Pengertian Perkawina Beda Agama

semua pihak. Namun sungguhpun demikian, betapapun sulit dan apapun alasannya, kita tetap penting mengenali definisi nikah atau perkawinan ini sebagai pijakan bagi pembahasan selanjutnya. Lagi pula perbedaan yang ada pada masing-masing definisi perkawinan itu pada umumnya bahkan secara keseluruhannya tidak dalam bentuk yang konfontatif melainkan perbedaan dalam hal-hal yang bersifat keberagaman. 6 Atas dasar ini maka berbagai perbedaan yang ada seputar masalah perkawinan bukan suatu hal yang mustahil manakala di masa-masa mandatang justru akan memberikan sumbangsih positif bagi masing-masing negara Islamnegara berpenduduk muslim untuk saling mengadopsi hukum perkawinan yang lebih baik dan lebih adil. Penganutan paham secara ketat dan kaku kepada mazhab tertentu taklid buta yang pernah melanda dunia Islam dalam masa yang sangat panjang, dewasa ini mulai beralih sedikit demi sedikit menuju ke arah talfik mazhab yang kooperatif. Setidak-tidaknya dalam bidang-bidang hukum tertentu. 7 Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan. Oang yang berkeinginan melakukan perkawinan, tetapi belum mempunyai persiapan bekal fisik dan non- fisik dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw untuk berpuasa. Orang berpuasa akan 6 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.44 7 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.45 memiliki kekuatan atau penghalang dari berbuat tercela yang sangat keji, yaitu perzinaan. 8 Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan Membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha e sa“. Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bukan hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, sehingga oleh karenanya sah atau tidaknya suatu perkawinan digantungkan sepenuhnya pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh rakyat Indonesia. 9 2. Perkawinan Beda Agama Perkawinan lintas agama sangat lumrah terjadi, praktek ini bahkan telah terjadi sejak zaman dahulu, karena kebutuhan akan adanya interaksi dan komunikasi antar manusia yang bahkan berbeda agama sekalipun inilah yang memungkinkan hal itu terjadi. Dalam konteks Islam jika menelaah sejumlah ayat al- Qur’an, maka dapatlah disimpulkan bahwa dilihat dari sudut pandang agama dalam konteks Islam, ada lima 5 macam perkawinan sepanjang sejarah umat manusia, yaitu: a. Pekawinan antara laki-laki mukmin dengan perempuan kafirah non- muslim, diantara contohnya ialah perkawinan nabi Nuh dengan istrinya 8 Zainudin Ali, Hukum Pedata Islam di Indonesia cet-3, Jakarta: Sinar Grafika, 2009 h.7 9 Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum Perkawinan, Bandung: Alumni, 1978, h. 9. dan terutama antara nabi Luth dengan istrinya. Nabi Nuh dan nabi Luth keduanya adalah muslimin-mukminan yang amat sangat taat dan saleh; sementara masing-masing istrinya, baik istri nabi Nuh maupun istri nabi Luth, keduanya tergolong ke dalam deretan orang-orang kafir, fasik dan munafik. b. Perkawinan antara perempuan muslimah-mukminah dengan laki-laki kafir non-muslim, di antara contohnya ialah kasus Siti Aisyah yanhg dikawini Firaun yang bukan saja kafir musyrik melainkan juga pernah menobatkan dirinya sebagai tuhan, bahkan klaim tuhan tertinggi. Perkawinan Aisyah dan Firaun dipastikan bukan perkawinan yang dilakukan atas kamauan Aisyah, melainkan atas keterpaksaan dan dipaksanya Aisyah untuk dijadikan istri Firaun semata-mata demi menyelamatkan keluarga terutama orangtuanya dari siksaan Firaun sekiranya Aisyah tidak mau menolak untuk dijadikan istri Firaun. c. Perkawinan antara pria kafir non-muslim dengan perempuan kafirah non-muslim seperti halnya perkawinan antara Abu LahabAbu Jahal dengan istrinya Ummu Jamil; dan perkawinan umumnya para laki-laki kafir dengan perempuan kafir lain tentunya dipastikan sangat banyak jumlahnya, serta dianggap sangat lumrah perkawinan sesama kafir seperti itu, dan masih akan terus berlangsung hingga sekarang dan mendatang. d. Perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan muslimah, inilah perkawinan yang paling ideal dan paling banyak tejadi dikalangan sesama “ummatan muslimatan” atau umat islam, mulai dari kebanyakan para nabi, para wali, oang-orang yang benar ash-shiddiqin dan para pahlawan al- syuhada dan orang-orang saleh, sebagaimana juga terjadi pada kebanyakan pasangan perkawinan yang dilakukan oleh pemeluk-pemeluk agama Islam muslim-muslimah. Umumnya masyarakat banyak membuktikan bahwa kesamaan agama dalam suatu perkawinan pada dasarnya dan dalam kenyataannya bukanlah menajdi dominasi apalagi monopoli kaum muslim-muslimah; melainkan juga sudah menjadi tradisi yang umum berlaku dihampir semua perkawinan masyarakat agama- agama lain yang mementingkan perkawinan dalam satu atap agama. Inilah pula jenis perkawinan yang keberlangsungan rumah tangganya tidak menjadidijadikan buah bibir. e. Perkawinan beda agama antara laki-laki muslim dengan perempuan non- muslimah sebagaimana dilakukan oleh beberapa orang sahabat besar nabi Muhammad saw, diantaranya Hudzaifah bin al-Yaman yang menikahi wania Yahudiah dari suku al- Mada’in, Utsman bin Affan yang menikahi Nashraniyah Na’ilah binti al-Farafishah al-Kalbiyyah yang kemudian masuk Islam ditangan Utsman, Yasir Arafat dengan Suha dan lain-lain; terutama Perkawinan antara Muslimah dengan laki-laki non-muslim yang perdebatan hukumnya sampai sekarang ini masih tetap bergulir atau digulirkan di tengah-tengah masyarakat. 10

B. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

Rukun, yaitu sesuatu ysng mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan ibadah, dan itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk dan takbiratul ihram unuk shalat atau adanya calon pengantin laki-lakiperempuan dalam perkawinan. Sementara syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan ibadah, tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat atau menurut Islam calon pengantin laki-laki itu harus beragama Islam. 11 Diskursus tentang rukun merupakan masalah yang serius diantara kalangan fuqaha. Sebagai konsekuensinya terjadi silang pendapat berkenaan dengan apa yang termasuk rukun dan mana yang tidak. Bahkan perbedaan itu juga terjadi dalam menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang syarat. Bisa jadi sebagian ulama menyebutnya sebagai rukun dan ulama lainnya menyebutnya sebagai syarat. 12 1. Rukun Perkawinan Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas : 13 10 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 97-100. 11 M.A. Tihami, Fikih Munakahat ,Jakarta: Rajawali press, 2009 h.12 12 Amiur Nuraddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia cet-3, Jakarta: Kencana, h.60. 13 Lihat Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, Bandung, Pustaka setia, 1999 h. 64-68. Lihat juga Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat cet-3, Jakarta, Kencana 2008, h. 46-47 a. Adanya calon suami dan istri yang melakukan perkawinan. b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita. Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang menikahannya, c. Adanya dua orang saksi. Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tesebut d. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita dan dijawab oleh calon pengantin pria. Tentang jumlah rukun ini, para ulama berbeda pendapat : Imam Malik mengatakan bahwa rukun perkawinan itu ada lima macam, yaitu : a. Wali dari pihak perempuan b. Mahar c. Calon pengantin laki-laki d. Calon pengantin perempuan e. Sighat akad perkawinan. 14 Imam S yafi’i berkata bahwa rukun perkawinan itu ada lima macam, yaitu : a. Calon pengantin laki-laki b. Calon pengantin perempuan c. Wali d. Dua orang saksi e. Sighat akad nikah. 15 14 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat Cet-3, h. 47-48 Menurut ulama Hanafiyah, rukun perkawinan itu hanya ijab dan qabul saja yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki. Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun itu ada empat, yaitu : a. Sighat ijab dan qabul b. Calon pengantin laki-laki c. Calon pengantin perempuan d. Wali dari pihak calon pengantin permpuan. 16 Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu adalah empat, karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin permpuan digabung menjadi satu rukun seperti terlihat dibawah ini. Rukun perkawinan : a. Dua orang yang saling melakukakn akad perkawinan, yakni mempelai laki-laki dan mempelai permepuan. b. Adanya wali c. Adanya dua orang saksi d. Dilakukan dengan sighat tertentu. 17 Lalu dalam konteks wali secara spesifik para ulama berbeda pendapat dalam keharusan adanya wali yakni: 15 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h.72 16 Lihat Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1998, h. 36 17 Lihat Zakiah Daadjat, Ilmu Fiqh II, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, h.48