Perkembangan Prinsip Kehati-hatian Prinsip Kehati-hatian The Precautionary Principle

38 - Kewajiban untuk membuat pembatasan terhadap penggunaan dan pemasaran bahan-bahan kimia Lebih lanjut, Tickner dan Reffensperger menjelaskan bahwa asas kehati-hatian memiliki komponen-komponen turunan, baik secara yuridis maupun politis, sebagai berikut: 148 - Diambilnya langkah kehati-hatian precautionary action sebelum kepastian ilmiah akan sebab dan akbibat berhasil diperoleh. - Ditetapkannya tujuan, yaitu bahwa asas kehati-hatian mendorong terwujudnya perencanaan yang lebih didasarkan pada tujuan yang telah didefinisikan secara akurat, dan bukan tujuan yang didasarkan pada scenario atau perhitungan resiko yang justru seringkali keliru dan bias. - Penelusuran dan evaluasi alternatif-alternatif kebijakan. Artinya, asas kehatian-hatian lebih menekankan pada pertanyaan bagaimana mengurangi atau menghilangkan bahaya dan mencoba mencari semua alternatif untuk mencapai tujuan tersebut, dan bukan didasarkan pada pertanyaan tingkat pencemaran yang seperti apa yang dapat dikatakan aman. - Keputusan-keputusan yang dibuat dalam rangka penerapan asas kehati-hatian harus bersifat terbuka, demokratik, terinformasikan, serta harus menyertakan pihak-pihak yang mungkin terkena dampak dari dikeluarkannya keputusan tersebut. - Harus terdapat pengalihan beban pembuktian, di mana pemrakarsa kegiatan menjadi berkewajiban untuk membuktikan bahwa kegiatannya tidak akan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan dan keselamatan manusia dan ekosistem. - Dikembangkannya metode dan criteria pengambilan keputusan yang lebih demokratik dan seksama. Asas kehati-hatian mensyaratkan adanya pertimbangan ilmiah serta buktipertimbangan lain non-ilmiah ketika manghadapi ketidakpastian, sehingga juga mensyaratkan adanya pertimbangan yang lebih seksama dan lebih banyak melibatkan partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan. Prinsip kehati-hatian merupakan perwujudan dari pengelolaan lingkungan yang didasrkan pada pendekatan antisipatif. Pendekatan ini merupakan pendekatan tahap ketiga dari pendekatan yang dipakai untuk pengelolaan lingkungan. 149

6.1. Perkembangan Prinsip Kehati-hatian

Prinsip kehati-hatian seperti tercantum dalam berbagai dokumen internasional dianggap sebagai arahan guidance bagi pengambilan keputusan di dalam situasi ketidakpastian ilmiah scientific uncertainty. Pada umumnya asas kehati-hatian dirumuskan dalam pernyataan bahwa apabila terdapat ancaman kerugian yang serius atau tidak bisa dipulihkan threats of serious or irreversible damage, pengambil keputusan tidak dapat menggunakan kurangnya kepastian atau bukti ilmiah sebagai alasan untuk menunda dilakukannya upaya pencegahan atas ancaman tersebut. Beberapa sarjana menyambut baik munculnya asas kehati-hatian ini sebagai sebuah perkembangan baru di dalam kebijakan nasional dan internasional yang bertujuan untuk melindungi manusia dan lingkungan hidup dari bahaya yang serius 148 Joel Tickner and Carolyn Reffensperger, “The precautionary principle in Action: A Handbook”, first edition, http:www.biotech_info.nethandbook.pdf, pp. 3-4. 149 Nicholas de Sadeleer, op cit., hal. 39 dan tidak bisa dipulihkan. Dalam hal ini, asas kehati-hatian dianggap berperan besar untuk mengubah arah kebijakan dalam menghadapi bahaya yang serius tetapi masih bersifat tidak pasti. Apabila selama ini para pengambil kebijakan seringkali enggan melakukan tindakan pencegahan terhadap bahaya seperti itu, maka dengan adanya asas kehati-hatian, potensi bahaya tidak lagi dapat diabaikan hanya berdasarkan alasan bahwa bahaya tersebut masih belum jelas dan diliputi oleh ketidakpastian ilmiah. 150 Asas kehati-hatian pertama kali muncul sebagai sebuah asas pengelolaan lingkungan di dalam hukum lingkungan Jerman, dengan istilah Vorsorgeprinzip, yang berarti foresight tinjauan ke masa depan dan taking care berhati-hati. Vorsorgeprinzip mewajibkan negara untuk menghindari terjadinya kerusakanpencemaran lingkungan dengan melakukan perencanaan secara hati-hati. Prinsip ini juga menjadi pembenaran bagi program pencegahan dan penanggulangan pencemaran secara besar-besaran, melalui pemberlakuan teknologi terbaik best available technology untuk meminimasi kemungkinan terjadinya pencemaran. 151 Selanjutnya, berawal dari inisiatif Jerman dan juga negara-negara Skandinavia, asas kehati-hatian kemudian diadopsi di dalam berbagai deklarasi atau perjanjian tentang perlindungan laut di Eropa. Dalam hal ini, formulasi asas kehati-hatian pada level internasional pertama kali muncul dalam The 1984 Bremen Declaration yang diadopsi pada the First International Conference on the Protection of the North Sea. Deklarasi ini menyatakan bahwa “…damage to the marine environment can be irreversible or remediable only at considerable expense and over long periods and… therefore, coastal states...must not wait for proof of harmful effects before taking action”. 150 M. Geistfeld, “Implementing the Precautionary Principle”, Environmental Law Reporter, Vol. 31, 2001: hal. 11328. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh De Sadeleer yang menganggap asas kehati-hatian sebagai wujud dari pendekatan antisipatif anticipatory approach, yaitu sebuah tahapan terkini dalam perkembangan pengambilan keputusan yang menekankan pada dilakukannya tindakan- tindakan antisipatif. Menurut De Sadeleer, pendekatan baru ini i.e. pendekatan antisipatif dapat dibedakan dari dua tahapan perkembangan dalam pengambilan kebijakan lingkungan yang selama ini digunakan. Pada tahap pertama, kebijakan lingkungan menekankan pada tindakan-tindakan pemulihan, yang diwujudkan dalam bentuk campur tangan pemerintah untuk memulihkan kondisi lingkungan setelah terjadinya sebuah pencemarankerusakan. Pada tahap kedua, kebijakan lingkungan sudah mulai menekankan pada pendekatan pencegahan preventive approach. Dalam tahap kedua ini, pejabat berwenang diperkenankan melakukan tindakan intervensi berupa tindakan pencegahan sebelum pencemarankerusakan lingkungan terjadi. Tahap kedua ini muncul karena ancaman kerusakan lingkungan dipandang sebagai ancaman yang nyata, sehingga tindakan pencegahan pada saat yang tepat dipandang perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya pencemaran. Kedua tahap ini dianggap tidak memadai lagi, terbukti dari banyaknya dampak lingkungan serius yang gagal diantisipasi oleh para pengambil kebijakan. Kegagalan-kegalan ini lah yang kemudian memunculkan pendekatan ketiga, yaitu pendekatan antisipatif, dengan asas kehati-hatian sebagai ciri utamanya. Lihat : N. de Sadeleer, Environmental Principles: From Political Slogans to Legal Rules Oxford: Oxford University Press, 2002, hal. 91-92. Diskusi tentang kegagalan pendekatan pemulihan dan pendekatan preventif dalam mengantisipasi dan mencegah berbagai ancaman terhadap kesehatan manusia dan liengkungan dapat dilihat dalam: P. Harremoës, et al. eds., Late Lessons From Early Warnings: The Precautionary Principle 1896-2000 Copenhagen: European Environment Agency, 2001. 151 A. Jordan dan T. O’Riordan, “The Precautionary Principle in Contemporary Environmental Policy and Politics”, dalam: C. Raffensperger dan J. Tickner eds., Protecting Public Health and the Environment: Implementing the Precautionary Principle Washington, DC: Island Press, 1999, hal. 19-20. Lihat pula: E. Fisher, J. Jones, dan R. Von Schomberg, “Implementing the Precautionary Principle: Perspective and Prospects”, dalam: E. Fisher, J. Jones, dan R. Von Schomberg eds., Implementing the Precautionary Principle: Perspective and Prospects Cheltenham, UK: Edward Edgard, 2006, hal. 2-3. 40 Pengakuan atas asas kehati-hatian kemudian dinyatakan kembali dan diperjelas di dalam The 1987 London Declaration yang diadopsi pada the Second International Conference on the Protection of the North Sea, The 1990 Hague Declaration yang diadopsi pada the Third International Conference on the Protection of the North Sea, The 1995 Esjberg Declaration yang diadopsi pada the Fourth International Conference on the Protection of the North Sea, serta The 2002 Bergen Declaration the Fifth International Conference on the Protection of the North Sea. Bertitik tolak dari deklarasi-deklarasi tersebut, asas kehati-hatian kemudian diadopsi di dalam The 1992 Convention on the Protection of the Marine Environment of the Baltic Sea Area, The 1992 Convention for the Protection of the Marine Environment of the North-East Atlantic OSPAR Convention, The 1995 Barcelona Convention for the Protection of the Marine Environment and the Coastal Region of the Mediterranean The 1995 Barcelona Convention, The 1996 Izmir Protocol on the Prevention of Pollution of the Mediterranean Sea by Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal, dan The 2002 Valletta Protocol Concerning Cooperation in Preventing Pollution from Ships, and in cases of Emergency. Di luar rezim perlindungan laut, asas kehati-hatian telah pula dimasukkan di dalam World Charter of Nature Piagam Lingkungan Dunia yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1982. Piagam Lingkungan Dunia merumuskan asas kehati-hatian sebagai berikut: a “Activities which are likely to cause irreversible damage to nature shall be avoided” b “Activities which are likely to pose a significant risk to nature shall be preceded by an exhaustive examination; their proponents shall demonstrate that expected benefits outweigh potential damage to nature, and where potential adverse effects are not fully understood, the activities should not proceed…” Dokumen lain di luar rezim perlindungan laut yang mengakui asas kehati-hatian adalah the 1985 Vienna Convention on the Protection of the Ozone Layer yang dianggap sebagai konvensi internasional pertama yang secara eksplisit mengadopsi asas kehati-hatian. 152 Dalam Paragraf kelima dari bagian Pembukaan dari Konvensi Vienna ini dinyatakan bahwa Negara Peserta “mindful also of the precautionary measures for the protection of the ozone layer which has been taken at the national and international levels.” Namun demikian, penjelasan tentang asas kehati-hatian dalam rezim perlindungan ozon barulah diketemukan di dalam the 1990 London Protocol yang mengamandemen the 1987 Montreal Protocol on Ozone Depleting Sunstances. Selanjutnya the 1990 Bergen Ministerial Declaration on Sustainable Development in ECE Region telah pula mengakui asas kehati-hatian. Dalam hal ini, Deklarasi Bergen menyatakan “[w]here there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty should not be used as a reason for postponing measures to prevent environmental degradation.” 153 152 J. Cameron, “The International Principle in International Law”, dalam: T. O’Riordan, J. Cameron dan A. Jordan eds., Reinterpreting the Precautionary Principle London: Cameron May, 2001, hal. 114. 153 Diadopsi dari: C. Raffensperger dan J. Tickner eds., Protecting Public Health and the Environment: Implementing the Precautionary Principle Washington, DC: Island Press,1999, hal. 357-358. 41 Contoh lain dari Konvensi yang mengadopsi asas kehati-hatian adalah the 1991 Bamako Convention on the Ban of the Import into Africa and the Control of Transboundary Movement and Management of Hazardous Wastes within Africa. Konvensi ini secara eksplisit menyatakan bahwa “[e]ach Party shall strive to adopt and implement the preventive, precautionary approach to pollution problems which entails, inter-alia, preventing the release into the environment of substances which may cause harm to humans or the environment without waiting for scientific proof regarding such harm.”—[garis bawah dari penulis]. 154 Tahun 1992 merupakan tahun yang penting bagi perkembangan asas kehati- hatian. Pada tahun ini, asas kehati-hatian diadopsi di dalam Maastricht Treaty, Konvensi Helsinki, UNFCCC, CBD, dan Deklarasi Rio. Setelah tahun 1992, asas kehati-hatian semakin luas diadopsi oleh berbagai perjanjian internasional tentang lingkungan hidup. Berikut adalah beberapa dokumen internasional sejak tahun 1992 yang memuat asas kehati-hatian: - The 1992 Maastricht Treaty yang dalam menyatakan bahwa kebijakan lingkungan dari Komunitas Eropa harus ditujukan untuk mencapai tingkat perlindungan yang tinggi, dan harus didasarkan pada asas kehati-hatian. 155 - The 1992 Helsinki Convention on the Protection and Use of Transboundary Watercourses and International Lakes, yang mengakui asas kehati-hatian sebagai asas yang melandasi upaya untuk mencegah, mengendalikan, dan mengurangi dampak negatif dari sumber air lintas negara dan danau internasional, di samping juga untuk menjamin konservasi dan pemulihan ekonsistem. 156 - the 1992 UN Framework Convention on Climate Change, 157 yang menegaskan pentingnya asas kehati-hatian sebagai landasan kebijakan perubahan iklim. 158 - Prinsip 15 dari the 1992 United Nation Conference on Environment and Development Deklarasi Rio tahun 1992, yang menyatakan: “[i]n order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by 154 Pasal 4 ayat 3 f Konvensi Bamako. 155 Pasal 130r Maastricht Treaty. Pasal ini secara implisit membedakan asas kehati-hatian dari asas pencegahan principle of preventive action dan asas pencemar membayar polluter pays principle, karena pasal ini menyatakan bahwa kebijakan lingkungan Eropa “shall be based on the precautionary principle and on the principles that preventative action should be taken, that environmental damage should as a priority be rectified at source and that the polluter should pay”. Meski demikian, Maastricht Treaty ternyata tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan asas-asas tersebut. 156 Pasal 2 ayat 5 dari 1992 Helsinki Convention menyatakan: “…the Parties shall be guided by the following principles: a The precautionary principle, by virtue of which action to avoid the potential transboundary impact of the release of hazardous substances shall not be postponed on the ground that scientific research has not fully proved a causal link between those substances, on the one hand, and the potential transboundary impact, on the other hand.” 157 Indonesia telah meratifikasi UNFCCC melalui UU No. 6 tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Perubahan Iklim. 158 Pasal 3 ayat 3 UNFCCC menyatakan: “The Parties should take precautionary measures to anticipate, prevent or minimize the causes of climate change and mitigate its adverse effects. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty should not be used as a reason for postponing such measures, taking into account that policies and measures to deal with climate change should be cost-effective so as to ensure global benefits at the lowest possible cost.” 42 states according to their capabilities. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environmental degradation.” - The 1992 Convention on Biological Diversity CBD, 159 yang mengakui asas kehati-hatian dengan formulasi yang mirip dengan yang dimuat dalam Prinsip ke- 15 Deklarasi Rio. 160 - The 1994 Energy Charter Treaty, yang mengakui asas kehati-hatian dengan mewajibkan para Negara Peserta untuk “take precautionary measures” mengambil upaya kehati-hatian guna mencegah atau meminimasi degradasi lingkungan. 161 - The 1994 Convention on the Cooperation for the Protection and Sustainable Development of Danube River atau the 1994 Danube River Protection Convention, yang menggunakan asas kehati-hatian sebagai dasar kebijakan untuk mencapai pengelolaan Sungai Danube yang berkelanjutan dan berkeadilan. 162 - Asas kehati-hatian juga diakui di dalam berbagai Protokol dari the 1979 Convention on Long-Range Transboundary Air Pollution LRTAP. Protokol- protokol tersebut adalah: Pertama, the 1994 Oslo Protocol on Further Reduction of Sulphur Emissions yang di dalam pembukaannya menyatakan bahwa Negara Peserta telah sepakat “to take precautionary measures to anticipate, prevent or minimize emissions of air pollutants and mitigate their adverse effects”; Kedua, the 1998 Aarhus Protocol on Heavy Metals, yang di dalam pembukaannya juga menyatakan bahwa negara peserta telah sepakat “to take measures to anticipate, prevent, or minimize emissions of certain heavy metals and their related compounds, taking into account the application of the precautionary approach, as set forth in principle 15 of the Rio Declaration on Environment and Development”; Ketiga, the 1998 Aarhus Protocol on Persistent Organic Pollutants; dan Keempat, the 1999 Gothenburg Protocol to Abate Acidification, Eutrophication, and Ground-Level Ozone. Kedua Protokol terkahir ini mengakui asas kehati-hatian dalam perumusan yang mirip dengan rumusan Pembukaan dari the 1998 Aarhus Protocol on Heavy Metals. 159 Indonesia telah meratifikasi CBD melalui UU No. 5 tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati. 160 Paragraf 9 dari Pembukaan CBD menyatakan“…. where there is a threat of significant reduction or loss of biological diversity, lack of scientific certainty should not be used as a reason for postponing measures to avoid or minimise such a threat.” Meskipun Paragraf 9 ini tidak menyebutkan secara eksplisit asas kehati-hatian, tetapi kutipan dari Paragraf tersebut secara jelas merujuk pada asas kehati-hatian seperti yang dirumuskan dalam Prinsip ke-15 Deklarasi Rio. 161 Pasal 19 ayat 1 dari the 1994 Energy Charter Treaty menyatakan bahwa “each Contracting Party shall strive to minimize in an economically efficient manner harmful environmental impacts …In doing so each Contracting Party shall act in a Cost-Effective manner. In its policies and actions each Contracting Party shall strive to take precautionary measures to prevent or minimize environmental degradation.” 162 Pasal 2 ayat 4 dari the 1994 Danube River Protection Convention menyatakan bahwa “[t]he Polluter pays principle and the Precautionary principle constitute a basis for all measures aiming at the protection of the Danube River and of the waters within its catchment area.” Selanjutnya, Annex I Part 2 paragraf 2 dari Konvensi ini juga mewajibkan Negara Peserta untuk memperhatikan asas kehatian-hatian dalam menentukan kebijakan dan upaya perlindungan yang dikateogorikan sebagai praktek pengelolaan lingkungan terbaik the best environmental practice. 43 - The 2000 Cartagena Protocol on Biosafety, 163 juga telah mengadopsi asas kehati- hatian sebagai arahan guidance bagi pengambilan keputusan terkait dengan organisme hasil rekayasa genetika GMOs. 164 - The 2001 Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants atau disebut juga dengan The 2001 POPs Convention 165 , dalam Pembukaannya menyatakan bahwa kehati-hatian telah digunakan sebagai pemikiran oleh para Negara Anggota, dan kemudian telah pula dimasukkan di dalam Konvensi tersebut. 166 Berdasarkan rangkaian sejarah perkembangan asas kehati-hatian, para ahli hukum menyimpulkan bahwa setelah pertama kali diadopsi dalam hukum lingkungan Jerman, asas kehati-hatian kemudian diakui, diadopsi, dan diterapkan dalam berbagai pertemuan dan perjanjian internasional atau regional terkait perlindungan laut. Dari rezim perlindungan laut inilah kemudian asas kehati-hatian mendapat pengakuan yang 163 Indonesia telah meratifikasi Protokol Cartagena melalui UU No. 21 tahun 2004 tentang Pengesahan Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati. 164 Pasal 11 ayat 8 dari Protokol Cartagena menyatakan: “Lack of scientific certainty due to insufficient relevant scientific information and knowledge regarding the extent of the potential adverse effects of a living modified organism on the conservation and sustainable use of biological diversity in the Party of import, taking also into account risks to human health, shall not prevent that Party from taking a decision, as appropriate, with regard to the import of that living modified organism intended for direct use as food or feed, or for processing, in order to avoid or minimise such potential adverse effects.” 165 POPs adalah bahan kimia yang dapat bertahan lama di dalam media lingkungan persistent. Beberapa bahan ini bahkan bisa bertahan lebih dari 100 tahun. Bahan kimia yang digolongkan sebagai POPs dapat berakumulasi dalam tubuh manusia atau hewan bioaccumulate, serta bersifat racun. Dampak terburuk dari POPs adalah kemampuannya untuk mengganggu sistem hormon endoctrine disruption pada makhluk hidup, yang pada gilirannya akan menimbulkan gangguan sangat serius pada sistem reproduksi dan imunitas tubuh. POPs terdiri dari sejumlah bahan kimia yang digunakan sebagai pestisida, sebagai bahan dalam dalam produksi obat-obatan, plastik, dan industri kimia, serta sebagai produk sampingan dari proses industri. Bahan POPs yang terkenal disebut sebagai “the dirty dozen” adalah: aldrin, dieldrin, chlordane, taxaphene, DDT 1,1,1-trichloro-2,2-bis4-chlorophenylethane, endrin, mirex, heptachlor, PCBs Polychlorinated Biphenyls, hexachlorobenzene, dioxins, dan furans. Lihat: D. Hunter, J. Salzman, dan D. Zaelke eds., International Environmental Law and Policy New York: Foundation Press, 1998, hal. 902-905. Indonesia telah merafitifikasi Konvensi POPs melalui UU No. 19 tahun 2009 tentang Pengesahan Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten. 166 Di samping itu, rujukan kepada asas kehati-hatian dapat pula dilihat dalam Pasal 1, Pasal 8 ayat 7, dan Annex C Part VB dari Konvensi. Ketiga rujuka ini dapat diterangkan sebagai berikut. Pasal 1 menyatakan bahwa tujuan dari Konvensi ini adalah untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari POPs. Pasal ini juga mengindikasikan bahwa asas kehati-hatian telah digunakan sebagai dasar untuk mencapai tujuan dari Konvensi ini. Pasal 8 ayat 7 dari Konvensi ini menggunakan asas kehati-hatian sebagai dasar bagi penentuan bahan kimia yang dicantumkan dalam Annex A bahan kimia berupa POPs yang sengaja diproduksi atau intentionally-produced POPs, yang baik produksi, pemakaian, ekport, maupun import-nya haruslah dilarang atau dihapuskan, Annex B intentionally produced POPs yang produksi dan pemakaiannya haruslah dibatasi, dan Annex C bahan kimia yang dianggap sebagai POPs yang tidak sengaja dihasilkan atau unintentionally produced POPs. Annex C Part VB terkait dengan penggunaan teknik terbaik the best available techniques dalam penentuan daftar bahan kimia yang diatur di dalam Konvensi. Dalam hal ini, Annex C Part VB menyatakan bahwa “in determining best available techniques, special consideration should be given, generally or in specific cases, to the following factors, bearing in mind the likely costs and benefits of a measure and consideration of precaution and prevention.” Dari kutipan ini terlihat jelas bahwa Annex C Part VB bermaksud untuk menerapkan asas kehati-hatian dengan berbagai pertimbangan lain, termasuk pertimbangan mengenai biaya dan manfaat cost-benefit analysis. 44 lebih luas, sebagai salah satu asas pengelolaan lingkungan yang diakui di dalam Deklarasi Rio tahun 1992, untuk selanjutnya diadopsi di hampir semua perjanjian internasional terkait perlindungan lingkungan yang muncul setelah Deklarasi Rio tersebut. 167 6.2. Berbagai Dimensi dari Prinsip Kehati-hatian Salah satu kritik yang sering dilontarkan terhadap asas kehati-hatian adalah terdapatnya rumusan yang berbeda-beda dari asas kehati-hatian. 168 Atas dasar ini, beberapa pengarang meragukan bahwa asas kehati-hatian telah berfungsi sebagai sebuah asas hukum. 169 Karena alasan ini, penting kiranya apabila pada bagian ini diperlihatkan elemen-elemen apa saja yang biasanya terdapat dalam perumusan asas kehati-hatian. Untuk maksud tersebut, kita bisa merujuk kepada tulisan dari Sandin, yang telah menjelaskan berbagai versi dari asas kehati-hatian, dan kemudian menguraikan 167 D. Freestone dan E. Hey, “Origin and Development of the Precautionary Principle”, dalam: D. Freestone dan E. Hey eds., The Precautionary Principle and International Law: The Challenge of Implementation The Hague: Kluwer Law International, 1996, hal. 3-4. 168 Wiener misalnya mengelompokkan rumusan asas kehati-hatian ke dalam tiga kelompok, yaitu “Uncertainty Does Not Justify Inaction”, “Uncertain Risk Justifies Action”, dan “Shifting the Burden of Proof”. Menurut Wiener, rumusan “Uncertainty Does Not Justify Action” merupakan versi yang paling lunak, sedangkan “Shifting the Burden of Proof” merupakan versi yang paling keras dari asas kehati- hatian. Lihat penjelasan Wiener terhadap ketiga jenis versi ini dalam: J.B. Wiener, op cit. note Error Bookmark not defined., hal. 1514-1518. Contoh lain dikemukakan pula, misalnya, oleh Munthe yang membedakan rumusan asas kehati- hatian ke dalam ketegori: Pertama, “The Requirement of Precaution”, yang memuat rumusan bahwa kegiatan yang dapat menimbulkan bahaya tidak boleh dilakukan kecuali dapat dibuktikan bahwa kegiatan ini tidak akan menghasilkan resiko yang sangat serius “Activities, which may bring great harm, should not be or be allowed to be undertaken unless they have been shown not to impose too serious risks”. Kedua, “The Proof Requirement of Justifiable Policy Claim”, yang menyatakan bahwa tindakan terhadap kegiatan yang dapat menghasilkan bahaya yang besar dapat dibenarkan meskipun tidak ada bukti ilmiah bahwa kegiatan ini akan menimbulkan bahaya tersebut “Policy measures against some activity that may bring great harm may be justified even if there is no scientific proof that this activity imposes or would impose this harm”. Prinsip ke-15 Dekralrasi Rio, menurut Munthe, adalah contoh dari versi kedua ini. Ketiga, “The Burden of Proof Requirement”, menyatakan bahwa pemrakarsa kegiatan memilkul beban untuk menunjukkan bahwa kegiatannya memenuhi syarat untuk diizinkannya kegiatan tersebut “Showing that some condition for the permissibility of activities is met is the responsibility of those who propose to undertake the activity in question”. Lihat: C. Munthe, The Price of Precaution and the Ethics of Risk Dordrecht: Springer, 2011, hal. 11-12. 169 Misalnya saja, Bodansky, sebagai dikutip oleh Boehmer-Christiansen, menyatakan bahwa asas kehati-hatian terlalu tidak jelas vague untuk berfungsi sebagai standard bagi pembuatan regulasi, sebab asas ini tidak menjelaskan sampai sejauh mana tindakan kehati-hatian harus dilakukan. S. Boehmer-Christiansen, “The Precautionary Principle in Germany—Enabling Government”, dalam: T. O’Riordan dan J. Cameron eds., Interpreting Precautionary Principle London: Earthscan Publication, 1994, hal. 52. Untuk alasan yang sama, Birnie dan Boyle secara skeptis menulis: “Despite its attraction, the great variety of interpretations given to the precautionary principle, and the novel and far-reaching effects of some applications suggest that it is not yet a principle of international law. Difficult questions concerning the point at which it becomes applicable to any given activity remain unanswered and seriously undermine its normative character and practical utility, although support for it does indicate a policy of greater prudence on the part of those states willing to accept it.”—[garis bawah dari penulis].” Lihat: P. Birnie dan A. Boyle, International Law and the Environment Oxford: Clarendon Press, 1995, hal.98. 45 versi tersebut ke dalam empat elemen pembentuk asas kehati-hatian. 170 Keempat elemen ini akan dijabarkan dalam penjelasan berikut ini. Elemen yang pertama adalah batas minimum “threshold” yang dijadikan ukuran untuk memicu tindakan kehati-hatian. 171 Sebelum tindakan pencegahan terhadap resiko tertentu dilakukan, terlebih dahulu harus terdapat batas minimum yang merujuk pada potensi bahaya yang ingin dicegah. Begitu batas minimum ini dilampaui, maka tindakan pencegahan menjadi dapat dibenarkan. Semakin mudah batasan minimum ini dianggap terlampaui, maka asas kehati-hatian akan menjadi semakin kuat semakin tinggi tingkat kehati-hatiannya. Meski demikian, perlu lah diingat bahwa asas kehati-hatian ini merupakan asas yang eksepsional dan hanya berlaku untuk kasus-kasus tertentu, sehingga perumusan yang sangat longgar atas batasan minimum ini justru akan bertentangan dengan niat awal dari dibuatnya asas kehati-hatian. 172 Beberapa dokumen hukum yang berhasil dikumpulkan memperlihatkan adanya perbedaan penggunaan istilah yang dipakai untuk menentukan batas minimum ini. Meskipun demikian, istilah yang paling sering digunakan adalah “serious or irreversible damage”, yaitu kerusakan yang serius dan tidak bisa dipulihkan. Batasan ini dapat dikatakan cukup tinggi, dalam arti cukup susah untuk dilampaui. 173 De Sadeleer beranggapan bahwa asas kehati-hatian seharusnya hanya diterapkan pada kerusakan kolektif dan bersifat katastropik “collective damage which is catastrophic in nature”. 174 Dengan demikian, bahaya yang akan dicegah tidaklah sekedar bersifat tidak bisa dipulihkan irreversible, tetapi lebih dari itu haruslah merupakan bahaya serius yang akan berdampak secara luas. Elemen kedua dari asas kehati-hatian adalah ketidakpastian uncertainty. Sandin menyimpulkan bahwa asas kehati-hatian akan semakin keras apabila unsur ketidakpastian ini dirumuskan secara luas. Semakin luas unsur ketidakpastian dirumuskan, semakin mudah pula bahaya dibuktikan, dan semakin sering tindakan 170 Berdasarkan terminologi yang digunakan untuk mengekrpresikan masing-masing elemen yang oleh Sandin disebut sebagai dimensi dimention ini, Sandin kemudian menjelaskan setiap versi asas kehati-hatian berdasarkan kepresisian dan kekuatannya strength. Yang dimaksud dengan kekuatan di sini adalah tingkat kehati-hatian “degree of cautiousness”, yaitu sejumlah kasus yang akan kemudian akan terkena oleh asas kehati-hatian ini. Semakin banyak kasuskegiatan yang akan terkena, maka semakin tinggi tingkat kahati-hatian yang ingin dicapai. Lihat: P. Sandin, “Dimensions of the Precautionary Principle”, Human and Ecological Risk Assessment, Vol. 55, 1999: hal. 890. 171 Sandin menggunakan istilah ancaman “threat” untuk merujuk pada patokan ini. Meski demikian, penulis akan menggunakan istilah batas minimum threshold karena hal ini merujuk pada ukuran minimum yang seharusnya ada sebelum tindakan kehati-hatian dilakukan. 172 Nollkaemper menyatakan bahwa pada dasarnya batas inimum ini dapat mengesampingkan pertimbangan mengenai biaya dari upaya pencegahan. Meski demikian, di dalam prakteknya, penentuan batasan minimum ini seringkali memberikan ruang bagi diskresi dan masuknya pertimbangan biaya, sebab pada kenyataannya biasanya sangat sulit untuk secara ilmiah menunjukkan apakah batasan minimum tersebut telah dilampaui atau tidak. A. Nollkaemper, “What You Risk Reveals What You Value and Other Dilemmas Encountered in the Legal Assault on Risks”, dalam: D. Freestone dan E. Hey eds., The Precautionary Principle and International Law: The Challenge of Implementation The Hague: Kluwer Law International, 1996, hal. 81-82. 173 Bandingkan misalnya dengan batasan berupa “possible or potentially damaging effects” atau “harm or hazards to humans or the environment”, yang menurut penulis sangat mudah untuk dilampaui. Biasanya para pengamat mengkategorikan istilah “irreversible”, “serious”, dan “catastrophic” ke dalam satu kelompok, sebagai lawan dari kerugian yang “reversible”, “non catastrophic”, dan “well behaved”. Lihat: D. Flemming, “The Economics of Taking Care: an Evaluation of the Precautionary Principle”, dalam: D. Freestone dan E. Hey eds., The Precautionary Principle and International Law: The Challenge of Implementation The Hague: Kluwer Law International, 1996, hal. 157-158. 174 N. de Sadeleer, op cit. note 150, hal. 165. 46 kehati-hatian diambil. 175 Secara umum, berbagai dokumen hukum biasanya menginterpretasikan ketidakpastian sebagai ketidakpastian ilmiah, yaitu “lack of scientific certainty”. Meski demikian, beberapa dokumen secara spesifik merumuskan ketidakpastian dalam kaitannya dengan hubungan kausalitas antara input dan efek. Lebih jauh lagi, fakta bahwa sebagian besar dokumen menggunakan istilah “lack of scientific certainty” secara implisit menunjukkan bahwa asas kehati-hatian digunakan tidak hanya untuk situasi uncertainty yang ditandai dengan tidak adanya informasi mengenai probabilitas, tetapi juga berlaku untuk situasi ambiguity dan ignorance. 176 Elemen ketiga adalah elemen yang terkait dengan tindakan yang akan diambil precautionary measures. Sebagian besar dokumen mengartikan elemen ini sebagai tindakan untuk menghindari avoid atau mencegah prevent ancaman. Hal ini memperlihatkan bahwa asas kehati-hatian sangat terkait erat dengan asas pencegahan, karena kedua asas ini sama-sama bertujuan untuk menghindarmencegah terjadi bahaya. Perbedaannya terletak pada kapan upaya pencegahan tersebut akan dilakukan. Dalam asas kehati-hatian, tindakan pencegahan dilakukan terhadap bahaya besar tetapi belum pasti uncertain threats, sedangkan dalam asas pencegahan tindakan pencegahan ditujukan pada bahaya yang lebih pasti certain threats. Dengan demikian, asas kehati-hatian tidak lain dari pada perluasan asas pencegahan, yang akan dikenakan pada situasi incertitude serta hanya diperuntukkan bagi bahaya yang serius dan tidak bisa dipulihkan. 177 175 P. Sandin, op cit. note 170, hal. 892-893. Pengarang lain justru menyatukan elemen “uncertainty” dengan elemen “threshold”. Puder misalnya, menggabungkan elemen “uncertainty” dan “threshold” di dalam elemen “if” if-criteria yang menunjukkan kapan tindakan kehati-hatian ini akan dilakukan. Lihat: M.G. Puder, “The Rise of Regional Integration Law RIL: Good News for International Environmental Law IEL?”, Georgetown International Environmental Law Review, Vol. 23, 2011: hal. 190-191. Pembagian Puder ini dapat dimengerti apabila kita melihat bahwa adalam konteks asas kehati-hatian, baik “uncertainty” dan “threshold” sebenarnya merupakan kesatuan yang akan menjadi pemicu trigger dari upaya kehati-hatian. Dalam hal ini, tindakan kehati-hatian tidak hanya dipicu oleh keseriusan tingkat ancaman, tetapi juga oleh informasi ilmiah untuk membuktikan ancaman tersebut. 176 Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa sebagian besar dokumen telah menginterpretasikan ketidakpastian secara luas, yaitu sebagai ketidakmenentuan incertitude. Lihat diskusi tentang hal ini pada pembahasan jawaban atas kritik terhadap asas kehati-hatian di atas. 177 Marr dan Schwemer mendiskusikan bagaiman asas kehati-hatian diterapkan dalam hukum lingkungan Jerman. Menurut mereka, asas kehati-hatian di Jerman “implies the adverse effects to the environment or human health on the basis of potential risks Risikovorsorge, rather than classical hazard prevention Gefahrenabwehr under the preventive principle.” Perbedaan antara penghindaran resiko risk avoidance dalam konteks asas pencegahan dan upaya kehati-hatian terletak pada kemungkinan untuk mengidentifikasi sebuah resiko. Dalam hal ini, asas pencegahan merujuk pada adanya kemampuan untuk mengidentifikasi resiko secara ilmiah, sedangkan asas kehati-hatian merujuk pada pengakuan atas luasnya ketidakpastian ilmiah the pervasiveness of uncertainty. Lihat: S. Marr dan A. Schwemer, “The Precautionary Principle in German Environmental Law”, dalam: H. Somsen, et al. eds., The Yearbook of European Environmental Law Vol. 3 Oxford: Oxford University Press, 2003, hal. 134. Lihat pula: K. von Moltke, “The Relationship between Policy, Science, Technology, Economics and Law in the Implementation of the Precautionary Principle”, dalam: D. Freestone dan E. Hey eds., The Precautionary Principle and International Law: The Challenge of Implementation The Hague: Kluwer Law International, 1996, hal. 102. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Cameron dan Abouchar yang menyatakan bahwa asas kehati-hatian merupakan pengimplementasian asas pencegahan menurut Prinsip ke-21 Dekralarsi Stockhom, yaitu tentang kewajiban untuk tidak menyebabkan bahaya, kepada situasi yang diliputi ketidakpastian ilmiah. Lihat: J. Cameron dan J. Abouchar, The Status of the Precautionary Principle in International Law, in: dalam: D. Freestone dan E. Hey eds., The Precautionary Principle and International Law: The Challenge of Implementation The Hague: Kluwer Law International, 1996, hal. 46. 47 Dalam hal ini penting pula untuk menjelaskan di sini bahwa beberapa dokumen juga mengaitkan upaya pencegahan tersebut di atas dengan beberapa batasan atau pertimbangan. Secara umum, pertimbangan kepada hal-hal di luar persoalan keselamatan safety ternyata juga mendapat perhatian. Pembatasan atau pertimbangan ini merupakan hal yang dapat pula menentukan kekuatan dari asas kehati-hatian yang dirumuskan. 178 Di dalam asas kehati-hatian versi Deklarasi Rio pembatasan ini dilakukan dengan menyatakan bawha tindakan pencegahan haruslah merupakan tindakan yang “cost-effective”. Sementara itu, the 2002 Stockholm Convention on POPs, secara eksplisit meminta agar asas kehati-hatian diterapkan sesuai dengan cost-benefit analysis CBA. 179 Lebih jauh lagi, Piagam Lingkungan Hidup Perancis menyatakan bahwa asas kehati-hatian justru dilaksanakan dalam bentuk risk assessment dan tindakan yang provisional dan proporsional. Elemen keempat dari asas kehati-hatian adalah elemen perintah command. Dalam hal ini, kekuatan asas kehati-hatian akan ditentukan oleh status dari tindakan kehati-hatian. 180 Status tindakan yang wajib mandatory biasanya diekspresikan dalam rumusan “shall strive to adopt” atau “must not wait.” Meskipun demikian, sebagian besar dokumen merumuskan tindakan kehati-hatian dalam status yang tidak jelas vague, yaitu bahwa ketidakpastian ilmiah tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda tindakan kehati-hatian shall not be used as a reason for postponing. Dalam rumusan seperti ini, tidak jelas apakah tindakan kehati-hatian tersebut diharuskan atau tidak, sebab rumusan yang seperti ini hanya menyatakan bahwa, meminjam istilah Wiener, Uncertainty Does Not Justify Inaction. 181 Meskipun Piagam Lingkungan Dunia World Charter of Nature tahun 1982 adalah satu-satunya dokumen yang secara eksplisit merumuskan adanya pembalikan beban pembuktian shifting the burden of proof, persoalan beban pembuktian ini bukanlah sesuatu yang tidak bisa dikesampingkan. Tickner dan Raffensperger menyatakan bahwa dalam asas kehati-hatian pemrakarsa kegiatan memikul beban untuk membuktikan bahwa kegiatan tidak akan menimbulkan bahaya yang tidak perlu undue harm bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Menurut pengarang ini, mereka yang memiliki kekuasaan, kontrol, dan sumber daya, memikul tanggung jawab pembuktian ini, yang dapat meliputi tanggung jawab finansial, tanggung jawab untuk mengawasi, memahami, menginformasikan kepada masyarakat dan pejabat, serta untuk melakukan tindakan atas potensi dampak. Dalam hal ini, ketidakpastian ilmiah tidak lagi dapat digunakan sebagai alasan untuk menunda upaya pencegahan 178 Sandin sayangnya tidak memberikan perhatian pada persoalan pembatasan ini. Sebaliknya, beberapa pengarang justru menyatakan bahwa pembatasanpertimbangan ini merupakan elemen yang penting karena dapat berguna untuk mencegah penerapan asas kehati-hatian secara absolute. Beberapa pengarang menyatakan bahwa ketika melaksanakan tindakan kehati-hatian penting untuk selalu menimbang manfaat dan resiko dari sebuah kegiatan yang ingin dicegah, atau menimbang antara resiko yang ingin dicegah dengan resiko dari tindakan pencegahan. Pendeknya, faktor manfaat dan biaya dari tindakan kehati-hatian harus tetap diperhatikan secara serius. Lihat: A. Nollkaemper, op cit. note 172, hal. 87-93. Lihat pula: T. Christoforou, “The Precautionary Principle in European Community Law and Science”, dalam: J.A. Tickner ed., Precaution, Environmental Science, and Preventive Public Policy Washington, DC: Island Press, 2003, hal. 249-250. 179 Limitasi lain yang juga digunakan di dalam beberapa dokumen adalah rujukan kepada “the Best Available Technology” BAT, “The developments in scientific knowledge” atau “Technical and economic considerations”. 180 P. Sandin, op cit. note 170, at 895. 181 Meski demikian, Wiener menginterpretasikan rumusan demikian memiliki status non- mandatory, sebab rumusan ini hanya memperbolehkan untuk dilakukannya tindakan kehati-hatian. Lihat: J.B. Wiener, op cit. note Error Bookmark not defined., hal. 1515. 48 bahaya tersebut. 182 . Dalam hal ini, maka dapat disimpulkan pula bahwa persoalan pembalikan beban pembuktian merupakan hal yang secara otomotis termaktub di dalam asas kehati-hatian, bahkan di dalam versi terlemah dari asas kehati-hatian ini. Beberapa pengarang, meski demikian, telah mengajukan kritik pedas terhadap pembalikan beban pembuktian ini. Mereka menyatakan bahwa pembalikan beban pembuktian telah memberikan beban yang sangat berat dan tidak mungkin teratasi kepada para pemrakarsa kegiatan, karena dengan pembalikan beban ini para pemrakarsa harus menunjukkan bahwa kegiatannya sama sekali tidak akan menimbulkan bahaya atau seringkali diistilahkan sebagai bukti tidak adanya resiko the zero risk proof. 183 Menurut penulis, kritik tersebut telah salah alamat, karena telah mencampuradukkan antara pengertian “the standard of proof” yang berfungsi menentukan bukti apa yang harus diajukan, dengan “the burden of proof” yang berfungsi menentukan siapa yang memiliki beban pembuktian. Bukti zero risk merupakan bagian dari “standard of proof”, dan bukan bagian dari “shifting the burden of proof”, sehingga bukti ini juga bukan merupakan bagian dari asas kehati- hatian. Lebih jauh lagi, pembalikan beban pembuktian ini bukanlah merupakan ciri khas yang dimiliki hanya oleh asas kehati-hatian, sebab asas pencegahan pun sesungguhnya memiliki ciri ini, terutama apabila diterapkan di dalam instrumen analisa dampak, seperti Amdal. Penulis pun sependapat dengan Munthe yang menyatakan bahwa dalam asas kehati-hatian, pemrakarsa tidaklah sepenuhnya memegang beban pembuktian. Pada tahap awal, masyarakat atau pejabat negara lah yang harus membuktian bahwa batas minimum threshold telah terlampaui, yaitu bahwa kegiatan yang akan dilakukan dapat menimbulkan bahaya yang serius. 184 Pembalikan beban pembuktian karenanya hanya terjadi apabila kegiatanancaman bahaya yang dianalisa telah terbukti melewati batasan minimum ini.

6.3. Asas Kehati-hatian di Indonesia