19
pembangunan, konsep keadilan intra generasi juga bisa dikaitkan dengan distribusi resikobiaya sosial dari sebuah kegiatan pembangunan.
Bagi Langhelle, keadilan intra generasi merupakan prioritas pertama dari pembangunan berkelanjutan. Hal ini, menurut Langhelle, ditunjukkan dalam bagian
pertama dari definisi pembangunan berkelanjutan, yaitu “development that meets the needs of the present...”. Bagian inilah yang menunjukkan adanya komitmen dari
negara-negara terhadap keadilan, termasuk redistribusi dari pihak yang kaya kepada yang miskin, baik dalam level nasional maupun internasional.
63
Dalam pengelompokan yang dibuat oleh Kuehn, persoalan keadilan lingkungan dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu keadilan lingkungan sebagai keadilan
distributif, keadilan lingkungan sebagai keadilan korektif, keadilan lingkungan sebagai keadilan prosedural, dan keadilan lingkungan sebagai keadilan sosial.
64
Tulisan ini akan menjelaskan keadilan intra generasi dengan mengikuti pengelompokkan yang dibuat oleh Kuehn tersebut.
3.1. Keadilan lingkungan sebagai keadilan distributif
Berdasarkan pendapat Dobson, sebagaimana dikutip oleh Langhelle, keadilan distributif memiliki kaitan yang sangat erat dengan pembangunan berkelanjutan
karena tiga alasan, yaitu: pertama, lingkungan hidup merupakan sumber daya yang harus didistribusikan secara adil; kedua, keadilan bersifat fungsional bagi terciptanya
keberlanjutan; dan ketiga, keberlanjutan juga membutuhkan adanya keadilan bagi lingkungan hidup itu sendiri. Langhelle sendiri kemudian menambahkan alasan
keempat, yaitu bahwa keberlanjutan pun merupakan syarat yang dibutuhkan necessary condition bagi terciptanya keadilan.
65
Keadilan distributif dapat didefinisikan sebagai hak atas persamaan perlakuan equal treatment, dalam hal ini persamaan atas distribusi barang dan kesempatan.
Dalam konteks lingkungan hidup, keadilan distributif ini terkait dengan persamaan atas beban dan dampak lingkungan yang dihasilkan dari kegiatan yang
membahayakan lingkungan. Dalam konteks ini, maka keadilan distributif memberikan perhatian pada dampak lingkungan yang terdistribusi secara tidak adil, di
mana mereka dari kelompok masyarakat miskin, perempuan, dan ras tertentu sering kali merupakan kelompok yang paling merasakan dampak lingkungan.
66
Dengan demikian, kondisi ketidakadilan lingkungan bisa ditunjukkan dengan merujuk pada pembagian sumber daya alam dan pemanfaatan yang tidak merata,
ataupun pada pembagian resiko kerusakan lingkungan yang juga tidak seimbang. Dalam hal ini, berbagai contoh menunjukkan bahwa mereka yang menerima porsi
terbesar dari manfaat pembangunan dan berkontribusi paling besar pada terjadinya degradasi kualitas lingkungan, justru adalah mereka yang tidak terlalu menanggung
dampak dari kerusakan lingkungan. Sebaliknya, dampak ini biasanya lebih sering dirasakan oleh penduduk lokal, masyarakat adat, atau rakyat miskin, yang
kontribusinya pada persoalan lingkungan biasanya tidak terlalu besar. Kondisi ketidakadilan ini dapat terjadi baik pada level nasional maupun global. Dengan
demikian, maka prinsip keadilan intra generasi biasanya ditujukan untuk
63
Oluf Langhelle, “Sustainable Development and Social Justice: Expanding the Rawlsian Framework of Global Justice”, Environmental Values, Vol. 9, 2000, hal. 300.
64
Robert R. Kuehn, “A Taxonomy of Environmental Justice”, Environmental Law Reporter, Vol. 30, 2000, hal. 10681.
65
Oluf Langhelle, op cit. note 63, hal. 296.
66
Robert Kuehn, op cit. note 64, hal. 10684.
20
menghilangkan, atau setidaknya meminimalkan, ketidakmerataan pembagian manfaat dan resiko lingkungan dari pemanfaatan sumber daya lingkungan.
Namun demikian, perlu ditegaskan di sini bahwa keadilan distributif tidaklah menghendaki adanya redistribusi pencemaran atau resiko lingkungan. Sebaliknya,
keadilan distributif dalam konteks keadilan lingkungan pada satu sisi menghendaki adanya perlindungan yang sama terhadap dampak lingkungan, serta adanya
pencegahan dan penurunan resiko lingkungan. Dalam hal ini, yang diinginkan oleh keadilan distributif bukanlah adanya redistribusi resiko lingkungan, tetapi adanya
penurunan resiko. Pada sisi lain, keadilan lingkungan juga meminta adanya pemerataan manfaat dari upaya-upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang
dilakukan saat ini.
67
Tentu saja, beban biaya yang ditanggung untuk pencegahan dan penurunan resiko lingkungan secara proporsional harus terkait dengan kontribusi
terhadap persoalan lingkungan. Ketidakadilan lingkungan memiliki keterkaitan dengan berbagai faktor, di
antaranya kemiskinan, kerentanan, pekerjaan, dan ras atau etnik. -
Kemiskinan Bukti ketidakadilan lingkungan dapat terlihat dari sumber-sumber pencemaran
yang biasanya berlokasi di daerah kumuh. Berder menunjukkan bahwa sebagian besar dari pabrik-pabrik yang paling mencemari biasanya terletak dekat dengan
komunitas masyarakat berpenghasilan rendah.
68
Dengan kata lain, maka dampak dari pencemaran dan kerusakan lingkungan biasanya pertama kali dan paling
parah dirasakan oleh masyarakat yang secara ekonomi tidak mampu. Masyarakat yang secara ekonomi lebih mampu biasanya memikul beban dari
dampak lingkungan yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan masyarakat yang miskin. Hal ini terjadi karena masyarakat yang secara ekonomi mampu
sering kali lebih memiliki banyak pilihan untuk menentukan bagaimana mereka akan hidup. Misalnya, mereka dapat dengan mudah memilih tempat tinggal di
lokasi yang kualitas lingkungannya masih baik, sehingga mereka pun memiliki akses yang lebih mudah untuk menikmati kualitas lingkungan yang baik. Di
samping itu, karena kemampuan ekonominya, pendidikan, atau pengaruhnya, masyarakat yang secara ekonomi mapan juga lebih mampu mempengaruhi
pengambilan keputusan yang dapat terkait dengan kualitas lingkungan.
69
- Kerentanan
Tingkat keseriusan dampak dari berbagai persoalan lingkungan dapat ditentukan oleh berbagai faktor, seperti usia, jenis kelamin, penghasilan, dan status
kesehatan seseorang. Dalam hal ini, anak-anak, perempuan, mereka yang berpenghasila rendah, dan orang sakit dianggap lebih rentan terhadap berbagai
persoalan lingkungan.
70
Ironisnya, standar lingkungan yang ditetapkan berdasarkan ukuran rata-rata manusia, cenderung untuk mengabaikan dampak
terhadap mereka yang lebih rentan ini. -
Pekerjaan Pekerja di dalam sektorindustri tertentu, misalnya pertambangan, menghadapi
resiko yang lebih tinggi dari anggota masyarakat kebanyakan. Di beberapa negara, seperti AS, para pekerja ini biasanya berasal dari ras tertentu atau
imigran. Di samping itu, di banyak negara, standar lingkungan di tempat kerja biasanya lebih rendah dari standar kualitas lingkungan secara umum, sehingga
67
Ibid.
68
Ibid., hal. 72.
69
Ibid.
70
Ibid., hal. 72-73.
21
para pekerja ini memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya.
71
- Ras atau etnik
Di negara-negara tertentu, ras atau kelompok etnik merupakan faktor yang bisa mempengaruhi beban dampak lingkungan yang diderita seseorang. Misalnya,
sebuah kajian EPA menunjukkan bahwa warga kulit hitam AS memiliki kemungkinan sebanyak 79 lebih tinggi dibandingkan dengan warga kulit putih
untuk tinggal di daerah yang tercemar. Lebih buruk lagi, masyarakat ini biasanya juga adalah masyarakat yang paling miskin dan paling tinggi tingkat
penganggurannya.
72
Lebih jauh lagi, perlu pula dijelaskan di sini bahwa ketidakadilan lingkungan dapat terjadi dalam skala global, yaitu berupa ketidakadilan terhadap negara
miskinberkembang. Misalnya, negara berkembang sering kali dijadikan tujuan sebagai tempat pembuangan limbah dari negara maju.
73
Lebih dari itu, dalam banyak persoalan lingkungan global, seperti pemanasan global, negara berkembang seringkali
merupakan pihak yang paling rentan dan paling menderita akibat dari persoalan tersebut, meskipun kontribusinya terhadap persoalan jauh lebih kecil dibandingkan
dengan kontribusi negara maju.
74
Keadilan distributif dalam kerangka hubungan antar negara bisa dilihat dari prinsip hukum Common-but-Differentiated Responsibility CBDR, yaitu sebuah
prinsip hukum yang menyatakan bahwa persoalan lingkungan sering kali merupakan tanggung jawab bersama, tetapi beban setiap negara atas tanggung jawab tersebut
seharusnya berbeda-beda. CBDR secara jelas terlihat di dalam Prinsip 6 dan 7 Deklarasi Rio 1992. Prinsip 6 menyatakan bahwa negara berkembang, terutama
negara miskin dan paling rentan terhadap persoalan lingkungan, berhak untuk menjadi prioritas.
75
Sedangkan Prinsip 7 menyatakan bahwa kerja sama antar negara dalam pengelolaan lingkungan harusnya didasarkan pada CBDR. Dalam hal ini, negara
maju memiliki tanggung jawab yang lebih bagi perwujudan pembangunan berkelanjutan dikarenakan kontribusi mereka terhadap persoalan lingkungan global,
dan juga kemampuan teknologi dan keuangan mereka yang lebih mapan.
76
CBDR memuat tiga aspek penting, seperti dikemukakan oleh Weiss, yang perlu dijelaskan di sini. Pertama adalah aspek kebersamaan, yang oleh Weiss disebut
sebagai “shared aspect”. Dalam aspek ini, CBDR memuat pesan bahwa lingkungan
71
Ibid., hal. 73.
72
Ibid.
73
Surat dari Lawrence Summer dengan jelas menyatakan bahwa secara ekonomi pembuangan limbah lebih efisien jika dilakukan di negara miskin.
74
Dalam konteks perubahan iklim, misalnya, porsi terbesar sekitar 80 dari konsentrasi gas rumah kaca sebagai penyebab perubahan iklim, berasal dari negara maju. Namun demikian, negara
berkembang memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap dampak perubahan iklim dibandingkan dengan negara maju. Lihat: Ibid., hal. 74-75.
75
Dalam hal ini, Prinsip 6 Deklarasi Rio menyatakan: “The special situation and needs of developing countries, particularly the least developed and those most environmentally vulnerable, shall
be given special priority...”
76
Prinsip 7 Deklarasi Rio menyatakan: “States shall cooperate in a spirit of global partnership to conserve, protect and restore the
health and integrity of the Earths ecosystems. In view of the different contributions to global environmental degradation, States have common but differentiated responsibilities. The
developed countries acknowledge the responsibility that they bear in the international pursuit of sustainable development in view of the pressures their societies place on the
global environment and of the technologies and financial resources they command.”
22
hidup global merupakan milik bersama commons, sehingga pada satu sisi akses terhadap lingkungan hidup tidak bisa dibatasi, dan pada sisi lain sebuah kegiatan di
sebuah tempat dapat memiliki dampak lingkungan yang bersifat global. Karena itulah, maka persoalan lingkungan merupakan persoalan bersama yang
penyelesaiannya mensyaratkan adanya kerja sama dari semua pihak.
77
Aspek kedua adalah aspek kontekstual contextual aspect, yaitu bahwa tanggung jawab bersama
untuk mengatasi persoalan lingkungan perlu dibuat dengan jalan memperhatikan perbedaan tiap negara. Konsekuensi dari perhatian terhadap persoalan kontekstual
dapat dilihat dari adanya kelonggaran yang diberikan kepada negara berkembang untuk memenuhi komitmen internasional, serta adanya bantuan terhadap negara
berkembang dan peningkatan kapasitas mereka dalam rangka pemenuhan komitmen tersebut.
78
Aspek ketiga adalah aspek keadilan equity aspect, dalam arti bahwa perbedaan tanggung jawab dari tiap negara terkait dengan kontribusi dari negara
tersebut atas persoalan lingkungan yang ada. Dalam hal ini, aspek keadilan dari CBDR meminta agar negara yang memiliki kontribusi lebih besar bagi munculnya
persoalan lingkungan memikul tanggung jawab yang lebih besar untuk mengatasi persoalan lingkungan tersebut.
79
Dua aspek terakhir yang dikemukakan di atas, yaitu aspek kontekstual dan aspek keadilan, menunjukkan bahwa bagian terpenting dari CBDR adalah adanya
pembedaan perlakuan, diferensiasi, antara negara maju dan negara berkembang. Dengan demikian, diferensiasi dapat dibenarkan secara konseptual maupun secara
kontekstual. Secara konseptual, terdapat beberapa alasan untuk membenarkan adanya diferensiasi. Pertama, diferensiasi dibenarkan karena adanya perbedaan
kontribusi. Dalam hal ini, negara maju memiliki tanggung jawab yang lebih dari negara berkembang karena negara maju memiliki kontribusi yang lebih besar bagi
munculnya persoalan lingkungan global. Alasan konseptual inilah yang terdapat pada kalimat ketiga dari Prinsip 7 Deklarasi Rio, yang menyatakan bahwa “[t]he developed
countries acknowledge the responsibility that they bear in the international pursuit of sustainable development in view of the pressures their societies place on the global
environment” [garis bahwa dari penulis]. Alasan ini dapat pula dilihat dari Paragraf ke-16 Bagian Pembukaan dari Resolusi Majelis Umum PBB No. 44228 tahun 1989,
yang menyatakan bahwa “the responsibility for containing, reducing, and eliminating global environmental damage must be borne by the countries causing such damage,
must be in relation to the damage caused and must be in accordance with their respective capabilities and responsibilities” [garis bawah dari penulis].
80
Contoh- contoh ini menunjukkan bahwa alasan konseptual dari diferensiasi tanggung jawab
sesungguhnya terkait sangat erat dengan prinsip pencemar membayar polluter pays principle. Kedua, diferensiasi konseptual dapat dibenarkan karena sebagai pihak
yang paling banyak mengambil keuntungan dari adanya eksploitasi lingkungan, negara maju selayaknya memikul porsi tanggung jawab terbesar untuk mengatasi
dampak dari eksploitasi tersebut.
81
Ketiga, secara konseptual diferensiasi pun dapat dibenarkan sebagai perlakuan istimewa bagi negara berkembang yang berlaku untuk
77
Edith Brown Weiss, “Common but Differentiated Responsibilities in Perspective”, Proceedings of the Annual Meeting American Society of International Law, Vol. 96, 2002, hal. 366-367.
78
Ibid., hal. 367.
79
Ibid., hal. 368.
80
Sixteenth preambular paragraph, UNGA ARES44228, 22 December 1989.
81
Duncan French, “Developing States and International Environmental Law: The Importance of Differentiated Responsibilities”, The International and Comparative Law Quarterly, Vol. 491, 2000,
hal. 48-49.
23
sementara waktu saja. Dalam hal ini, French mengatakan bahwa dengan tingkat pencemaran di negara berkembang yang saat ini telah mencapai tingkat yang cukup
tinggi, bahkan mungkin sudah melampaui tingkat pencemaran dari negara maju, maka tanggung jawab yang lebih tinggi dari negara maju tidak bisa berlangsung
selamanya.
82
Ini berarti bahwa pada suatu saat nanti, negara berkembang haruslah memikul tanggung jawab yang relatif sama dengan negara maju.
Secara kontekstual, diferensiasi tanggung jawab dapat dibenarkan karena adanya alasan-alasan khusus yang diberikan kepada negara berkembang. Dalam hal
ini, pada dasarnya diakui bahwa tanggung jawab haruslah sama. Tetapi mengingat kondisi dari negara berkembang, maka tanggung jawab tersebut mengalami
diferensiasi, dalam arti bahwa negara berkembang diberikan beberapa pengecualian atau kelonggaran untuk memenuhi tanggung jawab komitmen yang ada. French
mengemukakan beberapa alasan mengapa pembedaan kontekstual ini terjadi. Pertama, negara maju dianggap memiliki kemampuan teknologi dan keuangan yang
lebih baik dibandingkan dengan negara berkembang, sehingga wajar jika negara maju memiliki tanggung jawab komitmen yang lebih dibandingkan dengan negara
berkembang. Kedua, persoalan lingkungan yang paling dahsyat sering kali terjadi di negara berkembang, yang sayangnya memiliki kapasitas yang lemah untuk
menghadapi persoalan lingkungan tersebut. Wajarlah jika negara maju memiliki kewajiban yang lebih untuk membantu negara berkembang dalam mengatasi
persoalan lingkungan tersebut.
83
Ketiga, perlakuan istimewa kepada negara berkembang dibenarkan karena negara berkembang belum memiliki kemampuan
teknologi dan keuangan yang memadai. Dalam hal ini, bagi banyak negara berkembang, yang saat ini masih berjuang untuk mencapai kesejahteraan dan
mengentaskan kemiskinan, persoalan lingkungan sering kali bukanlah merupakan persoalan yang dianggap prioritas.
84
Keempat, diferensiasi tanggung jawab yang mengistimewakan kedudukan negara berkembang diperlukan agar negara berkembang
mau terlibat dalam berbagai perjanjian lingkungan internasional.
85
Dalam hal ini, diferensiasi dianggap sangat penting karena negara-negara berkembang, sebagai
negara yang kontribusinya tidak bisa dianggap kecil bagi terjadinya persoalan lingkungan global dan sebagai negara yang juga menerima dampak yang sangat besar
dari persoalan lingkungan tersebut, perlu diberikan insentif untuk terlibat dalam upaya global untuk mengatasi persoalan lingkungan.
Diferensiasi tanggung jawab yang sering ditemukan dalam berbagai kesepakatan lingkungan dapat dikelompokkan ke dalam tiga tipe. Pertama, adalah
perbedaan dalam hal komitmen standar. Dalam hal ini, kita bisa merujuk pada konvensi tentang perubahan iklim, United Nations Framework Convention on Climate
Change UNFCCC, yang secara jelas membagi negara-negara ke dalam “Annex 1 countries” negara maju, dan “non-Annex 1 countries” negara berkembang. Negara
Annex 1 memiliki berbagai kewajiban yang bertujuan untuk menstabilkan emisi gas rumah kaca GRK pada level tahun 1990,
86
sedangkan negara Non-Annex 1
82
Ibid., hal. 49-50.
83
Ibid., hal. 50-51.
84
Ibid., hal. 52.
85
Ibid., hal. 56.
86
The 1992 UN Framework Convention on Climate Change, 9 May 1992 in force 21 March 1994, 1771 UNTS 107, 31 ILM 849 1992—selanjutnya disebut UNFCCC, dalam Pasal 4 par. 2b
menyatakan bahwa “In order to promote progress to this end, each of these Parties [negara Annex I—penulis]
shall communicate, within six months of the entry into force of the Convention for it and periodically thereafter, and in accordance with Article 12, detailed information on its
24
dibebaskan dari kewajiban ini. Oleh Protokol Kyoto, kewajiban ini secara lebih tegas lagi dirumuskan di dalam target penurunan emisi yang tercantum di dalam Annex B
dari Protokol Kyoto.
87
Singkatnya, berdasarkan rezim UNFCCC dan Protokol Kyoto, hanya negara majulah yang memiliki kewajibantarget untuk melakukan pengurangan
dan pembatasan emisi GRK. Kedua, diferensiasi juga dapat bersifat kontekstual. Dalam hal ini, French
merujuk pada beberapa dokumen, seperti UNFCCC, Protokol Kyoto, Convention on Biological Diversity CBD, Prinsip-prinsip Kehutanan tahun 1992 1992 Forest
Principles, dan United Nations Convention to Combat Desertification UNCCD 1994, yang secara tegas memberikan perhatian khusus pada keadaan dan kebutuhan
negara berkembang. Difersifikasi seperti ini merupakan pendekatan yang fleksibel terhadap persoalan lingkungan internasional dengan memberikan perhatian pada
realitas ekonomi dan sosial yang ada.
88
Ketiga, diferensiasi tanggung jawab dapat pula terkait dengan persoalan pendanaan. Terkait hal ini beberapa perjanjian, seperti Montreal Protocol on Ozone
Depleting Substances, memuat beberapa ketentuan mengenai adanya bantuan keuangan dan tekonologi dari negara maju kepada negara berkembang.
89
Bentuk lain dari diferensiasi ini dapat pula terlihat dari pembentukan lembaga dana bagi
perlindungan dan pengelolaan lingkungan global, yang sumber pendanaannya berasal dari negara maju. Hal ini dapat dilihat, misalnya, pada Copenhagen Green Climate
Fund, yang dihasilkan dari Copenhagen Accord sebagai produk kesepakatan yang dihasilkan dari pertemuan negara anggota Conference of Parties—COP dari
UNFCCC. Dalam hal ini, Copenhagen Accord memuat komitmen negara maju bagi pendanaan Climate Fund.
90
policies and measures referred to in subparagraph a above, as well as on its resulting projected anthropogenic emissions by sources and removals by sinks of greenhouse gases
not controlled by the Montreal Protocol for the period referred to in subparagraph a, with the aim of returning individually or jointly to their 1990 levels these anthropogenic
emissions of carbon dioxide and other greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol.”—[garis bawah dari penulis].
87
The 1997 Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change, 10 Dec. 1997, U.N. Doc FCCCCP19977Add.1, 37 ILM. 22 1998—selanjutnya disebut Protokol
Kyoto, dalam Pasal 3 par. 1 menyatakan bahwa “The Parties included in Annex I shall, individually or jointly, ensure that their aggregate
anthropogenic carbon dioxide equivalent emissions of the greenhouse gases listed in Annex A do not exceed their assigned amounts, calculated pursuant to their quantified emission
limitation and reduction commitments inscribed in Annex B and in accordance with the provisions of this Article, with a view to reducing their overall emissions of such gases by at
least 5 per cent below 1990 levels in the commitment period 2008 to 2012”
Ketentuan di atas kemudian diperjelas di dalam Annex B dari Protokol Kyoto yang memaparkan target penurunan dan pembatasan emisi dari masing-masing negara maju Negara Annex I menurut
UNFCCC.
88
Duncan French, op cit. note 81, hal. 40-41.
89
Dalam hal ini, Protokol Montreal menyatakan bahwa “[t]he Parties shall establish a mechanism for the purposes of providing financial and technical co-operation, including the transfer of
technologies, to Parties operating under paragraph 1 of Article 5 of this Protocol to enable their compliance with the control measures”. Lihat Pasal 10 par. 1, the Montreal Protocol on Substances
that Deplete the Ozone Layer as Either Adjusted andor Amended in London 1990, Copenhagen 1992, Vienna 1995, Montreal 1997 unofficial consolidated text, …
90
The Copenhagen Accord, FCCCCP200911Add.1, Decision 2CP.15, para. 8. Komitmen negara maju tersebut juga diulang dalam COP Cancun 2010 dan COP Durban 2011. Lihat: “The
Cancun Agreements: Outcome of the Work of the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention”, FCCCCP20107Add.1, Decision 1 CP, par. 95 dan 98; serta
“Outcome of the Work of the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the
25
3.2. Keadilan Lingkungan sebagai Keadilan Korektif Keadilan korektif merupakan bentuk keadilan yang ditujukan sebagai upaya
pemberian sanksi, pemulihan, atau kompensasi bagi mereka yang menimbulkan kerugian pada pihak lain.
91
Dalam konteks ini, mereka yang menimbulkan kerugian lingkungan dan berarti menyebabkan ketidakadilan lingkungan memikul tanggung
jawab untuk mengembalikan dampak akibat kerugian tersebut. Karena keadilan korektif menginginkan agar mereka yang menyebabkan
terjadinya kerugian untuk memperbaiki kerugian yang terjadi, maka Adler dan Wilkinson menganggap keadilan korektif memiliki keterkaitan dengan prinsip
pencemar membayar polluter pays principle. Dalam hal ini, kedua pengarang tersebut menganggap keadilan korektif merupakan salah satu alasan pembenar bagi
prinsip pencemar membayar.
92
3.3. Keadilan Lingkungan sebagai Keadilan Prosedural