8
Konvensi lainnya yang juga memuat berbagai rujukan pada pembangunan berkelanjutan, antara lain, adalah UN Convention to Combat Desertification
UNCCD, konvensi PBB terkait upaya pencegahan penggurunan, tahun 1994.
21
Dalam bagian pembukaan, UNCCD menyadari bahwa pembangunan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pembangunan sosial, dan pengentasan kemiskinan
merupakan prioritas dari negara berkembang, serta merupakan bagian penting dalam pencapaian tujuan keberlanjutan. Pada bagian ini juga dinyatakan bahwa upaya
pencegahan dan penanggulangan penggurunan haruslah diletakkan dalam kerangkan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
22
Atas dasar ini, maka UNCCD menyatakan bahwa sebagai tujuan konvensi, upaya mengatasi penggurunan dan
dampak-dampaknya dilakukan dalam rangka berkontribusi bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan di negara-negara yang mengalami penggurunan.
23
Di samping itu, seperti dicatat oleh Segger, UNCCD memuat lebih dari 40 rujukan
kepada kata “berkelanjutan” sustainable, baik dalam konteks pembangungan, pemanfaatan, pengelolaan, ekspolitasi, produksi, maupun praktek yang berkelanjutan
atau tidak berkelanjutan.
24
2.3. Pembangunan Berkelanjutan dalam Berbagai Putusan
Di samping telah diadopsi di dalam berbagai deklarasi dan konvensi, pembangunan berkelanjutan juga telah dimuat di dalam berbagai putusan. Dalam
level internasional, beberapa kasus yang secara jelas merujuk pada pembangunan berkelanjutan, antara lain, adalah putusan International Court of Justice ICJ dalam
kasus Gabcikovo-Nagymaros Hungaria v. Slovakia,
25
keputusan badan arbitrase permanen antara Belgia dan Belanda dalam kasus Iron Rhine “Ijzeren Rijn”
Railway pada tahun 2005,
26
dan putusan ICJ dalam kasus Pulp Mills on the River Uruguay Argentina v. Uruguay,
27
terutama pendapat dari Hakim Trindade.
28
2.3.1. Gabcikovo-Nagymaros Hungaria v. Slovakia Dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros,
29
ICJ berpendapat bahwa dampak lingkungan, yang mungkain akan dihasilkan dari pengerjaan proyek bendungan
21
The 1994 United Nations Convention to Combat Desertification, 12 September 1994, UN Doc. AAC.24127, 33 ILM 1328 1994—selanjutnya disebut UNCCD.
22
1994 UNCCD, UN Doc. AAC.24127, 33 ILM 1328 1994, preambular par.
23
1994 UNCCD, UN Doc. AAC.24127, 33 ILM 1328 1994, art. 23.
24
Marie-Claire Cordonier Segger, “The Role of International Forums in the Advancement of Sustainable Development”, Sustainable Development Law Policy, Vol. 10, 2009, hal. 7.
25
Case Concerning the Gabcikovo-Nagymaros Project Hungary v. Slovakia, 1997 ICJ 7 selanjutnya disebut Kasus Gabcikovo-Nagymaros.
26
The Iron Rhine “Ijzeren Rijn” Railway case Belgium v. Netherlands Perm. Ct. Arb. 2005. Tersedia pada
http:www.pca-cpa.orguploadfilesBE-NL20Award20corrected20200905.pdf
27
Case Concerning Pulp Mills on the River Uruguay Argentina v. Uruguay, Case No. 135, Judgment, 20 April 2010. tersedia pada:
http:www.icj-cij.orgdocketfiles13515877.pdf Selanjutnya disebut: Kasus Pabrik Kertas Sungai Uruguay.
28
Case Concerning Pulp Mills on the River Uruguay Argentina v. Uruguay, Separate Opinion of Judge Cançado Trindade,
http:www.icj-cij.orgdocketfiles13515885.pdf Selanjutnya disebut
Kasus Pabrik Kertas Sungai Uruguay: Pendapat Trindade.
29
Pada tahun 1977, Hungaria dan Cekoslovakia menandatangani perjanjian pembangunan dan pengoperasian sistem bendungan di Sungai Danube, di daerah Gabcikovo wilayah Cekoslovakia dan
Nagymaros wilayah Hungaria. Perjanjian ini dimaksudkan sebagai upaya untuk membangun pembangkit listrik tenaga air di Sungai Danube, perbaikan sistem navigasi di sungai tersebut,
perlindungan daerah aliran Sungai Danube dari banjir. Di samping itu, Hungaria dan Cekoslovakia pun sepakat untuk menjamin bahwa proyek pembangunan yang direncanakan tersebut tidak akan
menurunkan kualitas air dari Sungai Danube dan bahwa dalam pengerjaan dan pengoperasian proyek
9
Sungai Danube di wilayah Gabcikovo-Nagymaros, merupakan sebuah issue yang penting. Meski demikian, ICJ juga menyatakan bahwa kebutuhan akan pembangunan
juga merupakan aspek yang sama pentingnya. ICJ melihat bahwa dalam kasus ini terdapat dua kepentingan yang saling bertentangan, yaitu kebutuhan akan
pembangunan di satu sisi, dan kebutuhan akan perlindungan di sisi lain. Dalam hal ini, ICJ melihat pembangungan berkelanjutan sebagai sebuah prinsip untuk
mendamaikan kedua kebutuhan yang saling bertentangan ini. Lebih tegas lagi, ICJ menyatakan:
“Throughout the ages, mankind has, for economic and other reasons, constantly interfered with nature. In the past, this was often done without
consideration of the effects upon the environment. Owing to new scientific insights and to a growing awareness of the risks for mankind—for present
and future generations—of pursuit of such interventions at an unconsidered and unabated pace, new norms and standards have been developed, set forth
in a great number of instruments during the last two decades. Such new norms have to be taken into consideration, and such new standards given
proper weight, not only when States contemplate new activities but also when continuing with activities begun in the past. This need to reconcile economic
development with protection of the environment is aptly expressed in the concept of sustainable development.”—[garis bawah tambahan dari
penulis].
30
Putusan ICJ dalam Gabcikovo-Nagymaros mendapat perhatian luas dari
kalangan ahli hukum, terutama karena dissenting opinion yang dikemukakan oleh Weeramantry, salah seorang hakim ICJ yang mengadili kasus ini. Dalam dissenting
opinion ini Weeramantry menyatakan bahwa seandainya saja pertimbangan
tersebut juga dilakukan dengan memperhatikan perlindungan lingkungan. Berdasarkan perjanjian tersebut, Hungaria bertanggung jawab atas pengerjaan proyek di wilayah Nagymaros, dan
Cekoslovakia bertanggung jawab atas pengerjaan proyek di Gabcikovo. Di samping itu, perjanjian juga menyatakan bahwa kedua proyek di kedua wilayah ini harus dianggap sebagai satu kesatuan
proyek yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kasus Gabcikovo-Nagymaros, 1997 ICJ 7, hal. 17- 20.
Sebagai akibat dari tekanan dalam negeri, pada tanggal 13 Mei 1989 Hungaria secara sepihak memutuskan untuk menunda pekerjaan di Nagymaros. Pada tanggal 27 Oktober 1989, Hungaria
kemudian memutuskan untuk menghentikan sama sekali proyek di Nagymaros. Sebagai reaksi atas keputusan sepihak ini, Cekoslovakia memutuskan untuk mengembangkan alternatif proyek
pembangunan bendungan, yang disebut dengan “Variant C”. Alternatif ini mengubah rencana pembangunan bendungan yang sebelumnya telah disepakati berdasarkan perjanjian tahun 1977. Pada
tanggal 23 Oktober 1992, Cekoslovakia memutuskan untuk membendung Sungai Danube berdasarkan rencana barunya tersebut “Variant C”. Ibid., hal. 25.
ICJ memutuskan, antara lain, bahwa Hungaria tidak memiliki hak untuk secara sepihak menunda dan kemudian pada tahun 1989 menghentikan pembangunan di Nagymaros. Di sisi lain, ICJ juga
mengatakan bahwa Cekoslovakia tidak memiliki hak untuk mengoperasikan alternatif sementara mereka yaitu “Variant C” sejak Oktober 1992. Selanjutnya, ICJ juga menyatakan bahwa Hungaria
dan Slovakia sebagai negara penerus Cekoslovakia dalam kasus ini harus bekerja sama dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan Perjanjian tahun 1977. Dalam
hal ini, ICJ juga memerintahkan kedua negara untuk membentuk joint operational regime, yaitu sebuah sistem kerja sama dalam pelaksanaan proyek sesuai dengan perjanjian tahun 1977. ICJ memerintahkan
Hungaria untuk membayar kompensasi kepada Slovakia atas kerugian yang diderita Slovakia karena penghentian proyek yang menjadi tanggung jawab Hungaria proyek di Nagymaros; sedangkan
Slovakia harus membayar kompensasi kepada Hungaria atas kerugian yang diderita oleh Hungaria akibat dari pengerjaan dan pengoperasian proyek “Variant C”. Ibid., hal. 82-83.
30
Ibid., hal. 78.
10
lingkungan adalah satu-satunya pertimbangan yang digunakan dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros, maka langkah yang diambil oleh Hungaria yaitu
menghentikan secara sepihak pelaksanaan pembangunan berdasarkan Perjanjian tahun 1977 dapatlah dibenarkan. Namun, menurut Weeramantry, ICJ haruslah
memberikan pertimbangan yang seimbang bagi kebutuhan akan pembangunan di satu sisi dalam hal ini kepentingan dari Slovakia dan kebutuhan akan perlindungan
lingkungan di sisi lain dalam hal ini kepentingan dari Hungaria. Dalam pandangan Weeramantry, prinsip hukum yang dapat menjembatani dua kebutuhan yang saling
bertentangan ini adalah prinsip pembangunan berkelanjutan.
31
Lebih jauh lagi, Weeramantry mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukan hanya
merupakan sebuah konsep, tetapi sudah merupakan sebuah prinsip hukum yang bersifat normatif. Tanpa prinsip hukum ini, maka kasus Gabcikovo-Nagymaros akan
sangat sulit untuk diputuskan. Menurutnya, “…I consider it to be more than a mere concept, but as a principle with normative value which is crucial to the determination
of this case. Without the benefits of its insights, the issues involved in this case would have been difficult to resolve.”
32
Lebih lanjut, Weeramantry beranggapan bahwa baik Hungaria maupun Slovakia sebenarnya sama-sama mengakui keberadaan prinsip
pembangunan berkelanjutan. Perbedaan di antara mereka hanyalah pada pertanyaan bagaimana menjalankan prinsip ini.
33
Untuk mendukung pendapatnya ini, Weeramantry kemudian menunjukkan berbagai deklarasi, konvensi, praktek di beberapa negara, dan praktek di beberapa
lembaga internasional
yang mengadopsi
dan menerapkan
pembangunan berkelanjutan.
34
Dari uraiannya ini, Weeramantry kemudian menyimpulkan bahwa pembangunan berkelanjutan menjadi sebuah prinsip hukum bukan hanya karena
logika yang dikandungnya, tetapi juga karena adanya penerimaan secara luas oleh masyarakat internasional. Menurutnya, “[t]he principle of sustainable development is
thus a part of modern international law by reason not only of its inescapable logical necessity, but also by reason of its wide and general acceptance by the global
community.”
35
Lebih lanjut lagi, Weeramantry menggambarkan berbagai pengalaman pengalaman di beberapa negara dan dari berbagai masa yang memperlihatkan
bagaimana sejak zaman dahulu sebenarnya manusia telah terbiasa untuk mendamaikan dan menjembatani pertentangan antara kebutuhan akan pembangunan
dan kebutuhan akan perlindungan lingkungan.
36
Atas dasar ini, Weeramantry kemudian menyimpulkan bahwa pembangunan berkelanjutan bukan sekedar sebuah
prinsip hukum modern, tetapi juga merupakan salah satu ide manusia yang paling tua dan telah berkembang selama ribuan tahun, serta memiliki peran yang penting dalam
hukum internasional. Dalam hal ini, Weeramantry menyatakan bahwa “[s]ustainable development is thus not merely a principle of modern international law. It is one of
the most ancient of ideas in the human heritage. Fortified by the rich insights that can be gained from millennia of human experience, it has an important part to play in the
service of international law.”
37
31
Ibid., hal. 88.
32
Ibid. Bandingkan dengan pendapat ICJ yang menyatakan bahwa pembangunan adalah sebuah konsep, dan bukannya prinsip hukum. Lihat Kasus Gabcikovo-Nagymaros, op.cit note 25, hal. 78.
33
Kasus Gabcikovo-Nagymaros: Pendapat Weeramantry, op.cit. note Error Bookmark not defined. hal. 90.
34
Ibid., hal. 92-94.
35
Ibid., hal. 95.
36
Ibid., hal. 97-110.
37
Ibid., hal. 110-111.
11
2.3.2. Kasus Iron Rhine “Ijzeren Rijn” Railway Belgia v. Belanda Sementara itu, kasus “Ijzeren Rijn” merupakan keputusan dari badan arbitrase,
yaitu
the Permanent Court of Arbitration di Den Haag, yang mengadili sengketa antara Belgia melawan Belanda, terkait dengan reaktivasi rel kereta yang
menghubungkan pelabuhan Antwerpen, Belgia, dengan pinggiran sungai Rhine di Jerman, dengan melalui Noord‐Brabant dan Limburg di Belanda. Jalur kereta ini
dibuka pada tahun 1830‐an, dan beroperasi sampai tahun 1991
. Kemudian, pada tahun 1998 muncul usulan dari Pemerintah Belgia untuk mengaktifkan kembali,
mengadaptasi, dan memperbarui jalur kereta ini.
38
Salah satu pertanyaan yang perlu dijawab oleh Badan Arbitrase adalah sejauh mana Belgia atau Belanda harus
menanggung biaya dan resiko keuangan terkait dengan pemakaian, restorasi, adaptasi, dan modernisasi jalur Iron Rhine di wilayah Belanda. Atas pertanyaan ini, Badan
Arbitrase memberikan sebuah pernyataan penting terkait hukum lingkungan, yaitu bahwa:
“Applying the principles of international environmental law, the Tribunal observes that it is faced, in the instant case, not with a situation of a
transboundary effect of the economic activity in the territory of one state on the territory of another state, but with theeffect of the exercise of a treaty-
guaranteed right of one state in the territory of another state and a possible impact of such exercise on the territory of the latter state. The Tribunal is of
the view that, by analogy, where a state exercises a right under international law within the territory of another state, considerations of environmental
protection also apply. The exercise of Belgium’s right of transit, as it has formulated its request, thus may well necessitate measures by the
Netherlands to protect the environment to which Belgium will have to contribute as an integral element of its request. The reactivation of the Iron
Rhine railway cannot be viewed in isolation from the environmental protection measures necessitated by the intended use of the railway line.
These measures are to be fully integrated into the project and its costs.”
39
Terkait dengan pembangungan berkelanjutan, Badan Arbitrase menyadari bahwa di dalam bidang hukum lingkungan terdapat perdebatan mengenai istilah
aturan rules, prinsip principles, dan “soft law”, serta mengenai kontribusi perjanjian atau prinsip lingkungan bagi perkembangan hukum kebiasaan
internasional. Meski demikain, Badan Arbitrase menyatakan bahwa prinsip hukum lingkungan, terlepas dari status hukumnya, selalu merujuk, salah satunya, pada upaya
pencegahan, pembangunan berkelanjutan, dan perlindungan generasi yang akan datang. Dalam hal ini, Arbitrase menyatakan: “[t]he emerging principles, whatever
their current status, make reference to conservation, management, notions of prevention and of sustainable development, and protection for future generations
[garis bawah dari penulis].”
40
2.3.3. Kasus Pulp Mills on the River Uruguay Argentina v. Uruguay Pada tanggal 4 Mei 2006, Argentina mengajukan gugatan kepada ICJ terkait
dengan dugaan pelanggaran Uruguay atas beberapa kewajiban yang termuat di dalam
38
The Iron Rhine “Ijzeren Rijn” Railway case Belgium v. Netherlands Perm. Ct. Arb. 2005, par. 16, 20-21.
39
Ibid., par. 223.
40
Ibid., par.
12
Perjanjian mengenai Sungai Uruguay Statute of the River Uruguay yang ditandatangani oleh Argentina dan Uruguay pada tanggal 26 Februari 1975. Dalam
hal ini, Argentina berpendapat bahwa keputusan Pemerintah Uruguay untuk mengizinkan pembangunan dua pabrik kertas pulp mills di pinggir Sungai Uruguay
di dalam wilayah Uruguay merupakan bentuk pelanggaran atas Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975, terutama dalam kaitannya dengan dampak dari kedua pabrik
tersebut pada kualitas air Sungai Uruguay dan daerah sekitarnya.
41
Dalam hal ini,
41
Kasus Pabrik Kertas Sungai Uruguay, op.cit note 27, par. 1. Kasus ini melibatkan pembangunan dua pabrik kertas pulp mill yang dibangun di pinggiran
Sungai Uruguay di wilayah Uruguay. Pabrik pertama adalah “Celulosas de M’Bopicuá S.A.” “CMB”, sebuah pabrik yang dibangun oleh sebuah perusahaan Spanyol, “Empresa Nacional de
Celulosas de España” “ENCE”. Pada tanggal 22 Juli 2002, pemrakarsa pembengunan proyek CMB- ENCE mengajukan dokumen Amdal kepada Direktorat Lingkungan Uruguay, “Dirección Nacional de
Medio Ambiente” DINAMA. Pada saat yang sama, perwakilan dari CMB juga memberikan informasi tentang rencana proyeknya kepada Kepala CARU “Comisión Administradora del Río
Uruguay”—Komisi Administratif Sungai Uruguay. Kemudian, pada tanggal 17 Oktober 2002, dan diulang kembali pada tanggal 21 April 2003, Kepala CARU meminta Menteri Lingkungan Uruguay
untuk memberikan dokumen Amdal dari proyek CMB-ENCE. Permintaan ini kemudian dipenuhi oleh Uruguay pada tanggal 14 Mei 2003. Selanjutnya, pada tanggal 15 Agustus 2003, dan diulang kembali
pada tanggal 12 September 2003, CARU meminta Uruguay untuk memberikan informasi tambahan terkait beberapa hal dari proyek pabrik kertas CMB-ENCE. Pada tanggal 2 Oktober 2003, DINAMA
memberikan laporannya kepada Kementerian Perumahan, Tata Ruang, dan Lingkungan Hidup Uruguay MVOTMA yang berisi rekomendasi untuk memberikan izin lingkungan bagi proyek CMB-
ENCE. Kemudian pada tanggal 8 Oktober 2003, Pemerintah Uruguay berjanji kepada CARU bahwa DINAMA akan segera memberikan laporannya mengenai proyek CMB-ENCE. Pada tanggal 9
Oktober 2003, MVOTMA mengeluarkan izin lingkungan bagi pembangunan pabrik CMB-ENCE.
Pada tanggal 9 Oktober 2003, Presiden Argentina dan Presiden Uruguay melakukan pertemuan. Dalam pertemuan ini, berdasarkan klaim Argentina, Presiden Uruguay berjanji tidak akan memberikan
izin bagi pembangunan CMB-ENCE sebelum adanya pembahasan mengenai kekhawatiran Argentina atas dampak lingkungan yang mungkin timbul dari pembangunan tersebut.
Pada tanggal 10 Oktober 2003, CARU menyatakan akan segera melanjutkan analisa teknis atas proyek CMB-ENCE apabila Uruguay menyerahkan dokumen yang diperlukan. Pada tanggal 17
Oktober 2003, atas permintaan Argentina, CARU mengadakan pertemuan khusus untuk membahas proyek CMB-ENCE. Dalam pertemuan tersebut, Argentina mengajukan keberatan atas dikeluarkan
izin lingkungan pada tanggal 9 Oktober 2003.
Pada tanggal 27 Oktober 2003, Uruguay mengirimkan salinan Amdal dan penilaian DINAMA atas rencana pengelolaan lingkungan proyek CMB-ENCE kepada Argentina. Atas hal ini, Argentina
mengatakan bahwa prosedur menurut Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975 telah diabaikan, dan bahwa salinan Amdal dan penilaian DINAMA tidak memberikan informasi yang memadai mengenai
dampak dari proyek CMB-ENCE. Pada tanggal 7 November 2003, Uruguay mengirimkan seluruh dokumen terkait proyek CMB-ENCE kepada Kementerian Lingkungan Hidup Argentina, yang
kemudian pada tanggal 23 Februari 2004 meneruskan dokumen-dokumen tersebut kepada CARU.
Pada tanggal 15 Mei 2004, Sub-komite Pengawasan Kualitas Air dan Pencemaran dari CARU membuat rencana pemantauan kualitas air di sekitar Sungai Uruguay. Rencana ini disetujui oleh
CARU pada tanggal 12 November 2004. Pada tanggal 28 November 2005, Pemerintah Uruguay memberikan izin bagi dimulainya
pembangunan pabrik CMB-ENCE. Meski demikian, pada tanggal 28 Maret 2006, CMB-ENCE menghentikan proyek pembangunan pabrik, dan kemudian pada tanggal 21 September 2006,
perusahaan ini menyatakan bahwa mereka tidak lagi berniat untuk membangun pabrik kertas di wilayah yang sebelumnya direncanakan. Lihat: Ibid., par. 28-36.
Proyek kedua yang terlibat dalam kasus ini adalah pembangunan pabrik kertas Orion oleh perusahaan Oy Metsä-Botnia AB, sebuah perusahaan Finlandia, di daerah Fray Bentos, beberapa
kilometer dari lokasi proyek CMB-ENCE. Pada tanggal 31 Maret 2004, pemrakarsa pembangunan pabrik Orion mengajukan permohonan izin lingkungan kepada Pemerintah Uruguay. Kemudian pada
tanggal 29 dan 30 April 2004, CARU mengadakan pertemuan informal dengan pihak Botnia. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan itu, pada tanggal 18 Juni 2004 CARU meminta Botnia untuk memberikan
informasi tambahan terkait proyek pembangunan Orion. Dalam pertemuan lanjutan dengan Botnia, CARU kembali meminta Botnia untuk memberikan informasi terkait dengan permohonan izin
13
Argentina berpendapat bahwa Uruguay telah melanggar Perjanjian Sungai Uruguay 1975 dan kewajiban lain berdasarkan hukum internasional, berupa: kewajiban untuk
mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi pemanfaatan Sungai Uruguay secara optimal dan rasional; kewajiban untuk memberikan notifikasi kepada Komisi
Administratif Sungai Uruguay CARU dan kepada pihak Argentina; kewajiban prosedural menurut Perjanjian Sungai Uruguay 1975; kewajiban untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga lingkungan akuatik dan mencegah pencemaran, serta kewajiban untuk melindungi keanekaragaman hayati dan sumber
daya perikanan, termasuk di dalamnya kewajiban untuk melakukan kajian lingkungan secara menyeluruh dan objektif; serta kewajiban untuk bekerja sama dalam upaya
pencegahan pencemaran dan perlindungan keanekaragaman hayati.
42
Atas dasar hal tersebut, Argentina meminta ICJ untuk menyatakan bahwa dengan pemberian izin
secara sepihak atas pembangunan pabrik kertas CMB dan Orion, serta berbagai fasilitas yang terkait dengan pabrik tersebut, Pemerintah Uruguay telah melanggar
Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975. Argentina selanjutnya meminta agar ICJ memerintahkan Uruguay untuk: segera menghentikan perbuatan melanggar hukumnya
internationally wrongful acts; melakukan penaatan atas Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975; mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadi perbuatan melawan
hukum tersebut; membayar kompensasi kepada Argentina atas kerusakan yang terjadi karena perbuatan melawan hukum tersebut dalam jumlah yang diperlukan oleh
Argentina untuk melakukan pemulihan kerusakan; dan menjamin bahwa di kemudian hari Uruguay akan senantiasa mentaati Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975,
khususnya ketentuan tentang kewajiban prosedural untuk melakukan konsultasi.
43
ICJ melihat bahwa Uruguay tidak memberikan informasi kepada CARU secara cepat dan komprehensif. ICJ menganggap bahwa pemberian izin lingkungan
oleh Pemerintah Uruguay telah dilakukan tanpa keterlibatan CARU.
44
Atas dasar itu, ICJ menyimpulkan bahwa “by not informing CARU of the planned works before the
lingkungan yang telah diajukannya kepada DINAMA. Pada tanggal 12 November 2004, CARU memutuskan untuk meminta Uruguay agar memberikan informasi tentang permohonan izin lingkungan
yang diajukan oleh Botnia. Pada tanggal 21 Desember 2004, DINAMA mengadakan dengar pendapat yang dihadiri oleh
perwakilan CARU, terkait proyek pembangunan Orion Botnia di Fray Bentos. Kemudian pada tanggal 11 Februari 2005, DINAMA memberikan rekomendasi kepada MVOTMA agar memberikan
izin lingkungan bagi proyek Orion Botnia. Pada tanggal 14 Februari 2005, MVOTMA mengeluarkan izin lingkungan bagi Botnia untuk membangun pabrik Orion Botnia dan sebuah dermaga yang
berdekatan dengan pabrik tersebut.
Kemudian dalam pertemuan CARU pada tanggal 11 Maret 2005, Pemerintah Argentina mempertanyakan apakah pemberian izin lingkungan tersebut telah sesuai dengan kewajiban prosedural
berdasarkan Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975. Argentina mengulangi keberatannya ini dalam pertemuan CARU pada tanggal 6 Mei 2005.
Sementara itu, pada tanggal 12 April 2005, Pemerintah Uruguay mengeluarkan persetujuan atas dimulainya tahap awal pengerjaan proyek Orion Botnia, dan pada tanggal 5 Juli 2005, mengizinkan
pembangunan dermaga di dekat Orion Botnia. Selanjutnya, dalam bulan-bulan berikutnya, Pemerintah Uruguay memberikan persetujuan atas pembangunan cerobong asap, fondasi, instalasi
pengolahan air limbah dari pabrik Orion Botnia. Pada tanggal 24 Agustus 2006, Pemerintah Uruguay mengizinkan pengoperasian dermaga di dekat lokasi Orion Botnia, dan akhirnya pada tanggal 8
November 2007, Pemerintah Uruguay memberikan izin bagi beroperasinya pabrik Orion Botnia. Persetujuan-persetujuan ini, meskipun telah dilaporkan oleh Pemerintah Uruguay kepada CARU, tetap
diberikan di tengah permintaan Argentina agar pembangunan Orion Botnia dihentikan. Lihat: Ibid., par. 37-43.
42
Ibid., par. 22.
43
Ibid., par. 23.
44
Ibid., par. 105-110.
14
issuing of the initial environmental authorizations for each of the mills and for the port terminal adjacent to the Orion Botnia mill” Uruguay telah gagal memenuhi
kewajiban prosedural berdasarkan Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975.
45
Dalam pertimbangannya, ICJ menyatakan bahwa Perjanjian Sungai Uruguay tahun 1975, khususnya pasal 27, tidak hanya merefleksikan kebutuhan masing-masing
negara dalam hal ini riparian States dalam penggunaan sumber daya secara bersama, tetapi juga menggambarkan kebutuhan untuk menyeimbangkan kebutuhan
untuk memanfaatkan sungai dan kebutuhan untuk melakukan perlindungan sungai yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan.
46
Sayangnya, ICJ kemudian hanya sepintas saja melakukan pembahasan mengenai pembangunan berkelanjutan tersebut.
Dalam konteks ini, ICJ menyatakan “...utilization [of River Uruguay— tambahan penulis] could not be
considered to be equitable and reasonable if the interests of the other riparian State in the shared resource and the environmental protection of the
latter were not taken into account. Consequently, it is the opinion of the Court that Article 27 embodies this interconnectedness between equitable
and reasonable utilization of a shared resource and the balance between economic development and environmental protection that is the essence of
sustainable development.”
47
Dari kutipan ini, terlihat bahwa ICJ menafsirkan pembangunan berkelanjutan sebagai sebuah jembatan yang menghubungkan antara kebutuhan pembangunan
dengan kebutuhan perlindungan lingkungan. Bagaimana “jembatan” ini bekerja, ternyata tidak dijelaskan lebih lanjut oleh ICJ.
Terbatasnya pembahasan oleh ICJ inilah yang kemudian mendorong Hakim Trindade memiliki pendapat berbeda, dissenting opinion, dari pertimbangan ICJ.
Menurut Trindade, hasil dari kasus Pulp Mills on the River Uruguay menyisakan tiga persoalan yang tidak secara mendalam dibahas baik oleh para pihak maupun oleh ICJ.
Pertama, kurangnya argumen dari para pihak terkait dengan dampak sosial nyata dari pabrik kertas. Kedua, kurangnya perhatian dari ICJ terhadap beberapa poin khusus
dari kasus Pulp Mills on the River Uruguay. Ketiga, tidak adanya pernyataan ICJ mengenai pengakuan terhadap peran dari prinsip-prinsip hukum lingkunan
internasional.
48
Dalam pandangan Trindade, lebih dari sekedar lembaga biasa, ICJ memuat kata “justice” di dalamnya sehingga seharusnya ICJ tidak boleh mengabaikan
pentingnya prinsip umum hukum internasional, termasuk prinsip pembangunan berkelanjutan, dalam pemberian pertimbangannya.
49
Prinsip hukum inilah yang memberikan jaminan terintegrasinya sistem hukum internasional di satu sisi, dan
menjadi sumber hukum material dari semua hukum.
50
45
Ibid., par. 111.
46
Ibid., par. 177.
47
Ibid.
48
Kasus Pabrik Kertas Sungai Uruguay: Pendapat Trindade, op. cit. note 28, par. 140.
49
Ibid., par. 218 dan 220.
50
Dalam hal ini Trindade mengungkapkan: “[i]t is the principles of the international legal system that can best ensure the cohesion and
integrity of the international legal system as a whole. Those principles are intertwined with the very foundations of International Law, pointing the way to the universality of this latter,
to the benefit of humankind. Those principles emanate from human conscience, the universal juridical conscience, the ultimate material “source” of all Law.” Ibid., par. 2217.
15
Trindade pada dasarnya menyetujui bahwa pembangunan berkelanjutan berfungsi menjembatani kepentingan pembangunan di satu sisi, dan kepentingan akan
perlindungan lingkungan di sisi lain. Dalam konteks ini, Trindade menyatakan: “[s]ustainable development came to be perceived, furthermore, as a link between the
right to a healthy environment and the right to development; environmental and developmental considerations came jointly to dwell upon the issues of elimination of
poverty and satisfaction of basic human needs.”
51
Trindade, seperti juga Weeramantry dalam Kasus Gabcikovo-Nagymaros, mengakui pembangunan
berkelanjutan, bersama-sama dengan prinsip pencegahan principle of preventive action, keadilan antar generasi principle of intergenarional equity, dan kehati-
hatian precautionary principle, sebagai sebuah prinsip hukum lingkungan internasional.
52
Dalam dissenting opinion-nya ini, Trindade juga menunjukkan bahwa baik Argentina dan Uruguay sama-sama mengakui pembangunan berkelanjutan
sebagai prinsip hukum.
53
2.4. Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia