Perbandingan Pemikiran Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub
umumnya, bahwa perkawinan beda agama adalah hal yang tidak dibenarkan dalam Islam. Lalu dalam pandangannya Ali menegaskan yang mungkin terjadinya hanyalah
perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim ahli kitab, karena jenis perkawinan ini kebolehannya sangat jelas,
5
lalu menurutnya tidak ada dalil-dalil lain yang membolehkan perkawinan beda agama selain jenis tersebut.
Selain itu, dalam konteks hukum pembolehan perkawinan dengan perempuan ahli kitab itupun Ali masih mengkaji ulangnya, yakni dengan menafsirkan apa yang
dimaksud dengan ahli kitab dalam terminologi Al- Qur’an. Ali melandasi
pemikirannya dengan konsep ahli kitab yang dimaksud oleh Imam al-S yafi’i dimana
istilah ahli kitab hanya menunjuk pada orang-orang Yahudi dan Nasrani dari keturunan Bani Israi’il. Alasannya karena baik Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus
kepada Bani Israil dan bukan bangsa-bangsa lain.. selain itu pada surah al-Maidah ayat 5 memakai redaksi min qoblikum sebelum kamu. Sehingga mereka yang
menganut Yahudi dan Nasrani selain keturunan Bani Israil tidak dikategorikan Ahli kitab.
6
Sehingga dalam konteks keindonesiaan maka ahli kitab yang dimaksud tidak bisa disandingkan dengan seorang yang beragama Yahudi, Protestan ataupun Katolik
di Indonesia, yang artinya menurut Ali perkawinan beda agama dalam konteks Indonesia dilarang sepenuhnya.
5
Lihat Q.S. Al-Maidah ayat 5
6
Ali Mustafa Yaqub, Nikah beda Agama, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005h.22-23. Lihat juga: Ibn Jarir al-Thabari,
Jami‟al-Bayan „an ta‟wil ay al-Qur‟an, h. 233
Lalu adapun yang melandasi Cak Nur dalam membolehkan segala bentuk perkawinan beda agama yakni karena Cak Nur berpandangan surah al-Maidah ayat 5
yang membenarkan praktik perkawinan beda agama dengan perempuan ahli kitab adalah ayat yang telah me-nasakh ayat-ayat sebelumnya yang melarang pekawinan
beda agama, sehingga ayat ini Cak Nur kategorikan sebagai ayat revolusi, yang mencoba menyampaikan pesan pada umat manusia bahwa Al-
Qur’an sebagai suatu pedoman dan ajaran nilai-nilai hidup adalah berisikan ajaran pembebasan dan
bukanlah belenggu. Selain itu juga Cak Nur menafsirkan terminologi musyrik dalam Al-
Qur’an yang menurutnya hanya berlaku pada orang-orang pada zaman dahulu pada bangsa arab. Hal ini diketahui bahwa surah al-Baqarah ayat 221 yang
menjelaskan larangan perkawinan dengan seorang musyrik adalah ayat yang turun dalam situasi perang, sehingga dipahami mereka yang musyrik adalah mereka yang
memerangi orang-orang muslim.
7
Perbedaan yang nyata antara pemikiran Cak Nur dengan Ali ini sangat jelas terlihat, meskipun keduanya sama-sama mendasari hukum tentang perkawinan beda
agama secara berturut-turut pada surah al-Baqarah ayat 221 dan al-Maidah ayat 5, akan tetapi keduanya memiliki kesimpulan hukum yang berbeda dengan metode
penafisran pemikiran yang berbeda juga. Hal ini kita ketahui sebagai hal yang lumrah dalam dunia penelitian dan pemikiran, meskipun demikian hemat peniliti hal tersebut
7
Lihat Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, h.161
sangat bertanggungjawab terhadap berkembangnya pandangan masyrakat, sehingga aturan pembenar hukum yang legal harus sesegera mungkin muncul ke permukaan.
Terkait teori yang dikemukakan oleh Ali dalam menjelaskan terminologi ahli kitab yang membatasinya hanya pada golongan ahli kitab terdahulu, hemat peneliti
hal tersebut tidaklah fair, hal ini berangkat dari adigium bahwa Al- qur’an adalah
pedoman hidup way of lie bagi seluruh umat manusia, sehingga mendefinisikan ayat secara parsial dengan konteks tempat, waktu atau kelompok tertentu rasanya kurang
tepat. Lalu terminologi ahli kitab juga dapat diartikan sebagai orang-orang yang
mempercayai kitab-kitab suci yang diwahyukan Allah melalui perantara Nabi-nabi- Nya, sehingga terminologi tersebut tidak terbatas pada Yahudi dan Nasani saja. Hal
demikian senada dengan pendapat Imam Abu Hanifah w.150 H dan ulama lain dari mazhab Hanafi yang menyatakan, siapapun yang mempercayai salah seorang Nabi,
atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk ahli kitab, sehingga ahli kitab menurut mereka tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani semata.
8
Bertolak dari pemaparan tersebut, maka peneliti beranggapan apa yang dituliskan dalam Al-
Qur’an dalam kaitannya tentang perkawinan denganperempuan ahli kitab adalah tetap dapat dibenarkan. Hal ini sesuai dengan asas lex postariori
derogat legi priori
9
yang menjadikan pembenar perkawinan dengan perempuan ahli
8
Badran Abu al-Aynayn Badran, al-Alaqah al- Ijtima‟iyyah bainna al-Muslimin Ghair al-
Muslimin Iskandariah: Mu’assasah Syabah al-Jami’ah, 1984 h.40-41
9
Lex postariori derogat legi priori adalah asas dalam ilmu peraturan perundang-undangan yang pengartiannya sama dengan konsep nasakh mansukh, dimana adanya ketentuan hukum yang baru
kitab yakni al-Maidah ayat 5 adalah ketentuan yang berlaku sekarang bukanlah ayat- ayat sebelum diturunkannya.
Adapun penjabaran Cak Nur tentang konsepnya mengenai penjelasan terminologi Musyrik yang hanya ditunjukkan pada orang-orang non-muslim zaman
dulu yang memerangi Islam dari bangsa Arab, menurut hemat peneliti hal tersebut juga tidak dapat diterima.
Meskipun dibenarkan perkawinan dengan perempuan ahli kitab, akan tetapi teap lebih baik jika hal tersebut dihindari. Karena terdepat beberapa hikmah ketika
seorang muslim tidak melangsungkan perkawinan dengan seorang non-muslim, dianataranya yakni karena pada prinsipnya antara seorang muslim dan seorang non-
muslim masing-masing memiliki pandangan hidup way of life dan filosofi hidup yang berbeda. Seorang muslim meyakini akan adanya rukun Iman yang diantaranya:
percaya kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang Maha Esa, percaya kepada Nabi-nabi yang diutus-Nya, percaya pada wahyu-wahyu yang diturunkan-Nya yang berbentuk
kitab suci, percaya kepada malaikat-malaikat dan percaya juga pada adanya hari akhir kiamat. Sementara agama lain tentu memiliki jenis-jenis kepercayaaan yang
beberapa diantaranya berbeda. Kemudian perkawinan beda agama juga dapat berdampak pada pola
pendidikan dan penanaman nilai terhadap keturunan anak mereka nantinya, karena sangat dimungkinkan akan terjadi perseteruan dan upaya doktrinisasi nilai-nilai
menghapuskan ketentuan hukum yang sebelumnya. Lihat Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang- undangan 2, Jakarta: 2003
keagaman dan kepercayaan masing-masing orang tua, hal demikian dilakukan dengan dasar untuk mendapat klaim dan pengakuan yang lebi dari sang anak, serta bentuk
legitimasi yang utuh sebagai orang tua.