5 PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Terumbu Karang.
Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, secara umum jenis terumbu karang yang banyak dijumpai di daerah penelitian adalah jenis karang
massive dan sub massive dan serta karang lunak soft coral. Beberapa jenis terumbu karang yang ditemui diantaranya adalah : Porites, Montipora, Helio
fungia, pachyseries, Plerogyra sp. Pectinia sp. Dan Galaxea sp. Data dari penelitian LIPI 2004 di Kelurahan Pulau Abang ditemukan 163 jenis karang
batu yang terdiri dari 17 family yaitu Pocilloporidae, Acroporidae, Poritidae, Siderastreidae, Agariciidae, Fungidae, Oculinidae, Pectinidae Mussidae,
Merulinidae, Faviidae, Caryophilliidae, Tubiporidae, Hellioporidae, Milleporidae, Euphillidae, dan Dendrophylliidae.
Hasil pengamatan di lokasi penelitian secara keseluruhan rata-rata penutupan karang hidup untuk jenis hard coral sebesar 67.03 . Tutupan karang
di Kelurahan Pulau Abang termasuk dalam kategori baik menurut Gomez dan Yap 1988 karena letak Pulau Abang cukup jauh dari mainland Kota Batam yang
mengalami pembanguna darat secara besar - besaran. Menurut Supriharyono 2006 bahwa aktivitas pembangunan di wilayah pesisir dapat mengganggu
ekosistem terumbu karang. Salah satu ancaman terbesar bagi terumbu karang
adalah peningkatan populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan pembangunan fisik. Sejalan dengan pembanguna fisik yang mengubah bentangan
alam, jumlah aliran permukaan air tawar terus meningkat dan membawa sedimen dalam jumlah besar, nutrien dalam kadar yang tinggi yang berasal dari pertanian
atau sistem pembuangan, selain juga bahan pencemar lain seperti produk bahan bakar minya dan insktisida. Akibatnya sedimentasi ini dapat menutup terumbu
karang atau menyebabkan peningkatan kekeruhan karena penyuburan eutrofikasi yang dapat menurunkan jumlah cahaya yang mencapai karang serta dapat
menyebabkan pemutihan Brown dan Odgen, 1993; Meesters et al. 1998. Selain itu wilayah Kelurahan Pulau Abang tidak terdapat sungai dengan demikian
kemungkinan terjadinya erosi sedimen dari darat sangat kecil sehingga tidak membawa dampak terhadap kerusakan karang. Masyarakat Kelurahan Pulau
62
Abang tidak melakukan kegiatan penangkapan dengan menggunakan bahan peledak maupun racun destructive fishing yang mempunyai andil besar dalam
kerusakan ekosistem terumbu karang. Menurut Sukarno 1981 Kerusakan terumbu karang akibat penggunaan bom dan pukat harimau membuat hasil
tangkapan ikan karang di perairan Bangka Selatan turun sampai di atas 50 persen. Pada lokasi penelitian secara keseluruhan rata-rata penutupan karang hidup
untuk jenis hard coral sebesar 67,03 tabel 10. Hasil penelitian LIPI pada tahun 2008 di perairan Kelurahan Pulau Abang pada stasiun pengamatan yang
berbeda menunjukkan nilai prosentase tutupan karang hidup berkisar antara 39,10 - 84,90 dari 12 lokasi transek LIPI 2008. Dengan demikian besarnya
tutupan karang pada saat pengamatan dapat diterima mengingat hasil yang diperoleh termasuk dalam kisaran pengamatan LIPI 2008 walaupun sebenarnya
jumlah titik pengamatan dan koordinat stasiun yang berbeda. Namun demikian tidak menutup kemungkinan adanya indikasi bahwa telah terjadi kerusakan
terumbu karang di Kelurahan Pulau Abang dari tahun ke tahun akibat aktivitas manusia. Hal tersebut didukung dengan hasil pengamatan di lapangan bahwa
kondisi terumbu karang yang mengalami kerusakan dalam keadaan patah hingga hancur lampiran 1-6. English et al 1994 mengemukakan bahwa terumbu
karang merupakan ekosistem yang kurang stabil sehingga sangat sensitive terhadap kerusakan baik itu secara fisik, kimia maupun biologi. Secara fisik dapat
terjadi karena aktifitas penangkapan ikan, wisata, penambangan batu karang, sedimentasi daratan dan badai cyclone. Secara kimia dapat terjadi karena polutan
yang masuk ke perairan dari kegiatan industry kimia, sampah, serta efek dari penangkapan ikan dengan menggunkan racun. Secara biologi oleh pemangsaan
predator karang bintang seribu Acanthaster plancii maupun ikan karang jenis kakatua Scaras gibbas dimana dapat mengakibatkan erosi alami terhadap
struktur karang Choat Bellwood 1994. Berdasarkan tabel 10 keadaan karang secara keseluruhan menunjukkan hasil
bahwa di stasiun V dan VI fishing ground pancing kondisi tutupan karangnya sangat bagus rata –rata 82 . Prosentase tutupan karang di stasiun III dan IV
fishing ground bubu kondisinya bagus rata – rata 66 sedangkan di lokasi I
63
dan II kondisinya juga bagus walaupun ada sedikit kurang dari lokasi III dan IV yaitu rata – rata 61.
Stasiun V dan VI yang merupakan fishing ground pancing, sehingga kondisinya tidak begitu terpengaruh oleh aktifitas penangkapan ikan. Pada
dasarnya aktifitas yang memberi dampak langsung hanya jangkar, berbeda jika dibandingkan dengan alat bubu atau kelong. Jangkar yang digunakan nelayan
Kelurahan Pulau Abang hanya bermata satu seperti besi dibengkokkan sehingga pengaruh kerusakan yang ditimbulkan tidak begitu besar. Dari hasil pengamatan
pada waktu penelitian dampak yang ditimbulkan oleh jangkar adalah patahan– patahan pada terumbu karang massive tempat jangkar tersangkut. Rasdani 2005
menyatakan bahwa alat tangkap ikan yang ramah lingkungan adalah alat tangkap ikan yang selektif dan tidak merusak lingkungan perairan serta habitat
sumberdaya ikan itu sendiri. Pada stasiun III dan IV fishing ground bubu kondisi tutupan karang
berkurang jika dibandingkan dengan stasiun V dan VI fishing ground pancing hal ini dikarenakan pengoperasian bubu lebih merusak terumbu karang. Peletakan
bubu yang terbuat dari besi dan sisinya diberi pemberat kayu akan merusak karang secara langsung. Dalam pengamatan di lapangan nelayan meletakkan bubu
di atas terumbu karang, otomatis terumbu karang tersebut menjadi patah pada saat penarikan bubu. Beberapa nelayan meletakkan bubu dengan memberi pemberat
dengan bongkahan karang agar posisi bubu tetap stabil bila terkena arus maupun ombak. Mereka mengambil terumbu karang hidup di sekitar bubu yang akan di
pasang. Aktifitas seperti inilah yang memberi dampak terhadap terumbu karang. Menurut Susanti 2005 bahwa operasi penangkapan ikan dengan bubu
menyebabkan kerusakan fisik terumbu karang karena penimbunan bubu dengan karang dan penginjakan kaki nelayan.
Pada stasiun I dan II fishing ground kelong kondisi prosentase penutupan karangnya dalam keadaan paling jelek dibandingkan kedua fishing ground
lainnya. Pengoperasian alat penangkap ikan kelong pantai yang menggunakan tiang–tiang pancang untuk memasang jaring maupun peletakan perangkap diatas
hamparan terumbu karang memberikan dampak kerusakan terhadap penutupan karang. Tiang–tiang pancang yang jumlahnya antara 200 – 300 batang menancap
64
diatas hamparan terumbu karang, otomatis kerusakan yang tidak sedikit dialami oleh terumbu karang. Hasil pengamatan di lapangan, pada tempat – tempat tiang
pancang yang tepat diatas terumbu menyebabkan kerusakan terumbu yaitu terumbu yang berlubang dan akhirnya mati sehingga banyak ditumbuhi alga
tutupan alga di lokasi 7 di sekitarnya. Di tempat peletakan trap perangkap sejumlah terumbu karang tertutupi alat tersebut sehingga menyebabkan kematian
terumbu karang tepat di bawah perangkap. Menurut Burke L, Seliq E, Spalding M 2002 bahwa wilayah terumbu karang di Asia tenggara yang terancam oleh
kegiatan penangkapan yang merusak sebesar 56. Data tersebut diperoleh dari beberapa bukti yang akurat dan pendapat beberapa ahli terumbu karang. Mereka
juga menambahkan bahwa wilayah terumbu karang yang mengalami resiko dari penangkapan yang merusak diestimasikan sebesar 51.000 km² atau 51 dari totak
terumbu karang di seluruh wilayah Indonesia.
5.2 Keberadaan Ikan.