Perbandingan Metode Istinbat Hukum Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa

perkawinan seperti ini sangat jelas kebolehannya. Sementara menurut Ali terminologi ahli kitab hanya untuk keturunan Bani Israil saja, maka seperti yang telah dikemukan sebelumnya, bahwa peneliti menyimpulkan pandangan Ali tesebut tidak tepat, Selain itu untuk menentukan suatu produk hukum, maka penting untuk menelaah suatu permasalahan tersebut dengan konsep maslahah. Para fuqaha dalam menghadapi hubungan maslahah duniawiyah dengan nash- nash syara’ terbagi kepada tiga golongan: 1. Golongan pertama, hanya berpegang kepada nash saja dan mengambil dhahirnya tidak melihat kepada sesuatu kemaslahatan yang tersirat di dalam nash itu. Demikianlah pendirian golongan dhahiriyah, golongan yang menolak qiyas. Mereka mengatakan : “tak ada kemaslahatan melainkan yang didatangkan syariat’”. 2. Golongan kedua, berusaha mencari maslahat daripada nash unuk mengetahui illat-illat nash, maksud dan tujuan-tujuan nash. Golongan ini meng-qiyaskan segala yang terdapat pada maslahat kepada nash yang mengadung maslahat itu. Hanya saja mereka itu tidak menghagai maslahat terkecuali ada syahid tertentu. Jadi maslahat yang mereka i’tibakan hanyalah maslahat yang disaksikan oleh sesuatu nash atau oleh sesuatu dalil, dan itulah yang mereka jadikan illat qiyas. 3. Golongan ketiga, menetapkan setiap maslahat yang masuk ke dalam jenis maslahat yang ditetapkan oleh syariat. Maka walaupun tidak disaksikan oleh sesuatu dalil tertentu namun maslahat itu diambil dan dipegangi sebagai suatu dalil yang berdiri sendiri dan mereka namakan maslahah mursalah atau istislah. 14 Sehingga dari konsep maslahah tersebut, maka peneliti mengutif dari pendapat Masjfuk Zuhdi, 15 berpandangan bahwa perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab adalah boleh sebagaimana yang termaktub dalam Q.S. al-Maidah ayat 5 yang menerangkan dihalalkannya laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab bahkan dalam konteks Indonesia. karena, peneliti berpandangan bahwa ahli kitab adalah mereka-mereka yang memiliki kitab suci seperti dikemukakan Imam Hanafi. 16 Sehingga melangsungkan perkawinan dengan perempuan yang meyakini kitab seperti zabur sekalipun dibenarkan. Ketiga, perkawinan perempuan muslim dengan seorang yang non-muslim, dalam kategori ini Ali mengharamkannya secara mutlak, hal ini didasarinya selain pada dalil-dalil Al- Qur’an seperti al-Baqarah ayat 221 atau al-Mumtahanah ayat 10, juga dari dalil lainya seperti hadis yang diriwayatkan Jabir bin Abdillah oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir al-Tabari bahwa Nabi pernah berkata: 17 اءاسن نوج وزي او بات ا ها ءاسن جو زن Artinya: “kami kaum muslim menikahi perempuan-perempuan ahli kitab, tetapi mereka laki-laki ahli kitab tidak boleh menikahi perempuan- perempuan kami.” 14 Hasbi Ashiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, h. 335 15 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988, h. 5 16 Lihat Badran, al-Alaqah al- Ijtima‟iyyah bainna al-Muslimin Ghair al-Muslimin, h.40-41 17 Lihat Ibn Jarir al-Thabari, Jami‟ al-Bayan „an ta‟wil Ay al-Qur‟an, h. 378 Selain itu juga Ali berlandaskan pada Ijma Sahabat, hal ini karena dikalangan para sahabat tidak ada yang membolehkannya, sehingga hal tersebut menjadi konsensus ijma‟ para sahabat. 18 Sementara menurut Cak Nur dikarenakan tidak adanya larangan yang sarih terkait kategori ini, maka seharusnya perkawinan semacam ini menjadi wilayah ijtihad dalam upaya untuk menentukan sesuatu ketika terjadinya kekosongan hukum. Adapun hadis seperti di atas menurut Cak Nur hadis tersebut tergolong hadis mawquf, yaitu hadis yang sanadnya terputus hingga Jabir sehingga dapat dikategorikan sebagai hadis yang tidak sahih. Karena perkawinan kategori ketiga ini berada pada wilayah ijtihadiyah, maka Cak Nur mencoba melakukan ijtihad dan menghukuminya boleh. 19 Tentang perkawinan kategori ketiga ini, menurut peneliti bahwa Cak Nur dinilai terlalu berani dalam menghukumi boleh, meskipun dari metode pencarian hukum yang Cak Nur lakukan akhirnya menghasilkan bahwa tidak ada larangan yang sarih, namun hal tersebut harusnya tidak serta-merta menjadi alasan untuk dibolehkannya perkawinan tersebut. Kehidupan sosio-kultural bangsa Indonesia yang cukup religius akan sulit menerima tafsiran-tafsiran berani seperti ini, belum lagi dalam melakukan proses ijtihad haruslah dengan mempertimbangkan kemaslahatan, yakni dengan konsep jal- bul manfa‟ah wadaf „ul madharah yang artinya menarik 18 Lihat Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h.36-44 19 Lihat Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h. 164 kemanfaatan dan menolak kemadharatan. 20 Karena dengan menerapkan konsep maslahat itulah, output hukum akan lebih dapat diterima umat. Dari analisis yang peneliti lakukan dan temui secara umum tentang eksistensi pemikiran kedua tokoh tersebut, yakni pemikiran Ali Mustafa Yaqub yang tidak lain dipengaruhi oleh lingkungan pesanteren yang cukup kental, dan corak pemikiran yang bermazhab syafi’iyah, lalu melanjutkan studinya pun dengan latar pedidikan yang sangat terkait, dan pada akhirnya menguatkan disiplin ilmu yang telah dipelajarinya sejak dari masa kanak-kanak, yakni dalam bidang ilmu hukum Islam. Lalu pendidikan terakhirnya yang ditamatkannya melalui bimbingan Hasan Hitou telah menghantarkan Ali sebagai seseorang yang mencoba mengintegrasikan nilai- nilai ajaran ulama terdahulu dengan konteks keindonesiaan. Berbeda halnya Nurcholish Madjid dengan pemikirannya yang banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran filsafat baik dari barat maupun timur, kemudian progam dokotralnya yang ia tempuh di Universitas Chicago Amerika Serikat, dimana kehidupan di negara tersebut lebih plural, sehingga tidak dielakkan lagi jika produk pemikirannya mengarah pada pemikiran-pemikiran yang berani anti mainstream, yang beberapa diantaranya menentang pemikiran klasik. Cak Nur juga merupakan ikon pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan, terlebih di saat Indonesia sedang berjuang dengan problematika-problematika disintegrasi bangsa. 20 Hasbi Ashsiddqieqy, Falsafah Hukum Islam cet-VI, h. 329

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan yang telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya, peneliti dapat menyimpulkan gambaran umumnya sebagai berikut:

1. Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub dalam memberikan

komentarnya terkait perkawinan beda agama bahwa, dari segi persamaan keduanya sepakat akan kebolehan perkawinan dengan perempuan ahli kitab yang didasari pada firman Allah SWT pada surah al-Maidah ayat 5. Namun dalam hal ini Ali mengkategorikan terminologi ahli kitab hanyalah pada Yahudi dan Nasrani keturunan Bani Israil saja sehingga hal ini tidak berlaku dalam konteks Indonesia, sedangkan Cak Nur mengatakan bahwa terminologi ahli kitab adalah orang-orang yang memiliki kitab suci yang diturunkan kepada Nabi, sehingga tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani saja. 2. Dari perbedaaan pendapat ke dua tokoh ini dapat disimpulkan bahwa, menurut Ali perkawinan antara muslim dengan musyrik adalah haram hal ini didasari pada surah al-Baqarah ayat 221 yang didalamnya menegaskan tentang larangan mengawini seorang musyrik, yang mana terminologi musyrik merujuk pada non-muslim selain dari kalangan ahli kitab. Berbeda halnya dengan pendapat Cak Nur yang mendefinisikan musyrik, bahwa musyrik adalah orang-orang pada bangsa Arab yang menyembah berhala dan tidak memiliki kitab suci, serta berupaya untuk memerangi Islam. 3. Perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim menurut Ali adalah haram, secara sosio-kultural peran suami sebagai kepala keluarga sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan rumah tangga dan dikhawatirkan sang istri dan anaknya nanti akan mengikuti agama suami, selain faktor tersebut juga pelarangan ini didasarkan pada surah al-Mumtahanah ayat 10 dan al-Baqarah ayat 221, selain itu juga terdapat hadis dan ijma yang menguatkan pendapat Ali. Berbeda halnya dengan Cak Nur yang berpendapat boleh, hal ini karena menurutnya tidak ada larangan yang sarih terkait perkawinan ini, adapun hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah adalah tidak sahih, sehingga karena adanya kekosongan hukum maka proses ijtihad menjadi solusi untuk menghukumi ini. Lalu adanya kenyataan bahwa dulu umat Islam jumlahnya sedikit dan perpindahan seorang muslim ke agama yang lain akan merugikan Islam waktu itu, maka dewasa ini menurut Cak Nur hal demikian bukanlah lagi masalah karena metode dakwah sudah bisa dilakukan secara terbuka dan jumlah muslim di dunia sudah cukup banyak. Dari landasan-landasan itulah Cak Nur berijtihad dan membolehkannya. 4. Metode istinbat hukum yang digunakan oleh Cak Nur ialah dengan menggunakan metode tafsir ayat secara kontekstual, meskipun Cak Nur mendasari pemikirannya atas semangat Al- Qur’an yang membawa pembebasan dan bukannya belenggu, akan tetapi tafsirannya ini dinilai terlalu liberal. Sementara Ali menggunakan konsep maslahah, dimana mempertahankan tauhid adalah hal yang urgen, hal ini karena perkawinan beda agama akan berdampak negatif kepada kehidupan ketauhidan seorang muslim, mengingat keluarga adalah orang terdekat yang sekaligus juga orang yang akan paling berpengaruh dalam menentukan keputusan- keputusan hidup.

B. Saran

Saran-saran yang dapat penulis sampaikan dari pemparan pada bab-bab sebelumnya untuk perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan peneliti khususnya adalah: 1. Untuk pemeluk agama Islam muslimmuslimah disarankan untuk berikhtiar terlebih dahulu dalam upaya mencari pasangan yang memiliki kepercayaan yang sama sesama muslim, hal ini untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi nantinya. 2. Untuk para peneliti dan akademisi agar mengkaji lebih dalam lagi tentang hukum perkawinan beda agama, khususnya dalam pemikiran Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub 3. Himbauan kepada Pemerintah dan Badan Legislator untuk membuat regulasi atau undang-undang yang tegas tentang ketentuan perkawinan beda agama, dengan mempertimbangkan kondisi socio-kultural Indonesia