Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
Menurut ulama Hanafiyah, rukun perkawinan itu hanya ijab dan qabul saja yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki.
Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun itu ada empat, yaitu : a.
Sighat ijab dan qabul b.
Calon pengantin laki-laki c.
Calon pengantin perempuan d.
Wali dari pihak calon pengantin permpuan.
16
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu adalah empat, karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin permpuan digabung menjadi satu rukun
seperti terlihat dibawah ini. Rukun perkawinan :
a. Dua orang yang saling melakukakn akad perkawinan, yakni mempelai
laki-laki dan mempelai permepuan. b.
Adanya wali c.
Adanya dua orang saksi d.
Dilakukan dengan sighat tertentu.
17
Lalu dalam konteks wali secara spesifik para ulama berbeda pendapat dalam keharusan adanya wali yakni:
15
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h.72
16
Lihat Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1998, h. 36
17
Lihat Zakiah Daadjat, Ilmu Fiqh II, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, h.48
a. Malik berpendapat bahwa perkawinan tidak sah kecuali dengan wali dan
itu merupakan syarat sah, dalam riwayat Asyhab darinya dan Syafi’i juga menyatakan demikian
b. Abu Hanifah, Zufar, Sya’bi dan Az-Zuhri mengatakan bahwa jika
seorang wanita melakukan akad perkawinan tanpa walinya, sedangkan calon suaminya setara dengannya, maka dibolehkan.
c. Sedangkan Daud membedakan antara gadis dan janda, dia berkata
“disyaratkan adanya wali pada gadis dan tidak disyaratkan adanya wali pada janda”
d. Berdasarkan riwayat Ibnu Al Qasim dari Malik tentang perwalian
terdapat pendapat keempat, yaitu bahwa disyaratkannya wali dalam nikah adalah sunah bukan wajib. Hali itu kaena diriwayatkan darinya, bahwa
dia berpendapat adanya hak warisan antara suami istri tanpa wali, dan boleh bagi seorang wanita yang tidak memiliki kemuliaan untuk
mewakilkan kepada seorang laki-laki dalam menikahkannya. Dia juga mensunahkan agar seorang janda mengajukan kepada walinya untuk
menikahkannya. Seolah-olah
menurutnya wali
itu termasuk
kesempurnaan bukan rukun. Berbeda dengan ungkapan ulama Bghdad yang termasuk pengikut Malik yaitu mereka mengatakan bahwa wali
termasuk rukun bukan syarat kesempurnaan
18
18
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid 2 Terjemah Bahasa Indonesia,Jakarta, Pustaka azam : 2007, h. 14-15
2. Syarat Sah Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar dasar bagi sahnya perkawinan.
19
Lalu syarat perkawinan juga merupakan syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syaat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul.
20
Syarat suami a.
Bukan mahram dari calon istri b.
Tidak terpaksa atas kemauan sendiri c.
Orangnya tertentu, jelas orangnya d.
Tidak sedang ihram. Syarat istri
a. Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak
sedang dalam iddah b.
Merdeka atas kamauan sendiri c.
Jelas orangnya d.
Tidak sedang dalam berihram Syarat wali
a. Laki-laki
b. Baligh
c. Waras akalnya
d. Tidak dipaksa
19
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat cet-3, h. 49
20
M.A. Tihami, Fikih Munakahat, h.13
e. Adil
f. Tidak sedang dalam ihram
Syarat saksi a.
Laki-laki b.
Baligh c.
Waras akalnya d.
Adil e.
Dapat mendengar dan melihat f.
Bebas tidak dipaksa g.
Tidak sedang dalam berihram h.
Memahami bahasa yang digunakan dalam ijab kabul. Syarat-syarat sighat : hendakanya dilakukan dengan bahasa yang dapat
dimengerti oleh orang yang melakukan akad, penerima akad, dan saksi, shigat hendakanya menggunakan ucapan yang menunjukkan waktu akad
dan saksi. Shigat hendaknya mempergunakan waktu lampau, atau salah seorang mempergunakan kalimat yang menunjukkan waktu lampau sedang
lainnya dengan menunjukkan waktu yang akan datang.
21
Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku disaat perkawinan itu dilaksanakan tidak menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan
itu tidak sah. Jadi dalam konteks Indonesia jika tidak mnegikuti aturan Undang-
21
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h.34-35
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berarti tidak sah menurut perundangan, kalau tidak menurut hukum agama berarti tidak sah menurut agama,
begitu pula kalau tidak menurut tata tertib hukum adat tidak sah menurut hukum adat. Sahnya suatu perkawinan telah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan sebagai berikut:
22
1 Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing
agamanya dan kepercayaannya; 2
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih lanjut pada penjelasannya disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Hal ini sesuai dengan
Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: 1
Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa; 2
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing
–masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.
23
Dari ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jelas terlihat bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menentukan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaannya masing-masing pemeluknya. Setelah perkawinan dilangsungkan
menurut tata cara masing-masing agama dan kepercayaannya, maka kedua mempelai
22
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h.35
23
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h.36
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat perkawinan.
24