Menurut Ali Fatwa MUI yang mengharamkan laki-laki muslim mengawini perempuan non-muslim tadi sebenarnya sejalan dengan pendapat
mazhab syafi’i, karena seperti disebut sebelumnya, orang-orang Kristen dan Yahudi di Indonesia tidak termasuk ahli kitab. Jadi, Fatwa MUI melihat
konteks keindonesiaan.
47
2 Perkawinan Laki-laki Ahli kitab dengan Peempuan Muslimah
Mengenai Perkawinan laki-laki ahli kitab dengan perempuan muslimah, para ulama pun bersepakat atas keharamannya. Pendapat ini didasarkan atas
dalil-dalil sebagai berikut: Pertama, QS al-Muamtahanah ayat 10 yang dengan tegas mengharamkan
perkawinan laki-laki kafir dengan perempuan muslimah, atau sebaliknya. Kedua, dalam QS al-Maidah ayat 5 yang memberikan pemahaman bahwa
Allah hanya membolehkan perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab, tdak sebaliknya. Seandainya perkawinan yang kedua ini
diperbolehkan, maka Allah pasti akan menegaskannya. Maka berdasarkan
47
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h.35
mafhum al-mukhalafah
48
, perkawinan laki-laki ahli kitab dengan wanita muslimah itu dilarang oleh syraiat Islam.
49
Ketiga, hadis Rasul yang diriwayatkan dalam kitab Tafsir al-Tabari dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasul bersabda:
اءاسن نوج وزي او بات ا ها ءاسن جو زن
Artinya: “kami kaum muslim menikahi perempuan-perempuan ahli kitab, tetapi mereka laki-laki ahli kitab tidak boleh menikahi
perempuan- perempuan kami.”
Menurut al-Tabari, meskipun sanad Hadis tersebut tidak begitu kuat, tetapi karena maknanya telah diterima dan disepakati oleh kaum muslimin,
maka otoritasnya sebagai dalil hujjah dapat dipertanggungjawabkan. Dalam disiplin ilmu Hadis, Hadis yang subsatnsinya sudah diterima dan diamalkan
oleh para ulama sepanjang masa, tidak perlu lagi diteliti keshahihan sanadnya. Inilah yang disebut hadis maqbul diterima karena faktor-faktor eksternal.
50
Keempat,yakni karena adanya Ijma‟ sahabat, hal ini karena tidak ada
satupun diantara sahabat yang membolehkan dan membenarkan perkawinan antara laki-laki ahli kitab dengan perempuan muslimah. Kelima, karena
48
Mafhum al-Mukhalafah merupakan salah satu metodelogi untuk memahami petunjuk nash teks agama. Paa ulama tafsir dan ushul fiqih mendefinisikan terminologi ini sebagai ketetapan
hukum yang berlawanan dengan nash al-manthuq dan diambil setelah terbukti tidak ada batasan kayid yang jelas dari al-manthuq. Dengan kata lain, ia adalah petunjuk lafadz untuk menetapkan
sesuatu yang tidak disebutkan secara eksplisit oleh nash. Otoritas mafhum al-mukhalafah sebagai sumber hukum Islam ini disepakati oleh Imam Malik, Imam al-
Syafi’i, dan Imam Ahmad. Hanya Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya saja yang tidak memakianya sebagai dalil. lihat Ali Mustafa
Yaqub, Nikah Beda Agama, h.41
49
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h. 41
50
Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama, h. 43 dalam Mahmud al-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadist, Beirut: Dar al-
Qur’an al-Karim, 1979, h. 53.
adanya kaidah fiqih yang menyebutkan “pada dasarnya dalam masalah far kemaluan i
tu adalah haram” karenanya apabila masalah farj wanita terdapat dua hukum perbedaan pendapat, antaa halal dan haram, maka yang
dimenangkan adalah hukum yang mengharamkan.
51
51
Abu al-Fadhl Jalal al-Din Abdurrahman al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawaid wa Furu‟ Fiqh al-Syafi‟iyyah, Beirut: Dar al-Fikr 1996 h.84
BAB IV DISKURSUS PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID DAN ALI MUSTAFA
YAQUB TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA
A. Perbandingan Pemikiran Nurcholish Madjid dan Ali Mustafa Yaqub
Perkawinan adalah merupakan tujuan syariat yang dibawa Rasullah saw, yaitu penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowi.
1
Pada ajaran fikih, dapat dilihat adanya empat garis dari penataan itu yakni: a.
Rub‟al- ibadat, yang menata hubungan manusia selaku makhluk dengan khaliknya, b.
Rub‟al-muamalat, yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulannya dengan sesamanya untuk memenuhi hajat hidupnya sehari-hari, c.
Rub‟al- munakahat, yaitu yang menata hubungan manusia dalam lingkungan keluarga, dan
d. Rub‟al-jinayat, yang pengamanannya dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin
ketentramannya.
2
Selain itu, perkawinan juga merupakan upaya yang dilakukan untuk melanjutkan estafet kehidupan umat manusia dengan menghasilkan para penerus
peradaban. Hal ini jelas karena hanya melalui perkawinan yang sesuai dengan aturan yang berlaku sajalah seorang anak yang sah dengan segala bentuk haknya tanpa
terkecuali bisa lahir serta tumbuh dan berkembang.
1
M.A. Tihami, Fikih Munakahat, Jakarta: Rajawali Pres, 2009 h. 15
2
Ali Yafie, Pandangan Islam terhadap Kependudukan dan Keluarga Berencana, Jakarta: Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdhatul Ulama dan BKKBN, 1982, h. 1
Lalu, perkawinan beda agama yang merupakan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim dan sebaliknya, banyak terjadi di Indonesia.
Masalahnya tetap aktual, karena hal ini bertalian dengan masalah akidah dan banyak menimbulkan dampak negatif, baik antara suami, istri, maupun terhadap anak-anak
dari hasil perkawinan beda agama tersebut.
3
Sehingga perkawinan ini masih sangat diperdebatkan tentang kebolehannya.
Cak Nur seperti apa yang telah peneliti paparkan di atas adalah seorang ilmuan yang membolehkan terjadinya praktik perkawinan beda agama, berbeda
dengan pandangan ilmuan dan pemikir Islam pada umumnya, Cak Nur dengan cukup berani menginterpretasikan dan melakukan tafsir ayat-ayat Al-
Qur’an sehingga Cak Nur dalam upayanya menterjemahkan kalam Allah, mendapatkan suatu kesimpulan
bahwa segala bentuk perkawinan beda agama adalah dibolehkan.
4
Hal ini berlaku pada semua jenis perkawinan beda agama sepanjang yang melakukan perkawinan
adalah antara laki-laki dan perempuan, jadi perkawinan seperti seorang muslim dengan seorang non-muslim ahli kitab ataupun bukan, lalu perempuan muslimah
dengan laki-laki non-muslim ahli kitab ataupun bukan adalah kesemuanya dibenarkan menurut Cak Nur.
Berbeda halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ali, Ali berpandangan seperti halnya ilmuan dan pemikir Islam terdahulu atau ulama pada
3
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer, Bandung: Angkasa, 2005, h. 154
4
Lihat Nurcholish Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, 2003 h.164
umumnya, bahwa perkawinan beda agama adalah hal yang tidak dibenarkan dalam Islam. Lalu dalam pandangannya Ali menegaskan yang mungkin terjadinya hanyalah
perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim ahli kitab, karena jenis perkawinan ini kebolehannya sangat jelas,
5
lalu menurutnya tidak ada dalil-dalil lain yang membolehkan perkawinan beda agama selain jenis tersebut.
Selain itu, dalam konteks hukum pembolehan perkawinan dengan perempuan ahli kitab itupun Ali masih mengkaji ulangnya, yakni dengan menafsirkan apa yang
dimaksud dengan ahli kitab dalam terminologi Al- Qur’an. Ali melandasi
pemikirannya dengan konsep ahli kitab yang dimaksud oleh Imam al-S yafi’i dimana
istilah ahli kitab hanya menunjuk pada orang-orang Yahudi dan Nasrani dari keturunan Bani Israi’il. Alasannya karena baik Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus
kepada Bani Israil dan bukan bangsa-bangsa lain.. selain itu pada surah al-Maidah ayat 5 memakai redaksi min qoblikum sebelum kamu. Sehingga mereka yang
menganut Yahudi dan Nasrani selain keturunan Bani Israil tidak dikategorikan Ahli kitab.
6
Sehingga dalam konteks keindonesiaan maka ahli kitab yang dimaksud tidak bisa disandingkan dengan seorang yang beragama Yahudi, Protestan ataupun Katolik
di Indonesia, yang artinya menurut Ali perkawinan beda agama dalam konteks Indonesia dilarang sepenuhnya.
5
Lihat Q.S. Al-Maidah ayat 5
6
Ali Mustafa Yaqub, Nikah beda Agama, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005h.22-23. Lihat juga: Ibn Jarir al-Thabari,
Jami‟al-Bayan „an ta‟wil ay al-Qur‟an, h. 233