15
Trindade pada dasarnya menyetujui bahwa pembangunan berkelanjutan berfungsi menjembatani kepentingan pembangunan di satu sisi, dan kepentingan akan
perlindungan lingkungan di sisi lain. Dalam konteks ini, Trindade menyatakan: “[s]ustainable development came to be perceived, furthermore, as a link between the
right to a healthy environment and the right to development; environmental and developmental considerations came jointly to dwell upon the issues of elimination of
poverty and satisfaction of basic human needs.”
51
Trindade, seperti juga Weeramantry dalam Kasus Gabcikovo-Nagymaros, mengakui pembangunan
berkelanjutan, bersama-sama dengan prinsip pencegahan principle of preventive action, keadilan antar generasi principle of intergenarional equity, dan kehati-
hatian precautionary principle, sebagai sebuah prinsip hukum lingkungan internasional.
52
Dalam dissenting opinion-nya ini, Trindade juga menunjukkan bahwa baik Argentina dan Uruguay sama-sama mengakui pembangunan berkelanjutan
sebagai prinsip hukum.
53
2.4. Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Undang-undang lingkungan hidup di Indonesia sendiri sejak awal telah memuat gagasan-gagasan mengenai pembangunan berkelanjutan. Pada Pasal 3 UU No. 4
tahun 1982 tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup UULH dinyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup dilakukan untuk “menunjang
pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.”
54
Di samping itu, Pasal 4 UU No. 4 tahun 1982 menyatakan pula bahwa salah satu tujuan dari pengelolaan lingkungan hidup adalah “terlaksananya pembangunan
berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.” Dari bunyi Pasal 3 dan 4 tersebut terlihat bahwa meskipun UU No. 4 tahun 1982
menggunakan istilah pembangunan berwawasan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, namun kedua istilah ini masih dapat dikatakan sejalan dengan
pembangunan berkelanjutan. Gagasan tentang keadilan antar generasi pun bahkan sudah terlihat dari Pasal 4 tersebut.
Sementara itu, UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, yang merupakan pengganti UU No. 4 tahun 1982, secara jelas sudah memasukan
pembangunan berkelanjutan di dalam ketentuan-ketentuannya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari Pasal 3 tentang asas yang menyatakan bahwa salah satu asas dari
pengelolaan
lingkungan adalah
“pembangunan berkelanjutan
berwawasan lingkungan”. Dengan demikian, maka UU No. 23 tahun 1997 telah mulai
menggunakan istilah “pembangunan berkelanjutan”, meskipun masih digabungkan dengan frase “berwawasan lingkungan”. Di samping itu, pengakuan terhadap
keadilan antar generasi pun terlihat di dalam Pasal 4 UU No. 23 tahun 1997 yang menyatakan bahwa salah satu sasaran dari pengelolaan lingkungan hidup adalah
“terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan.” Pengakuan terhadap pentingnya issue keadilan sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan
dipertegas kembali di dalam Penjelasan Pasal 3 yang menyatakan bahwa:
“[a]sas keberlanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan
terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk terlaksananya kewajiban dan
51
Ibid., par. 132.
52
Ibid., par. 210.
53
Ibid., par. 143-144.
54
Dapat dimengerti bahwa UU ini tidak menggunakan istilah “pembangunan berkelanjutan” sustainable development karena pada saat itu istilah ini memang belumlah lazim digunakan.
16
tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi
tumpuan terlanjutkannya pembangunan.”
Pembangunan berkelanjutan pun mendapat pengakuan di dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sebagai
pengganti dari UU No. 23 tahun 1997. Pasal 2 UU No. 32 tahun 2009 menyatakan bahwa asas dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah asas
kelestarian dan keberlanjutan dan asas keadilan. Penjelasan Pasal 2 ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan asas kelestarian dan keberlanjutan adalah “bahwa
setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian
daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup.” Sedangkan yang dimaksud dengan asas keadilan adalah “bahwa perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender.” Dari kutipan Pasal
2 dan penjelasannya tersebut dapat disimpulkan dua hal. Pertama, UU No. 32 tahun 2009 mengakui pembangunan berkelanjutan merupakan asas hukum lingkungan.
Kedua, UU No. 32 tahun 2009 menambahkan keadilan dalam satu generasi, di samping juga keadilan antar generasi, sebagai bagian dari pembangunan
berkelanjutan.
Di samping itu, UU No. 32 tahun 2009 juga menyatakan bahwa tujuan dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah untuk “menjamin
terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan”, dan “mewujudkan pembangunan berkelanjutan”. Dengan demikian, maka pembangunan
berkelanjutan dan keadilan intra dan antar generasi dianggap tidak hanya sebagai asas hukum lingkungan, tetapi juga merupakan tujuan dari pengaturan hukum lingkungan
di Indonesia.
Pada bagian ini, perlu pula disebutkan bahwa di samping di dalam UU tentang pengelolaan lingkungan hidup, pembangunan berkelanjutan bahkan dimasukkan ke
dalam konstitusi. Dalam hal ini, Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 Amandemen Keempat menyatakan bahwa perekonomian Indonesia didasarkan beberapa asas, di antaranya
asas berkelanjutan dan asas berwawasan lingkungan. Dengan demikian, maka sesungguhnya Indonesia tidak saja merupakan salah satu dari sedikit negara yang
memasukkan ketentuan mengenai perlindungan lingkunan di dalam konstitusinya, tetapi juga negara yang secara jelas telah menjadikan pembangunan berkelanjutan
sebagai asas dari sistem ekonominya. 2.5. Berbagai Makna Pembangunan Berkelanjutan
Bell dan McGillivray menyatakan bahwa terdapat paling tidak dua penafsiran yang saling bertentangan mengenai makna dari Sustainable Development
55
.
55
Stuart Bell dan Donald McGillivray, Environmental Law: the Law and Policy Relating to the Protection of the Environment, 5
th
ed. London: Blackstone Press, 2000, hal. 44. Bandingkan dengan David Hunter, et.al., yang menggambarkan adanya 4 versi pemahaman keberlanjutan lingkungan,
yaitu: “weak sustainability”, “intermediate sustainability” yang menyatakan bahwa di samping harus menjaga tingkat keutuhan modal, kita juga harus memperhatikan komposisi dari modal kap ital
tersebut, yaitu sumber daya alam, manufaktur, dan manusia, “strong sustainability”, dan “absurdly strong sustainability” bahwa sumber daya alam yang tak terbarui tidak boleh mengalami perngurangan
sedikit pun, sedangkan sumber daya yang tidak dapat diperbarui hanya dapat dikonsumsi sebatas tingkat pertumbuhan tahunan sumber daya tersebut. Lihat: David Hunter, et.al., op.cit., hal. 136-137.
Berdasar ilmu ekonomi, perbedaan antara weak dan strong sustainability terletak pada pertanyaan
17
Pandangan pertama disebutnya sebagai “weak sustainability”. Pandangan pertama ini berpendapat bahwa sumber daya alam saat ini dapat dikonsumsi atau “dikorbankan”
apabila hal tersebut lebih menguntungkan dibandingkan dengan tidak mengkonsumsi sumber daya tersebut, yaitu apabila persediaan sumber daya alam yang akan diberikan
bagi generasi yang akan datang tidak mengalami pengurangan. Sumber daya di sini tidak hanya meliputi sumber daya lingkungan, tetapi juga sumber daya manusia dan
pengetahuan, sehingga kita tidak perlu khawatir dengan hilangnya sebuah sumber daya lingkungan selama manusia dapat menciptakan gantinya yang bernilai sama atau
lebih baik. Pandangan kedua, adalah “strong sustainability”. Pandangan ini menyatakan bahwa sumber daya alam merupakan sesuatu yang tidak tergantikan,
dalam arti bahwa penurunan atau hilangnya sumber daya ini tidak akan dapat terkompensasi.
Masing-masing pandangan ini tentu saja memiliki kelemahan. Pandangan pertama memiliki kelemahan dalam hal pandangan ini sesungguhnya tidak berbeda
dari konsep pembangunan yang dianut sebelum dikenalnya konsep Sustainable Development. Pandangan pertama sering kali dianggap sebagai sebuah konsep yang
“kosong”. Sedang pandangan kedua sering dianggap cacat secara moral, sebab pandangan ini terlalu mengutamakan pentingnya perlindungan sumber daya alam di
atas segalanya, bahkan di atas kelangsungan hidup umat manusia. Dan tentu saja kita tidak tidak bisa menerima kedua pandangan ini, sehingga karenanya harus mencari
alternatif yang dapat mensintesakan kedua kontradiksi ini. Dalam hal ini, ada baiknya jika di sini diungkapkan pemaknaan Sustainable Development yang dilakukan oleh l
Jacobs, yaitu:
“Sustainability means that the environment should be protected in such a condition and to such a degree the environmental
capacities the ability of the environment to perform its various functions are maintained over time: at least at levels sufficient to
avoid future catastrophe, and at most at levels which give future generations the opportunity to enjoy an equal measure of
environmental consumption”
56
Beberapa ekonom menyatakan bahwa konsep pembagungan berkelanjutan haruslah dipandang sebagai sebuah perlindungan terhadap critical natural capital,
yaitu sumber daya alam yang kritis. Dalam hal ini, Costanza dan Daly, sebagaimana dikutip oleh Common dan Stagl, telah mengajukan dua buah kondisi minimum untuk
keberlakuan pembagunan berkelanjutan; yaitu
57
: a.
SDA yang terbarui hanya boleh dieksploitasi sampai pada batas yang efisien. Dengan demikian, tujuan dari pembangungan berkelanjuan adalah penggunaan
SDA yang efisien.
b. Hasil eksploitasi dari SDA yang tidak terbarui haruslah di-investasi ulang untuk
pemulihan SDA yang terbarui.
apakah sumber daya alam dapat digantikan dengan sumber daya buatan. Menurut pendapat strong sustainability, sumberd daya alam dan buatan adalah dua hal yang dapat disubstitusikan. Artinya,
sumber daya alam dapat dieksploitasi sepanjang hasil dari eksploitasi ini dialokasikan untuk pembangunan sumber daya alam buatan yang nilainya sama dangan atau lebih besar dari eksploitasi
sumber daya alam yang dilakukan.
56
Michael Jacobs, The Green Economy: Environment, Sustainable Development and the Politics of the Future London: Pluto Press, 1991, hal. 79-80.
57
M. Common and S. Stagl, Ecological Economics: An Introduction Cambridge: Cambridge University Press, 2005, pp. 378.
18
Pertanyaannya tentu saja adalah bagaimana kita bisa menentukan bahwa eksploitasi SDA terbarui yang kita lakukan adalah efisien. Pada kondisi ideal, tentu
saja kita harus mengandalkan ilmu pengetahuan yang tersedia untuk menentukan sampai sejauh mana dan seperti apa ekploitasi terhadap SDA terbarui tersebut dapat
dilakukan. Namun demikian, seringkali ilmu pengetahuan mengalami kesulitan untuk menentukan secara pasti tingkat eksploitasi yang boleh dilakukan. Di samping itu,
seringkali kita jumpai bahwa ilmu pengetahuan, terutama dalam kasus sarat kepentingan ekonomi seperti dalam pengelolaan SDA, tidak lagi bisa satu suara.
Ketika ilmu pengetahuan menjadi sarat ketidakpastian, penuh dengan perbedaan nilai, dan rentan terhadap berbagai kepentingan, maka ilmu pengetahuan tidak lagi bisa
dianggap netral. Kondisi inilah yang oleh Functowicz dan Ravetz disebut sebagai Post-normal science.
Menurut Functowicz dan Ravetz, dalam situasi post-normal science, kebijakan publik tidak lagi sepenuhnya bisa diserahkan pada para ahli. Sebaliknya, situasi ini
justru semakin mempertegas pentingnya transparansi dan partisipasi publik, yang notabene bukan ahli, dalam proses pengambilan keputusan
58
. Secara singkat, kita dapat merujuk pada pendapat seorang ekonom Inggris, P. Anand, yaitu bahwa “[i]f
decisions have to be made under conditions of substantial uncertainty, then decision analysis indicates that people should be consulted about their values”
59
. Sejalan dengan kebutuhan akan partisipasi publik dan transparansi yang lebih
besar dalam pengambilan kebijakan publik, dalam beberapa dekade terakhir telah berkembang sebuah prinsip hukum lingkungan baru, yaitu asas kehati-hatian dini the
precautionary principle—akan diterangkan dalam bagian 3. Dalam konteks pemanfaatan SDA terbarui, asas ini diterapkan sebagai Safe Minimum Standard
SMS, standar keamanan minimum. Menurut Ciriacy-Wantryp, SMS diterapkan untuk menghindari pemakaian SDA pada “zone kritis”, yaitu sebuah kondisi fisik
yang dihasilkan oleh kegiatan manusia, di mana pemulihan penipisan cadangan SDA secara ekonomi sudah tidak mungkin lagi dilakukan
60
. Hal ini karena meskipun SDA tertentu, misalnya hutan, dapat dikatakan terbarui, namun jika eksploitasi terhadap
SDA tersebut telah melewati “zone kritis”, maka masyarakat secara luas harus memikul beban ekonomi yang besar untuk memulihkan cadangan SDA tersebut bagi
pemakaian di masa depan. Dengan kata lain, pemakaian SDA pada “zone kritis” telah menimbulkan dampak yang tidak dapat dipulihkan, irreversible
61
. Dengan demikian, mereka yang hendak melakukan pemanfaatan SDA memiliki beban untuk
membuktikan bahwa pemanfaatan SDA tersebut tidak akan melampaui standar keamanan minimum.
3. Keadilan dalam Satu Generasi Intragenerational Equity