Pemikiran Cak Nur tentang Perkawinan Beda Agama

Dari pengklasifikasian ini maka setidaknya kafir jenis Ahli Kitab-lah yang memiliki konsekuensi hukum terhadap perkawinan beda agama secara langsung. Hal ini senada dengan firman Tuhan dalam surah al-Maidah ayat 5 yang membolehkan mengawini perempuan ahli kitab. Seperti halnya ulama terdahulu, Cak Nur berpendapat bahwa perkawinan beda agama antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab adalah boleh. Kemudian tentang surah al-Baqarah ayat 221 yang melarang menikah dengan seorang musyrik, maka menurut Cak Nur tidak benar jika kategori musyrik disandingkann dengan orang non-muslim. Hal demikian menurut Cak Nur tidaklah adil, karena menurutnya jika seorang muslim melakukan perbuatan syirik tidak secara langsung menjadikan pelakunya sebagai musyrik, namun sebaliknya apabila seorang itu dikatakan musyrik maka sudah jelas ia adalah pelaku syirik. Hal ini karena seorang muslim menurut Cak Nur bisa saja melakukan perbuatan syirik dan memang kenyataannya ada namun mereka tidak dapat disebut sebagai kaum musyrik. Sebab sebagai konsekuensi jika salah seorang suami-istri dari keluarga muslim sudah disebut musyrik maka perkawinan mereka batal dengan sendirinya dan wajib untuk cerai, namun dewasa ini kenyataannya tidak dapat diterima. 21 21 Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.158-159 Dari apa yang dikemukakan Cak Nur, maka dapat disimpulkan bahwa menurutnya perkawinan yang dilakukan oleh seorang muslim dengan non- muslim baik dari golongan ahli kitab maupun agama lainnya itu adalah diperbolehkan. Bahkan untuk perkawinan antar seorang perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim sekalipun, kesemuanya adalah diperbolehkan. Hal ini karena Cak Nur berpandangan bahwa tidak ada larangan yang sharih menganai perkawinan antara wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Yang ada justru bersumber dari hadits yang tidak begitu jelas kedudukannya, yakni sabda Rasul SAW, “kami menikahi wanita-wanita ahli kitab dan laki-laki ahli kitab tidak boleh menikahi wanita- wanita kami muslimah”. Khalifah Umar bin Khattab dalam sebuah pesannya, “seorang muslim menikahi wanita nasrani, akan tetapi wanita nasrani tidak boleh menikahi wanita muslimah”. Namun setelah diteliti, hadis yang disebutkan diatas dikomentari oleh Shudqi Jamil al- „Aththar sebagai hadis yang tidak shahih. Hadis tersebut tergolong hadis mawquf yaitu hadis yang sanadnya terputus hingga Jabir, sebagaimana dijelaskan al-Imam al- Syafi’i dalam kitabnya, al-Um. Sedangkan ungkapan Umar bin Khattab merupakan sebuah ungkapan kekhawatiran apabila wanita-wanita muslim dinikahi laki-laki non-muslim, maka mereka akan pindah agama. Dan umat Islam pada saat itu membutuhkan kuantitas dan sejumlah penganut yang setia. 22 22 Lihat Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami‟al-Bayan „an ta‟wil ay al-Qur‟an, dikomentari Shudqi Jamil al-Atthar Beirut: Dar al-Fikr, 2001 jilid II h.465 Jadi soal perkawinan laki-laki non-muslim dengan perempuan muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga perkawinan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa perempuan muslim boleh melakukan perkawinan dengan laki-laki non-muslim, atau perkawinan beda agama secara lebih luas diperbolehkan, apapun agama dan kepercayaannya itu. 23

5. Metode Istinbat Hukum Cak Nur

Adapun metode yang digunakan Cak Nur dalam menghukumi tentang perkawinan beda agama ialah dengan menggunakan metode tafsir. Cak Nur menafsirkan sebuah teks Al- Qur’an dengan mendasari pemikirannya secara kontekstual, sehingga penafsiran Cak Nur sedikit bernada liberal. Lalu diantara dasar hukum yang digunakan Cak Nur untuk menafsirkan dan menemukan hukum perkawinan beda agama adalah QS al-Baqarah ayat 221 dan al-Maidah ayat 5. Cak Nur menafsirkan surah al-Baqarah ayat 221 dengan penafsirannya yang agak liberal, yakni menafsirkan kata musyrik dalam ayat tersebut dan mengartikannya sebagai orang-orang musyrik bangsa Arab di zaman Rasul SAW yang tidak mempunyai kitab suci menyembah berhala. Lalu surah al-Maidah 23 Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.164 ayat 5 yang menjadi landasan hukum lainnya, Yang telah membolehkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab. Ayat ini merupakan ayat Madinah yang diturunkan setelah ayat melarang perkawinan dengan orang-orang musyrik, sehingga mereka beriman. Ayat ini dapat disebut “ayat revolusi”, karena secara eksplisit menjawab beberapa keraguan bagi masyrakat muslim pada saat itu, perihal perkawinan dengan non-muslim. 24 Sementara untuk pengaturan hukum perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim tidak ada yang melarang secara jelas maka Cak Nur berpandangan bahwa hal tersebut adalah masuk kepada wilayah ijtihadi, sehingga Cak Nur menghukuminya boleh. Hal ini merujuk pada semangat yang dibawa Al- Qur’an sendiri. Pertama, bahwa pluralitas agama merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan. Tuhan menyebut agama-agama samawi dan mereka membawa ajaran amal saleh sebagai oang yang akan bersama-Nya di surga nanti. 25 Bahkan Tuhan juga secara eksplisit menyebutkan agar perbedaan jenis kelamin dan suku sebagai tanda agar satu dengan yang lainnya saling mengenal. 26 Dan perkawinan antar beda agama dapat dijadikan salah satu raung, yang mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih dekat. Kedua, bahwa tujuan dari diberlangsungkannya perkawinan adalah untuk membangun tali kasih al-mawaddah dan tali sayang al-rahmah. Di tengah 24 Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.162 25 Q.S. al-Baqarah ayat 62 26 Q.S al-Hujurat ayat 13 rentannya hubungan antar agama saat ini, perkawinan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing- masing pemeluk agama. Bermula dari ikata tali kasih dan tali sayang, kita rajut kerukunan dan kedamaian. Ketiga, semangat yang dibawa Islam adalah pembebasan bukan belenggu. Dan tahapan-tahapan yang dilakukan oleh Al- Qur’an sejak larangan perkawinan dengan orang musyrik, lalu membuka jalan perkawinan dengan ahli kitab merupakan sebuah tahapan pembebasan secara evolutif. Dan pada saatnya kita harus melihat agama lain bukan sebagai kelas kedua, dan bukan pula ahl al- dzimmah dalam arti menekan mereka, melainkan sebagai warga negara yang setara. 27

B. Ali Mustafa Yaqub

1. Biografi Sosial

Ali Mustafa Yaqub selanjutnya akan dipanggil Ali saja, lahir pada tanggal 2 Maret tahun 1952 di desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Ali hidup dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dan berkecukupan, masa kecil Ali tiap hari sesudah belajar di Sekolah Rakyat SR di desa tempat kelahirannya. 28 Ayahnya bernama KH. Mustafa Yaqub, beliau 27 Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.164-165 28 Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2003, h. 143