1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pada saat krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tahun 1997, salah satu sektor perekonomian yang masih dapat bertahan adalah Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah Indonesia UMKM. Hal ini menunjukkan bahwa UMKM memegang peranan penting dan strategis dalam mendorong perekonomian
Indonesia, terlihat dari kontribusinya pada penciptaan lapangan pekerjaan dan Produk Domestik Bruto PDB Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Peranan UMKM dalam Perekonomian Nasional Tahun 2010-2013
Indikator 2010
2011 2012
2013
Jumlah UMKM juta unit 54,11
55,20 56,53
57,89 Total UMKMTotal Usaha
99,99 99,99
99,99 99,99
Tenaga Kerja UMKM juta orang 98,23
101,72 107,65
114,14 Tenaga Kerja UMKMTotal
Tenaga Kerja 97,27
97,24 97,16
96,99 PDB UMKM Rp. Milyar
1.282,5 1.369,3
1.451,4 1.536,9
PDB UMKM Total PDB 57,83
57,60 57,48
57,56 Ekspor UMKM Rp. Milyar
175,89 187,44
166,62 182,11
Ekspor UMKMTotal Ekspor 15,81
16,44 14,06
15,68
Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM diolah total ekspor non migas
Data terakhir hingga tahun 2013 dari kementerian koperasi dan UKM menunjukkan jumlah unit usaha sektor UMKM mencapai 57,89 jutaan unit dan
mempekerjakan 114,14 juta pekerja atau 96,99 dari total penyerapan tenaga kerja yang ada. Jumlah UMKM yang berkontribusi terhadap PDB juga
mendominasi, yaitu sebesar Rp1.536,9 triliun atau 57,56 dari total PDB
2 Indonesia, namun UMKM hanya memberikan sumbangan devisa ekspor
hanya sebesar Rp182,11 milyar atau 15,68 dari keseluruhan total ekspor non migas di Indonesia. Data tersebut dapat diartikan bahwa UMKM tidak banyak
mengalami perubahan yang berarti selama bertahun-tahun. Semestinya UMKM segera meningkat menjadi usaha besar sehingga diharapkan dapat
mempercepat pertumbuhan PDB, penyerapan tenaga kerja dan sumbangan devisa lebih besar lagi.
Ada beberapa penyebab kelambanan UMKM meningkat menjadi usaha besar. Menurut Urata dalam Adiningsih 2009 diantaranya karena
UMKM seringkali tidak dapat lepas dari masalah finansial. Masalah finansial adalah kekurangsesuaian mismatch antara dana yang tersedia dan yang bisa
diakses. Salah satu cara untuk mengembangkan dan memperkuat peran UMKM dalam struktur perekonomian nasional adalah melalui peningkatan
akses kreditpembiayaan terhadap UMKM. Melalui risetnya, Morduch 1999 dan Robinson 2001 mengemukakan bahwa supply UMKM memegang
peranan yang penting dalam memerangi kemiskinan dan mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi pada negara berkembang.
Bank Perkreditan Rakyat BPR memiliki peranan yang penting dalam mendukung UMKM. Marsuki 2006 menyatakan bahwa sebagai lembaga
keuangan, BPR berfungsi untuk menyediakan berbagai bentuk jasa keuangan, baik untuk kegiatan produktif yang dilakukan oleh berbagai kegiatan usaha
mikro-kecil, maupun untuk kegiatan konsumtif bagi keluarga masyarakat miskin. Sejalan dengan pesatnya perkembangan BPR, Bank Pembiayaan
3 Rakyat Syariah BPRS yang merupakan BPR yang beroperasi berdasarkan
prinsip syariah menunjukkan perannya sebagai lembaga keuangan syariah yang turut mendukung kegiatan UMKM di Indonesia Tabel 1.2.
Tabel 2.2 Pembiayaan BPRS berdasarkan Golongan Pembiayaan Golongan Pembiayaan
2013 2014
2015
UMKM 2.620.263
3.005.858 3.303.629
Porsi UMKMTotal Pembiayaan
59,10 60
59,4 Selain UMKM
1.813.230 1.999.051
2.258.069 Porsi selain UMKMTotal
Pembiayaan 40,90
39,94 40,6
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2015 Catatan: data sampai Juni 2015
Dari tabel di atas terlihat bahwa selama periode 2013-2015 telah terjadi kenaikan jumlah pembiayaan yang diberikan oleh BPRS terhadap sektor
UMKM. Dari sisi porsi pembiayaan, UMKM mendapatkan pembiayaan yang lebih besar dibandingkan pembiayaan untuk selain UMKM, hal ini
menunjukkan bahwa BPRS memiliki peran serta dalam mendorong usaha ini. Sejak Desember 2012, melalui Peraturan Bank Indonesia PBI
No.1422PBI2012 bank umum nasional dan asing harus mengembangkan UMKM, dengan wajib menyalurkan kredit mikro untuk UMKM yaitu dengan
pangsa sebesar minimal 20 secara bertahap yang diikuti dengan penerapan insentifdisinsentif. PBI ini menjadi salah satu bentuk dukungan konkret BI
dalam mendorong percepatan dan pengembangan keuangan inklusif terhadap program pemerintah yang berorientasi pada pro growth, pro poor dan pro job.
Di sisi lain, BPRS menghadapi tantangan ketika bank umum menggarap kredit mikro. Mengingat tingginya persaingan perbankan Indonesia
4 di ranah mikro, maka BPRS harus mencapai tingkat profit yang maksimal
namun tetap harus mementingkan minimalisasi biaya. Menurut Syafaat 2014 jika BPRS menambah profit dengan cara meningkatkan margin, maka BPRS
kurang dapat bersaing dengan lembaga keuangan mikro LKM dan bank umum lain yang tidak mengambil keuntungan dengan cara menaikkan margin.
Untuk itu, diperlukan BPRS yang sehat, kuat, dan terpercaya dengan meningkatkan kinerja efisiensi perusahaan.
Salah satu metode yang sering digunakan dalam menganalisis efisiensi bank adalah menggunakan metode non parametrik yang bernama Data
Envelopment Analysis DEA. Hadad dkk 2003 menyatakan bahwa penelitian mengenai efisiensi perbankan dengan menggunakan pendekatan DEA dapat
memperoleh hasil yang lebih akurat dibandingkan dengan menggunakan analisis rasio keuangan. Rahmat Hidayat 2011 mengukur efisiensi 3 BUS
dan UUS di Indonesia menggunakan variabel input yaitu biaya tenaga kerja, aset tetap dan dana pihak ketiga, serta variabel output yaitu pembiayaan dan
investasi. Begitu pula penelitian yang dilakukan Ong 2011, Abdul Rahim 2013 dan Israr dan Idrees 2015 yang menggunakan variabel input dan
output yang sama. Dalam perkembangannya, selain menganalisis efisiensi perbankan,
penelitian-penelitian selanjutnya mengarah pada analisis mengenai faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi efisiensi perbankan. Penelitian tentang
efisiensi perbankan syariah masih sangat terbatas dan relatif masih baru, berbeda dengan studi efisiensi bank konvensional yang telah menghasilkan
5 banyak paper yang dipublikasikan di berbagai jurnal internasional dan
nasional. Disamping itu, kebanyakan studi efisiensi hanya fokus pada pengukuran kinerja efisiensi, sementara penelitian yang melakukan analisis
terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi masih jarang terutama untuk bank syariah.
Beberapa penelitian mengenai faktor-faktor yang memperngaruhi tingkat efisiensi telah dilakukan di berbagai negara. Sufian 2007, Khalad
2014, Israr 2015, Gunez dan Yilmaz 2016 menggunakan prosedur two- stage Data Envelopment Analysis DEA. Pada prosedur ini akan dilakukan
dua tahap penelitian first stage dan second stage. Pada first stage, akan dilakukan pengukuran mengenai tingkat efisiensi menggunakan DEA.
Sedangkan pada second stage akan dilakukan analisis untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi suatu bank menggunakan
regresi tobit. Pada penelitiannya, Sufian menganalisis sector perbankan Malaysia
pada saat krisis keuangan Asia tahun 1977 menggunakan DEA. Analisis lebih lanjut menghubungkan hasil efisiensi DEA dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, dihitung dengan variabel karakteristik bank yaitu market share bank, manajemen operasional bank, kemampuan diversivikasi dan
likuiditas bank. Hasilnya variabel karakteristik bank berpengaruh signifikan terhadap efisiensi perbankan di Malaysia. Selanjutnya penelitian lain oleh
Khalad mengenai kinerja efisiensi 17 bank di Libya selama 2004-2010. Hasil penentu efisiensi menunjukkan hubungan positif antara efisiensi perbankan dan
6 ROA; ukuran operasi; kecukupan modal; dan bank pemerintah terkait
kepemilikan pemerintah. Penelitian terbaru mengenai two-stage DEA oleh Gunez dan Yilmaz mengenai kinerja efisiensi bank di Turki tahun 2007-2014
dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi bank, bahwa intensitas pinjaman, market share bank dan profitabilitas bank mempunyai
pengaruh positif, sementara factor ukuran bank, resiko, manajemen operasional bank mempunyai pengaruh negatif terhadap efisiensi bank.
Selain itu, terlepas dari perkembangan penelitian dalam mengukur efisiensi bank melalui two stage DEA, Bank Indonesia mengeluarkan metode
penelitian tingkat kesehatan BPRS dengan menggunakan 5 limas aspek yang disebut CAMEL. Adapun dalam metode ini penilaian dilakukan dengan
memperhatikan aspek Capital, Asset Quality, Management, Earning dan Liquidity. Hal ini sesuai dengan peraturan PBI No.917PBI2007 tentang
sistem penilaian tingkat kesehatan bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah. Penelitian CAMEL ini dimaksudkan untuk mengukur apakah
manajemen BPRS telah melaksanakan sistem perbankan dengan asas-asas yang sehat. Dalam metode ini digunakan rasio keuangan tertentu dalam mengukur
kinerja keuangan serta dapat digunakan untuk memprediksi kelangsungan usaha baik yang sehat maupun yang tidak sehat.
Dengan fungsinya dalam mengukur kinerja suatu bank, pada dasarnya metode CAMEL mempunyai sifat yang sama dengan metode DEA. Namun
terdapat perbedaan yang mendasar dalam penerapan diantara kedua metode tersebut, yaitu metode CAMEL adalah metode yang secara resmi telah
7 ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai alat dalam mengukur kinerja bank,
sedangkan metode DEA dalam perjalanannya hanya digunakan delam penelitian-penelitian yang dilakukan di lingkungan akademis. Dengan sifatnya
sebagai metode untuk mengukur tingkat efisiensi yang merupakan gambaran dari kemampuan suatu bank dalam mengoptimalkan sumber daya yang
dimiliki, maka pengukuran tingkat efisiensi suatu bank juga merupakan suatu cara dalam mengevaluasi kinerja bank. Hal tersebut dikarenakan jika suatu
BPRS telah beroperasi secara efisien, maka dapat dikatakan bahwa BPRS tersebut akan dapat terus meningkatkan kinerjanya dan bertahan dalam
ketatnya persaingan industri perbankan khususnya pada industri pasar mikro. Selain itu, bila BPRS telah beroperasi secara efisien tentunya akan lebih
meningkatkan kepercayaan
masyarakat dan
secara otomatis
akan meningkatkan eksistensi BPRS tersebut.
Namun dengan pentingnya penelitian tingkat efisiensi BPRS, justru dalam metode CAMEL unsur penilaian efisiensi hanya menjadi salah satu
bagian dari aspek earning yang diwakili oleh rasio BOPO dengan bobot yang hanya 10. Rasio BOPO digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi suatu
bank dengan membandingkan Beban Operasional dengan Pendapatan Operasional. Namun dengan melihat suatu industri perbankan sebagai lembaga
intermediasi yang menggunakan banyak input dan output, maka pengukuran tingkat efisiensi menggunakan rasio BOPO dianggap tidak menggambarkan
tingkat efisiensi suatu bank, dikarenakan perhitungan tingkat efisien menggunakan rasio BOPO merupakan partial efficiency. Sedangkan efisiensi
8 pada metode DEA yang disebut dengan pendekatan frontier, akan dihasilkan
output yang maksimal dengan menggunakan kombinasi input dan output. Menurut Firdaus 2013 DEA dianggap sebagai metode yang menggambarkan
bisnis perbankan secara ideal. Penelitian ini akan memfokuskan pada tingkat efisiensi BPRS di
Indonesia dengan menggunakan metode DEA, kemudian menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhinya menggunakan regresi tobit. Pemilihan metode
ini diharapkan dapat memberikan gambaran dalam mengidentifikasi penyebab ketidakefisienan BPRS. Serta penulis akan menghubungkan tingkat efisiensi
DEA dengan tingkat rasio efisiensi bank BOPO di BPRS. Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik menganalisis lebih dalam
lagi permasalahan ini ke dalam skripsi yang berjudul:
“Analisis Efisiensi Bank Perkreditan Rakyat Syariah di Indonesia dengan Metode
Two-Stage Data Envelopment Analysis Tahun 2013-2015
” B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, maka perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana tingkat efisiensi Bank Perkreditan Rakyat Syariah BPRS di Indonesia?
b. Bagaimana pengaruh market share, manajemen operasional, kemampuan diversivikasi dan likuiditas terhadap efisiensi BPRS?
c. Apakah metode pengukuran efisiensi DEA lebih baik dari rasio efisiensi bank BOPO?
9
C. Tujuan Penelitian