Permasalahan Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian Faktor yang Memengaruhi Status Gizi

Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan peneliti di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir dengan menggunakan data dari Dinas Kesehatan diperoleh bahwa pada tahun 2009 persentase balita dengan gizi kurang sebanyak 5, pada tahun 2010 dilaporkan sebesar 4,3 balita dengan gizi kurang dan pada tahun 2011 dilaporkan sebesar 5,5 balita dengan gizi kurang Dinkes Tobasa, 2011. Melihat data tersebut bahwa balita di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir mengalami penurunan status gizi dari tahun ke tahun. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh pola asuh balita yang kurang baik yang diperoleh balita praktek pemberian makanan, praktek perawatan dasar anak, praktek hygiene dan sanitasi dan lama kerja ibu sebagai penenun ulos yang membutuhkan waktu bekerja yang cukup banyak sehingga kurang dalam pengasuhan anak. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti pengaruh lama kerja dan pola asuh praktek pemberian makanan, praktek perawatan dasar anak, praktek hygiene dan sanitasi penenun ulos terhadap status gizi balita di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah apakah ada pengaruh lama kerja dan pola asuh penenun ulos praktek pemberian makanan, praktek perawatan dasar anak, praktek hygiene dan sanitasi terhadap status gizi balita di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir. Universitas Sumatera Utara

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh lama kerja dan pola asuh penenun ulos praktek pemberian makanan, asuhan perawatan dasar anak, asuhan hygiene dan sanitasi terhadap status gizi balita di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir.

1.4. Hipotesis

Lama kerja dan pola asuh penenun ulos praktek pemberian makanan, asuhan perawatan dasar anak, asuhan hygiene dan sanitasi memengaruhi status gizi balita di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir khususnya Puskesmas di Kecataman Laguboti sebagai informasi untuk meningkatkan status gizi balita guna mewujudkan sember daya manusia yang sehat. 2. Bagi masyarakat khususnya ibu penenun ulos yang mempunyai balita suatu informasi mengenai pola asuh yang meliputi asuhan pemberian makan, asuhan perawatan dasar anak, asuhan hygiene dan sanitasi. Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status Gizi Balita

Status gizi bisa diartikan suatu keadaan tubuh manusia akibat dari konsumsi suatu makanan dan penggunaan zat-zat gizi dari makanan tersebut yang dibedakan antara status gizi buruk, gizi kurang, gizi baik dan gizi lebih Almatsier, 2002. Kehandalan balita dari dimensi pertumbuhan dapat ditunjukkan diantaranya adalah status gizi dan kesehatannya. Status gizi merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi Sunarti, 2004. Menurut penelitian Hafrida 2004, terdapat kecendrungan pola asuh dengan status gizi. Semakin baik pola asuh balita maka proporsi gizi baik pada balita juga akan semakin besar. Dengan kata lain, jika pola asuh balita di dalam keluarga semakin baik tentunya tingkat konsumsi pangan balita juga akan semakin baik dan akhirnya akan mempengaruhi keadaan gizi anak. Dari hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa 40 responden terdapat 30 orang 75 dengan pola asuh baik mempunyai status gizi yang baik pula. Dan 10 orang 25 dengan pola asuh buruk mempunyai status gizi yang kurang.

2.1.1. Penilaian Status Gizi

Untuk mengetahui status gizi balita dapat dilakukan dengan penilaian status gizi secara langsung dan penilaian tidak langsung. Penilaian status gizi secara Universitas Sumatera Utara langsung adalah dengan pemeriksaan secara antropometri, biokimia, klinis dan biofisik. Penilaian status gizi secara tidak langsung adalah dengan pemeriksaan survey makanan, statistik vital dan faktor ekologi Waryana, 2010. Pemeriksaan antropometri dilakukan dengan cara mengukur tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas, tebal lemak tubuh. Pengukuran antropometri bertujuan mengetahui status gizi berdasarkan satu ukuran menurut ukuran lainnya, misalnya berat badan dan tinggi badan menurut umur BB dan TBU berat badan menurut tinggi badan BBTB, Lingkar lengan atas menurut umur LLAU, lingkar lengan atas menurut tinggi badan LLATB Sibagariang, 2010. Dari beberapa cara pengukuran status gizi, pengukuran antropometri merupakan cara yang paling sering digunakan karena memiliki beberapa kelebihan yaitu alat mudah diperoleh, pengukuran mudah dilakukan, biaya murah, hasil pengukuran mudah disimpulkan, dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan dapat mendeteksi riwayat gizi masa lalu. Penilaian berdasarkan pengukuran indeks massa tubuh IMT adalah untuk mengetahui status gizi orang dewasa berusia 18 tahun atau lebih yaitu dengan pengukuran berat dan tinggi badan Arisman, 2007. Penilaian status gizi menurut WHO 2005 adalah : 1. Antropometri a. BBU Berat Badan menurut Umur Indeks antropometri dengan BBU mempunyai kelebihan diantaranya lebih mudah dan lebih cepat dimengerti masyarakat umum, baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis, berat badan dapat berfluktuasi, sangat sensitif Universitas Sumatera Utara terhadap perubahan kecil dan dapat mendeteksi kegemukan. Untuk pengkategorian status gizi berdasarkan BBU dapat dilihat di bawah ini. 1. Gizi Normal : jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z +1 2. Gizi Kurang : jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z -2,0 3. Gizi Sangat Kurang : jika nilai Z-Skor -3,0 b. TBU Tinggi Badan menurut Umur Tinggi badan merupakan antropometri yang mengambarkan keadaan pertumbuhan skletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Keuntungan indeks TBU diantaranya adalah baik untuk menilai status gizi masa lampau, pengukur panjang badan dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa. Untuk pengkategorian status gizi berdasarkan TBU dapat dilihat di bawah ini. 1. Tinggi : jika skor simpangan baku 3,0 SD 2. Normal : jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z ≤ 3,0 3. Pendek : jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z -2,0 4. Sangat pendek : jika nilai Z-Skor -3,0 SD c. Tinggi BBTB Berat Badan menurut Tinggi Badan Dalam keadaan normal berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu, keuntungan dari indeks BBTB adalah tidak memerlukan data umur dan dapat membedakan proporsi badan gemuk, normal dan kurus. Untuk pengkategorian status gizi berdasarkan BBTB dapat dilihat di bawah ini. Universitas Sumatera Utara 1. Sangat Gemuk : jika skor simpangan baku 3,0 SD 2. Gemuk : jika skor simpangan baku 2,0 Z ≤ 3,0 3. Risiko Gemuk : jika skor simpangan baku 1,0 ≤ Z 2,0 4. Normal : jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z 1,0 5. Kurus : jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z -2,0 6. Sangat Kurus : jika nilai Z-Skor -3,0 SD 2. Klinis Pemeriksaan klinis adalah metode yang didasarkan atas perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi dapat dilihat pada jaringan epitel supervicial epithelial tissues seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid Depkes RI, 2005 3. Biokimia Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratorium yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan anatara lain: darah, urin, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi Depkes RI, 2005. Universitas Sumatera Utara 4. Biofisik Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi khususnya jaringan dan melihat perubahan struktur dari jaringan Depkes RI, 2005.

2.2. Pola Asuh

Orang tua mempunyai peran dan fungsi yang bermacam-macam, salah satunya adalah mendidik anak. Menurut Edwards, 2006, menyatakan bahwa “Pola asuh merupakan interaksi balita dan orang tua mendidik, membimbing, dan mendisplinkan serta melindungi balita untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat”. Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan pengasuhan balita adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan balita untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan balita menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan. Pengasuhan terhadap balita berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat. Pendampingan orang tua diwujudkan melalui pendidikan cara-cara orang tua dalam mendidik anaknya. Cara orang tua mendidik balita nya disebut sebagai pola pengasuhan. Interaksi balita dengan orang tua, balita cenderung menggunakan cara- Universitas Sumatera Utara cara tertentu yang dianggap paling baik bagi anak. Disinilah letaknya terjadi beberapa perbedaan dalam pola asuh. Peranan pengasuhan ini pertama kali diindentifikasi dalam Joint Nutrition Support Program in Iringa, Tanzania dan kemudian digunakan pada berbagai studi positive deviance di berbagai negara. Peranan determinan pola asuhan terhadap pertumbuhan bayi cukup besar, dimana pola asuhan yang baik dapat meningkatkan tingkat kecukupan gizi dan kesehatan bayi. Determinan pola asuhan dan kesehatan langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan bayi Engel, 1992. Pola pengasuhan balita adalah pengasuhan balita dalam pra dan pasca kelahiran, pemberian ASI, pemberian makanan, dan pengasuhan bermain Hamzat A, 2000. Menurut Jus’at 2000 pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap balita agar dapat tumbuh dan berkembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pola pengasuhan balita berupa sikap dan praktik pengasuhan ibu lainnya dalam kedekatannya dengan anak, merawat, cara memberi makan serta kasih sayang. Berdasarkan pengertian tersebut “pengasuhan” pada dasarnya adalah suatu praktek yang dijalankan oleh orang lebih dewasa terhadap balita yang dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan pangangizi, perawatan dasar termasuk imunisasi, pengobatan bila sakit, rumah atau tempat yang layak, hygiene perorangan, sanitasi lingkungan, sandang, kesegaran jasmani Soetjiningsih, 1995. Universitas Sumatera Utara Disatu sisi orang tua harus bisa menentukan pola asuh yang tepat dalam mempertimbangkan kebutuhan dan situasi anak, disisi lain sebagai orang tua juga mempunyai keinginan dan harapan untuk membentuk balita menjadi seseorang yang dicita-citakan yang tentunya lebih baik dari orang tuanya Rachmadiana, 2004. Menurut penelitian Belly 2008, bahwa faktor-faktor penyebab gizi buruk dan gizi kurang bermacam-macam, diantaranya : 1 Kurang mendapat asupan gizi yang seimbang dalam waktu yang cukup lama, 2 Menderita penyakit infeksi sehingga asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan tubuh secara optimal karena adanya gangguan penyerapan, 3 Tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, 4 Pola asuh yang kurang memadai, 5 Akses pelayanan kesehatan terbatas, 6 Minimnya pengetahuan ibu tentang gizi keluarga, 7 Sanitasikesehatan lingkungan yang kurang baik. Menurut Penelitian Pribawaningsih 2008, bahwa pola pengasuhan mempunyai kontribusi sebesar 30 terhadap penentuan status gizi balita, Adanya pengaruh ini bisa terjadi karena pola perilaku yang cenderung diikuti para anggota masyarakat dan berbagai kepercayaan, nilai dan aturan yang diciptakan lingkungan tersebut. Menurut penelitian Nugroho 2010, bahwa pola asuh dan perilaku pengasuh berhubungan dengan status gizi balita. Balita dengan pola asuh nuclear family memiliki resiko mengalami gizi kurang atau buruk 3 kali lebih besar daripada extended family OR = 3,0, p = 0,042 dan terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku pengasuh dan status gizi balita balita. Balita balita dengan pengasuh Universitas Sumatera Utara berperilaku buruk memiliki resiko mengalami gizi kurang atau buruk 19 kali lebih besar daripada pengasuh berperilaku baik OR = 19,3, p = 0,001. Penelitian yang dilakukan oleh Hafrida 2004 di Kelurahan Belawan Bahari Kecamatan Medan Belawan, menunjukkan bahwa ada kecenderungan dengan semakin baiknya pola asuh anak, maka proporsi gizi baik pada balita semakin besar. Setiap upaya yang dilakukan dalam mendidik anak, mutlak didahului oleh tampilnya sikap orang tua dalam mengasuh balita meliputi : a. Perilaku yang patut dicontoh Artinya setiap perilaku tidak sekedar perilaku yang bersifat mekanik, tetapi harus didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniru dan identifikasi bagi anak-anaknya. b. Kesadaran diri Ini juga harus ditularkan pada anak-balita dengan mendorong mereka agar perilaku kesehariannya taat kepada nilai-nilai moral. Oleh sebab itu orang tua senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun non verbal tentang perilaku. c. Komunikasi Komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak-anaknya, terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan permasalahannya. Universitas Sumatera Utara

2.2.1. Praktek Pemberian Makan

Untuk kebutuhan pangangizi, ibu menyiapkan diri sejak prenatal dalam mengatur dietnya selama kehamilan, masa neo-natal berupa pemberian ASI, menyiapkan makanan tambahan berupa makanan padat yang lebih bervariasi bahannya atau makanan yang diperkaya, dan dukungan emosional untuk anak. Status sakit, pola aktivitas, asupan gizi rendah, frekuensi konsepsi terkait pertumbuhan balita melalui status gizi ibu Pengasuhan makanan balita terdiri atas hal yang berhubungan dengan menyusui, dan pemberian makanan selain ASI buat anak. Ada 2 tujuan pengaturan makanan untuk bayi dan balita balita : 1. Memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan hidup, yaitu untuk pemeliharaan dan atau pemulihan serta peningkatan kesehatan, pertumbuhan, perkembangan fisik dan psikomotor, serta melakukan aktivitas fisik. 2. Untuk mendidik kebiasaan makan yang baik. Makanan untuk bayi dan balita yang baik harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi yang sesuai dengan umur. 2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan makanan yang tersedia setempat, kebiasaan makanan, dan selera terhadap makan. 3. Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi, dan keadaan faal bayianak. 4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan. Universitas Sumatera Utara Pertumbuhan balita usia 1-3 tahun sangat rentan terhadap penyakit gizi dan penyakit infeksi. Syarat makanan yang harus diberikan adalah makanan yang mudah dicerna dan tidak merangsang tidak pedas dengan jadwal pemberian makan yang sama yaitu 3 kali makanan utama pagi, siang, malam dan 2 kali makanan selingan diantaranya 2 kali makanan utama. Pola hidangan yang dianjurkan adalah makanan seimbang yang terdiri atas sumber zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur. Bedasarkan hasil penelitian Sarasani 2005 menyatakan bahwa balita yang mempunyai praktek pemberian makan yang baik lebih banyak ditemukan balita dengan status gizi baik. Berdasarkan penelitian Perangin-angin 2006, bahwa terdapat hubungan antara praktek pemberian makan dengan status gizi anak. Dimana dari 36 orang yang mempunyai status gizi baik terdapat 26 orang 83,87 dengan praktek pemberian makan yang baik dan 10 orang 58,82 dengan praktek pemberian makan yang tidak baik. Sedangkan dari 8 orang responden yang mempunyai status gizi kurang terdapat 2 orang 6,45 dengan praktek pemberian makan yang baik dan 6 orang 35,29 dengan praktek pemberian makan yang tidak baik. Pada balita usia 1-3 tahun balita bersifat konsumen pasif. Makanannya tergantung pada apa yang disediakan ibu. Gigi geligi susu telah tumbuh, tetapi belum dapat digunakan untuk mengunyah makanan yang terlalu keras. Namun balita hendaknya sudah diarahkan untuk mengikuti pola makanan orang dewasa As’ad, 2002 Universitas Sumatera Utara Pada saat mempersiapkan makanan, kebersihan makanan perlu mendapat perhatian khusus. Makanan yang kurang bersih dan sudah tercemar dapat menyebabkan diare atau cacingan pada anak. Begitu juga dengan si pembuat makanan dan peralatan yang dipakai seperti sendok, mangkok, gelas, piring dan sebagainya sangat menetukan bersih tidaknya makanan. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah : a. Simpan makanan dalam keadaan bersih, hindari pencemaran dari debu dan binatang. b. Alat makan dan memasak harus bersih. c. Ibu atau anggota keluarga yang memberikan makanan harus mencuci tangan dengan sabun sebelum memberikan makan. d. Makanan selingan sebaiknya dibuat sendiri

2.2.2. Pengasuhan Perawatan Dasar Anak

Pengasuhan perawatan dasar balita adalah pemenuhan kebutuhan bayi yang dilakukan ibu untuk mengatasi kejadian diare, ISPA, dan memberi imunisasi pada balita yang dinyatakan cukup bila ibu mampu memberikan minum air banyak pada kasus diare, membuat oralit dan meminumkannya sekurang-kurangnya kombinasi 2 dari 3 serta mampu memberi pelega tenggorokan dan mengatasi demam pada balita yang menderita ISPA juga memberi imunisasi pada balita Bahar, 2002. Pengasuhan perawatan dasar balita meliputi perawatan terhadap balita sakit dan tindakan pencegahan terhadap penyakit sehingga balita tidak sampai terkena suatu penyakit. Praktik kesehatan balita yang baik dapat ditempuh dengan cara Universitas Sumatera Utara memperhatikan keadaaan gizi anak, kelengkapan imunisasinya, kebersihan diri balita dan lingkungan dimana balita berada, serta upaya ibu dalam hal mencarikan pengobatan terhadap balita apabila balita sakit Bahar, 2002. Penanggulangan diare yang dapat dilakukan oleh ibu adalah dengan tetap memberi ASI pada balita sakit, dan memberi balita larutan garam gula atau oralit. Untuk bayi usia 4-6 bulan atau lebih dapat diberi makan sedikit-sedikit tapi sering. Makanan yang diberikan adalah makanan yang tidak merangsang dan yang disukai anak. Pada balita yang menderita diare, balita tidak dipuasakan Bahar, 2002. Praktek cuci tangan tiap melakukan pekerjaan terkait makanan atau menyusui, minum air yang telah dimasak, memanasi makanan sebelum diberikan pada anak, dapat mencegah diare, termasuk usaha mencegah makanan dari gangguan lalat dan kontaminasi lain, serta penggunaan jamban keluarga. Perawatan ISPA ringan dapat dilakukan dengan kompres, obat demam, balsaminhaler pelega tenggorokan atau inhalasi uap. Balita dibersihkan dengan memakai kain atau tisu yang dibentuk jadi batangan, diulirkan ke lobang hidung. Balita diberi minuman dan makanan yang cukup. Pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan menempatkan balita dalam ruang yang sirkulasi udara dan pencahayaan baik, dan balita dilindungi dari kondisi ekstrim. Penyakit ini menyebar dengan droplet, sedapat mungkin hindarkan balita sehat dari penderita ISPA. Perawatan dasar balita juga terkait aktivitas mencegah balita jangan sakit. Pencegahan dimaksudkan memberi balita imunisasi. Untuk itu dibutuhkan kemauan dan kemampuan ibu membawa balita diimunisasi ke posyandu atau institusi terkait. Untuk balita usia 2 Universitas Sumatera Utara bulan atau lebih tetapi kurang dari 14 bulan dan belum imunisasi, dapat diberi imunisasi dengan urutan dan interval pemberian serupa dengan balita yang diberi imunisasi dengan jadwal tepat Bahar, 2002. Sulistijani 2001 mengatakan bahwa lingkungan yang sehat perlu diupayakan dan dibiasakan, tetapi tidak dilakukan sekaligus, harus perlahan-lahan dan terus menerus. Lingkungan yang sehat terkait dengan keadaan bersih, rapi dan teratur. Oleh karena itu, balita perlu dilatih untuk mengembangkan sifat-sifat sehat seperti berikut : 1. Mandi 2 kali sehari 2. Cuci tangan sebelum dan sesudah makan 3. Makan teratur, 3 kali sehari 4. Menyikat gigi sebelum tidur 5. Membuang sampah pada tempatnya 6. Buang air kecil pada tempatnya

2.2.3. Praktek Kebersihan Hygiene dan Sanitasi Lingkungan

Pengasuhan balita dari aspek higine perorangan, kesehatan lingkungan dan keamanan balita berkenaan dengan kemampuan ibu menjaga balita agar tetap segar dan bersih, balita mendapat lingkungan yang sehat, serta terhindar dari cedera atau kecelakaan. Untuk itu dibutuhkan kemampuan orangtua untuk memandikan anak. Menjaga kebersihan pakaian bayi dan membersihkan bagian tubuh anak, ganti popok ketika akan tidur malam hari. Dibutuhkan pula kemampuan ibu untuk menjaga kebersihan pada tempat tidur anak, kamar balita dan lingkungan tempat balita diasuh. Diperlukan kemampuan ibu untuk mencegah balita dari terkena luka dan kecelakaan. Universitas Sumatera Utara Praktek pengasuhan hygiene perorangan balita terkait perhatian khusus pada kebersihan daerah lipatan kulit, daerah anogenital terutama tiap selesai berkemih atau BAB, kebersihan kuku dan gigi bagi balita yang telah tumbuh gigi. Perhatian juga ditujukan pada kebersihan tali pusat, apakah sudah bersih atau malah infeksi. Hygiene perorangan balita juga meliputi perawatan terhadap rambut dan kulit kepala anak. Penjagaan kebersihan mulut balita termasuk perhatian terhadap adanya Moniliasis dalam mulut ditandai bercak putih pada mukosa mulut dan atau lidah. Lingkungan terdekat yang harus sehat bagi balita adalah tempat tidur balita dan tempat bermain anak. Pada tempat tidur, ada bantal dan kasur serta sarung bantal yang perlu dibersihkan secara rutin. Gunakan kelambu bagi bayi siang maupun malam bila balita tidur, untuk mencegah balita digigit nyamuk Bahar, 2002. Kondisi lingkungan balita harus benar-benar diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan rumah dan lingkungan adalah bangunan rumah, kebutuhan ruang bermain anak, pergantian udara, sinar matahari, penerangan, air bersih, pembuangan sampahair kotor limbah, kamar mandi dan kakus jambanWC dan halaman rumah. Kebersihan, baik kebersihan perorangan maupun kebersihan lingkungan memegang peranan penting bagi tumbuh kembang anak. Keadaan perumahan yang layak dengan konstruksi bangunan yang tidak membahayakan penghuninya akan menjamin keselamatan dan kesehatan penghuninya, yaitu ventilasi dan pencahayaan yang cukup, tidak penuh sesak, cukup leluasa bagi balita untuk bermain, dan bebas polusi Soetjiningsih, 1995. Universitas Sumatera Utara

2.2.4. Faktor- faktor yang Memengaruhi Pola Asuh

Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh balita adalah: Edwards, 2006 adalah : a. Pendidikan orang tua Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan balita akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-balita dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak. Hasil riset dari Sir Godfrey Thomson menunjukkan bahwa pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau permanen di dalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap. Orang tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh balita akan lebih siap menjalankan peran asuh, selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal Supartini, 2004. b. Lingkungan Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya. Universitas Sumatera Utara c. Budaya Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik balita kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima di masyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh balita juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya Anwar, 2000.

2.2.5. Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi Anak

Perawatan atau pola pengasuhan ibu terhadap balita yang baik merupakan hal yang sangat penting, karena akan mempengaruhi proses tumbuh kembang balita. Pola pengasuhan ibu terhadap anaknya berkaitan erat dengan keadaan ibu terutama kesehatan, pendidikan, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan balita WHO Suharsi, 2001. Menurut Rahayu 2001 balita yang diasuh dengan baik oleh ibunya akan lebih berinteraksi secara positif dibandingkan bila diasuh oleh selain ibunya. Pengasuhan balita oleh ibunya sendiri akan terjadi hubungan balita merasa aman, balita akan memperoleh pasangan dalam berkomunikasi dan ibu sebagai peran model bagi balita yang berkaitan dengan keterampilan verbal secara langsung. Pola pengasuhan balita akan berkaitan dengan keadaan gizi balita dan usaha ibu merangsang balita untuk makan turut menentukan volume makan pada balita Jus’at, 2000. Universitas Sumatera Utara Hasil penelitian Khomsan, dkk 1999 menunjukkan bahwa ibu memegang peranan utama dalam pengasuhan anak. Penyuluhan stimulasi psikososial kepada ibu dengan menggunakan paket “Ibu maju Balita Bermutu” berdampak meningkatkan stimulasi psikososial balita dalam keluarga. Artinya, ibu menjadi lebih proaktif di dalam mengasuh balita dengan memberikan stimulasi psikososial. Dalam jangka panjang hal ini akan berdampak positif bagi tumbuh kembang anak. Studi Suharsi 2001 di Kabupaten Demak menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan secara statistik pola asuh ibu dengan balita balita kurang energi dan protein, namun pola asuh ibu yang tidak baik terhadap balita balita mempunyai risiko lebih besar terhadap kejadian kurang energi protein dibandingkan pola asuh yang baik. Studi penyimpangan positif positive deviance masalah KEP di Jakarta Utara dan Bogor oleh Jus’at, dkk 2000 menyimpulkan bahwa pengasuhan balita berkaitan dengan keadaan gizi anak. Pemberian Kolostrum pada bayi di hari-hari pertama kehidupannya berdampak positif pada keadaan gizi balita diumur-umur selanjutnya terutama di Bogor. Interaksi ibu dengan balita yang diamati mendalam, melalui participant obversation, berhubungan positif dengan keadaan gizi anak. Anak-balita yang selalu diupayakan untuk mengkonsumsi makanan, mendapat respon ketika berceloteh, dan selalu mendapat senyuman dari ibu, keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebaya lainnya yang kurang memperoleh perhatian orang tuanya. Universitas Sumatera Utara Bahar 2002 dalam penelitian tentang pengaruh pola pengasuhan terhadap pertumbuhan balita di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa kualitas pengasuhan makanan balita yang dimiliki ibu, berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Kualitas pengasuhan perawatan dasar balita yang dimiliki ibu, berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Kualitas pengasuhan hygiene perorangan balita kesehatan lingkungan dan keamanan anak, berpengaruh terhadap pertumbuhan anak.

2.3. Lama Kerja

Lama kerja merupakan beban aktivitas fisik, mental, sosial yang diterima oleh seseorang yang harus diselesaikan dalam waktu tertentu, sesuai dengan kemampuan fisik, maupun keterbatasan pekerja yang menerima beban tersebut. Herrianto 2010 menyatakan bahwa lama kerja adalah sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh seseorang ataupun sekelompok orang, selama periode waktu tertentu dalam keadaan normal. Menurut Nurmianto 2003 lama kerja adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh tenaga kerja dalam jangka waktu tertentu. Semua pekerjaan harus selalu diusahakan dengan sikap kerja yang ergonomis. Lama kerja dapat dibedakan atas lama kerja berlebih dan lama kerja terlalu sedikit atau kurang Munandar, 2008. Lama kerja berlebih, timbul sebagai akibat dari kegiatan yang terlalu banyak diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu. Munandar 2008 menyatakan bahwa lama kerja berlebih secara fisik dan mental adalah Universitas Sumatera Utara melakukan terlalu banyak kegiatan baik fisik maupun mental, dan ini dapat merupakan sumber stres pekerjaan. Lama kerja berlebih, akan membutuhkan waktu untuk bekerja dengan jumlah jam yang sangat banyak untuk menyelesaikan semua tugas yang telah ditetapkan, dan ini yang merupakan sumber tambahan lama kerja. Setiap pekerjaan diharapkan dapat diselesaikan secara cepat, dalam waktu sesingkat mungkin. Waktu merupakan salah satu ukuran, namun bila desakan waktu dapat menyebabkan timbulnya banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan pekerja menurun, maka itulah yang merupakan cerminan adanya lama kerja berlebih. Lama kerja yang berlebihan mempunyai pengaruh yang tidak baik pada kesehatan pekerja. Menurut Munandar 2008 yang mengutip pendapat Friedmen dan Rosenman 1974 menunjukkan bahwa desakan waktu tampaknya memberikan pengaruh tidak baik, pada sistem cardiovascular. Lama kerja terlalu sedikit atau kurang, merupakan sebagai akibat dari terlalu sedikit pekerjaan yang akan diselesaikan, dibandingkan waktu yang tersedia menurut standar waktu kerja, dan ini juga akan menjadi pembangkit stress. Pekerjaan yang terlalu sedikit dibebankan setiap hari, dapat mempengaruhi beban mental atau psikologis dari tenaga kerja. Berdasarkan pendapat Munandar 2008 dapat disimpulkan bahwa lama kerja terlalu sedikit, karena tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan keterampilan yang diperolehnya atau untuk mengembangkan kecakapan potensinya secara penuh. Keadaan ini menimbulkan kebosanan dan akan menurunkan semangat kerja serta motivasi kerja, timbul rasa Universitas Sumatera Utara ketidakpuasan bekerja, kecenderungan meninggalkan pekerjaan, depresi, peningkatan kecemasan, mudah tersinggung dan keluhan psikosomatik. Waktu kerja merupakan waktu yang ditetapkan untuk melaksanakan pekerjaan, yang dapat dilakukan pada siang, sore dan malam hari. Waktu kerja adalah penggunaan tenaga dan penggunaan organ tubuh secara terorganisasi dalam waktu tertentu. Semakin lama waktu kerja yang dimiliki oleh seorang tenaga kerja maka akan menambah berat lama kerja yang diterimanya dan sebaliknya jika waktu yang digunakan oleh tenaga kerja itu dibawah waktu kerja sebenarnya maka akan mengurangi lama kerja. Suma’mur 2009 menyatakan bahwa aspek terpenting dalam hal waktu kerja meliputi, lamanya seseorang mampu bekerja dengan baik, hubungan antara waktu kerja dan istirahat, dan waktu bekerja menurut periode waktu pagi, sore, dan malam hari Lamanya seseorang bekerja secara normal dalam sehari pada umumnya 8 jam, sisanya 16 jam lagi dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga dan masyarakat, istirahat, tidur, dan lain-lain. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan, biasanya tidak disertai efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja yang optimal, bahkan biasanya terlihat penurunan kualitas. Bekerja dalam waktu yang berkepanjangan, timbul kecenderungan terjadi kelelahan, gangguan kesehatan, penyakit dan kecelakaan kerja serta ketidakpuasan. Dalam seminggu, seseorang umumnya dapat bekerja dengan baik selama 40 jam. Menurut UU No 13 Tahun 2003 pasal 77 ayat 1, setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja meliputi, 7 jam dalam sehari dan 40 jam Universitas Sumatera Utara seminggu untuk 6 hari kerja, atau 8 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 5 hari kerja. Ketentuan ini tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja tersebut, wajib membayar upah kerja lembur. Selanjutnya pasal 79 ayat 1, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja. Waktu istirahat dan cuti meliputi, istirahat antara jam kerja sekurang-kurangnya setengah jam, setelah bekerja selama 4 empat jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja, istirahat mingguan 1 satu hari untuk 6 enam hari kerja dalam seminggu, dan cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja, setelah pekerja yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.

2.3.1. Lama Kerja Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Berdasarkan jenis pekerjaan, lama kerja dapat dibedakan atas lama kerja ringan, sedang dan berat. Menurut WHO dalam Santoso 2004 penggolongan pekerjaanlama kerja meliputi kerja ringan yaitu jenis pekerjaan di kantor, dokter, perawat, guru dan pekerjaan rumah tangga dengan menggunakan mesin. Kerja sedang adalah jenis pekerjaan pada industri ringan, mahasiswa, buruh bangunan, petani, kerja di toko dan pekerjaan rumah tangga tanpa menggunakan mesin. Kerja berat adalah jenis pekerjaan petani tanpa mesin, kuli angkat dan angkut, pekerja tambang, tukang kayu tanpa mesin, tukang besi, penari dan atlit.

2.3.2. Faktor yang Memengaruhi Lama kerja

Menurut Tarwaka 2004 secara umum lama kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks, baik faktor external maupun internal. Pengaruh faktor Universitas Sumatera Utara external adalah faktor yang mempengaruhi lama kerja yang berasal dari luar tubuh pekerja antara lain tugas-tugas yang dilakukan bersifat fisik seperti tempat kerja, sarana kerja dan sikap kerja. Selain itu organisasi kerja juga dapat memengaruhi lama kerja seperti, lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam dan sistem pengupahan. Lingkungan kerja dapat memberikan beban tambahan pada pekerja seperti suhu udara, intensitas penerangan, kebisingan, pencemaran udara, bakteri, virus, parasit, jamur dan serangga.

2.3.3. Kapasitas Kerja

Kapasitas Kerja merupakan berat ringannya lama kerja yang dapat diterima oleh tenaga kerja, dan dapat digunakan untuk menentukan berapa lama seseorang tenaga kerja dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya. Semakin berat lama kerja, akan semakin pendek waktu kerja seseorang untuk bekerja tanpa kelelahan dan gangguan fisiologis yang berarti atau sebaliknya. Herrianto 2010 menyatakan bahwa untuk pekerjaan manual di sektor industri yang menggunakan waktu selama 8 jam per hari, seseorang dapat bekerja paling banyak 33 , dari kapasitas maksimal tanpa merasa kelelahan. Sedangkan untuk pekerjaan manual selama 10 jam per hari, seseorang dapat bekerja hanya 28 , dari kapasitas maksimal tanpa merasa kelelahan. Kapasitas kerja individu tergantung pada derajat kebugaran tubuh, kapasitas kerja otot dan kapasitas kerja jantung.

2.3.4. Analisis Lama kerja

Analisis lama kerja adalah proses untuk menetapkan jumlah jam kerja yang digunakan atau dibutuhkan untuk merampungkan suatu pekerjaan dalam waktu Universitas Sumatera Utara tertentu, atau dengan kata lain analisis lama kerja bertujuan untuk menentukan berapa jumlah personalia dan berapa jumlah tanggung jawab atau lama kerja yang tepat dilimpahkan kepada seorang pekerja. Menurut Suyudi 2004, analisa lama kerja adalah upaya menghitung lama kerja pada satuan kerja dengan cara menjumlah semua lama kerja dan selanjutnya membagi dengan kapasitas kerja perorangan persatuan kerja.

2.4. Faktor yang Memengaruhi Status Gizi

Pada saat ini masalah gizi utama di Indonesia masih adalah kurang Energi Protein KEP, Anemia Besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium GAKY dan Kurang Vitamin A KVA dan juga Gizi Lebih. Analisis masalah gizi kurang yang dilakukan oleh Atmarita dan Falah 2004 pada tahun 1989, prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 37,5 menurun menjadi 27,5 pada tahun 2003, ini berarti terjadi penurunan gizi kurang sebesar 10 . Sementara itu terjadi penurunan gizi buruk sampai tahun 2003 yaitu 8,3 . Pada tahun 2005 ini dilaporkan terjadi peningkatan kasus gizi buruk atau yang lebih dikenal dengan busung lapar. Menurut Rimbawan dan Baliwati 2004, KEP terjadi akibat konsumsi pangan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta gangguan kesehatan. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kekurangan gizi antara lain makanan yang tidak seimbang dan penyakit infeksi. Soekirman 1999. Penyebab masalah gizi kurang dapat dibagi dua bagian yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung adalah makanan yang Universitas Sumatera Utara tidak seimbang dan penyakit infeksi, dan diantara keduanya saling berhubungan. Pada balita yang konsumsi makanannya tidak cukup, maka daya tahan tubuhnya lemah. Pada keadaan tersebut mudah terserang penyakit infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan dan akhirnya dapat menderita kurang gizi Azwar, 2004. Sedangkan penyebab tidak langsung berupa ketersediaan makanan, pola asuh serta sanitasi dan pelayanan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pendidikan, pengetahuan dan keterampilan.

2.5. Landasan Teori