33
Minors Oposa v. Factoran memberikan penegasan bahwa hak atas lingkungan yang baik merupakan hak yang dapat ditegakkan, sehingga dapat menjadi dasar gugatan
bagi pihak yang merasa hak tersebut telah dilanggar actionable right.
128
Dalam hal ini, actionable right tersebut bukan hanya dimiliki oleh generasi sekarang, tetapi juga
oleh generasi yang akan datang. Ketiga, pengakuan putusan Minors Oposa v. Factoran atas keadilan antar generasi dan kaitannya hak gugat, tidaklah bersifat obiter
dictum. Sebaliknya, pada saat putusan Minors Oposa v. Factoran secara langsung mengaitkan antara hak atas lingkungan yang baik dari generasi sekarang dengan hak
atas lingkungan yang baik dari generasi yang akan datang, maka putusan tersebut dapat dianggap telah menjadi dasar preseden mengenai bagaimana hak atas
lingkungan yang baik dapat ditafsirkan dan ditegakkan, serta sejauhmana hak tersebut dapat dikaitkan dengan hak konstitusional dari generasi yang akan datang.
129
Dalam hal ini, putusan Minors Oposa v. Factoran secara tegas menyatakan bahwa karena
hak atas lingkungan yang baik dimiliki baik oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang, maka generasi sekarang dapat melakukan gugatan tidak hanya
untuk melindungi haknya tersebut, tetapi juga hak dari generasi yang akan datang.
130
Keempat, seperti dinyatakan oleh Maggio, putusan Minors Oposa v. Factoran memiliki arti yang sangat penting karena untuk pertama kalinya sebuah lembaga
pengadilan tertinggi secara tegas mengakui adanya keadilan antar generasi, dan kemudian mengaitkan pengakuan tersebut dengan hak gugat dari generasi yang akan
datang.
131
Mengingat bahwa Indonesia pada satu sisi telah mengakui adanya hak atas lingkungan yang baik dan sehat sebagai hak konstitusional,
132
serta pada sisi lain telah pula mengakui keadilan intra dan antar generasi,
133
serta berbagai hak gugat,
134
maka sangatlah tepat jika pada suatu saat pengadilan Indonesia pun mampu mengikuti
pengadilan Filipina, untuk memutuskan bahwa: pertama, hak atas lingkungan yang baik merupakan actionable right yang dimiliki baik oleh generasi sekarang maupun
generasi yang akan datang; dan karenanya, kedua, hak gugat tidak hanya dimiliki oleh generasi sekarang, tetapi juga dimiliki oleh generasi yang akan datang.
5. Prinsip Pencegahan The Principle of Preventive Action
Beberapa ahli hukum seringkali berpendapat bahwa asas pencegahan tercantum dalam Prinsip Ke-21 dari Deklarasi Stockholm 1972, yang berbunyi
135
: “States have, in accordance with the Charter of the United
Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own
environmental policies, and the responsibility to ensure that
128
Ma. Socorro Z. Manguiat dan Vicente Paolo B. Yu III, “Maximizing the Value of Oposa v. Factoran”, Georgetown International Environmental Law Review, Vol. 15, 2003, hal. 496.
129
Ibid., hal. 493.
130
Minors Oposa v. Factoran, 33 I.L.M 173 194, hal. 185.
131
G.F. Maggio, “Interintra-generational Equity: Current Applications under International Law for Promoting the Sustainable Development of Natural Resources”, Buffalo Environmental Law
Journal, Vol. 4, Spring, 1997, hal. 192.
132
UUD 1945 Pasal 28H, dan UU No. 32 tahun 2009 Pasal 65 ayat 1.
133
UU No. 32 tahun 2009 Pasal 2g dan 3f.
134
UU No. 32 tahun 2009 Pasal 90 s.d. 93.
135
Prinsip ke-2 dari Deklarasi Rio 1992 juga berbunyi kurang lebih sama dengan Prinsip ke-21 dari Deklarasi Stockholm.
34
activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of
national jurisdiction”.
Namun demikian, perlu dinyatakan di sini sedikit perbedaan antara Prinsip ke- 21 tersebut dengan Asas Pencegahan. Pertama, Prinsip Ke-21 berangkat dari
pengakuan atas kedaulatan Negara untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di wilayahnya, sedanga Asas Pencegahan berangkat dari pengakuan atas
perlingdungan lingkungan sebagai sebuah tujuan. Kedua, Prinsip ke-21 diterapkan dalam kerangka pencemaran lintas batas Negara transboundary pollution,
sedangkan Asas Pencegahan diterapkan dalam konteks yang lebih luas dari sekedar transboundary pollution. Dalam hal ini, penerapan Asas pencegahan ditujukan untuk
meminimasi munculnya resiko pencemaran lingkungan
136
. Dalam level internasional, pengakuan terhadap asas pencegahan dapat dilihat
dari beberapa konvensi tentang perlindungan lingakunan, mulai dari persoalan perlindungan ekosistem laut sampai pada persoalan keanekaragaman hayati
137
. Asas ini pun telah memperoleh pengakuan di dalam keputusan ICJ tentang kasus
Gabcikovo-Nagymaros, di mana dinyatakan bahwa penerapan asas pencegahan merupakan sebuah keharusan bagi tiap negara, karena terdapat karakter ketakpulihan
irreversibility dari kerusakan lingkungan
138
. Meski demikian, haruslah diingat bahwa berdasarkan asas pencegahan, sebuah
negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas keruskan yang timbul apabila negara tersebut telah melakukan upaya pencegahan. Pertanyaannya adalah sejauh
mana upaya pencegahan dapat dianggap memadai? Untuk menjawab pertanyaan ini, beberapa ahli mencoba mengkaitkannya dengan beberapa kewajiban seperti Amdal,
monitoring, dan konsultasi. Ahli yang lain menyatakan bahwa upaya pencegahan dapat dianggap tepat apabila telah dilakukan sesuai dengan teknologi terbaik yang
tersedia “Best Available Technologi”—BAT.
Hal lain yang patut dikemukakan ialah bahwa Asas Pencegahan merupakan prinsip yang ditujukan untuk pencegahan resiko. Apa itu resiko? Ketika mecoba
membedakan resiko risk dengan ketidakpastian uncertainty, para ekonomi biasanya merujuk pada karya klasik Frank Knight, Risk, Uncertainty and Profit.
Dalam karyanya ini, Knight membedakan resiko dari ketidakpastian berdasarkan probabilitas yang dapat kita berika pada sebuah kejadian. Dalam hal ini, Knight
membagi probabilitas ke dalam tiga kategori.
139
Kategori pertama adalah probabilitas yang bisa diperolah secara a priori, “a priori probability”. Dalam kondisi ini,
probabilitas adalah peluang munculnya kejadian yang dihitung berdasarkan prinsip umum. Kategori kedua adalah probabilitas probabilitas secara statistic, “statistical
probability”, di mana peluang munculnya kejadian hanya bisa ditentukan berdasarkan evaluasi emipiris.
140
Kategori ketiga disebut oleh Knight sebagai estimasi,
136
Arie Trouwborst, Evolution and Status of the Precautionary Principle in International Law The Hague: Kluwer Law International, 2002, pp. 35-36.
137
Nicolas de Sadeleer 2002, Environmental Principles: From Political Slogans to Legal Rules, Oxford: Oxford University Press, 2002, pp. 65-66.
138
Ibid., p. 67.
139
F.H. Knight, Risk, Uncertainty and Profit New York: Augustus M. Kelley, 1964, hal. 224- 225.
140
J. Runde memberikan contoh dari “a priory probability” dan “statistical probability”. Contoh pertama: kita bisa menentukan bahwa jika sebuah dadu dilempar, maka kemungkinan munculnya sisi
35
“estimates”, yaitu situasi ketika kita tidak memiliki dasar valid untuk menentukan peluang berdasarkan contoh atau percobaan.
Probabilitas secara a priori dan statistik merujuk pada situasi resiko, yaitu kondisi ketika distribusi probabilitas dan hasil yang mungkin outcomes dapat kita
ukur. Sedangkan bentuk probabilitas ketiga, yaitu estimasi, adalah situasi ketika kita hanya memiliki informasi tentang outcomes, tetapi kita tidak memiliki kemampuan
untuk menentukan seberapa besar probabilitas dari outcomes tersebut. Ekonom kemudian menamakan kondisi ketidaktahuan akan probabilitas ini dengan istilah
“uncertainty”, ketidakpastian.
141
Di luar situasi risk situasi ketika kita bisa mengetahui informasi tentang hasil yang mungkin dan probabilitasnya dan uncertainty situasi ketika kita hanya tahu
informasi tentang hasil yang mungkin, tanpa mengatahui probabilitasnya, beberapa pengarang beranggapan bahwa kadang kala kita berhadapan dengan situasi di mana
meskipun kita mengetahui probabilitas dari hasil yang akan muncul, kita tidak mengetahui secara pasti besaran dari tiap hasil yang akan muncul tersebut. Situasi
inilah yang disebut dengan kegamangan ambiguity. Menurut Stirling, situasi ambiguity lahir ketika resiko yang dikaji bersifat multidimensi, sehingga
memungkinkan munculnya “different perspectives concerning the scope, characterization, and prioritization”.
142
dengan angka 3, misalnya, adalah 16. Pada contoh ini, 16 kita peroleh secara a priori berdasarkan aturan umum, yaitu bahwa karena dadu memiliki 6 buah sisi, maka kemungkinan munculnya salah
satu sisi sisi dengan angka 3 adalah 16. Contoh kedua: dari sebuah proses produksi botol diperkirakan bahwa munculnya botol yang rusak dalam produksi ini adalah, misalnya, 1300.
Pengetahuan tentang probabilitas sebesar 1300 ini hanya bisa kita peroleh dari serangkaian evaluasi frekuensi statistik yang menunjukkan bahwa kemungkinan munculnya produk botol yang rusak adalah
sekali dalam 300 produksi botol. Contoh pertama adalah contoh dari “a priori probability”, sedang contoh kedua adalah contoh dari “statistical probability”. Lihat: J. Runde, “Clarifying Frank Knight’s
Discussion of the Meaning of Risk and Uncertainty”, Cambridge Journal of Economics, Vol. 22, 1998: hal. 540-541.
141
Lihat misalnya: R. Perman, et al., Natural Resources and Environmental Economics, 2nd ed. Essex: Longman, 1999, hal. 431; dan R.K. Turner, D. Pearce, dan I. Bateman, Environmental
Economics: an Elementary Introduction New York: Harvester Wheatsheaf, 1994, hal. 130.
142
A. Stirling, “Risk, Uncertainty and Precaution: Some Instrumental Implications from the Social Sciences”, dalam: F. Berkhout, M. Leach, dan I. Scoones eds., Negotiating Change: New
Perspectives in Environmental Social Science London: Edward Elgar, 2003, hal. 45. Ambiguity juga mengindikasikan bahwa hasil dari evaluasi resiko sebenarnya sangat sensitif terhadap asumsi yang
dibuat, yang pada gilirannya akan sangat menentukan bagaimana resiko ditanyakan, dibuat prioritasnya, dan kemudian diinterpratisakan. Lihat: P. Van Zwanenberg dan A. Stirling, “Risk and
Precaution in the US and Europe: A Response to Vogel”, dalam: H. Somsen, et al. eds., The Yearbook of European Environmental Law Vol. 3 Oxford: Oxford University Press, 2003, hal. 46.
Menurut penulis, situasi ambiguity banyak terjadi di dalam kajian-kajian mengenai dampak dari perubahan iklim, terutama dampak dari perubahan secara bertahap gradual climate change.
Meskipun para ahli saat ini telah mampu menentukan probabilitas dari beberapa dampak yang akan timbul dari perubahan iklim ini, tetapi mereka masih sering berbeda pendapat mengenai besaran yang
pasti dari tiap dampak tersebut. Perdebatan akan semakin kentara ketika besaran-besaran dampak tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk uang dalam rangka menentukan valuasi ekonomi
atas dampak yang terjadi. Dalam hal ini, ekonom sering kali berdebat tentang kevalidan penggunaan value of statistical life VOSL, semacam harga untuk nyawa manusia atau penggunaan discount rate
dalam valuasi ekonomi. Akibatnya, kita seringkali menemukan besaran yang berbeda di antara para pengarang. Untuk perdebatan tentang VOSL lihat misalnya: M. Grubb, “Seeking Fair Weather: Ethics
and the International Debate on Climate Change”, International Affair, Vol. 713, 1995: hal. 463-496. Untuk kritik atas penggunaan discount rate lihat misalnya: N. Khanna dan D. Chapman, “Time
Preference, Abatement Costs, and International Climate Policy: An Appraisal of IPCC 1995”, Contemporary Economic Policy, Vol. XIV, 1996: hal. 58.
36
Di samping itu, ada kalanya pula kita dihadapkan pada situasi di mana baik besaran hasil maupun probabilitasnya tidak kita ketahui. Dalam situasi terakhir ini
kita sedang dihadapkan pada keserbataktahuan ignorance. Kita bisa melihat ignorance dari berbagai keterkejutan kita ketika mengetahui penipisan lapisan ozon
dan dampaknya, atau ketika kita tersadarkan akan dampak luar biasa dari PCBs polychlorinated biphenyls dan DES synthetic oestrogen diethylstilboestrol.
143
Contoh-contoh ini menunjukkan berbagai peristiwa tragis yang sepertinya muncul sebagai kejutan, sebab peristiwa itu sebelumnya gagal diantisipasi karena dianggap
kurang bukti.
Keempat situasi yang lahir dari seberapa luas pengetahuan kita atas hasil dan probabilitasnya, yaitu risk, uncertainty, ambiguity, dan ignorance, oleh beberapa
pengamat disebut sebagai ketidakmenentuan incertitude.
144
Spekrum dari ketidakmenentuan ini dapat dilihat dilihat pada Gambar 1. Pada gambar ini terlihat
bahwa masing-masing kondisi ditentukan oleh pengetahuan kita tentang dampakhasil yang akan terjadi dan probabilitas dari dampakhasil tersebut.
145
Semakin baik kita mengetahui informasi tentang dampak dan probabilitas, maka semakin kita mengarah
pada situasi risk, dan semakin kita tidak memiliki informasi yang memadai tentang dampak dan probabilitas tersebut, maka semakin kita berada pada situasi
keserbataktahuan ignorance.
143
Menurut Strirling, ignorance muncul karena berbagai factor, seperti kurangnya pengetahuan, informasi yang kontradiktif, ketidakpresisian konsep, perbedaan cara pandang terhadap rujukan
divergent frames of reference, serta kompleksitas dari proses alam dan sosial yang dihadapi. Stirling beranggapan bahwa pengadopsian asas kehati-hatian merupakan pengakuan bahwa ignorance
merupakan faktor yang dominan ketika kita melakukan pilihan jangka panjang terhadap teknologi yang akan digunakan, atau ketika kita melakukan penilaian atas investasi investment appraisal dan risk
assessment. A. Stirling, “Risk at a Turning Point?”, Journal of Environmental Medicine, Vol. 1, 1999: hal. 122.
144
Untuk diskusi lebih jauh tentang incertitude, lihat: A. Stirling dan D. Gee, “Science, Precaution, and Practice”, Public Health Reports,Vol. 117, 2002: hal. 524-526.
145
T. O’Riordan, J. Cameron, dan A. Jordan, “The Evolution of the Precautionary Principle”, dalam: T. O’Riordan, J. Cameron, dan A. Jordan eds., Reinterpreting the Precautionary Principle
London: Cameron May, 2001, hal. 25.
K n
ow le
d ge
ab ou
t l ik
el ih
ood
N o
b as
is f
o r
S o
m e
b as
is
pr oba
bi li
ti es
fo r
p ro
b ab
il it
ie s
Knowledge about outcomes
Well-defined Poorly-defined outcomes outcomes
Risk Ambiguity
Incertitude
Uncertainty Ignorance
Sumber: T. O’Riordan, J. Cameron, and A. Jordan, 2001.
37
Untuk keadaan resiko risk yang dapat diterapkan adalah prinsip pencegahan.
Sedangkan untuk keadaan uncertainy, ambiguity, atau ignorance yang berlaku bukan lagi prinsip pencegahan, tapi prinsip kehati-hatian the precautionary principle.
146
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip kehati-hatian merupakan prinsip pencegahan yang diberlakukan untuk keadaan di luar resiko risk. Baik prinsip
pencegahan maupun prinsip kehati-hatian sama-sama meminta dilakukannya upaya pencegahan. Perbedaannya terletak pada kondisi yang mendasari dilakukannya upaya
pencegahan tersebut.
6. Prinsip Kehati-hatian The Precautionary Principle