Kelembagaan hutan rakyat yang sudah ada di beberapa tempat di pulau Jawa, baik yang menggunakan sistem adat maupun koperasi atau kelompok tani,
memerlukan sebuah pengembangan kelembagaan untuk mengoptimalisasi sistem usaha kayu rakyat. Kelembagaan yang sudah ada dapat diarahkan untuk menjadi
sebuah kelembagaan hutan rakyat yang sesuai sebagai produsen kayu rakyat untuk komoditi ekspor, dengan juga tetap memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya
hutan tersebut. Pengembangan kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki
kemampuan lembaga
dalam mengefektifkan
penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang ada. Berbagai istilah akan muncul,
namun demikian semuanya memiliki tujuan peningkatan efektifitas penggunaan sumberdaya suatu negara sehingga pembangunan yang dijalankan akan dapat
berhasil. Dengan berbagai karakteristik hutan dan juga kelembagaannya, perlu
adanya sebuah pengembangan kelembagaan tersebut. Kelembagaan hutan rakyat yang ideal untuk produksi kayu rakyat adalah sebuah lembaga yang dengan
sengaja diarahkan untuk mengoptimalisasi potensi usaha kayu rakyat tersebut, dapat berupa koperasi atau gabungan dari kelompok-kelompok tani, yang setiap
individunya telah dilakukan pengembangan kapasitas agar dapat menjaga kelestarian usaha demi tercapainya kesejahteraan setiap anggota tersebut.
Kemudian lembaga yang telah dibentuk tersebut dapat melakukan sertifikasi hutan rakyat oleh pihak ketiga untuk meningkatkan daya jual kayu rakyat hasil
produksi dari hutan mereka. Dengan demikian, kelembagaan hutan rakyat yang sesuai untuk produksi kayu rakyat merupakan penggabungan dari sistem
kelembagaan yang modern dengan kebudayaan masyarakat yang sudah ada.
2.1.4 Sistem Penghidupan Petani
Beragamnya mata pencaharian petani secara langsung akan berpengaruh kepada jumlah pendapatan petani. Attar 2000 menyatakan bahwa besarnya
pendapatan dari satu sumber oleh petani mempengaruhi rata-rata pendapatan dari sumber-sumber lainnya. Pendapatan petani dari hasil penjualan kayu gelondongan
atau pohon berdiri sangat bervariasi tergantung kebutuhan masing-masing petani. jika kebutuhan uang banyak dan mendesak maka petani akan menjual kayu dalam
jumlah yang banyak dan sebaliknya kalau kebutuhannya kecil dan tidak terlalu mendesak maka petani akan menjual dalam jumlah yang sedikit. Apabila
kebutuhan sehari-hari sudah terpenuhi maka petani tidak akan menjual kayu tanaman pokok. Penghitungan besarnya pendapatan dari hasil hutan rakyat dengan
cara mengkalikan banyaknya pohon yang dipanen dan dijual dengan harga setiap batangnya. Begitu juga pendapatan dari kayu bakar dihitung dengan mengkalikan
jumlah kayu bakar yang dijual dalam satuan tertentu seperti kubik atau pikul dengan harga setiap satuan tersebut. Selanjutnya, Attar 2000 menyebutkan
bahwa hasil dari hutan rakyat memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap pendapatan rumahtangga petani. besarnya kontribusi tersebut berbeda-beda
berdasarkan pemilikan lahan hutan rakyat. Sistem nafkah yang dibangun sangat dipengaruhi oleh etika moral petani
baik dari level individu, keluarga, hingga komunitas. Etika moral akan mendorong petani untuk berpijak pada basis sosial-kolektif ataukah individual-materialism
dalam membentuk strategi nafkahnya Widiyanto et.al , 2010. Etika sosial- kolektif akan membentuk sistem nafkah yang berorientasi kepada terbentuknya
jaminan sosial komunitas. Sementara etika individual-materialism akan bermuara pada tindakan ekonomi yang berbasis rasional-instrumental orientasi pada tujuan
memaksimalkan keuntungan. Suharjito 2002, menjelaskan bahwa pengaturan alokasi tenaga kerja
keluargarumahtangga dimaksudkan untuk dapat akses pada beragam matapencaharian. Akses pada beragam matapencaharian dicapai dengan cara
membangun hubungan sosial social relations dan jaringan sosial social networks. Beragam matapencaharian dilakukan dengan cara seorang anggota
keluarga melakukan lebih dari satu pekerjaan maupun setiap anggota keluarga melakukan pekerjaan yang berbeda-beda.
Wilk 1984 dalam Suharjito 2002, menyebut tipe pekerjaan yang dapat dilakukan oleh perorangan menurut urutan tertentu sebagai linear scheduling,
sedangkan pekerjaan yang membutuhkan sejumlah pekerja untuk berkoordinasi pada waktu yang sama disebut simultaneous scheduling. Tipe pekerjaan
simultaneous scheduling dibedakan menjadi dua, yaitu 1 semua pekerja melakukan pekerjaan yang sama pada waktu yang sama disebut simple
simultaneity, dan 2 semua pekerja melakukan pekerjaan yang berbeda pada waktu yang sama disebut complex simultaneity. Kebutuhan tenaga kerja untuk
pekerjaan produktif yang lebih simultan dan sistem produksi yang beranekaragam berbagai pekerjaan harus dilaksanakan pada waktu yang sama cenderung
membentuk rumahtangga dengan jumlah anggota yang lebih banyak. Dalam kegiatan pertanian, mengacu pada tipe pekerjaan dari Wilk 1984,
sebagian pekerjaan tipenya linear scheduling, misalnya menebas semak belukar, membakar, dan mengolah tanah; sebagian lain tipenya simple simultaneity,
misalnya menanam, menyiangi dan memanen. Pekerjaan yang tipenya simple simultaneity dapat juga dilakukan satu orang linear scheduling apabila lahannya
tidak luas dan waktunya cukup. Ketergantungan pada musim waktu dalam kegiatan pertanian menuntut penyelesaian pekerjaan tersebut dalam waktu
tertentu, sehingga membutuhkan lebih dari satu orang tenaga kerja untuk bekerja bersama-sama simple simultaneity.
Pada rumahtangga petani berlahan sempit 0,25 ha, rumahtangga merupakan sumber tenaga kerja yang utama, jarang menggunakan tenaga kerja
dari luar rumahtangga dalam usaha taninya. Pekerjaan usahatani dilakukan dengan tipe linear scheduling. Selanjutnya, Suharjito 2002 menyebutkan bahwa
rumahtangga petani berlahan luas 1,0 ha umumnya menggunakan tenaga kerja dari rumahtangga lain, disamping tenaga kerja dalam rumahtangga, dan
menerapkan tipe simple simultaneity. Bentuk penggunaan lahan sawah, tegalan, atau kebun-talun juga
menentukan pilihan sumber tenaga kerja dalam atau luar rumahtangga. Dalam pengusahaan lahan tegalan, suatu rumahtangga cenderung hanya menggunakan
tenaga dalam rumahtangga. Hal itu berkaitan dengan perbandingan penghasilan dan biaya pada usahatani tegalan yang relatif rendah. Hal ini juga cenderung
terjadi pada usaha kebun-talun. Apabila usahatani hanya merupakan satu-satunya matapencaharian rumahtangga dan tenaga kerja hanya dari dalam rumahtangga,
maka secara hipotetis semakin luas lahan pertanian yang diusahakan semakin banyak jumlah anggota rumahtangga Netting, 1993 dalam Suharjito 2002.
2.2 Kerangka Pemikiran