Pemikiran Ali tentang Perkawinan Beda Agama

akan memerintahkan para sahabat untuk memperlakukan mereka seperti halnya ahli kitab. Menurut Imam al- Syafi’i w.204 H, istilah ahli kitab hanya menunjuk pada orang- orang Yahudi dan nasrani dari keturunan Bani Isra’il. Alasannya, Nabi Musa a.s dan Nabi Isa a.s hany diutus kepada Bani Israil dan bukan kepada bangsa-bangsa lain. Karenanya, dalam pandangan ini, bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasani, begitu pula orang-orang Kristen di Indonesia, tidak termasuk dalam kategori ahli kitab. Selain itu QS al-Maidah ayat 5 yang menjadi landasan diperbolehkannya melakukan perkawinan dengan perempuan ahli kitabmemakai redaksi min koblikum sebelum kamu. Dengan demikian, mereka yang menganut agama Yahudi dan Nasrani selain dari keturunan Bani Israil tidak dikategorikan ahli kitab. 42 Sehingga tentang perkawinan beda agama, meskipun ada perbedaan pendapat dalam mengkategorikan seorang ahli kitab baik Nasrani maupun Yahudi yang diperbolehkan melakukan perkawinan dengan seorang muslim, akan tetapi ulama telah sepakat akan keharaman perkawinan dengan selalin ahli kitab, baik antara seorang muslim dengan non-muslim perempuan maupun seorang perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim. Lalu tentang keharaman perkawinan trsebut telah jelas dikemukanan oleh Allah dalam firmannya pada surah al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10. 42 Lihat Ibn Jarir al-Thabari, Jami‟al-Bayan „an ta‟wil ay al-Qur‟an, h. 233

5. Metode Istinbat Hukum Ali Mustafa Yaqub

Kemudian mengenai metode penemuan atau penetapan hukum yang dilakukan oleh Ali adalah dengan menggunakan pendekatan normatif doktrinal, yakni dengan banyak mengutif dalil-dali yang ada, serta metode yang telah digunakan oleh para ulama sebelumnya dengan senantiasa menghindari pada kemudharatan. Lalu mengenai penemuan hukum pekawinan kaum muslim dengan non-muslim ahli kitab, tedapat dua kategori. Pertama, perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab, dan kedua perkawinan antara laki-laki ahli kitab dengan perempuan muslimah. Kedua kategori ini memiliki konsekuensi hukum yang berbeda; 43 1 Perkawinan Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahli Kitab Para ulama sepakat bahwa perkawinan muslim dengan perempuan ahli kitab diperbolehkan dalam syari‟at Islam. Pendapat ini mengacu pada firman Allah SWT dalam surah al-Maidah ayat 5. Di samping itu, beberapa sahabat senior juga berpendapat seperti itu. Di antara mereka adalah Umar, Usman, Thalhah, Hudzaifah, Salman, Jabir dan sahabat-sahabat lainnya. Semuanya menunjukkan atas diperbolehkannya laki-laki muslim mengawini perempuan ahli kitab. Bahkan diantara mereka ada yang mempraktikkannya, seperti sahabat Thalhah dan sahabat Hudzaifah, sementara tidak ada satupun sahabat sahabat NAbi SAW yang menentangnya. Dengan demikian, dibolehkannya 43 Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h.27 perkawinan ini merpukan ijma‟ sahabat. Dalam hal ini, Ibnu al-Mundzir mengatakan bahwa jika riwayat dari ulama salaf mengharamkan perkawinan tersebut di atas, maka riwayat itu dinilai tidak shahih. 44 Adapun sahabat Umar ra yang menyuruh beberapa sahabat lain agar menceraikan istri-istri mereka yang ahli kitab, menurut Ali maka hal itu dipahami sebagai suatu kehawatiran beliau. Sebagai kahlifah, beliau khawatir, perilaku mereka akan menjadi fitnah bagi umat Islam. Atas dasar inilah Umar mencegah mereka untuk mengawini perempuan ahli kitab, tetapi hal itu bukan berarti beliau mengharamkannya. Maksud fitnah disini adalah perilaku mereka itu akan ditiru oleh anak buahnya, kaena mereka para pemimpin. Sehingga nanti wanita-wanita Islam tidak ada yang mengawini. 45 Sementara itu, Majelis ulama Indonesia MUI yang mengeluakan fatwa pada tanggal 1 juni 1980 tentang haramnya perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab, maka hal itu karena didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan yang sifatnya lokal. Meskipun fatwa tersebut diusung dengan merujuk pada dalil naqli, tetap saja tidak bias menghapus kebolehan mengawini perempuan ahli kitab sebagaimana disebut dalam surah al-Maidah ayat 5. 46 44 Lihat: Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni Juz IX, Saudi Arabia, Dar Alam al-Kutub, 1997, h. 545. 45 Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h.29-30 46 Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h.30 Menurut Ali Fatwa MUI yang mengharamkan laki-laki muslim mengawini perempuan non-muslim tadi sebenarnya sejalan dengan pendapat mazhab syafi’i, karena seperti disebut sebelumnya, orang-orang Kristen dan Yahudi di Indonesia tidak termasuk ahli kitab. Jadi, Fatwa MUI melihat konteks keindonesiaan. 47 2 Perkawinan Laki-laki Ahli kitab dengan Peempuan Muslimah Mengenai Perkawinan laki-laki ahli kitab dengan perempuan muslimah, para ulama pun bersepakat atas keharamannya. Pendapat ini didasarkan atas dalil-dalil sebagai berikut: Pertama, QS al-Muamtahanah ayat 10 yang dengan tegas mengharamkan perkawinan laki-laki kafir dengan perempuan muslimah, atau sebaliknya. Kedua, dalam QS al-Maidah ayat 5 yang memberikan pemahaman bahwa Allah hanya membolehkan perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab, tdak sebaliknya. Seandainya perkawinan yang kedua ini diperbolehkan, maka Allah pasti akan menegaskannya. Maka berdasarkan 47 Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h.35