Bahan Kuliah Hukum Lingkungan FHUI Minggu II Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan
Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan
Oleh: Andri G.Wibisana1ISI
1. Perkembangan Kesadaran Lingkungan dan Perubahan Hukum ... 1
2. Pembangunan Berkelanjutan ... 4
2.1. Pembangunan Berkelanjutan dalam Soft Law ... 4
2.2. Pembangunan Berkelanjutan dalam Beberapa Konvensi ... 6
2.3. Pembangunan Berkelanjutan dalam Berbagai Putusan ... 8
2.3.1. Gabcikovo-Nagymaros (Hungaria v. Slovakia) ... 8
2.3.2. Kasus Iron Rhine (“Ijzeren Rijn”) Railway (Belgia v. Belanda) ... 11
2.3.3. Kasus Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay) ... 11
2.4. Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia ... 15
2.5. Berbagai Makna Pembangunan Berkelanjutan ... 16
3. Keadilan dalam Satu Generasi (Intragenerational Equity) ... 18
3.1. Keadilan lingkungan sebagai keadilan distributif ... 19
3.2. Keadilan Lingkungan sebagai Keadilan Korektif ... 25
3.3. Keadilan Lingkungan sebagai Keadilan Prosedural ... 25
3.4. Keadilan Lingkungan sebagai Keadilan Sosial ... 27
4. Keadilan Antar Generasi (Intergenerational Equity) ... 28
4.1. Perlindungan opsi, kualitas, dan akses yang lahir dari keadilan antar generasi 29 4.2. Hak atas lingkungan yang baik, hak gugat, dan keadilan antar generasi ... 31
5. Prinsip Pencegahan (The Principle of Preventive Action) ... 33
6. Prinsip Kehati-hatian (The Precautionary Principle) ... 37
6.1. Perkembangan Prinsip Kehati-hatian ... 38
6.2. Berbagai Dimensi dari Prinsip Kehati-hatian ... 44
6.3. Asas Kehati-hatian di Indonesia ... 48
7. Prinsip Pencemar Membayar (The Polluter-Pays Principle) ... 57
1. Perkembangan Kesadaran Lingkungan dan Perubahan Hukum
Pada era 1960an, perhatian masyarakat dunia terhadap masalah lingkungan menjadi semakin besar. Pada tahun 1962, terbitnya sebuah buku yang ditulis oleh Rachel Carson, “the Silent Spring”, menandai mulai terbukanya mata dunia akan bahaya lingkungan. Pada waktu itu, buku yang menggemparkan ini tercatat sebagai buku terlaris di AS selama 31 minggu. Di samping itu, era 1960an dan awal 1970an, juga ditandai dengan kelahiran beberapa organisasi lingkungan, seperti Sierra Club dan National Audubon Society, yang kemudian menjadi pertanda akan lahirnya ratusan ribu organisasi lingkungan di seluruh dunia2.
1
Pengajar Hukum Lingkungan pada Fakultas Hukum UI. SH dari Fakultas Hukum UI (2002), LLM dari Utrecht University (2002), dan Dr. dari Maastricht University (2008). Bahan ini adalah bahan kuliah Hukum Lingkungan di lingkungan Fakultas Hukum UI, draft bulan Oktober 2014. Kontak: [email protected].
2
Tony Brenton, The Greening of Machiavelli: the Evolution of International Environmental
(2)
Ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa masyarakat Barat pada masa itu mulai memperhatikan masalah lingkungan. Pertama, adalah semakin meningkatnya polusi di negara-negara maju pada waktu itu. Kedua, permasalahan lingkungan ini kemudian mendapat sorotan yang tajam dan terus-menerus dari pers Barat, sehingga semakin membuat masyarakat tersadarkan akan bahaya dari efek samping pembangunan. Ketiga, pertumbuhan ekonomi negara maju sedikit banyak telah menggeser preferensi masyarakat. Dalam hal ini, preferensi masyarakat mulai bergeser dari hal yang bersifat material ke arah non-material, seperti perbaikan kualitas lingkungan hidup. Keempat, pada masa itu masyarakat di negara-negara Barat, terutama kaum kudanya, juga sedang “counter-culture”, budaya anti kemapanan. Gerakan ini, pada gilirannya akan melihat bahwa kehancuran lingkungan hidup juga disebabkan oleh sistem ekonomi yang telah mapan: kapitalisme. Kelima: adanya perkembangan teknologi dan informasi telah turut serta menyadarkan masyarakat tentang betapa kecilnya planet kita ini. Masyarakat dunia mulai merasa bahwa kasus Minamata, kerusakan danau di Scandinavia, atau hancurnya sungai-sungai di Oregon seperti terjadi di tempat yang tak jauh darinya3.
Pergeseran pemikiran masyarakat, Barat pada waktu itu, mau tidak mau menuntut suatu perubahan sikap pemerintah dalam menghadapi masalah lingkungan. Di samping itu, beberapa negara berkembang, seperti India, yang juga telah beberapa kali mengalami bencana yang disebabkan oleh pencemaran dan kerusakan lingkungan, mulai menyadari pentingnya perlindungan lingkungan. Pergeseran pemikiran masyarakat inilah, ditambah dengan semakin banyaknya masalah lingkungan yang bersifat lintas batas negara, yang mendorong adanya pertemuan internasional yang membahas mengenai masalah lingkungan secara lebih luas dan mendalam, dibandingkan dengan beberapa perjanjian lingkungan internasional sebelumnya4. Pada tahun 1968, Majelis Umum PBB menyepakati proposal Swedia untuk menyelenggarakan sebuah pertemuan internasional pertama yang akan membahas masalah lingkungan hidup secara luas. Pertemuan ini nantinya diharapkan akan mampu memberikan arahan bagi perkembangan hukum lingkungan di tingkat internasional.
Pada tahun 1972, di Stockholm, Swedia, diadakanlah konferensi internasional mengenai lingkungan hidup, yang menghasilkan tiga hal utama yaitu di bidang pelaksanaan (the Stockholm Action Plan), kelembagaan dan dana (United Nations Environment Program—UNEP dan Environment Fund), serta dalam bidang politik (the Stockholm Declaration on the Human Environment ).
Pertemuan itu sendiri ditandai dengan adanya pertentangan antara negara-negara maju dan berkembang. Negara berkembang, yang pada waktu itu sebagian besar merupakan negara yang baru merdeka, merasa bahwa tuntutan negara maju mengenai perlindungan lingkungan hidup akan memberi dampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang baru saja mereka alami. Negara berkembang sering kali menggunakan alasan hak untuk membangun, kedaulatan untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri, dan kebutuhan untuk menangani masalah lingkungan di tingkat nasional dari pada di tingkat global, sebagai alasan untuk menentang usulan negara-negara maju5. Di samping itu, masalah pertumbuhan penduduk juga menjadi salah satu sebab pertentangan antara negara maju dan berkembang. Negara maju berungkali menyatakan bahwa salah satu penyebab
3
Ibid., hal. 20-24.
4
Ibid., hal. 33-34. 5
David Hunter, James Salzman, dan Durwood Zaelke, International Environmental Law and
(3)
kerusakan lingkungan hidup adalah pertumbuhan penduduk dunia, sehingga kontrol terhadap populasi penduduk juga merupakan salah satu poin penting bagi perlindungan lingkungan. Pendapat ini tentu saja ditentang oleh negara-negara berkembang. Delegasi RRC menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk di negaranya tidaklah menyebabkan terhambatnya peningkatan kualitas hidup penduduk. Sementara PM Indira Gandhi menyatakan bahwa seorang penduduk di negara maju menghabiskan sumber daya dan menimbulkan pencemaran yang jauh lebih banyak dibandingan dengan yang dilakukan oleh seorang penduduk di negara berkembang6.
Perdebatan-perdebatan di atas pada akhirnya menyebabkan hasil yang dicapai dari konferensi tersebut sering kali merupakan jalan tengah. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan politik yang dihasilkan, Deklarasi Stockholm. Pada deklarasi ini, penekanan akan pentingnya perlindungan lingkungan hidup selalu diletakkan bersama-sama dengan kebutuhan akan pembangunan dan kedaulatan untuk mengolah sumber daya alam (Prinsip 21). Pada prinsip 23 dari deklarasi ini dinyatakan pula bahwa standar yang diterapkan di negara maju belum tentu sesuai bagi negara berkembang—artinya memberikan hak bagi negara berkembang untuk menyusun standarnya sendiri. Sedang pada prinsip 9-12 dinyatakan pentingnya bantuan dari negara maju, misalnya teknologi, dalam rangka pengelolaan lingkungan.
Banyak pengamat yang mengkritik hasil dari Konferensi Stockholm, dengan menyatakan bahwa konferensi ini tidak mampu menghasilkan sesuatu yang dapat menghasilkan suatu perubahan radikal bagi perkembangan hukum lingkungan internasional. Konferensi ini sering kali dituduh sebagai “cosmetic event”, sebuah propaganda dari pemerintahan negara Barat bagi rakyatnya untuk menunjukkan bahwa pemerintahan mereka memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan telah berjuang bagi perlindungan lingkungan di dalam pertemuan global tersebut. Di sisi lain, kritik sering pula ditujukan pada tidak adanya kesepakan mendasar mengenai keterkaitan antara pembangunan dan perlindungan lingkungan. Tanpa adanya kesepahaman mengenai hal ini, maka hasil-hasil Konferensi Stockholm seringkali menjadi tidak tegas7.
Terlepas dari banyaknya kritik terhadap konferensi Stockholm, beberapa pengamat melihat bahwa konferensi ini menghasilkan sesuatu yang, meskipun marjinal, mempengaruhi perkembangan hukum lingkungan. Konferensi Stockholm paling tidak telah mendorong tiap-tiap negara peserta untuk lebih memusatkan perhatian bagi masalah lingkungan dibandingkan dengan yang telah mereka lakukan sebelumnya8. Deklarasi Stockholm juga merupakan sebuah kesepakatan politik internasional pertama yang memuat pengakuan atas kewajiban generasi sekarang bagi generasi yang akan datang9.
Perkembangan politik dan cara pandang terhadap lingkungan hidup pada akhirnya sering kali berkelindan dengan perkembangan hukum lingkungan. Melalui perkembangan politik dan cara pandang inilah biasanya lahir apa yang dikenal sebagai prinsip-prinsip yang mendasari perubahan kebijakan dan hukum lingkungan. Dalam pandangan Dworkin, aturan hukum (rules of law) perlu dibedakan dari prinsip atau asas hukum (legal principles). Menurutnya, aturan bekerja menurut “all-or-nothing”
6
Tony Brenton, Op.cit., hal. 40-41. 7
Ibid., hal. 49. 8Ibid
., hal. 50 9
David Hunter, et.al., op.cit. hal. 285. Hal ini terlihat dari prinsip 1 Stockhol Declaration yang menyatakan: “[m]an has the fundamental right to freedom, equality and adequate conditions of life, in an environment of a quality that permits a life of dignity and well-being, and he bears a solemn
(4)
(misalnyanya apakah dalam kasus tertentu berlaku aturan A atau tidak). Sehingga aturan lebih memiliki kejelasan, baik dari isi maupun konsekuensi hukum apabila aturan ini dilanggar. Sebaliknya, menurut Dworkin, prinsip hukum berfungsi untuk memberikan bobot (weight) atas sebuah keputusan. Dalam hal ini, pengakuan atas sebuah prinsip dapat dibandingkan dengan prinsip lain yang bertentangan sebelum prinsip tersebut memiliki pengaruh dalam sebuah keputusan. Artinya, jika sebuah keputusan terkait hal tertentu lebih didasarkan pada prinsip A dan bukan prinsip B, maka tidak berarti dalam hal tersebut prinsip B tidak berlaku. Prinsip-prinsip tersebut berfungsi sebagai latar belakang yang implisit dari sistem hukum.
Bab ini akan membahas mengenai beberapa prinsip hukum lingkungan, yaitu: Pembangunan Berkelanjutan, Keadilan dalam Satu Generasi, Keadilan Antar Generasi, Prinsip Pencegahan, Prinsip Kehati-hatian, dan Prinsip Pencemar Membayar.
2. Pembangunan Berkelanjutan
2.1.Pembangunan Berkelanjutan dalam Soft Law
Sustainabel Development bukanlah merupakan sebuah konsep yang muncul pada satu ketika, melainkan merupakan hasil dari proses perdebatan panjang antara kebutuhan akan pembangunan dan kesadaran akan pentingnya perlindungan lingkungan hidup. Pada tahun 1983, Majelis Umum PBB membuat sebuah lembaga yang bertugas mengkaji ulang beberapa masalah penting yang terkait dengan pembangunan dan lingkungan hidup, serta merumuskan langkah yang inovatif, kongkret dan realistik yang untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Lembaga ini bernama World Commission on Environment and Development (WCED) atau sering disebut sebagai Brundtland Commission.
Pada tahun 1987, WCED mengluarkan sebuah laporan yang berjudul Our Common Future. Komisi ini bukanlah komisi yang menemukan istilah Sustainable Development, meski diakui bahwa komisi inilah yang mempopulerkan istilah tersebut dan menempatkannya tepat di pusat pembuatan kebijakan internasional. Definisi komisi ini atas Sustainable Development adalah “development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Selanjutnya di dalam rangkuman dari Our Common Future tampak jelas bagaimana pandangan WCED dalam merumuskan langkah-langkah mewujudkan
Sustainable Development, yaitu:10
- Revive Growth, menggiatkan kembali pertumbuhan. Dalam hal ini kemiskinan dianggap sebagai sebuah sumber utama bagi kerusakan lingkungan, yang tidak hanya berakibat buruk pada sejumlah besar rakyat di negara berkembang, tetapi juga berpengaruh buruk bagi pembangunan berkelanjutan pada tingkat dunia. Karena itu, pembangunan ekonomi harus didorong, terutama di negara berkembang, dengan memperbaiki sumber daya lingkungan.
- Change the Quality of Growth, perubahan kualitas pertumbuhan. Pertumbuhan (ekonomi) haruslah merupakan pertumbuhan yang di dalamnya terdapat konsep keberlanjutan, keadilan social, dan keamanan sebagai tujuan social yang utama. Pola energi yang aman dan ramah lingkungan merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari pertumbuhan ini. Distribusi pendapatan yang lebih baik, penurunan tingkat kerentanan terhadap bencana alam dan dampak teknologi, perbaikan kesehatan, serta perlindungan warisan budaya merupakan factor-faktor yang berperan dalam perubahan kualitas pertumbuhan ekonomi ini.
10
(5)
- Conserve and Enhance the Resource Base, perlindungan dan perbaikan sumber daya. Keberlanjutan mensyaratkan adanya perlindungan terhadap sumber daya lingkungan (seperti udara bersih, air, hutan dan tanah), pemeliharaan atas keanekaragamaan genetika, serta penggunaan energi, air, dan bahan baku secara efisien. Semua negara harus didorong untuk melakukan pencegahan pencemaran lingkungan dengan melakukan penegakan peraturan-peraturan lingkungan hidup, pengupayaan teknologi yang menghasilkan sedikit limbah, serta mengantisipasi dampak dari produk, teknologi dan limbah yang baru.
- Ensure a Sustainable Level of Population, menjamin adanya tingkat populasi yang berkelanjutan. Dalam hal ini, kebijakan kependudukan harus dirumuskan dan diintegrasikan dengan program-program pembangunan social dan ekonomi lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, dan perluasan mata pencaharian masyarakat miskin. Diperlukan juga adanya peningkatan akses masyarakat pada program keluarga berencana.
- Reorient Technology and Manage Risks, reorientasi teknologi dan pengelolaan resiko. Pembangunan teknologi haruslah diarahkan pada upaya untuk memberikan perhatian yang lebih besar pada factor lingkungan hidup. Mekanisme nasional dan internasional diperlukan untuk menganalisa dampak dari teknologi baru sebelum teknologi ini digunakan. Pertanggungajawaban atas kerugian yang timbul sebagai konsekuensi yang tidak diinginkan harus diperkuat dan ditegakkan. Partisipasi publik dan akses yang lebih besar atas informasi harus didorong di dalam proses pembuatan kebijakan yang terkait dengan masalah pembangunan dan lingkungan hidup.
- Integrate Environment and Economics in Decision-Making, pengintegrasian aspek lingkungan hidup dan ekonomi di dalam pembuatan kebijakan. Kebijakan harus diarahkan pada upaya yang saling mendukung tercapainya tujuan-tujuan ekonomi dan lingkungan hidup. Keberlanjutan mensyaratkan adanya tanggung jawab yang lebih besar atas dampak yang timbul dari suatu kebijakan. Mereka yang membuat kebijakan harus bertanggung jawab, dan karenanya harus memperhatikan, dampak yang timbul dari kebijakannya pada sumberdaya lingkungan.
- Reform International Economic Relations, reformasi hubungan ekonomi internasional. Keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang mensyaratkan adanya perubahan besar menuju alur perdagangan, modal, dan teknologi yang lebih adil dan lebih sejalan dengan aspek perlindungan lingkungan hidup. Dalam hal ini, diperlukan adanya perubahan mendasar bagi transfer teknologi dan keuangan internasional untuk membantu negara berkembang memperluas kesempatan mereka dalam melakukan diversifikasi ekonomi dan perdagangan serta membangun kemandirian ekonomi mereka.
- Strengthen Internasional Co-operation, penguatan kerja sama internasional. Faktor lingkungan hidup dapat mendorong terjadinya hubungan internasional yang penting dan saling menguntungkan, sebab kegagalan untuk bekerja sama dalam mengatasi kerusakan lingkungan dan munculnya peningkatan kemiskinan dapat mengakibatkan terjadinya eksternalitas serta persoalan lingkungan global. Pembangunan internasional harus memberikan prioritas yang lebih tinggi bagi pemantauan lingkungan, analisa, riset, serta pengelolaan sumber daya alam. Hal ini memerlukan adanya komitmen yang lebih serius dari semua negara bagi terciptanya institusi internasional yang lebih memuaskan, bagi terciptanya dialog yang lebih konstruktif, serta bagi terciptanya keamanan dan perdamaian dunia.
(6)
Pada tanggal 3-14 Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, diadakan sebuah konferensi tingkat tinggi, yang dihadiri oleh para kepala negara dari seluruh dunia, yang diberi nama United Nations Conference on Environment and Development
(UNCED) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Konferensi Rio. Konferensi ini menghasilkan 5 dokumen serta 1 institusi yang penting bagi pembangunan berkelanjutan yaitu: Rio Declaration (Deklarasi Rio), Agenda 21—sebuah blueprint
bagi rencana kerja pengimplementasian pembangunan berkelanjutan pada abad 21,
Forestry Principles (Prinsip-prinsip Kehutanan), Biodiversity Convention (Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati), the Climate Change Convention (Konvensi mengenai perubahan iklim), serta Commission on Sustainable Development—sebuah komisi yang diciptakan untuk memantau pelaksanaan kesepakatan-kesepakan Rio dan Agenda 21.
Istilah pembangunan berkelanjutan secara jelas tertuang di dalam prinsip 1, 3 dan 4 Deklarasi Rio serta menjiwai keseluruhan prinsip dari deklarasi ini. Pada prinsip 1 dinyatakan bahwa umat manusia merupakan pusat dari perhatian pada pembangunan berkelanjutan. Manusia berhak atas hidup yang sehat dan produktif yang harmonis dengan alam. Dalam prinsip 3 dinyatakan bahwa hak atas pembangunan harus dicapai untuk secara seimbang memenuhi kebutuhan akan pembangunan dan lingkungan hidup dari genarasi sekarang dan yang akan datang. Pada prinsip 4 dinyatakan bahwa dalam rangka mencapai pembangunan yang berkelanjutan, perlindungan lingkungan hidup harus merupakan bagian yang integral dari proses pembangunan dan tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang terpisah darinya.
2.2.Pembangunan Berkelanjutan dalam Beberapa Konvensi
Seperti telah disebutkan sebelumnya, KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 telah menghasilkan dua buah konvensi, yaitu UNFCCC dan CBD. Kedua konvensi ini secara jelas telah mengadopsi pembangunan berkelanjutan.
Dalam konteks perubahan iklim, paragraf pembukaan dari UNFCCC menyatakan bahwa Negara Peserta bertekad “to protect the climate system for present and future generations”.11 Selanjutnya, UNFCCC menyatakan pula bahwa Negara Peserta memiliki hak atas dan harus mendukung pembangunan berkelanjutan. Kebijakan dan langkah-langkah perlindungan iklim haruslah sesuai dengan kondisi dari tiap Negara, serta harus terintegrasi di dalam program pembangunan tiap Negara. Dalam hal ini, UNFCCC mengakui bahwa pembangunan ekonomi merupakan unsur yang esensial bagi penanganan perubahan iklim.12 Selanjutnya, UNFCCC juga menginginkan terwujudnya kerja sama di antara Negara Peserta untuk menciptakan sistem ekonomi dunia yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, terutama di negara berkembang, sehingga memungkinkan Negara Peserta untuk mengatasi perubahan iklim secara lebih baik.13
11
UNFCCC, 1771 UNTS 107, 31 ILM 849 (1992), preambular par.
12
UNFCCC menyatakan,
“The Parties have a right to, and should, promote sustainable development. Policies and
measures to protect the climate system against human-induced change should be appropriate for the specific conditions of each Party and should be integrated with national development programmes, taking into account that economic development is essential for
adopting measures to address climate change.”
UNFCCC, 1771 UNTS 107, 31 ILM 849 (1992), art. 3(4).
13
Dalam hal ini, UNFCCC menyatakan: “[t]he Parties should cooperate to promote a supportive and open international economic system that would lead to sustainable economic growth and
(7)
Masih di dalam konteks perubahan iklim, beberapa rujukan terhadap perubahan iklim juga dimuat di dalam Protokol Kyoto 1997.14 Dalam Protokol ini dinyatakan bahwa secara umum penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dilakukan oleh negara maju (negara Annex 1) diarahkan untuk mendorong terwujudnya pembangunan berkelanjutan.15 Untuk mencapai maksud tersebut, negara maju diharuskan melakukan beberapa langkah penurunan emisi, antara lain dengan jalan menerapkan praktek pertanian dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan.16 Dalam rangka pelibatan negara non-Annex 1 dalam upaya penurunan emisi, Protokol Kyoto telah melahirkan sebuah mekanisme yang disebut Clean Development Mechanism (CDM—Mekanisme Pembangungan Bersih).17 Dalam hal ini, Protokol Kyoto menyatakan bahwa pada satu sisi CDM bertujuan untuk membantu negara non-Annex 1 mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan terlibat dalam upaya penurunan emisi GRK; sedangkan pada sisi lain, CDM bertujuan pula untuk membantu negara Annex 1 melakukan upaya penaatan komitmen penurunan emisi GRK mereka.18
Terkait dengan keanekaragaman hayati (biodiversity), CBD memuat rujukan pada pembangunan berkelanjutan, yang dalam hal ini diartikan sebagai pemakaian sumber daya hayati secara berkelanjutan (sustainable use). Di dalam CBD dinyatakan bahwa tujuan konvensi ini adalah konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan sumber daya ini secara berkelanjutan, dan pembagian keuntungan yang dari pemanfaatan ini secara adil (fair and equitable sharing of benefits).19 Dalam hal ini, pemanfaatan secara berkelanjutan (sustainable use) dimaknai sebagai pemanfaatan komponen keanekaragaman hayati dengan cara dan dalam laju pemanfaatan yang dalam jangka panjang tidak akan mengarah pada penurunan keanekaragaman hayati, sehingga mampu menjaga potensi sumber daya keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang.20
development in all Parties,particularly developing country Parties, thus enabling them better to
address the problems of climate change.” UNFCCC, 1771 UNTS 107, 31 ILM 849 (1992), art. 3(5).
14The 1997 Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change
, 10 Dec. 1997, U.N. Doc FCCC/CP/1997/7/Add.1, 37 ILM. 22 (1998)—selanjutnya disebut Protokol Kyoto.
15Protokol Kyoto 1997
, U.N. Doc FCCC/CP/1997/7/Add.1, 37 ILM. 22 (1998), art. 2(1).
16Protokol Kyoto 1997
, U.N. Doc FCCC/CP/1997/7/Add.1, 37 ILM. 22 (1998), art. 2(1a) (ii) dan (iii).
17
Melalui mekanisme ini, negara non-Annex 1 dapat melakukan upaya penurunan emisi GRK dengan bantuan dari negara Annex 1. Hasil dari penurunan emisi ini disebut dengan Certified Emission
Reduction (CER), yang kemudian dianggap sebagai penurunan emisi yang dilakukan oleh negara
Annex 1. Dengan demikian, negara non-Annex 1 diharapkan dapat memperoleh keuntungan dari proyek penurunan emisi tersebut; sedangkan bagi negara Annex 1, keuntungan yang diharapkan adalah bahwa dengan adanya CER, proyek penurunan emisi tersebut dapat digunakan sebagai upaya penuruan emisi mereka. Secara lebih detail, Protokol Kyoto merumuskan mekanisme CDM dalam: Protokol
Kyoto 1997, U.N. Doc FCCC/CP/1997/7/Add.1, 37 ILM. 22 (1998), art. 12.
18
Protokol Kyoto 1997, U.N. Doc FCCC/CP/1997/7/Add.1, 37 ILM. 22 (1998), art. 12(2).
19
Secara lengkap, tujuan dari CBD adalah sebagai berikut:
“The objectives of this Convention, to be pursued in accordance with its relevant provisions,
are the conservation of biological diversity, the sustainable use of its components and the fair and equitable sharing of the benefits arising out of the utilization of genetic resources, including by appropriate access to genetic resources and by appropriate transfer of relevant technologies, taking into account all rights over those resources and to technologies, and by
appropriate funding.”
Lihat: CBD, 1760 UNTS 79, 31 ILM 818 (1992), art. 1. 20
(8)
Konvensi lainnya yang juga memuat berbagai rujukan pada pembangunan berkelanjutan, antara lain, adalah UN Convention to Combat Desertification
(UNCCD), konvensi PBB terkait upaya pencegahan penggurunan, tahun 1994.21 Dalam bagian pembukaan, UNCCD menyadari bahwa pembangunan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pembangunan sosial, dan pengentasan kemiskinan merupakan prioritas dari negara berkembang, serta merupakan bagian penting dalam pencapaian tujuan keberlanjutan. Pada bagian ini juga dinyatakan bahwa upaya pencegahan dan penanggulangan penggurunan haruslah diletakkan dalam kerangkan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.22 Atas dasar ini, maka UNCCD menyatakan bahwa sebagai tujuan konvensi, upaya mengatasi penggurunan dan dampak-dampaknya dilakukan dalam rangka berkontribusi bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan di negara-negara yang mengalami penggurunan.23 Di samping itu, seperti dicatat oleh Segger, UNCCD memuat lebih dari 40 rujukan kepada kata “berkelanjutan” (sustainable), baik dalam konteks pembangungan, pemanfaatan, pengelolaan, ekspolitasi, produksi, maupun praktek yang berkelanjutan (atau tidak berkelanjutan).24
2.3.Pembangunan Berkelanjutan dalam Berbagai Putusan
Di samping telah diadopsi di dalam berbagai deklarasi dan konvensi, pembangunan berkelanjutan juga telah dimuat di dalam berbagai putusan. Dalam level internasional, beberapa kasus yang secara jelas merujuk pada pembangunan berkelanjutan, antara lain, adalah putusan International Court of Justice (ICJ) dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros (Hungaria v. Slovakia),25 keputusan badan arbitrase permanen antara Belgia dan Belanda dalam kasus Iron Rhine (“Ijzeren Rijn”) Railway pada tahun 2005,26 dan putusan ICJ dalam kasus Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay),27 terutama pendapat dari Hakim Trindade.28
2.3.1. Gabcikovo-Nagymaros (Hungaria v. Slovakia)
Dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros,29 ICJ berpendapat bahwa dampak lingkungan, yang mungkain akan dihasilkan dari pengerjaan proyek bendungan
21
The 1994 United Nations Convention to Combat Desertification, 12 September 1994, UN Doc.
A/AC.241/27, 33 ILM 1328 (1994)—selanjutnya disebut UNCCD.
221994 UNCCD
, UN Doc. A/AC.241/27, 33 ILM 1328 (1994), preambular par.
231994 UNCCD
, UN Doc. A/AC.241/27, 33 ILM 1328 (1994), art. 2(3). 24
Marie-Claire Cordonier Segger, “The Role of International Forums in the Advancement of Sustainable Development”, Sustainable Development Law & Policy, Vol. 10, 2009, hal. 7.
25Case Concerning the Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia)
, 1997 ICJ 7 (selanjutnya disebut Kasus Gabcikovo-Nagymaros).
26
The Iron Rhine (“Ijzeren Rijn”) Railway case (Belgium v. Netherlands) Perm. Ct. Arb. (2005). Tersedia pada <http://www.pca-cpa.org/upload/files/BE-NL%20Award%20corrected%20200905.pdf>
27Case Concerning Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay)
, Case No. 135, Judgment, 20 April 2010. tersedia pada: <http://www.icj-cij.org/docket/files/135/15877.pdf> (Selanjutnya disebut: Kasus Pabrik Kertas Sungai Uruguay).
28
Case Concerning Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay), Separate Opinion of
Judge Cançado Trindade, <http://www.icj-cij.org/docket/files/135/15885.pdf > (Selanjutnya disebut
Kasus Pabrik Kertas Sungai Uruguay: Pendapat Trindade).
29
Pada tahun 1977, Hungaria dan Cekoslovakia menandatangani perjanjian pembangunan dan pengoperasian sistem bendungan di Sungai Danube, di daerah Gabcikovo (wilayah Cekoslovakia) dan Nagymaros (wilayah Hungaria). Perjanjian ini dimaksudkan sebagai upaya untuk membangun pembangkit listrik tenaga air di Sungai Danube, perbaikan sistem navigasi di sungai tersebut, perlindungan daerah aliran Sungai Danube dari banjir. Di samping itu, Hungaria dan Cekoslovakia pun sepakat untuk menjamin bahwa proyek pembangunan yang direncanakan tersebut tidak akan menurunkan kualitas air dari Sungai Danube dan bahwa dalam pengerjaan dan pengoperasian proyek
(9)
Sungai Danube di wilayah Gabcikovo-Nagymaros, merupakan sebuah issue yang penting. Meski demikian, ICJ juga menyatakan bahwa kebutuhan akan pembangunan juga merupakan aspek yang sama pentingnya. ICJ melihat bahwa dalam kasus ini terdapat dua kepentingan yang saling bertentangan, yaitu kebutuhan akan pembangunan di satu sisi, dan kebutuhan akan perlindungan di sisi lain. Dalam hal ini, ICJ melihat pembangungan berkelanjutan sebagai sebuah prinsip untuk mendamaikan kedua kebutuhan yang saling bertentangan ini. Lebih tegas lagi, ICJ menyatakan:
“Throughout the ages, mankind has, for economic and other reasons, constantly interfered with nature. In the past, this was often done without consideration of the effects upon the environment. Owing to new scientific insights and to a growing awareness of the risks for mankind—for present and future generations—of pursuit of such interventions at an unconsidered and unabated pace, new norms and standards have been developed, set forth in a great number of instruments during the last two decades. Such new norms have to be taken into consideration, and such new standards given proper weight, not only when States contemplate new activities but also when continuing with activities begun in the past. This need to reconcile economic development with protection of the environment is aptly expressed in the concept of sustainable development.”—[garis bawah tambahan dari penulis].30
Putusan ICJ dalam Gabcikovo-Nagymaros mendapat perhatian luas dari kalangan ahli hukum, terutama karena dissenting opinion yang dikemukakan oleh Weeramantry, salah seorang hakim ICJ yang mengadili kasus ini. Dalam dissenting opinion ini Weeramantry menyatakan bahwa seandainya saja pertimbangan
tersebut juga dilakukan dengan memperhatikan perlindungan lingkungan. Berdasarkan perjanjian tersebut, Hungaria bertanggung jawab atas pengerjaan proyek di wilayah Nagymaros, dan Cekoslovakia bertanggung jawab atas pengerjaan proyek di Gabcikovo. Di samping itu, perjanjian juga menyatakan bahwa kedua proyek di kedua wilayah ini harus dianggap sebagai satu kesatuan proyek yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kasus Gabcikovo-Nagymaros, 1997 ICJ 7, hal. 17-20.
Sebagai akibat dari tekanan dalam negeri, pada tanggal 13 Mei 1989 Hungaria secara sepihak memutuskan untuk menunda pekerjaan di Nagymaros. Pada tanggal 27 Oktober 1989, Hungaria kemudian memutuskan untuk menghentikan sama sekali proyek di Nagymaros. Sebagai reaksi atas keputusan sepihak ini, Cekoslovakia memutuskan untuk mengembangkan alternatif proyek pembangunan bendungan, yang disebut dengan “Variant C”. Alternatif ini mengubah rencana pembangunan bendungan yang sebelumnya telah disepakati berdasarkan perjanjian tahun 1977. Pada tanggal 23 Oktober 1992, Cekoslovakia memutuskan untuk membendung Sungai Danube berdasarkan rencana barunya tersebut (“Variant C”). Ibid., hal. 25.
ICJ memutuskan, antara lain, bahwa Hungaria tidak memiliki hak untuk secara sepihak menunda dan kemudian pada tahun 1989 menghentikan pembangunan di Nagymaros. Di sisi lain, ICJ juga mengatakan bahwa Cekoslovakia tidak memiliki hak untuk mengoperasikan alternatif sementara mereka (yaitu “Variant C”) sejak Oktober 1992. Selanjutnya, ICJ juga menyatakan bahwa Hungaria dan Slovakia (sebagai negara penerus Cekoslovakia dalam kasus ini) harus bekerja sama dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan Perjanjian tahun 1977. Dalam hal ini, ICJ juga memerintahkan kedua negara untuk membentuk joint operational regime, yaitu sebuah sistem kerja sama dalam pelaksanaan proyek sesuai dengan perjanjian tahun 1977. ICJ memerintahkan Hungaria untuk membayar kompensasi kepada Slovakia atas kerugian yang diderita Slovakia karena penghentian proyek yang menjadi tanggung jawab Hungaria (proyek di Nagymaros); sedangkan Slovakia harus membayar kompensasi kepada Hungaria atas kerugian yang diderita oleh Hungaria akibat dari pengerjaan dan pengoperasian proyek “Variant C”. Ibid., hal. 82-83.
30
(10)
lingkungan adalah satu-satunya pertimbangan yang digunakan dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros, maka langkah yang diambil oleh Hungaria (yaitu menghentikan secara sepihak pelaksanaan pembangunan berdasarkan Perjanjian tahun 1977) dapatlah dibenarkan. Namun, menurut Weeramantry, ICJ haruslah memberikan pertimbangan yang seimbang bagi kebutuhan akan pembangunan di satu sisi (dalam hal ini kepentingan dari Slovakia) dan kebutuhan akan perlindungan lingkungan di sisi lain (dalam hal ini kepentingan dari Hungaria). Dalam pandangan Weeramantry, prinsip hukum yang dapat menjembatani dua kebutuhan yang saling bertentangan ini adalah prinsip pembangunan berkelanjutan.31 Lebih jauh lagi, Weeramantry mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukan hanya merupakan sebuah konsep, tetapi sudah merupakan sebuah prinsip hukum yang bersifat normatif. Tanpa prinsip hukum ini, maka kasus Gabcikovo-Nagymaros akan sangat sulit untuk diputuskan. Menurutnya, “…I consider it to be more than a mere concept, but as a principle with normative value which is crucial to the determination of this case. Without the benefits of its insights, the issues involved in this case would have been difficult to resolve.”32 Lebih lanjut, Weeramantry beranggapan bahwa baik Hungaria maupun Slovakia sebenarnya sama-sama mengakui keberadaan prinsip pembangunan berkelanjutan. Perbedaan di antara mereka hanyalah pada pertanyaan bagaimana menjalankan prinsip ini.33
Untuk mendukung pendapatnya ini, Weeramantry kemudian menunjukkan berbagai deklarasi, konvensi, praktek di beberapa negara, dan praktek di beberapa lembaga internasional yang mengadopsi dan menerapkan pembangunan berkelanjutan.34 Dari uraiannya ini, Weeramantry kemudian menyimpulkan bahwa pembangunan berkelanjutan menjadi sebuah prinsip hukum bukan hanya karena logika yang dikandungnya, tetapi juga karena adanya penerimaan secara luas oleh masyarakat internasional. Menurutnya, “[t]he principle of sustainable development is thus a part of modern international law by reason not only of its inescapable logical necessity, but also by reason of its wide and general acceptance by the global community.”35
Lebih lanjut lagi, Weeramantry menggambarkan berbagai pengalaman pengalaman di beberapa negara dan dari berbagai masa yang memperlihatkan bagaimana sejak zaman dahulu sebenarnya manusia telah terbiasa untuk mendamaikan dan menjembatani pertentangan antara kebutuhan akan pembangunan dan kebutuhan akan perlindungan lingkungan.36 Atas dasar ini, Weeramantry kemudian menyimpulkan bahwa pembangunan berkelanjutan bukan sekedar sebuah prinsip hukum modern, tetapi juga merupakan salah satu ide manusia yang paling tua dan telah berkembang selama ribuan tahun, serta memiliki peran yang penting dalam hukum internasional. Dalam hal ini, Weeramantry menyatakan bahwa “[s]ustainable development is thus not merely a principle of modern international law. It is one of the most ancient of ideas in the human heritage. Fortified by the rich insights that can be gained from millennia of human experience, it has an important part to play in the service of international law.”37
31Ibid.,
hal. 88. 32Ibid
. Bandingkan dengan pendapat ICJ yang menyatakan bahwa pembangunan adalah sebuah konsep, dan bukannya prinsip hukum. Lihat Kasus Gabcikovo-Nagymaros, op.cit note 25, hal. 78.
33
Kasus Gabcikovo-Nagymaros: Pendapat Weeramantry, op.cit. note Error! Bookmark not
defined. hal. 90. 34
Ibid., hal. 92-94. 35
Ibid., hal. 95. 36Ibid
., hal. 97-110. 37
(11)
2.3.2. Kasus Iron Rhine (“Ijzeren Rijn”) Railway (Belgia v. Belanda)
Sementara itu, kasus “Ijzeren Rijn” merupakan keputusan dari badan arbitrase, yaitu the Permanent Court of Arbitration di Den Haag, yang mengadili sengketa antara Belgia melawan Belanda, terkait dengan reaktivasi rel kereta yang menghubungkan pelabuhan Antwerpen, Belgia, dengan pinggiran sungai Rhine di Jerman, dengan melalui Noord‐Brabant dan Limburg di Belanda. Jalur kereta ini
dibuka pada tahun 1830‐an, dan beroperasi sampai tahun 1991. Kemudian, pada
tahun 1998 muncul usulan dari Pemerintah Belgia untuk mengaktifkan kembali, mengadaptasi, dan memperbarui jalur kereta ini.38 Salah satu pertanyaan yang perlu dijawab oleh Badan Arbitrase adalah sejauh mana Belgia atau Belanda harus menanggung biaya dan resiko keuangan terkait dengan pemakaian, restorasi, adaptasi, dan modernisasi jalur Iron Rhine di wilayah Belanda. Atas pertanyaan ini, Badan Arbitrase memberikan sebuah pernyataan penting terkait hukum lingkungan, yaitu bahwa:
“Applying the principles of international environmental law, the Tribunal observes that it is faced, in the instant case, not with a situation of a transboundary effect of the economic activity in the territory of one state on the territory of another state, but with theeffect of the exercise of a treaty-guaranteed right of one state in the territory of another state and a possible impact of such exercise on the territory of the latter state. The Tribunal is of the view that, by analogy, where a state exercises a right under international law within the territory of another state, considerations of environmental protection also apply. The exercise of Belgium’s right of transit, as it has formulated its request, thus may well necessitate measures by the Netherlands to protect the environment to which Belgium will have to contribute as an integral element of its request. The reactivation of the Iron Rhine railway cannot be viewed in isolation from the environmental protection measures necessitated by the intended use of the railway line. These measures are to be fully integrated into the project and its costs.”39 Terkait dengan pembangungan berkelanjutan, Badan Arbitrase menyadari bahwa di dalam bidang hukum lingkungan terdapat perdebatan mengenai istilah aturan (rules), prinsip (principles), dan “soft law”, serta mengenai kontribusi perjanjian atau prinsip lingkungan bagi perkembangan hukum kebiasaan internasional. Meski demikain, Badan Arbitrase menyatakan bahwa prinsip hukum lingkungan, terlepas dari status hukumnya, selalu merujuk, salah satunya, pada upaya pencegahan, pembangunan berkelanjutan, dan perlindungan generasi yang akan datang. Dalam hal ini, Arbitrase menyatakan: “[t]he emerging principles, whatever their current status, make reference to conservation, management, notions of prevention and of sustainable development, and protection for future generations
[garis bawah dari penulis].”40
2.3.3. Kasus Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay)
Pada tanggal 4 Mei 2006, Argentina mengajukan gugatan kepada ICJ terkait dengan dugaan pelanggaran Uruguay atas beberapa kewajiban yang termuat di dalam
38
The Iron Rhine (“Ijzeren Rijn”) Railway case (Belgium v. Netherlands) Perm. Ct. Arb. (2005), par. 16, 20-21.
39Ibid
., par. 223. 40
(12)
Perjanjian mengenai Sungai Uruguay (Statute of the River Uruguay) yang ditandatangani oleh Argentina dan Uruguay pada tanggal 26 Februari 1975. Dalam hal ini, Argentina berpendapat bahwa keputusan Pemerintah Uruguay untuk mengizinkan pembangunan dua pabrik kertas (pulp mills) di pinggir Sungai Uruguay di dalam wilayah Uruguay merupakan bentuk pelanggaran atas Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975, terutama dalam kaitannya dengan dampak dari kedua pabrik tersebut pada kualitas air Sungai Uruguay dan daerah sekitarnya.41 Dalam hal ini,
41
Kasus Pabrik Kertas Sungai Uruguay, op.cit note 27, par. 1.
Kasus ini melibatkan pembangunan dua pabrik kertas (pulp mill) yang dibangun di pinggiran Sungai Uruguay di wilayah Uruguay. Pabrik pertama adalah “Celulosas de M’Bopicuá S.A.” (“CMB”), sebuah pabrik yang dibangun oleh sebuah perusahaan Spanyol, “Empresa Nacional de
Celulosas de España” (“ENCE”). Pada tanggal 22 Juli 2002, pemrakarsa pembengunan proyek
CMB-ENCE mengajukan dokumen Amdal kepada Direktorat Lingkungan Uruguay, “Dirección Nacional de
Medio Ambiente” (DINAMA). Pada saat yang sama, perwakilan dari CMB juga memberikan
informasi tentang rencana proyeknya kepada Kepala CARU (“Comisión Administradora del Río
Uruguay”—Komisi Administratif Sungai Uruguay). Kemudian, pada tanggal 17 Oktober 2002, dan
diulang kembali pada tanggal 21 April 2003, Kepala CARU meminta Menteri Lingkungan Uruguay untuk memberikan dokumen Amdal dari proyek CMB-ENCE. Permintaan ini kemudian dipenuhi oleh Uruguay pada tanggal 14 Mei 2003. Selanjutnya, pada tanggal 15 Agustus 2003, dan diulang kembali pada tanggal 12 September 2003, CARU meminta Uruguay untuk memberikan informasi tambahan terkait beberapa hal dari proyek pabrik kertas CMB-ENCE. Pada tanggal 2 Oktober 2003, DINAMA memberikan laporannya kepada Kementerian Perumahan, Tata Ruang, dan Lingkungan Hidup Uruguay (MVOTMA) yang berisi rekomendasi untuk memberikan izin lingkungan bagi proyek CMB-ENCE. Kemudian pada tanggal 8 Oktober 2003, Pemerintah Uruguay berjanji kepada CARU bahwa DINAMA akan segera memberikan laporannya mengenai proyek CMB-ENCE. Pada tanggal 9 Oktober 2003, MVOTMA mengeluarkan izin lingkungan bagi pembangunan pabrik CMB-ENCE.
Pada tanggal 9 Oktober 2003, Presiden Argentina dan Presiden Uruguay melakukan pertemuan. Dalam pertemuan ini, berdasarkan klaim Argentina, Presiden Uruguay berjanji tidak akan memberikan izin bagi pembangunan CMB-ENCE sebelum adanya pembahasan mengenai kekhawatiran Argentina atas dampak lingkungan yang mungkin timbul dari pembangunan tersebut.
Pada tanggal 10 Oktober 2003, CARU menyatakan akan segera melanjutkan analisa teknis atas proyek CMB-ENCE apabila Uruguay menyerahkan dokumen yang diperlukan. Pada tanggal 17 Oktober 2003, atas permintaan Argentina, CARU mengadakan pertemuan khusus untuk membahas proyek CMB-ENCE. Dalam pertemuan tersebut, Argentina mengajukan keberatan atas dikeluarkan izin lingkungan pada tanggal 9 Oktober 2003.
Pada tanggal 27 Oktober 2003, Uruguay mengirimkan salinan Amdal dan penilaian DINAMA atas rencana pengelolaan lingkungan proyek CMB-ENCE kepada Argentina. Atas hal ini, Argentina mengatakan bahwa prosedur menurut Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975 telah diabaikan, dan bahwa salinan Amdal dan penilaian DINAMA tidak memberikan informasi yang memadai mengenai dampak dari proyek CMB-ENCE. Pada tanggal 7 November 2003, Uruguay mengirimkan seluruh dokumen terkait proyek CMB-ENCE kepada Kementerian Lingkungan Hidup Argentina, yang kemudian pada tanggal 23 Februari 2004 meneruskan dokumen-dokumen tersebut kepada CARU.
Pada tanggal 15 Mei 2004, Sub-komite Pengawasan Kualitas Air dan Pencemaran dari CARU membuat rencana pemantauan kualitas air di sekitar Sungai Uruguay. Rencana ini disetujui oleh CARU pada tanggal 12 November 2004.
Pada tanggal 28 November 2005, Pemerintah Uruguay memberikan izin bagi dimulainya pembangunan pabrik CMB-ENCE. Meski demikian, pada tanggal 28 Maret 2006, CMB-ENCE menghentikan proyek pembangunan pabrik, dan kemudian pada tanggal 21 September 2006, perusahaan ini menyatakan bahwa mereka tidak lagi berniat untuk membangun pabrik kertas di wilayah yang sebelumnya direncanakan. Lihat: Ibid., par. 28-36.
Proyek kedua yang terlibat dalam kasus ini adalah pembangunan pabrik kertas Orion oleh perusahaan Oy Metsä-Botnia AB, sebuah perusahaan Finlandia, di daerah Fray Bentos, beberapa kilometer dari lokasi proyek CMB-ENCE. Pada tanggal 31 Maret 2004, pemrakarsa pembangunan pabrik Orion mengajukan permohonan izin lingkungan kepada Pemerintah Uruguay. Kemudian pada tanggal 29 dan 30 April 2004, CARU mengadakan pertemuan informal dengan pihak Botnia. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan itu, pada tanggal 18 Juni 2004 CARU meminta Botnia untuk memberikan informasi tambahan terkait proyek pembangunan Orion. Dalam pertemuan lanjutan dengan Botnia, CARU kembali meminta Botnia untuk memberikan informasi terkait dengan permohonan izin
(13)
Argentina berpendapat bahwa Uruguay telah melanggar Perjanjian Sungai Uruguay 1975 dan kewajiban lain berdasarkan hukum internasional, berupa: kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi pemanfaatan Sungai Uruguay secara optimal dan rasional; kewajiban untuk memberikan notifikasi kepada Komisi Administratif Sungai Uruguay (CARU) dan kepada pihak Argentina; kewajiban prosedural menurut Perjanjian Sungai Uruguay 1975; kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga lingkungan akuatik dan mencegah pencemaran, serta kewajiban untuk melindungi keanekaragaman hayati dan sumber daya perikanan, termasuk di dalamnya kewajiban untuk melakukan kajian lingkungan secara menyeluruh dan objektif; serta kewajiban untuk bekerja sama dalam upaya pencegahan pencemaran dan perlindungan keanekaragaman hayati.42 Atas dasar hal tersebut, Argentina meminta ICJ untuk menyatakan bahwa dengan pemberian izin secara sepihak atas pembangunan pabrik kertas CMB dan Orion, serta berbagai fasilitas yang terkait dengan pabrik tersebut, Pemerintah Uruguay telah melanggar Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975. Argentina selanjutnya meminta agar ICJ memerintahkan Uruguay untuk: segera menghentikan perbuatan melanggar hukumnya (internationally wrongful acts); melakukan penaatan atas Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975; mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadi perbuatan melawan hukum tersebut; membayar kompensasi kepada Argentina atas kerusakan yang terjadi karena perbuatan melawan hukum tersebut dalam jumlah yang diperlukan oleh Argentina untuk melakukan pemulihan kerusakan; dan menjamin bahwa di kemudian hari Uruguay akan senantiasa mentaati Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975, khususnya ketentuan tentang kewajiban prosedural untuk melakukan konsultasi.43
ICJ melihat bahwa Uruguay tidak memberikan informasi kepada CARU secara cepat dan komprehensif. ICJ menganggap bahwa pemberian izin lingkungan oleh Pemerintah Uruguay telah dilakukan tanpa keterlibatan CARU.44 Atas dasar itu, ICJ menyimpulkan bahwa “by not informing CARU of the planned works before the
lingkungan yang telah diajukannya kepada DINAMA. Pada tanggal 12 November 2004, CARU memutuskan untuk meminta Uruguay agar memberikan informasi tentang permohonan izin lingkungan yang diajukan oleh Botnia.
Pada tanggal 21 Desember 2004, DINAMA mengadakan dengar pendapat yang dihadiri oleh perwakilan CARU, terkait proyek pembangunan Orion (Botnia) di Fray Bentos. Kemudian pada tanggal 11 Februari 2005, DINAMA memberikan rekomendasi kepada MVOTMA agar memberikan izin lingkungan bagi proyek Orion (Botnia). Pada tanggal 14 Februari 2005, MVOTMA mengeluarkan izin lingkungan bagi Botnia untuk membangun pabrik Orion (Botnia) dan sebuah dermaga yang berdekatan dengan pabrik tersebut.
Kemudian dalam pertemuan CARU pada tanggal 11 Maret 2005, Pemerintah Argentina mempertanyakan apakah pemberian izin lingkungan tersebut telah sesuai dengan kewajiban prosedural berdasarkan Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975. Argentina mengulangi keberatannya ini dalam pertemuan CARU pada tanggal 6 Mei 2005.
Sementara itu, pada tanggal 12 April 2005, Pemerintah Uruguay mengeluarkan persetujuan atas dimulainya tahap awal pengerjaan proyek Orion (Botnia), dan pada tanggal 5 Juli 2005, mengizinkan pembangunan dermaga di dekat Orion (Botnia). Selanjutnya, dalam bulan-bulan berikutnya, Pemerintah Uruguay memberikan persetujuan atas pembangunan cerobong asap, fondasi, instalasi pengolahan air limbah dari pabrik Orion (Botnia). Pada tanggal 24 Agustus 2006, Pemerintah Uruguay mengizinkan pengoperasian dermaga di dekat lokasi Orion (Botnia), dan akhirnya pada tanggal 8 November 2007, Pemerintah Uruguay memberikan izin bagi beroperasinya pabrik Orion (Botnia). Persetujuan-persetujuan ini, meskipun telah dilaporkan oleh Pemerintah Uruguay kepada CARU, tetap diberikan di tengah permintaan Argentina agar pembangunan Orion (Botnia) dihentikan. Lihat: Ibid., par. 37-43.
42
Ibid., par. 22. 43Ibid
., par. 23. 44
(14)
issuing of the initial environmental authorizations for each of the mills and for the port terminal adjacent to the Orion (Botnia) mill” Uruguay telah gagal memenuhi kewajiban prosedural berdasarkan Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975.45
Dalam pertimbangannya, ICJ menyatakan bahwa Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975, khususnya pasal 27, tidak hanya merefleksikan kebutuhan masing-masing negara (dalam hal ini riparian States) dalam penggunaan sumber daya secara bersama, tetapi juga menggambarkan kebutuhan untuk menyeimbangkan kebutuhan untuk memanfaatkan sungai dan kebutuhan untuk melakukan perlindungan sungai yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan.46 Sayangnya, ICJ kemudian hanya sepintas saja melakukan pembahasan mengenai pembangunan berkelanjutan tersebut. Dalam konteks ini, ICJ menyatakan
“...utilization [of River Uruguay— tambahan penulis] could not be considered to be equitable and reasonable if the interests of the other riparian State in the shared resource and the environmental protection of the latter were not taken into account. Consequently, it is the opinion of the Court that Article 27 embodies this interconnectedness between equitable and reasonable utilization of a shared resource and the balance between economic development and environmental protection that is the essence of sustainable development.”47
Dari kutipan ini, terlihat bahwa ICJ menafsirkan pembangunan berkelanjutan sebagai sebuah jembatan yang menghubungkan antara kebutuhan pembangunan dengan kebutuhan perlindungan lingkungan. Bagaimana “jembatan” ini bekerja, ternyata tidak dijelaskan lebih lanjut oleh ICJ.
Terbatasnya pembahasan oleh ICJ inilah yang kemudian mendorong Hakim Trindade memiliki pendapat berbeda, dissenting opinion, dari pertimbangan ICJ. Menurut Trindade, hasil dari kasus Pulp Mills on the River Uruguay menyisakan tiga persoalan yang tidak secara mendalam dibahas baik oleh para pihak maupun oleh ICJ. Pertama, kurangnya argumen dari para pihak terkait dengan dampak sosial nyata dari pabrik kertas. Kedua, kurangnya perhatian dari ICJ terhadap beberapa poin khusus dari kasus Pulp Mills on the River Uruguay. Ketiga, tidak adanya pernyataan ICJ mengenai pengakuan terhadap peran dari prinsip-prinsip hukum lingkunan internasional.48
Dalam pandangan Trindade, lebih dari sekedar lembaga biasa, ICJ memuat kata “justice” di dalamnya sehingga seharusnya ICJ tidak boleh mengabaikan pentingnya prinsip umum hukum internasional, termasuk prinsip pembangunan berkelanjutan, dalam pemberian pertimbangannya.49 Prinsip hukum inilah yang memberikan jaminan terintegrasinya sistem hukum internasional di satu sisi, dan menjadi sumber hukum material dari semua hukum.50
45
Ibid., par. 111. 46
Ibid., par. 177. 47Ibid
.
48Kasus Pabrik Kertas Sungai Uruguay: Pendapat Trindade
, op. cit. note 28, par. 140.
49
Ibid., par. 218 dan 220.
50
Dalam hal ini Trindade mengungkapkan:
“[i]t is the principles of the international legal system that can best ensure the cohesion and
integrity of the international legal system as a whole. Those principles are intertwined with the very foundations of International Law, pointing the way to the universality of this latter, to the benefit of humankind. Those principles emanate from human conscience, the universal
(15)
Trindade pada dasarnya menyetujui bahwa pembangunan berkelanjutan berfungsi menjembatani kepentingan pembangunan di satu sisi, dan kepentingan akan perlindungan lingkungan di sisi lain. Dalam konteks ini, Trindade menyatakan: “[s]ustainable development came to be perceived, furthermore, as a link between the right to a healthy environment and the right to development; environmental and developmental considerations came jointly to dwell upon the issues of elimination of poverty and satisfaction of basic human needs.”51 Trindade, seperti juga Weeramantry dalam Kasus Gabcikovo-Nagymaros, mengakui pembangunan berkelanjutan, bersama-sama dengan prinsip pencegahan (principle of preventive action), keadilan antar generasi (principle of intergenarional equity), dan kehati-hatian (precautionary principle), sebagai sebuah prinsip hukum lingkungan internasional.52 Dalam dissenting opinion-nya ini, Trindade juga menunjukkan bahwa baik Argentina dan Uruguay sama-sama mengakui pembangunan berkelanjutan sebagai prinsip hukum.53
2.4.Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Undang-undang lingkungan hidup di Indonesia sendiri sejak awal telah memuat gagasan-gagasan mengenai pembangunan berkelanjutan. Pada Pasal 3 UU No. 4 tahun 1982 tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup (UULH) dinyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup dilakukan untuk “menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.”54 Di samping itu, Pasal 4 UU No. 4 tahun 1982 menyatakan pula bahwa salah satu tujuan dari pengelolaan lingkungan hidup adalah “terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.” Dari bunyi Pasal 3 dan 4 tersebut terlihat bahwa meskipun UU No. 4 tahun 1982 menggunakan istilah pembangunan berwawasan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, namun kedua istilah ini masih dapat dikatakan sejalan dengan pembangunan berkelanjutan. Gagasan tentang keadilan antar generasi pun bahkan sudah terlihat dari Pasal 4 tersebut.
Sementara itu, UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, yang merupakan pengganti UU No. 4 tahun 1982, secara jelas sudah memasukan pembangunan berkelanjutan di dalam ketentuan-ketentuannya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari Pasal 3 tentang asas yang menyatakan bahwa salah satu asas dari pengelolaan lingkungan adalah “pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan”. Dengan demikian, maka UU No. 23 tahun 1997 telah mulai menggunakan istilah “pembangunan berkelanjutan”, meskipun masih digabungkan dengan frase “berwawasan lingkungan”. Di samping itu, pengakuan terhadap keadilan antar generasi pun terlihat di dalam Pasal 4 UU No. 23 tahun 1997 yang menyatakan bahwa salah satu sasaran dari pengelolaan lingkungan hidup adalah “terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan.” Pengakuan terhadap pentingnya issue keadilan sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan dipertegas kembali di dalam Penjelasan Pasal 3 yang menyatakan bahwa:
“[a]sas keberlanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk terlaksananya kewajiban dan
51Ibid.
, par. 132. 52
Ibid., par. 210.
53
Ibid., par. 143-144. 54
Dapat dimengerti bahwa UU ini tidak menggunakan istilah “pembangunan berkelanjutan”
(16)
tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan.”
Pembangunan berkelanjutan pun mendapat pengakuan di dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sebagai pengganti dari UU No. 23 tahun 1997. Pasal 2 UU No. 32 tahun 2009 menyatakan bahwa asas dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah asas kelestarian dan keberlanjutan dan asas keadilan. Penjelasan Pasal 2 ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan asas kelestarian dan keberlanjutan adalah “bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup.” Sedangkan yang dimaksud dengan asas keadilan adalah “bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender.” Dari kutipan Pasal 2 dan penjelasannya tersebut dapat disimpulkan dua hal. Pertama, UU No. 32 tahun 2009 mengakui pembangunan berkelanjutan merupakan asas hukum lingkungan.
Kedua, UU No. 32 tahun 2009 menambahkan keadilan dalam satu generasi, di samping juga keadilan antar generasi, sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan.
Di samping itu, UU No. 32 tahun 2009 juga menyatakan bahwa tujuan dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah untuk “menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan”, dan “mewujudkan pembangunan berkelanjutan”. Dengan demikian, maka pembangunan berkelanjutan dan keadilan intra dan antar generasi dianggap tidak hanya sebagai asas hukum lingkungan, tetapi juga merupakan tujuan dari pengaturan hukum lingkungan di Indonesia.
Pada bagian ini, perlu pula disebutkan bahwa di samping di dalam UU tentang pengelolaan lingkungan hidup, pembangunan berkelanjutan bahkan dimasukkan ke dalam konstitusi. Dalam hal ini, Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 (Amandemen Keempat) menyatakan bahwa perekonomian Indonesia didasarkan beberapa asas, di antaranya asas berkelanjutan dan asas berwawasan lingkungan. Dengan demikian, maka sesungguhnya Indonesia tidak saja merupakan salah satu dari sedikit negara yang memasukkan ketentuan mengenai perlindungan lingkunan di dalam konstitusinya, tetapi juga negara yang secara jelas telah menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai asas dari sistem ekonominya.
2.5.Berbagai Makna Pembangunan Berkelanjutan
Bell dan McGillivray menyatakan bahwa terdapat paling tidak dua penafsiran yang saling bertentangan mengenai makna dari Sustainable Development55.
55
Stuart Bell dan Donald McGillivray, Environmental Law: the Law and Policy Relating to the
Protection of the Environment, 5th ed. (London: Blackstone Press, 2000), hal. 44. Bandingkan dengan
David Hunter, et.al., yang menggambarkan adanya 4 versi pemahaman keberlanjutan lingkungan, yaitu: “weak sustainability”, “intermediate sustainability” (yang menyatakan bahwa di samping harus menjaga tingkat keutuhan modal, kita juga harus memperhatikan komposisi dari modal kap ital tersebut, yaitu sumber daya alam, manufaktur, dan manusia), “strong sustainability”, dan “absurdly
strong sustainability” (bahwa sumber daya alam yang tak terbarui tidak boleh mengalami perngurangan
sedikit pun, sedangkan sumber daya yang tidak dapat diperbarui hanya dapat dikonsumsi sebatas tingkat pertumbuhan tahunan sumber daya tersebut). Lihat: David Hunter, et.al., op.cit., hal. 136-137. Berdasar ilmu ekonomi, perbedaan antara weak dan strong sustainability terletak pada pertanyaan
(17)
Pandangan pertama disebutnya sebagai “weak sustainability”. Pandangan pertama ini berpendapat bahwa sumber daya alam saat ini dapat dikonsumsi atau “dikorbankan” apabila hal tersebut lebih menguntungkan dibandingkan dengan tidak mengkonsumsi sumber daya tersebut, yaitu apabila persediaan sumber daya alam yang akan diberikan bagi generasi yang akan datang tidak mengalami pengurangan. Sumber daya di sini tidak hanya meliputi sumber daya lingkungan, tetapi juga sumber daya manusia dan pengetahuan, sehingga kita tidak perlu khawatir dengan hilangnya sebuah sumber daya lingkungan selama manusia dapat menciptakan gantinya yang bernilai sama atau lebih baik. Pandangan kedua, adalah “strong sustainability”. Pandangan ini menyatakan bahwa sumber daya alam merupakan sesuatu yang tidak tergantikan, dalam arti bahwa penurunan atau hilangnya sumber daya ini tidak akan dapat terkompensasi.
Masing-masing pandangan ini tentu saja memiliki kelemahan. Pandangan pertama memiliki kelemahan dalam hal pandangan ini sesungguhnya tidak berbeda dari konsep pembangunan yang dianut sebelum dikenalnya konsep Sustainable Development. Pandangan pertama sering kali dianggap sebagai sebuah konsep yang “kosong”. Sedang pandangan kedua sering dianggap cacat secara moral, sebab pandangan ini terlalu mengutamakan pentingnya perlindungan sumber daya alam di atas segalanya, bahkan di atas kelangsungan hidup umat manusia. Dan tentu saja kita tidak tidak bisa menerima kedua pandangan ini, sehingga karenanya harus mencari alternatif yang dapat mensintesakan kedua kontradiksi ini. Dalam hal ini, ada baiknya jika di sini diungkapkan pemaknaan Sustainable Development yang dilakukan oleh l Jacobs, yaitu:
“Sustainability means that the environment should be protected in such a condition and to such a degree the environmental capacities (the ability of the environment to perform its various functions) are maintained over time: at least at levels sufficient to avoid future catastrophe, and at most at levels which give future generations the opportunity to enjoy an equal measure of environmental consumption”56
Beberapa ekonom menyatakan bahwa konsep pembagungan berkelanjutan haruslah dipandang sebagai sebuah perlindungan terhadap critical natural capital, yaitu sumber daya alam yang kritis. Dalam hal ini,Costanza dan Daly, sebagaimana dikutip oleh Common dan Stagl, telah mengajukan dua buah kondisi minimum untuk keberlakuan pembagunan berkelanjutan; yaitu57:
a. SDA yang terbarui hanya boleh dieksploitasi sampai pada batas yang efisien. Dengan demikian, tujuan dari pembangungan berkelanjuan adalah penggunaan SDA yang efisien.
b. Hasil eksploitasi dari SDA yang tidak terbarui haruslah di-investasi ulang untuk pemulihan SDA yang terbarui.
apakah sumber daya alam dapat digantikan dengan sumber daya buatan. Menurut pendapat strong
sustainability, sumberd daya alam dan buatan adalah dua hal yang dapat disubstitusikan. Artinya,
sumber daya alam dapat dieksploitasi sepanjang hasil dari eksploitasi ini dialokasikan untuk pembangunan sumber daya alam buatan yang nilainya sama dangan atau lebih besar dari eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan.
56
Michael Jacobs, The Green Economy: Environment, Sustainable Development and the Politics of
the Future (London: Pluto Press, 1991), hal. 79-80.
57
M. Common and S. Stagl, Ecological Economics: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), pp. 378.
(1)
the public interest and without distorting international trade and investment”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip pencemar membayar merupakan sebuah prinsip yang ditujukan sebagai upaya untuk mendorong adanya internalisasi eksternalitas. Dalam perspektif ekonomi, eksternalitas adalah bentuk dari kegagalan pasar (market failure), sebab pasar gagal mempertimbangkan total biaya (dalam hal ini pencemaran) yang diakibatkan oleh sebuah proses produksi. Dengan demikian, eksternalitas ini dibuktikan dengan adanya harga yang tidak mencerminkan biaya-biaya lingkungan.222 Eksternalitas memberikan arah yang salah pada individu ketika mengambil keputusan, sebab dengan adanya eksternalitas ini pasar gagal untuk mencerminkan harga yang sebenarnya dari sebuah produk atau kegiatan.223 Setiap orang, baik sebagai produsen maupun konsumen, gagal untuk mempertimbangkan seluruh biaya dari keputusan dan perbuatannya, karena ada komponen biaya yang mengalami eksternalisasi dan menjadi beban dari masyarakat secara umum. Pendeknya, eksternalitas mencerminkan tingkah laku yang ingin meraup keuntungan secara pribadi, tetapi tidak mau menanggung biaya yang diperlukan untuk memperoleh keuntungan tersebut.
Dalam buku teks ekonomi, pencemaran seringkali digunakan sebagai contoh klasik dari eksternalitas.224 Karenanya, berdasarkan perspektif ekonomi, hukum lingkungan terutama bertujuan untuk menginternalisasi eksternalitas (to internalize the externality).225 Proses ini dibuat untuk memaksa agar semua pihak memasukkan pertimbangan biaya lingkungan (environmental costs) ke dalam pengambilan keputusannya. Semakin besar biaya lingkungan yang berhasil diinternalkan oleh adanya aturan hukum, maka semakin baiklah aturan tersebut. Dengan dimasukkannya pertimbangan biaya lingkungan ke dalam pertimbangan uasaha keseluruhan, maka diharapkan konsumen akan menghadapi harga produk yang sesungguhnya.226 Internalisasi eksternalitas karenanya dianggap sebagai sebuah prinsip penting untuk melaksanakan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Selain diterapkan melalui pertanggungjawaban perdata, internalisasi juga biasa diterapkan dengan penggunaan instrumen-instrumen ekonomi yang diharapkan dapat memberikan insentif/disinsentif ekonomi bagi penaatan lingkungan. Instrumen
222
Eksternalitas terjadi ketika keputusan yang diambil oleh seseorang mempengaruhi keputusan dankeadaan orang lain secara langsung, tanpa melalui mekanisme pasar sebab pasar justru gagal untuk mencerminkan harga yang sebenarnya. Dengan adanya eksternalitas ini, individu pengambil keputusan hanya akan menanggung biaya pribadi (private costs), sedangkan biaya yang mengalami eksternalisasi merupakan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat (social costs). Secera singkat, eksternalits ditandai dengan adanya perbedaan antara private costs (atau marginal costs of private production) dengan social costs (atau marginal social external costs). Lihat: R.S. Pindyck and D.L. Rubinfield, Microeconomics (Prentice Hall, 2001), hal. 592.; atau: E.J. Solberg, Intermediate Microeconomics (Business Publication, 1982), hal. 540.
223
Michael Faure dan Goran Skogh, The Economic Analysis of Environmental Policy and Law: An Introduction (Edward Elgar, 2003), hal. 95.
224
Lihat misalnya: Edwin Mansfield, Principles of Microeconomics, 4th ed. (W.W. Norton & Company, 1983), hal. 75-76.
225
Michael Faure, “Environmental Law and Economics”, METRO—Maastricht University, 2001, hal. 10.
226
Secara ekonomi, harga (P) ditentukan sebesar biaya marginal (MC). Apabila terjadi eksternalitas, maka MC tidak sama dengan biaya social marjinal (MSC), karena terdapat factor biaya ekternal marjinal (MEC) yang tidak diperhitungkan. Internalisasi eksternalitas dimaksudkan agar MEC diperhitungkan, sehingga biaya marjinal menjadi MSC: P = MC + MEC = MSC. Lihat: D. Hunter, J. Salzman, D. Zaelke, op cit. note Error! Bookmark not defined., hal. 108.
(2)
ekonomi yang lazim digunakan adalah pajak lingkungan (misalnya carbon tax atau landfill tax) dan tradeable permit.
Secara teoritis, Prinsip Pencemar Membayar pada dasarnya merupakan sebuah penerapan teori ekonomi dalam rangka pengalokasian biaya-biaya bagi pencemaran dan kerusakan lingkungan, tetapi kemudian memiliki implikasi bagi perkembangan hukum lingkungan internasional dan nasional, yaitu dalam hal terkait dengan masalah tanggung jawab ganti kerugian atau dengan biaya-biaya lingkungan yang harus dipikul oleh pejabat publik. Prinsip ini pertama-tama tercantum dalam beberapa rekomendasi OECD pada tahun 70-an yang pada dasarnya menyatakan bahwa prinsip pencemar membayar mewajibkan para pencemar untuk memikul biaya-biaya yang diperlukan dalam rangka upaya-upaya yang diambil oleh pejabat publik untuk menjaga agar kondisi lingkungan berada pada kondisi yang dapat diterima, atau dengan kata lain ialah bahwa biaya-biaya yang diperlukan untuk menjalankan upaya-upaya ini harus tercermin di dalam harga barang dan jasa yang telah menyebabkan pencemaran selama dalam proses produksi atau proses konsumsinya.227
Dengan demikian, secara teoritis prinsip pencemar membayar merupakan upaya yang langsung terkait dengan konsep internalisasi eksternalitas. Boyle menyatakan bahwa dalam rangka penerapan prinsip pencemar membayar, kita tidak hanya dapat mengandalkan pajak atau charge, karena instrumen ini sering kali gagal mengurangi permintaan atas barang yang merusak lingkungan.228 Dalam hal ini, prinsip pencemar membayar membutuhkan adanya dukungan dari instrumen lain, yaitu pertanggung jawaban perdata. Jenis pertanggung jawaban apa yang lebih efektif untuk menginternalkan eksternalitas ini tergantung dari banyak faktor, di antaranya tingkat keseriusan dari dampak pencemaran terhadap lingkungan.229
Sayangnya, UU lingkungan hidup Indonesia mengartikan prinsip pencemar membayar secara sempit. Hal ini terlihat dari penjelasan Pasal 31 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997 dan Penjelasan Pasal 87 ayat 1 UU No. 32 tahun 2009 yang menyatakan bahwa Pasal 34 ayat 1 UU No. 23 tahun 1997 dan Pasal 87 ayat 1 UU No. 32 tahun 2009 “merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan yang disebut asas pencemar membayar”. Kedua pasal tersebut merupakan pasal tentang pertanggungjawaban perdata atas kerugian lingkungan berdasarkan perbuatan melawan hukum. Dengan demikian, para pembuat UU lingkungan telah menerapkan prinsip pencemar membayar secara sempit, yaitu hanya dalam bentuk pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault).
227
A. Boyle, “Impact of International Law and Policy”, dalam: Alan Boyle, (ed.), Environmental
Regulation and Economic Growth (Clarendon Press, 1994), hal. 179-182. Lihat juga: Alan Boyle dan
Patricia Birnie, International Law and the Environment, 2nd ed. (Oxford University Press, 2002), hal. 92-95.
228
Efektifitas pajak untuk mengubah pola konsumsi sangat tergantung pada dua hal: elastisitas barang yang dikenai pajak serta seberapa besar pajak yang akan dikenakan. Apabila permintaan atas barang tersebut tidak elastis, maka sebanyak apapun pajak yang akan dikenakan tidak akan dapat mengubah pola konsumsi. Di sisi lain, penentuan tingkat pajak juga sering bermasalah karena pajak sering kali berdampak luas bagi masyarakat dan karenanya besarnya sering kali merupakan kompromi politik.
229
Pertanggung jawaban perdata pun sering kali gagal menginternalkan eksternalitas, yaitu apabila ia gagal memaksa pencemar untuk membayar seluruh biaya yang timbul dari pencemaran yang telah ditimbulkannya. Kegagalan untuk memaksa pencemar membayar biaya tersebut biasanya dipicu oleh ketiadaan penggugat (karena tidak ada pihak yang merasa dirugikan), kesulitan mencari pencemar (karena begitu banyaknya pencemar atau karena pencemaran baru dapat dideteksi setelah melewati waktu yang sangat lama), atau pun apabila asset pencemar tidak mampu menutupi seluruh biaya pencemaran yang terjadi (insolvency).
(3)
Tentu saja hal ini mengandung konsepsi yang keliru tentang prinsip pencemar membayar. Alih-alih yang dikaitkan dengan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan, prinsip pencemar membayar seharusnya dijadikan salah satu landasan bagi penerapan perangkat-perangkat ekonomi, sistem command and control, atau sistem pertanggungjawaban yang hendak diterapkan di dalam peraturan-peraturan lingkungan hidup, dalam rangka sedapat mungkin menginternalkan biaya-biaya lingkungan. Karenanya, adalah keliru jika kita menempatkan prinsip pencemar membayar di bawah sistem pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Pun keliru jika kita menerapkan prinsip ini di bawah sistem pertanggungjawaban pada umumnya (baik berdasarkan kesalahan ataupun berdasarkan strict liability). Sebaliknya, prinsip pencemar membayar harus diterapkan sebagai acuan bagi perangkat-perangkat hukum yang ingin diterapkan dalam rangka mendorong agar konsumen menghadapi harga yang sebenarnya, serta agar produsen memiliki insentif untuk menggunakan metode dan menghasilkan produk yang ramah lingkungan. Dan hal ini prinsip pencemar membayar tidak hanya terkait dengan persoalan tanggung jawab perdata, tetapi juga terkait dengan instrumen ekonomi, atau bahkan dengan kebijakan pengelolaan lingkungan serta penegakan hukum pada umumnya.230
Meskipun demikian, penulis menyadari bahwa contoh paling mudah untuk memperlihatkan adanya pengakuan dan penerapan keadilan korektif (termasuk prinsip pencemar membayar) adalah dalam bentuk pertanggungjawaban perdata. Terkait dengan hal ini, dapat dikatakan di sini bahwa hukum lingkungan Indonesia telah mengakui adanya dua aturan pertanggungjawaban perdata, yaitu pertanggungjawaban berdasarkan perbuatan melawan hukum (PMH) dan tanggung jawab mutlak (strict liability). Dalam tulisan ini, penulis merasa perlu untuk memberikan penjelasan lebih jauh tentang pertanggungjawaban perdata ini, mengingat penulis menemukan adanya kekeliruan dalam penafsiran mengenai pertanggungjawaban perdata, terutama terkait strict liability.
PMH merupakan pertanggunjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault). Di dalam UU No. 32 tahun 2009, pertanggungjawaban berdasarkan PMH tercantum dalam Pasal 87. Sedangkan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), yang di dalam UU No. 32 tahun 2009 diatur dalam pasal 88. Dengan demikian, perbedaan
230
Khusus untuk penerapan prinsip pencemar membayar dalam bentuk instrumen ekonomi, kita bisa merujuk pada beberapa contoh yang diberikan oleh Pearce dan Turner. Contoh tersebut antara lain adalah: pajak (termasuk effluent charge, user charge, administrative charge, dan product charge), subsidi (termasuk soft loans dan tax allowances), sistem jaminan uang (deposit-refund system), dan penciptaan pasar (termasuk tradeable permits dan liability insurance). Lihat: D.W. Pearce dan R.K. Turner, Economics of Natural Resources and the Environment (Johns Hopkins University Press, 1990), hal 172.
Bandingkan dengan UU No. 32 tahun 2009 yang merumuskan instrumen ekonomi secara sangat luas, sehingga di dalamnya tidak hanya memuat pajak (Pasal 43(3) huruf b), perdagangan izin (Pasal 43(3) huruf d), atau uang jaminan (Pasal 43(2) huruf a), tetapi juga memuat instrumen sukarela seperti label dan penghargaan (Pasal 43(3) huruf g dan h), lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan (Pasal 43(3) huruf c), neraca lingkungan (Pasal 43(1) huruf a), bahkan GDP hijau (Pasal 43(3) huruf b). Dari berbagai jenis instrumen ekonomi ini, penulis menganggap bahwa pembuat UU sepertinya tidak hanya masih mencampuradukkan antara instrumen ekonomi dengan penaatan sukarela (voluntary compliance atau moral suation), tetapi juga bahkan menambahkan berbagai instrumen yang dalam berbagai literatur standar tentang ekonomi lingkungan sebenarnya tidak dikenal sebagai instrumen ekonomi.
Untuk diskusi singkat mengenai berbagai jenis instrumen ekonomi dan perbedaannya dengan penaatan sukarela, lihat: Andri G. Wibisana, “Instrumen Ekonomi atau Privatisasi Pengelolaan Lingkungan? Komentar atas RUU Jasa Lingkungan”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 38(4), 2008, hal. 609-625.
(4)
antara PMH dengan strict liability ialah bahwa pada PMH kesalahan merupakan dasar dari pertanggungjawaban, sedangkan dalam strict liability seseorang tetap harus bertanggungjawab meskipun perbuatannya tidak dikategorikan sebagai suatu kesalahan.
Persoalannya tentu saja adalah apa yang dimaksudkan dengan kesalahan (fault). Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis akan merujuk pada definisi strict liability menurut Restatement (Second) of Torts § 519(1), yang menyatakan “[o]ne who carries on an abnormally dangerous activity is subject to liability for harm to the person, land or chattels of another resulting from the activity, although he has exercised the utmost care to prevent the harm.”—[garis bawah dari penulis]. Atas dasar ini maka penulis cenderung mengartikan “tanpa kesalahan” di dalam strict liability sebagai “tanpa adanya perbuatan melawan hukum”. Artinya, seseorang tetap bertanggungjawab meskipun perbuatannya tidak melawan hukum. Di dalam definisi Restatement di atas, kesimpulan penulis ini ditunjukkan dalam frase “although he has exercised the utmost care”. Berdasarkan definisi dari Restatement ini, maka tergugat tetap harus bertanggungjawab meskipun ia sudah sangat berhati-hati dalam melakukan perbuatan/kegiatannya.231
Namun demikian, perlu ditegaskan di sini bahwa di dalam strict liability penggugat tetap memikul beban untuk membuktikan adanya kerugian dan kausalitas (yaitu bahwa kerugian yang diderita penggugat terjadi karena kegiatan yang dilakukan tergugat). Dalam hal ini, Green Paper menyatakan bahwa di dalam strict liability, “the injured party must still prove that the damage was caused by someone’s act”.232 Penjelasan singkat ini kiranya sudah cukup untuk menunjukkan beberapa kekeliruan dari para penulis Indonesia yang seringkali mengartikan “tanpa kesalahan” di dalam strict liability sebagai kesalah dalam arti subjektif, seperti kesengajaan, kelalaian, atau bahkan mens rea,233 atau menyamakan strict liability dengan pembuktian terbalik234 atau res ipsa loquitur.235 Seperti dijelaskan sebelumnya,
231
Pendapat senada juga terlihat dalam pandangan hakim dalam kasus Albahary v. City and Town of Bristol, Connecticut yang, sebagaimana dikutip oleh Berry, menyatakan bahwa “[a] person who uses an intrinsically dangerous means to accomplish a lawful end, in such a way as will necessarily or obviously expose the person of another to the danger of probable injury, is liable if such injury results, even though he (or she) uses all proper care”—[garis bawah dari penulis]. Lihat: James F. Berry, The
Environmental Law and Compliance Handbook (McGraw-Hill, 2000), hal. 18. Dari kutipan ini terlihat
bahwa mereka yang melakukan perbuatan yang sangat berbahaya (ultra hazardous activity), sebagai syarat untuk terkena strict liability, bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi, meskipun kegiatannya merupakan kegiatan yang legal, dan telah dilakukan dengan cara yang sangat hati-hati (dan karenanya tidak melawan hukum).
232
Commission of the European Communities, “Green Paper on Remedying Environmental Damage”, COM(93) 47 final, 1993, hal. 6-7.
233
Lihat misalnya pendapat Siahaan yang menyatakan “[d]alam asas Strict Liability, kesalahan (fault, schuld, atau mens rea) tidaklah menjadi penting untuk menyatakan si pelaku bertanggung jawab karena pada saat peristiwa itu timbul ia sudah memikul suatu tanggung jawab”—[garis bawah dari penulis]. N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (Erlangga, 2004), hal. 317. Dari kutipan ini terlihat bahwa Siahaan mengartikan istilah “kesalahan” sebagai “mens rea”, yang merupakan unsur subjektif dari perbuatan seseorang. Dengan demikian, jika kita mengikuti pandangan ini, maka “tanpa kesalahan” di dalam strict liability sama dengan “tanpa mens rea”.
234
Lihat misalnya pendapat Rangkuti yang menyatakan bahwa strict liability “biasanya diimbangi dengan beban pembuktian terbalik”. Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan
Lingkungan Nasional (Airlangga University Press, 2005), hal. 201. Pendapat yang lebih tegas dalam
menyamakan strict liability dengan pembuktian terbalik dapat dilihat dari pendapat Arifin yang menyatakan bahwa “[b]erkaitan dengan asas tanggung jawab mutlak ini adalah beban pembuktian, yang beralih dari pihak penggugat ke tergugat”. Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia (Softmedia, 2011), hal. 173. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Machmud yang menyatakan bahwa “[s]trict liability bermaksud bahwa unsur
(5)
perbedaan antara PMH dengan strict liability bukan hanya bahwa strict liability telah menghilangkan unsur kesalahan subjektif (sengaja atau lalai) sebagai dasar pertanggungjawaban,236 melainkan juga bahwa strict liability telah menghilangkan unsur melawan hukum. Dalam strict liability seseorang tetap harus bertanggungjawab bahkan jika perbuatannya tidaklah melawan hukum. Lebih jauh lagi, seperti dijelaskan sebelumnya, strict liability bukanlah pembuktian terbalik atau res ipsa loquitur.237 Pendapat terakhir penulis ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, di dalam strict liability penggugat masih harus membuktikan adanya kerugian dan hubungan kausal antara kerugian dengan kegiatan tergugat.238 Jika kemudian tergugat berdalih dan membuktikan bahwa kerugian yang diderita bukanlah karena perbuatan tergugat, melainkan misalnya karena force majeure, maka hal ini tidaklah menunjukkan adanya unsur pembuktian terbalik di dalam strict liability, sebab apa yang dilakukan oleh tergugat ini merupakan pelaksanaan dari prinsip umum hukum yaitu “siapa yang mendalilkan dia yang harus membuktikan”. Artinya, dalam contoh seperti ini pun tidak ada pembuktian terbalik. Kedua, di dalam strict liability tergugat tetap bertanggungjawab meskipun ia mampu membuktikan bahwa kegiatan/perbuatannya bukanlah merupakan perbuatan yang melawan hukum;
kesalahan dari tergugat tidak perlu dibuktikan lagi oleh penggugat, dan pembuktian justru dibebankan pada tergugat, bahwa dia benar-benar tidak mencemari dan/atau merusak lingkungan. Dengan demikian beban pembuktiannya adalah beban pembuktian terbalik (shifting the burden of proof)”. Lihat: Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia: Penegakan Hukum Administrasi,
Hukum Perdata, dan Hukum Pidana menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2009 (Graha Ilmu, 2012),
hal. 211.
235
Lihat pendapat Siahaan yang menyatakan bahwa “[d]i sini [dalam strict liability—penulis] berlaku asas “res ipso [sic!] loquitur”, yaitu fakta sudah berbicara sendiri (the thing speaks for itself).” N.H.T. Siahaan, op cit. note 233, hal. 317. Pendapat ini diamini oleh Arifin yang mengutip pernyataan Siahaan bahwa “[d]alam asas Strict Liability, kesalahan (fault, schuld, atau mens rea) tidaklah menjadi penting untuk menyatakan si pelaku bertanggung jawab, di sini berlaku asas “res ipso loquitur”. Lihat: Syamsul Arifin, op cit. note 234, hal. 173.
236
Dalam prakteknya, di dalam PMH pun sebenarnya seringkali tidak dipersyaratkan adanya bukti kesengajaan atau kelalaian sebagai dasar pertanggungjawaban. Hal ini tentu saja berbeda dengan pertanggungjawaban pidana, di mana unsur kesengajaan/kelalaian merupakan unsur yang secara umum menjadi dasar pertanggungjawaban. Atas dasar ini maka Coleman menyatakan bahwa “[i]n torts, liability for negligence is liability that is not defeasible by excuse. Fault liability in torts, especially liability for negligence, therefore, does not require culpability or moral blameworthiness.” Atas dasar inilah maka selanjutnya Coleman menyatakan bahwa pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan di dalam konteks perdata merupakan pertanggungjawaban strict liability di dalam konteks pidana. Lihat: Jules L. Coleman, Risks and Wrongs (Cambridge University Press, 1992), hal. 219.
237
Res ipsa loquitur, secara harfiah berarti fakta berbicara sendiri, adalah sebuah doktrin dalam torts yang mirip dengan pembuktian terbalik. Menurut doktrin ini, kesalahan (dalam arti perbuatan melawan hukum) dari tergugat diasumsikan telah ada, sehingga tergugat lah yang memiliki beban untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Doktrin ini biasanya diterapkan jika beberapa syarat terpenuhi, yaitu: a). kerugian harus merupakan kerugian yang sulit dibuktikan penyebabnya. Dalam hal ini, harus dipenuhi unsur “unknown cause”. b). kerugian dianggap hanya akan terjadi karena kurangnya kehati-hatian (lack of proper care). Dengan demikian, diasumsikan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa kurangnya kehati-hatian. c). Tergugat haruslah orang yang sepenuhnya memiliki kontrol atas situasi yang terjadi. Unsur terakhir ini merupakan penjelasan mengapa tergugat diasumsikan sudah terbukti melawan hukum. Lihat: Vivienne Harpwood, Principles of Tort Law, 4th ed. (Cavendish Publishing Limited, 2000), hal. 144-145.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa res ipsa loquitur merupakan pembuktian terbalik terbatas, yaitu bahwa tergugat diasumsikan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Tergugat masih bisa lepas dari pertanggungjawaban jika ia berhasil membuktikan bahwa perbuatannya tidak melawan hukum. Pertanggungjawaban seperti inilah yang dianut oleh UU Perlindungan Konsumen, yang menurut penulis tidaklah tepat untuk disebut sebagai strict liability.
238
Perlu dijelaskan di sini bahwa di dalam strict liability tidaklah dipersoalkan apakah kegiatan/perbuatan tergugat tersebut merupakan kegiatan/perbuatan yang melawan hukum.
(6)
sedangkan di dalam pembuktian terbalik (terutama dalam hal res ipsa loquitur), tergugat akan lepas dari pertanggungjawaban jika ia mampu membuktikan bahwa perbuatannya tidak melawan hukum.