah lain yang digunakan sebagai padanan dari social institution adalah kelembagaan sosial. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebuah lembaga merupakan aturan atau norma-norma yang berlaku dan menjadi ciri daripada lembaga tersebut. Kemudian apabila lembaga tersebut diwujudkan dalam hubungan antara manusia, melalui sebuah bentuk yang memiliki struktur dapat dinamakan organisasi. Sehingga pengertian disini menggambarkan bahwa lembaga dan organisasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hardjanto 2003 membagi kelembagaan usaha kayu rakyat menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat; 2. Kelembagaan Sosial; 3. Kelembagaan Ekonomi. Kelembagaan pengurusan hutan rakyat merupakan sebuah sistem pengelolaan hutan rakyat mulai dari pembibitan hingga panen. Sistem tersebut meliputi luas lahan yang digunakan, penggunaan sarana produksi tani saprotan, hingga produktivitas lahan. Kelembagaan sosial meliputi hubungan kerja antar aktor, tenurial pohon, serta jaringan sosial yang terbentuk dari proses hubungan kerja tersebut. Kelembagaan ekonomi meliputi perolehan modal dan pemasaran kayu rakyat. Hakim, 2009 menggambarkan bahwa produksi sengon rakyat di Wonosobo mengalami peningkatan terutama hingga tahun 2007 diiringi dengan peningkatan harga pada berbagai tingkat pelaku usaha sengon. Peningkatan permintaan kayu sengon diduga disebabkan oleh semakin berkurangnya pasokan kayu dari luar jawa, menurunnya produksi kayu dari kawasan hutan negara Perum Perhutani dan semakin meningkatnya pangsa pasar dan jumlah unit industri yang membutuhkan bahan baku kayu sengon untuk berbagai jenis produk seperti kayu bangunan, moulding, papan lamina dan kayu lapis. Hal tersebut menyebabkan kenaikan harga kayu sengon di setiap titik rantai tata niaga kayu sengon, dimana pelaku pemasaran kayu sengon terdiri atas petani, penebas, depo, supplier dan industri. Sebagai upaya untuk meningkatkan hasil yang optimum dalam pengelolaan hutan rakyat perlu adanya suatu persatuan antar petani Haeruman, et.al 1990, dalam Hardjanto, 2003. Suatu organisasi pengelolaan hutan rakyat dapat dibentuk agar pola kerja pengelolaan lebih baik dan teratur. Etzioni 1982 mendefinisikan organisasi sebagai unit sosial yang sengaja dibentuk dan dibentuk kembali dengan penuh pertimbanan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu. Organisasi pada umumnya ditandai oleh ciri-ciri 1 adanya pembagian dalam pekerjaan, kekuasaan dan tanggung jawab komunikasi yang sengaja direncanakan untuk dapat meningkatkan usaha mewujudkan tujuan tertentu; 2 ada satu atau beberapa pusat kekuasaan yang berfungsi mengawasi pengendalian usaha-usaha organisasi serta mengarahkan organisasi mencapai tujuannya; 3 penggantian tenaga. Sebuah lembaga merupakan aturan atau norma-norma yang berlaku dan menjadi ciri daripada lembaga tersebut. Kemudian apabila lembaga tersebut diwujudkan dalam hubungan antara manusia, melalui sebuah bentuk yang memiliki struktur dapat dinamakan organisasi. Sehingga pengertian disini menggambarkan bahwa lembaga dan organisasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Alternatif lembaga sebagai wadah bagi petani bisa berupa koperasi atau lembaga kelompok tani jenis lainnya. Prinsip organisasi koperasi adalah menghimpun manusia penduduk pedesaan yang mempunyai kesamaan kepentingan agar mereka dapat lebih meningkatkan kesejahteraannya Mubyarto, 1988. Hardjanto 2003 menggunakan definisi Brodjosaputro 1989 bahwa Koperasi Unit Desa adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial, terdiri dari kumpulan orang-orang dalam kesamaan dan kebersamaan kepentingan ekonomi serta bekerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Definisi tersebut menggambarkan bahwa koperasi Unit Desa dibentuk untuk memenuhi kebutuhan pokok anggotanya, dimana anggota koperasi tersebut adalah masyarakat. Dalam pengembangan usaha kayu rakyat, diperlukan adanya kelembagaan yang baik dengan kerjasama yang kuat antar petani. Hal ini bertujuan untuk menopang posisi tawar petani dalam menghadapi pasar. Selain itu dengan adanya kerjasama dan kelembagaan yang baik dalam usaha kayu rakyat ini, petani dapat melakukan pengembangan usaha diantaranya membuka industri kecil untuk pengolahan hasil kayu, dan pemasaran hasil tersebut tanpa perlu melalui tengkulak atau secara langsung kepada konsumen. Koperasi-koperasi tani digolongkan sebagai organisasi-organisasi yang beranggotakan warga masyarakat di tingkat terbawah. Mereka adalah para pengusaha sosial yang menyiapkan perbaikan kesejahteraan para anggota mereka. Koperasi-koperasi dikontrol oleh orang-orang yang memperoleh layanan darinya, dimana anggota-anggotanya merupakan pembuat keputusan penting. Walaupun koperasi memiliki ragam jenis dan jumlah anggota, tujuan pokoknya adalah membantu anggota-anggotanya memasuki pasar dan menjadi pemasok, untuk mencapai tingkat kecukupan ekonomi yang layak, dan memiliki daya cengkeram pasar dengan penawaran bersama, pemrosesan dan pembelian barang dan jasa. Walaupun sebagian besar usaha-usaha bisnis masyarakat yang legal di Indonesia berbentuk koperasi, perkembangan bentuk organisasinya acapkali dikritik karena lemahnya praktek-praktek pengurusan dan kejelasan tugas yang memungkinkan terjadinya kolusi dan korupsi. Dengan begitu, perlu ditelaah lebih jauh, bagaimana pengembangan kelembagaan hutan rakyat yang sudah ada di pulau Jawa untuk menjadi sebuah kelembagaan yang sesuai bagi usaha kayu rakyat. Semua hutan rakyat butuh pengembangan organisasi kemasyarakatan khusus agar memenuhi persyaratan kesukarelaan, disertifikasi oleh pihak ketiga. Sertifikasi diajukan sebagai pedoman standar, dan konsekuensinya, lembaga- lembaga baru perlu disusun agar sesuai dengan kebutuhan persyaratan sertifikasi. LSM-LSM yang memfasilitasi menerjemahkan organisasi-organisasi yang dipersyaratkan itu dengan mempromosikan kelompok-kelompok tani di desa dan dusun, dan pada tahap berikutnya, membentuk asosiasi yang memayunginya di tingkat kecamatan dan kabupaten. Kelembagaan hutan rakyat yang sudah ada di beberapa tempat di pulau Jawa, baik yang menggunakan sistem adat maupun koperasi atau kelompok tani, memerlukan sebuah pengembangan kelembagaan untuk mengoptimalisasi sistem usaha kayu rakyat. Kelembagaan yang sudah ada dapat diarahkan untuk menjadi sebuah kelembagaan hutan rakyat yang sesuai sebagai produsen kayu rakyat untuk komoditi ekspor, dengan juga tetap memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya hutan tersebut. Pengembangan kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang ada. Berbagai istilah akan muncul, namun demikian semuanya memiliki tujuan peningkatan efektifitas penggunaan sumberdaya suatu negara sehingga pembangunan yang dijalankan akan dapat berhasil. Dengan berbagai karakteristik hutan dan juga kelembagaannya, perlu adanya sebuah pengembangan kelembagaan tersebut. Kelembagaan hutan rakyat yang ideal untuk produksi kayu rakyat adalah sebuah lembaga yang dengan sengaja diarahkan untuk mengoptimalisasi potensi usaha kayu rakyat tersebut, dapat berupa koperasi atau gabungan dari kelompok-kelompok tani, yang setiap individunya telah dilakukan pengembangan kapasitas agar dapat menjaga kelestarian usaha demi tercapainya kesejahteraan setiap anggota tersebut. Kemudian lembaga yang telah dibentuk tersebut dapat melakukan sertifikasi hutan rakyat oleh pihak ketiga untuk meningkatkan daya jual kayu rakyat hasil produksi dari hutan mereka. Dengan demikian, kelembagaan hutan rakyat yang sesuai untuk produksi kayu rakyat merupakan penggabungan dari sistem kelembagaan yang modern dengan kebudayaan masyarakat yang sudah ada.

2.1.4 Sistem Penghidupan Petani

Dokumen yang terkait

Pengaruh Kredit Usaha Rakyat (KUR) terhadap Pendapatan Usaha Tani Kelapa Sawit di Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan

14 113 76

Peran Kredit Usaha Rakyat (KUR) Terhadap Pendapatan Petani Padi di Kecamatan Gebang Kabupaten Langkat

22 141 109

Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM)Masyarakat Desa Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)Mandiri (Studi kasus di Desa Jorlang Huluan Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun)

7 132 78

Beberapa Masalah Yang Dihadapi Petani Dalam Pengembangan Usaha Tani Melon di Kabupaten Deli Serdang ( Studi Kasus : Desa Lantasan Baru Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang)

0 41 110

Konservasi Penyu Sebagai Usaha Untuk Pengembangan Kepariwisataan Di Pulu Bangkaru Kabupaten Aceh Singkil

10 102 54

Sistim Pemasaran Karet Rakyat Studi Kasus Pada Perkebunan Karet Rakyat di KEcamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

0 6 111

Posisi Pendapatan Kayu Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani (Studi Kasus di Kecamatan Ciawi, Caringin dan Cijeruk, Kabupaten Bogor)

0 8 77

Dinamika kelompok tani hutan dalam pengelolaan hutan rakyat: kasus pada kelompok tani hutan di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor

3 14 70

Strategi pengembangan usaha pepaya california (Studi kasus : Gapoktan Lembayung Desa Cikopomayak, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor)

0 38 148

Respon pelaku usaha hutan rakyat terhadap kebijakan surat keterangan asal usul kayu (Studi Kasus di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor)

0 10 140