Komunikasi Antarbudaya (Analisis Semiotik Dalam Film Eat, Pray, Love)

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh

SHOFA MAYONIA JERIC 1110051000047

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H./2014 M.


(2)

(3)

(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan meraih gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 10 Oktober 2014


(5)

i

Eat, Pray, Love merupakan film yang bergenre drama Amerika Serikat

pada tahun 2010. Film ini didasari dari novel Eat, Pray, Love yang kisahnya merupakan kisah nyata dari penulis novel itu sendiri, yang bernama Elizabeth Gilbert. Film yang berlokasi di 3 Negara yang berbeda ini, mengindikasikan bagaimana komunikasi antarbudaya terjadi didalam kehidupan. Kemudian film ini juga memperkenalkan sebagaian kebudayaan Indonesia kemancanegara. Film Eat, Pray, Love dapat dijadikan contoh betapa pentingnya melihat sisi lain dari sebuah proses komunikasi massa, yaitu pesan.

Maka dalam hal peneliti merumuskan dua pertanyaan, Apa makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam film Eat, Pray, Love? Kemudian, bagaimana unsur-unsur komunikasi antar budaya dibentuk dalam film Eat, Pray, Love?

Penelitian ini berfokus pada makna denotasi, konotasi dan mitos dalam semiotik yang kemudian dikaitkan dengan unsur-unsur komunikasi antarbudaya. Dalam hal ini, peneliti menggunakan metode semiotika dengan menggunakan teori Roland Barthes, dimana ia menjelaskan tentang makna denotasi, konotasi serta mitos.

Film ini adalah sebuah kisah nyata yang dialami oleh penulis novel dengan judul yang sama yaitu Eat, Pray, Love. Film ini mencoba menceritakan secara visual kisah perjalanan Elizabeth Gilbert di 3 Negara. Eat yang berarti Elizabeth ingin mencari kebebasan dengan pergi ke Itali untuk berkuliner. Kemudian Pray mencoba mendekatkan diri dengan cara melakukan ritual meditasi di India. Lalu yang terakhir Love yaitu mencoba belajar untuk keseimbangan diri dan mencari cinta sejatinya.

Film Eat, Pray, Love yang menampilkan bagaimana cara berkomunikasi di 3 Negara yang berbeda perlu dikaji secara semiosis. Karena, banyak simbol-simbol atau tanda-tanda yang mungkin menghadirkan berbagai interpretasi dan pesan simbolik. Dan faktor inilah yang menjadikan film Eat, Pray, Love yang notabennya memuat simbol-simbol komunikasi antarbudaya secara dominan perlu dianalisis menggunakan semiotik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi antarbudaya terdapat pada makna tanda-tanda dan kode yang muncul dalam beberapa scene atau adegan di dalam film Eat, Pray, Love. Peneliti menjelaskannya dalam tabel makna denotasi, konotasi, dan mitos. Kemudian terdapat pula scene atau adegan yang berkaitan dengan unsur-unsur komunikasi antarbudaya.

Kata kunci: Film Eat, Pray, Love, Komunikasi Antarbudaya, Denotasi, Konotasi, dan Mitos, Semiotik


(6)

ii

Rangkaian ucapan syukur yang tak terkira selalu penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan kasih sayang dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada pemimpin umat, Baginda Nabi Muhammad saw, beserta keluarga serta para sahabat yang telah menjadi suri tauladan bagi kita dalam melangkah.Terima kasih penulis ucapkan khusus untuk Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang sudah memberikan segala fasilitas kepada penulis dalam menimba ilmu dan menambah wawasan.

Sebagai manusia biasa, tentunya penulis memiliki keterbatasan kemampuan dan pengetahuan. Untuk itu, kiranya pembaca dapat memaklumi atas keterbatasan dan kekurangan yang ada pada skripsi ini.Dibalik keberhasilan selalu ada kebersamaan yang memberikan semangat, bimbingan, motivasi dan doa. Oleh karena itu, tak lupa pada kesempatan ini dengan segenap kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulisberterimakasihkepada:

1. Dr. Arief Subhan, MA. selaku Dekan, Dr. Suparto, M.Ed. Ph.D, selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Drs. Jumroni, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum, dan Dr. H. Sunandar, MA selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

iii

Komunikasi Penyiaran Islam Ibu Fita Fathurakhman M.si yang telah membantu dan memberikan motivasi serta menuntun penulis dalam menempuh pembuatan skripsi.

3. Bapak Dr. H. Sunandar, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu, membimbing penulis dalam membuat skripsi yang baik dan benar.

4. Bapak Drs. Hamdani, MA, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan kepada penulis terima kasih.

5. Seluruh Dosen dan Staff Tata Usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atas segala pengetahuan dan pengalaman berharga sehingga penulis bisa menyelesaikan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Seluruh staff Perpustakaan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Perpusatakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam mencari bahan referensi penelitian ini.

7. Kedua orang tua yang sangatpenuliscintai, Bapak H. Jepri Siddik dan Ibu Hj. Clara Nainggolan, yangdengansegenaphatimerekatidak pernah lelah dan penuh kesabaran dalam mendidik anak-anaknya, terimakasih untuk kasih sayang, do’a-do’a, serta nasihat-nasihatnya. Kakak-kakakpenulis Silky AgustoniaJericdanMirantySeptoniaJericsertakakakiparpenulisIrwan Faisal

dan Semi Riawanyang senantiasamemberikansemangat,


(8)

iv

sama.

8. Kepada kedua keponakan penulis Izzeldane Rajaby Irwasky dan Khaidera

Imadeldane Irwaskyyang

selalumembawadanmemberikankeceriaansertasemangatkepadapenulis.

9. Sahabat-sahabat setia KhairinaSabila, UrniaYumalita, Marliana, dan Nadia Pratama. Terimakasihbanyaksudahmenemanipenulisselama 4 (empat) tahun inidalamkeadaansusahmaupunsenang.

10. Teman seperjuangan penulis Rosma Aliah, Nurmaliza Nazarani, Popy Lukitawati selama menyelesaikan skripsi ini selalu menemani penulis dalam keadaan apapun.

11. Teman-teman KLISE FOTOGRAFI yang

memberikanartikebersamaandanpengalamanserutakterlupakanuntukpenulis. 12. Para senior kakArga, kakFaqih, kakAldi, KakSendi, yang selalu

memberikanjawabansetiap kali penulisbertanya.

13. Teman-teman dari KKN TUNAS 2013, Aziz, Fafaw, Jawa, Nia, Eya, Ryan, Bang Wahyu, Muamar, Titi, Winda, Encem, Azar, Terima kasihuntuk kekompakan dan keseruan yang kalian berikan selama satu bulan penuh sampai saat ini.

14. Teman-teman KPI A, KPI B, KPI C, KPI D, KPI E, KPI F dan KPI G angkatan 2010 yang telah banyak memberikan kenangan selama masa kuliah, terima kasih.


(9)

v

SWT membalas kebaikan dan jasa kalian semua. Penulis memohon maafapabila melakukan kesalahan dalam penulisan skripsi ini baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Semogaskripsi ini bisa bermanfaat bagi para pembaca. Amiiin Yaa Robbal Aalamiin.

Wassalam

Jakarta, 10 Oktober2014


(10)

vi

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Metodologi Penelitian ... 5

E. Tinjauan Pustaka ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

A. Tinjauan Umum Film ... 10

1. Definisi Film ... 10

2. Sejarah Film ... 12

3. Jenis dan Klasifikasi Film ... 14

4. Sinematografi ... 17

5. Film sebagai Media Dakwah ... 19

6. Hubungan Film dengan Kebudayaan ... 20

B. Tinjauan Umum Semiotika ... 22

1. Konsep Dasar Semiotika ... 22

2. Konsep Semiotika Roland Barthes... 26

C. Komunikasi AntarBudaya 1. Definisi Komunikasi AntarBudaya ... 31

2. Unsur-unsur Komunikasi AntarBudaya ... 36

BAB III GAMBARAN UMUM FILM ... 41


(11)

vii

A. Objek Semiotik dalam Film Eat, Pray, Love ... 55

B. Pengantar Adegan dalam Film Eat, Pray, Love ... 58

BAB V PENUTUP ... 80

A. Kesimpulan ... 80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

viii

2. Trikotomi Ikon/ Indeks/ Simbol Pierce ... 26 3. Peta Tanda Roland Barthes ... 29 4. Analisis Tanda Denotasi, Konotasi, Mitos ... 63


(13)

ix

Sistem Kepercayaan, Nilai, dan Sikap ... 68 2. Analisis Potongan Scene Terhadap Unsur-unsur Komunikasi Antarbudaya,

Unsur Pandangan Dunia (World View) ... 71 3. Analisis Potongan Scene Terhadap Unsur-unsur Komunikasi Antarbudaya,


(14)

1

A. Latar Belakang

Eat, Pray, Love merupakan film yang bergenre drama Amerika

Serikat pada tahun 2010. Film ini didasari dari novel Eat, Pray, Love yang kisahnya merupakan kisah nyata dari penulis novel itu sendiri, yang bernama Elizabeth Gilbert. Dalam proses pembuatannya, film ini berlokasi di 3 negara besar yang pertama Iltali kemudian berpindah ke India dan terakhir di Indonesia (Bali).

Film ini bercerita tentang si penulis novel yang merasa ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya, sehingga dia memutuskan untuk pergi ke 3 negara besar yaitu Itali, India, dan Indonesia (Bali). Dia memilih Itali karena disana ia ingin merasakan bebasnya hidup tanpa ada rasa beban sama sekali. Kemudian dia memilih India karena dia ingin mendekatkan diri kepada Tuhan karena selama ini ia merasa sangat jauh dengan Tuhan, dan yang terakhir dia memilih untuk pergi ke Indonesia (Bali) karena disana ia ingin mencari keseimbangan hidup, ketenangan jiwa atau spiritual.

Film Eat, Pray, Love bukan hanya sekedar film yang bercerita tentang

kisah nyata perjalanan seorang penulis novel dalam menemukan sesuatu yang hilang dalam dirinya, namun film ini juga mencoba untuk memperlihatkan bagaimana cara berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda bahasa serta budaya. Film ini juga memperlihatkan potret kebiasaan atau budaya diketiga Negara tersebut.


(15)

Dalam menjelajahi 3 negara besar, komunikasi antarbudaya sangat dibutuhkan disini. Karena tanpa berkomunikasi, kita tidak dapat mendapatkan

feedback dari segala sesuatu yang kita dan orang lain inginkan. Komunikasi

antarbudaya menurut Alo Liliweri adalah definisi yang paling sederhana dari komunikasi antarbudaya yaitu menambah kata budaya ke dalam pernyataan

“komunikasi antara dua orang/lebih yang berbeda latar belakang kebudayaan”.1

Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan. Karena budaya dan komunikasi sama-sama menentukan siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisi untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat tinggal kita sendiri. Budaya merupakan landasan komunikasi jadi bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula komunikasinya.2

Film adalah medium komunikasi massa yang ampuh, bukan hanya untuk hiburan tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Film digunakan untuk menyampaikan suatu pesan dan membantu untuk memberikan suatu penjelasan kepada masyarakat. Menikmati cerita dalam film lebih menarik dari pada membaca buku atau novel.3

1

Dr. Alo Liliweri, M.S., Dasar-dasar Komunikasi AntarBudaya, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007), h. 8

2 Dr. Deddy Mulyana, M.A dan Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. Komunikasi

Antarbudaya Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 2006), h. 19

3 Prof. Onong Uchjana Effendy.,M.A. Ilmu, Teori, Dan Filsafat Komunikasi, (Bandung:


(16)

Cerita dalam novel atau buku biasanya lebih cenderung menggunakan huruf-huruf, sehingga membuat masyarakat harus membaca dengan teliti. Karena setiap huruf itu adalah sebuah tanda yang memiliki arti atau pesan. Jadi masyarakat yang membaca sebuah cerita di dalam buku atau novel harus benar-benar mengerti akan arti atau pesan yang disampaikan cerita di dalam buku atau novel tersebut. Berbeda dengan cerita dalam film. Di dalam film, masyarakat tidak perlu membaca dengan teliti. Karena film menyajikan cerita berupa tingkah laku para pemain cerita di dalam film tersebut. Sehingga ceritanya terlihat seperti kenyataan.

Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Rangkaian gambar dalam film menciptakan imajinasi dan sistem penandaan. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (Meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. 4

Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang memiliki perbedaan latar belakang budaya. Proses penyampaian informasi, gagasan atau perasaan di antara mereka disampaikan dengan cara lisan atau tertulis, bahasa tubuh,

4 Drs. Alex Sobur, M.Si. Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,


(17)

gaya atau tampilan pribadi, atau bantuan hal-hal lain yang ada di sekitar mereka agar pesan atau informasi yang ingin disampaikan jelas maksud dan tujuannya.5

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis memberikan judul “Komunikasi Antarbudaya (Analisis Semiotik dalam Film Eat, Pray, Love)”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Untuk lebih memfokuskan penelitian dan memberi arah yang tepat dalam pembatasan masalah ini sehingga tidak terlalu meluasnya pembahasan, maka dalam penelitian ini penulis membatasi masalah dengan mengambil adegan-adegan yang berhubungan dengan komunikasi antarbudaya dalam film

Eat, Pray Love yang berupa potongan-potongan adegan dan teks dari film Eat,

Pray, Love.

Berdasarkan batasan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yaitu sebagai berikut:

1. Apa makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam film Eat, Pray, Love? 2. Bagaimana unsur-unsur komunikasi antarbudaya dibentuk, dikemas, dan

ditetapkan dalam film Eat, Pray, Love? C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

5

Dr. Alo Liliweri, M.S., Dasar-dasar Komunikasi AntarBudaya, (Yogyakarta: Pustaka


(18)

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ingin mengetahui makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam film

Eat, Pray, Love melalui konsep semiotika Roland Barthes yang

menjelaskan tentang makna denotasi, konotasi, dan mitos.

2. Ingin mengetahui bagaimana unsur-unsur komunikasi antarbudaya dibentuk, dikemas, dan ditetapkan dalam film Eat, Pray, Love. 2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan bisa menambah keilmuan para mahasiswa/i ilmu komunikasi dalam mengkaji semiotika, khususnya semiotika dalam film yang dalam penelitian ini menggunakan analisis model Roland Barthes.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan bisa memjadi contoh kepada para mahasiswa/I untuk mengetahui cara menggali makna dalam sebuah proses media massa, khususnya film dengan menggunakan analisis semiotika.

D. Metodologi Penelitian 1. Metode

Semiotika merupakan salah satu analisis isi yang menggunakan pendekatan analisis isi kualitatif. Kemudian metode yang digunakan adalah deskriptif, yaitu penelitian yang memberikan gambaran secara


(19)

objektif, dengan menggambarkan pesan-pesan secara simbolis dalam film Eat, Pray, Love.

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kediaman penulis yaitu, Ciputat, Tangerang Selatan. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan selama maksimal enam bulan sesuai dengan ketentuan yang diberikan. Terhitung dari tanggal 28 April 2014 sampai dengan 28 Oktober 2014.

3. Objek dan Subjek Penelitian

Adapun subjek penelitian ini adalah film Eat, Pray, Love. Dan yang menjadi objeknya adalah potongan-potongan gambar atau visual yang terdapat dalam film Eat, Pray, Love yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data-data dikumpulkan dibagi menjadi dua bagian yang mengamati langsung data-data yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Adapun instrument penelitiannya adalah:

1)Data Primer, berupa dokumen elektronik satu keping DVD Original film

Eat, Pray, Love dengan teks bahasa Indonesia dan Inggris.

2)Data Sekunder, berupa dokumen tertulis, yaitu seperti resensi film Eat,

Pray, Love baik dari majalah, artikel di internet, dan buku-buku yang


(20)

5. Tehnik Analisis Data

Analisis data penelitian ini diawali dengan mengklasifikasikan adegan-adegan film Eat, Pray, Love yang berhubungan dengan rumusan masalah. Kemudian, data dianalisis dengan menggunakan konsep semiotika Roland Barthes yaitu dengan cara menganalisis setiap adegan yang berhubungan dengan rumusan masalah berupa makna denotasi, konotasi, dan mitos.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam menentukan judul skripsi ini, penulis mengadakan tinjauan kepustakaan di Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Jakarta. Banyak judul skripsi mahasiswa/i Universitas Islam Negeri Jakarta yang meneliti tentang Analisis Semiotika Film, yaitu diantaranya adalah Uray Noviandy Taslim (108051000190) yang meneliti tentang “Semiotika Perjuangan “Said Nursi” Menulis Kitab Risalah Nur dalam Film Nur Adam”. Dalam penelitiannya, uray menggunakan metode analisis Roland Barthes dan Christian Metz karena keduanya adalah tokoh penting yang memperkenalkan metode semiotika film. Adapun konsep yang ingin diteliti oleh uray adalah perjuangan Said Nursi menulis kitab risalah dalam film Nur Adam.6

Ika Kurnia Utami (108051000094) meneliti tentang “Semiotika

Taubat dalam Film Mama Cake”. Dalam penelitiannya, ika menerapkan metode analisis Roland Barthes kemudian dikaitkan dengan komponen elemen

6Uray Noviandy Taslim, “Semiotika Perjuangan “Said Nur” Menulis Kitab Risalah Nur dalam Film Nur Adam” S1, (Jakarta: Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi


(21)

semiotika Steven Campsall, yang mengkaji tentang sinematografi pada adegan-adegan yang diteliti.7

Rinal Rinoza (104051001846) memiliki judul skripsi “Perspektif

Komunikasi AntarBudaya dalam Film Al-Kautsar”. Disini rinal meneliti

dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis. Metodologi ini digunakan karena sesuai dengan konteks Film Al-Kautsar yang mengisahkan perbedaan antara kedua pemahaman dalam menginterpretasikan ajaran agama islam dan keteguhan tokoh protagonis dalam menggunakan kebenaran menuju perubahan di penduduk desa sekarlangit.

Dari beberapa tinjauan pustaka diatas, maka penulis ingin mengkaji tentang unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang dibentuk, dikemas, dan ditentukan didalam film Eat, Pray, Love. Kemudian dalam penelitian ini, penulis mengunakan konsep semiotika Roland Barthes, yang menjelaskan tentag makna denotasi, konotasi, dan mitos.

F. Sistemika Penulisan

Skripsi ini dalam penulisannya akan dibagi menjadi 5 (lima) bab, dan masing-masing bab akan dibagi-bagi lagi menjadi sub-sub bab, yaitu sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan, Pada bab ini, dijelaskan apa saja yang akan

dibahas dari Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan

7 Ika Kurnia Utami, “Semiotika Taubat dalam Film Mama Cake” S1, (Jkarata:

Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013)


(22)

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka serta Sistematika Penulisan.

BAB II : Tinjauan Teoritis terdiri dari Defini dan Konsep Film, Definisi

dan Konsep Semiotika, dan Definisi dan Konsep Komunikasi AntarBudaya.

BAB III : Gambaran umum Film Eat, Pray, Love, Ringkasan Film dan profil tentang sutradara beserta pemeran dan crew dalam film Eat,

Pray, Love.

BAB IV : Analisis Semiotika Film Eat, Pray, Love. Berisi tentang hasil penelitian.


(23)

10

A. Tinjauan Umum Film 1. Definisi Film

Film hadir ke tengah kehidupan maysrakat sebagai suatu hasil produksi yang melibatkan banyak tenaga, modal dan peralatan. Tenaga yang diperlukan membutuhkan kualifikasi tertentu. Pada tingkat tertentu tenaga-tenaga yang terlibat dalam produksi film harus merupakan tenaga yang professional. Sebagai suatu hasil produksi, film sebagaimana juga hasil produksi lainya dituntut untuk memuaskan masyarakat. Dan masyarakat sebagai konsumen mempunyai faktor-faktor determinan yang ikut menetukan arah dan lenturnya tuntutan pada suatu hasil produksi.1

Film adalah bagian kehidupan sehari-hari dalam banyak hal. Bahkan ketika kita sedang bicara sangat dipengaruhi oleh metafora film. Pada mulanya film tumbuh dengan menyerap penemuan-penemuan yang telah atau yang tengah terjadi, baik sains, teknologi, dan estetika, seperti fotografi, kinetograf, dan fonograf. Hasil dari beberapa penemuan itu terwujud dalam senimatograf, sebuah mesin yang sekaligus bisa difungsikan sebagai kamera dan proyektor, sehingga memungkinkan sebuah film bisa ditonton oleh banyak orang dalam satu waktu.2

Selama ini kita dapat mengikuti perkembangan film sebagai suatu transformasi yang memperoleh sukses. Sejak dimulai dengan apa dengan

1 Drs. Ton Kertapati, Dasar-dasar Publisistik, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), hal 209

2 Misbach Yusa Biran, sejarah film 1900-1950: bikin film jawa, (Jakarta: Komunitas


(24)

apa yang disebut nickelodeon, hingga mencapai tinngkatan seni

stereoscopic, film senantiasa popular dikalangan masyarakat. Dan sebagai

suatu karya seni, maupun alat hiburan atau komersial film selalu berada di tengah-tengah masyarakat manusia. Kemudian film juga memiliki keunggulan-keunggulan yang khusus didalam menciptakan ruang dan waktu tertentu dalam dunia imajinasi publik penontonnya.

Sejalan dengan impressi visual yang semakin sempurna, tekhnik suara yang dibawakan oleh film pun semakin maju. Dunia dari suara telah dapat disaring dan dipecah-pecah sampai ke unsur-unsurnya, untuk kemudian secara selektif diciptakan kembali dalam suatu bentuk suara synthesis yang harmonis dan memberikan kesegaran dan kepuasan baru bagi mass

audience nya.3

Film memiliki definisi yang beragam, tergantung dari sudut pandang orang yang mendefinisikannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret).

Menurut UU No. 23 Tahun 2009 tentang Perfilman, Pasal 1 menyebutkan bahwa film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah senimatografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.

Menurut Onong Uchjana Effendy dalam Kamus Komunikasi, film adalah media yang bersifat visual atau audio visual untuk menyampaikan pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul disuatu tempat.

3


(25)

Amura dalam bukunya Perfilman Indonesia dalam Era Baru, mengatakan bahwa film bukan semata-mata barang dagangan melainkan alat penerangan dan pendidikan. Film merupakan karya sinematografi yang dapat berfungsi sebagai alat Cultural Education atau Pendidikan Budaya. Dengan demikian film juga efektif untuk menyampaikan nilai-nilai budaya.

Secara umum film memiliki empat fungsi yaitu film sebagai alat hiburan, film sebagai sumber informasi, film sebagai alat pendidikan, dan film sebagai pencerminan nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa.4

2. Sejarah Film

Awal industri film kebanyakan dibangun oleh wirausaha yang ingin mendapatkan uang dengan menghibur semua orang. Laumiere bersaudara adalah ahli mesin yang hebat, dan ayah mereka memiliki pabrik pembuat plat fotografis. Film mereka yang pertama lebih kecil dari pada film hitam-putih. Film yang ditampilkan hanya berisi kisah-kisah yang sederhana. Tidak ada penyunting, kameranya hanya dinyalakan, kemudian dimatikan saja. Tidak ada transisi pudar, hapus atau kilas balik. Tidak ada grafis komputer, tidak ada dialog, dan tidak ada musik. Namun demikian, banyak penonton yang takut melihat lokomotif sistematis yang seperti berjalan kearah mereka. Mereka sama sekali buta dengan bahasa film.

Khalayak untuk menonton film pertama Lumiere tidak dapat berbicara bahasa film. Menonton film bagaikan sedang terdampar di negeri asing yang tidak anda ketahui bahasa dan budayanya. Anda harus


(26)

dapat berhasil dengan setiap pengalaman baru yang membantu anda memahami bahasa dan orang-orangnya dengan lebih baik. Mereka harus mengembangkan pemahaman perubahan sinematik dalam ruang dan waktu. Mereka harus mempelajari bagaimana gambar dan suara digabungkan untuk menciptakan suatu makna. Pembuat film dan penonton harus tumbuh secara bersama-sama.5

Pendahulu teknis film adalah fotografi. Penemuan tahun 1727 bahwa cahaya menyebabkan nitrat perak menjadi gelap adalah dasar dari perkembangan teknologi film. Demikian pula fenomena manusia yang disebut persistensivisi. Mata manusia menangkap gambar selama sepersekian detik. Jika serangkaian foto menangkap sesuatu yang bergerak dan jika foto itu digerakkan secara berurutan dengan cepat, maka mata manusia akan melihatnya sebagai gambar yang bergerak tak putus-putus.

Yang diperlukan adalah kamera yang tepat dan film untuk menangkap sekitar 16 gambar per detik. Peralatan ini muncul pada 1888. William Dickson dari laboratorium Thomas Edison mengembangkan sebuah kamera film. Dickson dan Edison menggunakan film seluloid yang kemudian disempurnakan oleh George Eastman, yang memperkenalkan kamera Kodak. Pada 1891 Edison telah mulai memproduksi film.

Film Edison dilihat dengan cara melongok ke sebuah kotak. Di Perancis, Lumiere bersaudara, yakni Auguste dan Louis, menggunakan proyeksi untuk film. Dengan memutar film di depan sebuah lampu yang terang, Lumiere bersaudara memproyeksi gambar film ke tembok. Pada

5 Stanleyn J. Baran, Pengantar Komunikasi Massa Melek Media & Budaya, (Jakarta: PT.


(27)

tahun 1895 mereka membuka hall eksibisi di Paris yaitu bioskop pertama. Edison menyadari keuntungan komersial dari proyeksi itu dan dia sendiri mematenkan proyektor Vitascope, yang dipasarkan pada 1896.6

Di Indonesia film dikenal dengan nama Gambar Idoep. Gambar idoep muncul di Batavia dan untuk pertama kalinya dipertontonkan pada warga adalah pada tanggal 5 desember 1900. Pertunjukkan film berlangsung di Tanah abang, Kebonjae. Film Indonesia mulai muncul pada masa penjajahan Belanda. Film pertama yang diputar adalah film dokumenter tentang peristiwa yang terjadi di Eropa dan Afrika Selatan, termasuk film dokumenter tentang politik yang berisi gambar Sri Baginda Maha Ratu Belanda bernama Yang Mulia Hertog Hendrig memasuki kota

DenHaag.

Belanda mendirikan bioskop pada masa jajahannya di Indonesia. Pada awal munculnya film diputar di bioskop. Beberapa bioskop yang terkenal pada masa itu adalah bioskop Rialto di Tanah Abang (kini menjadi bioskop surya). Pada tahun 1926, bioskop Indonesia diramaikan dengan munculnya film Loetoeng Kasaroeng. Cerita film ini diangkat dari cerita legenda rakyat Jawa Barat. Film ini tergolong sukses pada masanya, bahkan sempat diputar selama satu minggu penuh di Bandung.7

3. Jenis-jenis dan Klasifikasi Film

a. Jenis-jenis Film

Ada tiga jenis film yang umum dikenal, yaitu film fitur, film dokumenter, dan film animasi atau kartun. Berikut ini penjelasannya:

6 John Vivian, Teori Komunikasi Massa, (Jakarta: Putra Grafika, 2008) hal. 161


(28)

1) Film fitur merupakan karya fiksi yang strukturnya selalu berupa narasi, yang dibuat dalam tiga tahap, yang pertama tahap praproduksi, tahap produksi dan tahap post-produksi. Tahap praproduksi merupakan periode ketika skenario diperoleh. Skenario bisa berupa adapatsi dari novel, cerita pendek, atau karya lainnya. Tahap produksi merupakan masa berlangsungnya pembuatan film berdasarkan skenario. Kemudian tahap post-produksi (editing) ketika semua bagian film yang pengambilan gambarnya tidak sesuai dengan urutan cerita, disusun menjadi suatu kisah yang menyatu.

2) Film dokumenter merupakan film nonfiksi yang menggambarkan situasi kehidupan nyata dengan setiap individu menggambarkan perasaannya dan pengalamannya dalam situasi yang apa adanya. Film dokumenter (documentary film) didefinisikan oleh Robert Flaherty sebagai karya ciptaan mengenai kenyataan (creative treatment of actuality). Berbeda dengan film berita yang merupakan kenyataan, maka film dokumenter merupakan hasil interpretasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut.

3) Film Animasi atau (cartoon film) dibuat untuk dikonsumsi anak-anak. Tujuan utama dari film kartun adalah untuk menghibur. Walaupun tujuan utamanya adalah untuk menghibur, tapi terdapat pula film-film kartun yang mengandung unsur-unsur pendidikan. Animasi merupakan teknik pemakaian film untuk


(29)

menciptakan ilusi gerakan dari serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Pada masa kini, hampir semua film animasi dibuat secara digital dengan komputer.8

b. Klasifikasi Film

Mengklasifikasikan film dalah berdasarkan genre. Genre secara umum membagi film berdasarkan jenis dan latar ceritanya. Istilah

genre berasal dari bahasa Perancis yang bermakna “bentuk” atau “tipe”. Pada dasarnya istilah genre mengacu pada istilah Biologi yaitu genus yang artinya sebuah tingkatakan klasifikasi untuk flora dan fauna yang tikatannya berada diatas spesies.

Dalam film, genre merupakan jenis dari sekelompok film yang mempunyai karakter atau pola sama (khas) seperti setting, isi dan subyek cerita. Dari klasifikasi itu muncullah genre-genre popular seperti aksi, petualangan, drama, komedi, horror, film noir, roman dan sebagainya.

Macam-macam genre yang paling umum dan sudah kita ketahu adalah sebagai berikut:

1) Action-Laga

Film yang biasanya bercerita tentang perjuangan hidup yang pemeran ini biasanya di perankan oleh orang yang ahli untuk mempertahankan diri dalam sebuah pertarungan di dalam film. 2) Comedy-Humor


(30)

Jenis film yang menggunakan faktor kelucuan dalam penyajiannya. Genre ini biasanya paling digemari dan bisa menambah segmentasi penonton.

3) Roman-Drama

Genre ini juga menjadi yang terpopuler dikalangan masyarakat karena lebih terlihat nyata seperti kehidupan sehari-hari.

4) Mistery-Horor

Genre ini adalah genre khusus dalam dunia perfilman. Karena genre ini memiliki cakupan yang sempit dan pembahasannya sering kali diulang bahkan tidak diganti-ganti.9

4. Sinematografi

Yaitu perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan antara kamera dan objek yang akan di ambil gambarnya. Cut, close up, two

shot, zoom in, slow motion, dan lain-lain, itu semua merupakan

istilah-istilah dalam bidang sinematografi. Berikut penjelasan masing-masing istilah sinematografi:

1) Acting adalah sebuah proses pemahaman dan penciptaan tentang

perilaku dan karakter pribadi dari seseorang yang diperankan.

2) Action adalah gerak laku pemeran, yang terjadi dalam suatu

adegan.

3) Addes scene yaitu penambahan adegan.

4) Angle adalah sudut pengambilan gambar

9 M. Bayu Widagdo & Winastwan Gora S, Bikin Film Indie itu Mudah!, (Yogyakarta: C.V.


(31)

5) Animator adalah sebutan bagi seorang yang berprofesi sebagai pembuat animasi

6) Art department atau bagian artistik bertanggung jawab terhadap

rancangan set film

7) Art director yaitu pengarah artistik dari sebuah produksi

8) Asisten producer adalah seorang yang membantu produser dalam

menjalankan tugas

9) Camera department adalah orang yang bertanggung jawab untuk

merawat dan menjaga semua peralatan kamera yang dibutuhkan untuk memfilmkan sebuah motion picture. Camera departement juga bertanggung jawab untuk penanganan film, pengisian film, dan berhubungan dengan laboraturium pemprosesan.

10) First Cameraman atau Penata Fotografi (Director of

Photography), bertanggung jawab terhadap pergerakan dan

penempatan kamera dan juga pencahayaan dalam suatu adengan.

11)Second cameraman bertindak sesuai intstruksi dari kameramen

utama dan melakukan penyesuaian pada kamera atau mengoperasikan kamera selama syuting.

12)Costume designer yaitu orang yang merancang dan memastikan

produksi kostum secara sementara maupun permanen untuk sebuah film.

13)Cut atau Hold merupakan perintah dari sutradara agar adegan

diberhentikan namun pemain tetap berada dalam posisi awal pada saat syuting berlangsung.


(32)

14)Cut Back yaitu tehnik mengubah gambar dalam film secara cepat dari adegan yang sekarang ke adegan lain yang telah dilihat sebelumnya.

15)Fade in adalah transisi gambar dari gelap ke terang dengan cara

lambat.

16)Fade out adalah transisi gambar dari terang ke gelap dengan cara

lambat.

5. Film Sebagai Media Dakwah

Dakwah adalah mengajak orang lain agar menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-nya. Namun secara syar’i, makna dakwah adalah menjalankan perintah Allah SWT, baik berupa perkataan maupun perbuatan, serta meninggalkan semua larangan Allah baik perbuatan ataupun perkataan.10

Di era informasi sekarang ini, media menjadi suatu hal yang tidak bisa lepas dari masyarakat. Aktifitas dakwah tidak akan berjalan jika tidak menggunakan alat atau media. Dan salah satu media yang cukup berkembang pesat pada saat ini adalah film. Film merupakan salah satu jenis media yang dapat memberikan pengaruh besar kepada masyarakat. Oleh karena itu film dapat menjadi media yang cukup efektif dalam menjalanan dakwah.

Dengan film kita dapat memperoleh informasi dan gambaran tentang realitas tertentu yang sudah diseleksi. Seorang sutradara akan memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan, dan akan mengesampingkan tokoh lain yang dianggap tidak pas untuk ditampilkan.

10 Fawwaz bin Hulayyil as-Suhaimi, Begini Seharusnya Berdakwah, (Jakarta: Darul Haq,


(33)

Lewat peran yang dimainkan tokoh-tokoh tersebut, film dapat menyajikan pengalaman imajiner bagi para penontonnya, merindukan pengalaman ideal yang diidamkannya, atau imajiner itu akan ikut membentuk sikap dan perilaku khalayak yang menyaksikannya. Pengalaman hidup yang dihadirkan oleh sosok pribadi terpuji yang menegakkan kebajikan serta ikut memengaruhi sikap dan konsep idealisasi hidup untuk melihatnya.11

Islam bukanlah agama ritual semata. Sebagian orang juga telah menganggap Islam sebagai falsafah dan jalan hidup. Itu berarti upaya untuk mengajak orang lain untuk mengikuti agama Islam sebagai jalan hidup (way of life) individu maupun kehidupan sosial politik, harus dilakukan sebagik mungkin.

Islamisasi melalui media film, juga merupakan wacana penting di era digital ini. Hal ini dikarenakan sifat dari penikmat film yang tergolong gencar memakai budaya konsumsi kontemporer. Islam, dalam kasus ini, dapat ditampilkan dengan segar, menarik, hybrid dan modern dalam rangka menjadikan Islam sebagai agama yang relevan dengan budaya yang saat ini sedang didominasi kaum kapitalis.12

6. Hubungan Film dengan Kebudayaan

Film mempunyai kesanggupan untuk menciptakan suatu realitas rekaan sebagai bandingan terhadap realitas. Realitas yang ditampilkan dalam film adalah realitas yang dibangun oleh pembuat film dengan mengangkat nilai-nilai atau unsur budaya yang terdapat di dalam

11 Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Dakkwah, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media,

2012), h. 112

12 Andi Faisal Bakti, Globalisasi: Dakwah Cerdas Era Globalisasi: Antara Tantangan dan


(34)

masyarakat. Atau sebaliknya, realitas rekaan yang ditampilkan dalam film kemudian menjadikan sebuah bentukan budaya yang diikuti oleh penonton.

Deddy Mulyana menyatakan hubungan film dan budaya bersifat timbal balik. Sama halnya dengan komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa komunikasi adalah budaya dan budaya adalah komunikasi. Pada satu sisi komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya.

Film adalah bagian dari produk budaya yang didalamnya juga memuat nilai-nilai budaya, sehingga film juga menjadi media efektif untuk menanamkan nilai budaya. Menurut Deddy Mulyana hubungan film dan budaya saling mempengaruhi. Di satu sisi, film seperti media massa pada umumnya merupakan cerminan kondisi masyarakat. Nilai, norma, dan gaya hidup yang berlaku pada masyarakat akan disajikan dalam film yang diproduksi. Namun, di sisi lain film juga berkuasa menetapkan nilai-nilai yang penting dan perlu dianut oleh masyarakat, bahkan nilai-nilai yang rusak sekalipun. Artinya tidak setiap film dapat dijadikan media


(35)

pendidikan, sebab banyak film-film yang isinya dapat merusak moral dan budaya anak bangsa.

Tidak semua film dapat dijadikan media pembelajaran atau pendidikan karakter. Meskipun sesungguhnya setiap film yang diproduksi dan beredar selalu mencerminkan budaya masyarakat pada masanya. Film-film yang bertema hantu, sebenarnya merupakan rekaman budaya masyarakat. Artinya di dalam film-film tersebut terkandung nilai-nilai budaya. Namun unsur entertainment atau hiburannya mendapat porsi yang lebih dominan, sehingga kurang tepat dijadikan media pendidikan budi pekerti atau karakter. Karena ingin menghibur, tak jarang film-film ini memasukkan unsur adegan yang berbau seks yang vulgar, sehingga dapat mempengaruhi mental remaja yang menontonnya.13

Film bertema cinta juga mengandung nilai-nilai budaya pada masanya. Namun, film-film yang mengangkat budaya popular kerap kali terjebak pada unsur hiburan semata dan jatuh pada tema roman picisan, sehingga kurang memberikan pendidikan berharga bagi penontonnya. Film-film dengan tema hantu dan cinta memang dibuat untuk tujuan komersil saja sehingga tak jarang film-film seperti itu lebih mengedepankan sisi hiburannya saja.

B. Tinjauan Umum Semiotika 1. Konsep dasar Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeionyang berarti „tanda’ atau seme yang berarti „penafsir tanda’. Kata semiotika atau semiologi

13


(36)

memiliki beberapa istilah dalam sejarah linguistik yaitu semasiologi,

sememik, dan semik. Nama bidang studi yang disebut “semiotika” telah

muncul di Negara-negara Anglo-Saxon. Seseorang menyebut semiologi jika dia berfikir tentang tradisi Saussurean. Dalam penerbitan-penerbitan Prancis, istilah semiologie kerap dipakai. Elements de Semiologie, adalah salah satu judul yang dipakai oleh Roland Barthes. Namun istilah

semiotics digunakan dalam kaitannya dengan karya Charles Sanders Pierce

dan Charles Morris.

Kedua istilah semiotics dan semiologie sebenarnya memiliki arti yang sama. Baik semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu tentang tanda. Satu-satunya perbedaan kedua istilah ini adalah bahwa istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa, sedangkan semiotika cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris.14

Dalam definisi Saussure, semiologi merupakan sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat. Tujuan semiologi adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang mengaturnya. Kemudian istilah semiotika atau semiotik, yang muncul pada abad ke-19 oleh filsuf aliran pragmatik Amerika, Charles Sanders Pierce, merujuk pada doktrin formal tentang tanda-tanda. Yang menjadi dasar pada semiotika adalah konsep tentang tanda, tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh

14


(37)

tanda, melainkan dunia itu sendiri pun ikut terkait sejauh hubungannya dengan realitas.

Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna

(meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda.

Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda tersebut disusun.15

Semiotika seperti kata Lechte adalah teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelas lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana sign

„tanda-tanda’. Hjelmslev mendefinisikan tanda sebagai suatu

keterhubungan antara wahana ekspresi (expression plan) dan wahana isi

(content plan). Cobley dan Jansz menyebutnya sebagai “discipline is

simply the analysis of signs or the study of the functioning of sign systems

artinya adalah ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi. Charles Sanders Pierce mendefinisikan semiosis sebagai “a relationship among a sign, an object, and a meaning” yang berarti suatu hubungan di antara tanda, objek, dan makna.

Dua aspek tanda memiliki nama standar. Kesan mental bunyi disebut penanda dan konsep umum yang dimunculkan disebut petanda. Dengan kata lain, satu aspek tanda bertindak menandakan. Aspek lainnya


(38)

adalah apa yang ditandakan. Relasi di antara keduanya disebut sistem tanda (signification).

Tabel 1: Petanda dan Penanda

Penanda adalah kesan indrawi suatu tanda.

Contoh: imaji mental meninggalkan marka (marks) pada sebuah halaman kertas, atau imaji mental bunyi udara.

Petanda adalah konsep yang dimunculkan sebuah tanda.

Relasi antara penanda dan petanda, cara kesan indrawi „menunjuk pada’ atau

memunculkan suatu konsep, disebut sistem pertandaan (signification).

Kedua istilah ini merupakan istilah yang berguna untuk menekankan dua cara berbeda bagaimana sebuah tanda harus berfungsi agar bisa menjadi tanda. Penanda dan petanda selalu berjalan bersama.16

Ferdinand de Saussurean mengatakan bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep dimana citra bunyi disandarkan. Pandangan Saussurean ini merupakan manifestasi konkret dari citra bunyi dan ini sering diidentifikasi dengan citra bunyi itu sebagai penanda

(signifier). Dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep sebagai dua

komponen yang tak terpisahkan. Bagi Saussurean, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbiter (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Prinsip arbiteran bahasa atau tanda tidak dapat diberlakukan secara mutlak atau sepenuhnya. Ada tanda-tanda yang benar-benar arbiteran, tetapi ada pula yang hanya relatif. Keartbiteran bahasa

16 Tony Thwaites, dkk, Introducing Cultural And Media Studies Sebuah Pendekatan


(39)

sifatnya bergradasi. Disamping itu, ada pula tanda-tanda yang bermotivasi, yang relatif non-arbitrer.

Kemudian Charles Sanders Pierce menyatakan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Pierce menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab-akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional. Berikut ini tabel yang bisa memperjelas:

Tabel 2: Trikotomi Ikon/ Indeks/ Simbol Pierce17

TANDA IKON INDEKS SIMBOL

Ditandai dengan: Contoh: Proses Persamaan (kesamaan) Gambar-gambar Patung-patung Tokoh besar Foto Reagan Dapat dilihat Hubungan sebab-akibat Asap/ api Gejala/ penyakit

Bercak merah/ campak Dapat diperkirakan

Konvensi

Kata-kata Isyarat

Harus dipelajari

2. Konsep Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Ayahnya seorang perwira angkatan laut, meninggal dalam sebuah pertempuran di Laut Utara. Sepeninggalan ayahnya, Barthes kecil di asuh oleh ibu, kakek, dan neneknya.


(40)

Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama, eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Bartens menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 70-an. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.

Barthes telah menulis banyak buku, dan beberapa diantaranya telah menjadi bahan rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Dalam bukunya yang terkenal, S/Z (1970), yang oleh Bartens pantas disebut sebuah buku dengan judul cukup aneh. Buku ini merupakan salah satu contoh bagus tentang cara kerja Barthes. Dalam buku ini Barthes menganalisa sebuah novel kecil yang relatif kurang dikenal, berjudul

Sarrasine, ditulis oleh sastrawan Prancis abad ke-19, Honore de Balzac.

Dalam penilaian John Lechte, buku ini ditulis Barthes sebagai upaya untuk mengeksplisitkan kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis. Barthes berpendapat bahwa Sarrasine ini terangkai dalam kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode. Ada lima kode yang ditinjau oleh Barthes yaitu, kode

hermeneutic (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode

simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dan kode gnomic atau kode


(41)

Pada tahun 1954-1956, sebuah rangkaian tulisan muncul dalam majalah Prancis, Le Letters nouvelles. Pada setiap terbitannya Roland Barthes membahas “Mythology of the Month” (Mitologi Bulan Ini), sebagian besar dengan menunjukkan bagaimana aspek denotatif tanda-tanda dalam budaya pop menyikapkan konotasi yang pada dasarnya adalah

“mitos-mitos” (myths) yang dibangkitkan oleh sistem tanda yang lebih luas yang membentuk masyarakat.

John Lechte memaparkan, imaji dan pesan iklan, hiburan, kultur popular dan literer, serta barang-barang konsumsi sehari-hari menemui telaah subjektif yang cukup unik dalam hasil dan penerapannya. Cobley & Jansz mengungkapkan bahwa Barthes membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi tersebut biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat.18

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes diebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau


(42)

sistem pemaknaan tataran pertama. Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja.

Tabel 3: Peta Tanda Roland Barthes 1. Signifier

(penanda)

2. Signified (Petanda) 3. Denotative sign (tanda denotatif)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED

(PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Dari tabel diatas, dijelaskan bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur materi: hanya jika kita mengenal tanda “singa”, barulah

konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussurean, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.

Dalam pengertian umum, denotasi adalah konotasi tanda yang paling stabil dan teruji secara objektif. Sebagai hipitesis bahwa stabilitas relatif denotasi bisa muncul dengan sejumlah cara:

1) Ketika rentangan makna umum tertentu berlaku umum yaitu dinisbatkan kepada suatu tanda oleh sejumlah kode dimana tanda beroperasi.


(43)

2) Ketika kode tertentu berfungsi dominan.

3) Ketika tanda bekerja dalam berbagai kode objektif atau ilmiah tertentu.

Walaupun denotasi merupakan makna yang relatif stabil, namun denotasi dihasilkan dalam permainan diferensial nilai di antara tanda dan kode, bukan oleh korespondensi sederhana antara penanda dan petanda. Stabilitas denotasi sama sekali merupakan perkara relatif, dan oleh karenanya tak ada perbedaan yang jelas dan absolute antara denotasi dan konotasi

Konotasi merupakan kumpulan petandanya yang mungkin. Konotasi muncul melalui kode yang pada dasarnya dimiliki bersama dan bersifat sosial. Konotasi bukanlah sesuatu yang diciptakan secara personal dari suatu tanda. Konotasi adalah sesuatu yang diciptakan dari kode yang tersedia dari suatu tanda. Konotasi sangatlah terstruktur, sekalipun dengan cara yang sangat aktif dan fleksibel.

Mitos adalah pengkodean. Mitos merupakan sebuah peristilahan dominan secara metonimis mewakili semua peristilahan dalam suatu sistem. Sebuah relasi metonimis dominan diantara berbagai peristilahan secara metonimis mewakili semua relasi. Efek dari mitos adalah simplifikasi radikal atas semua relasi didalam sistem. Mitos mengkodekan secara belebihan (over code) keseluruhan sistem kepada satu unsur dominan tunggal dan satu relasi tunggal.19

19 Tony Thwaites, dkk, Introducing Cultural And Media Studies Sebuah Pendekatan


(44)

Denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah yaitu makna yang sesungguhnya. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, denotasi menurut Roland Barthes merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Barthes mengungkapkan, konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai “mitos”, dan

berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.

Didalam mitos juga terdapat tiga pola dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Didalam mitos sebuah petanda memiliki beberapa penanda. Imperialism Inggris misalnya, ditandai oleh berbagai ragam penanda, seperti teh (yang menjadi minuman wajib ditanam), bendera Union Jack yang lengan-lengannya menyebar kedelapan penjuru, bahasa inggris yang kini telah menjadi bahasa internasional, dll. Arti dari segi jumlah, petanda lebih miskin jumlahnya dari pada penanda, sehingga dalam praktiknya terjadilah pemunculan sebuah konsep secara berulang-ulang dalam bentuk-bentuk tersebut karena pengulangan konsep terjadi dalam wujud berbagai bentuk tersebut.20

C. Konsep & Definisi Komunikasi AntarBudaya 1. Definisi Komunikasi AntarBudaya


(45)

Andre L. Rich E dan Denis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication A Reader mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antar suku bangsa, antar etnik dan ras, maupun antar kelas sosial.

Charley H. Dood mengatakan komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.

Lustig dan Koester dalam Intercultural Communication

Competence, menyatakan komunikasi antarbudaya adalah suatu proses

komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan tertentu memberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan. Intercultural Communication yang disingkat ICC, mengartikan komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi antara seorang anggota dengan kelompok yang berbeda kebudayaan.

Dari semua pendapat beberapa tokoh di atas, dalam hal ini peneliti menggunakan pendapat menurut Alo Liliweri yaitu definisi yang paling sederhana dari komunikasi antarbudaya adalah menambah kata budaya ke


(46)

dalam pernyataan “komunikasi antara dua orang/lebih yang berbeda latar

belakang kebudayaan”.21

Pengertian-pengertian komunikasi antarbudaya diatas, membenarkan sebuah hipotesis proses komunikasi antarbudaya, bahwa semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Jadi harus ada jaminan terhadap akurasi interpretasi pesan-pesan verbal maupun non verbal. Hal ini disebabkan karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam peramalan, derajat ambiguitis, kebingungan, suasana misterius yang tak dapat dijelaskan, tidak bermanfaat, bahkan nampak tidak bersahabat.

Dengan demikian manakala suatu masyarakat berada pada kondisi kebudayaan yang beragam maka komunikasi antarpribadi dapat menyentuh nuansa-nuansa komunikasi antarbudaya. Disini, kebudayaan yang menjadi lata belakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia.22

Dalam bukunya, Alo Liliweri mengasumsi sebuah teori komunikasi antarbudaya merupakan seperangkat pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan yang vali tempat dimana teori-teori

21 Dr. Alo Liliweri, M.S., Dasar-dasar Komunikasi AntarBudaya, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007) hal. 8

22 Dr. Alo Liliweri, M.S., Dasar-dasar Komunikasi AntarBudaya, (Yogyakarta: Pustaka


(47)

komunikasi antarbudaya itu dapat diterapkan. Ada beberapa asumsi komunikasi antarbudaya, yaitu:

1. Perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan

Apapun bentuk dan konteksnya, selalu menampilkan perbedaan iklim antara komunikator dengan komunikan. Karena ada perbedaan iklim budaya tersebut maka pada umumnya perhatian teoritis atau praktis dari komunikasi selalu difokuskan pada pesan-pesan yang menghubungkan individu atau kelompok dari dua situasi budaya yang berbeda. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam perbedaan itu umumnya mengimplikasikan bahwa hambatan komunikasi antarbudaya sering kalii tampil dalam bentuk perbedaan persepsi terhadap norma-norma budaya, pola-pola berpikir, struktur budaya, dan sistem budaya.

2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi Secara alamiah proses komunikasi antarbudaya berakar dari relasi sosial antarbudaya yang menghendaki adanya interaksi sosial. Watzlawick, Beavin dan Jackson menekankan bahwa isi (content of

communication) komunikasi tidak berada dalam sebuah ruang yang

terisolasi. Isi (content) dan makna (meaning) adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, dua hal yang esensial dalam membentuk relasi

(relations).

3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi

Candia Elliot berkata bahwa secara normatif komunikasi antarpribadi itu mengandalkan gaya berkomunikasi yang dihubungkan


(48)

dengan nilai-nilai yang dianut orang. Nilai-nilai itu berbeda diantara kelompok etnik yang dapat menunjang dan mungkin merusak perhatian tatkala orang berkomunikasi. Disini gaya itu bisa berkaitan dengan individu maupun gaya dari sekelompok etnik.

4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian Tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpatian tentang orang lain. Gudykunstt dan Kim menunjukkan bahwa orang-orang yang kita tidak kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas relasi antarpribadi. Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu dapat dilakukan melalui tiga tahap interaksi, yakni:

1) Pra-kontrak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non verbal (apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari komunikasi)

2) Initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas

kesan yang muncul dari kontrak awal tersebut.

3) Closure, mulai membuka diri anda yang semula tertutup

melalui atribusi dan pngembangan kepribadian implisit. 5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan

Smith berpendapat bahwa komunikasi dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan. Edward T. Hall mengatakan komunikasi adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi. Dalam kebudayaan ada sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran simbol-simbol komunikasi dan hanya dengan komunikasi maka pertukaran


(49)

simbol-simbol dapat dilakukan, dan kebudayaan hanya akan eksis jika ada komunikasi.

6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya Dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi. Demikian pula dapat dikatakan bahwa interaksi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya. Konsep ini juga sekaligus menerangkan tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai (komunikasi yang sukses) bila bentuk-bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya apa yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan dan memperbaharui sebuah manajemen komunikasi yang efektif.23

2. Unsur-unsur Komunikasi AntarBudaya

Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosial-budaya tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Unsur-unsur sosial-budaya merupakan bagian-bagian dari komunikasi antarbudaya. Bila digabungkan, sebagaimana dilakukan ketika kita sedang berkomunikasi, unsur-unsur tersebut bagaikan komponen-komponen suatu sistem, setiap komponen-komponen berhubungan dan membutuhkan satu sama lainnya. Dalam keadaan sebenarnya, unsur-unsur tersebut tidak terisolasi dan tidak berfungsi sendiri-sendiri. Unsur-unsur tersebut membentuk suatu matriks yang kompleks mengenai unsur-unsur yang

23 Dr. Alo Liliweri, M.S., Dasar-dasar Komunikasi AntarBudaya, (Yogyakarta: Pustaka


(50)

sedang berinteraksi yang beroperasi bersama-sama, yang merupakan suatu fenomena kompleks yang disebut komunikasi antarbudaya.

Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Dengan kata lain, persepsi adalah cara kita mengubah energi-energi fisik lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna. Secara umum dipercaya bahwa orang-orang berperilaku sedemikian rupa sebagai hasil dari cara mereka mempersepsikan dunia yang sedemikian rupa pula. Komunikasi antarbudaya akan lebih dapat dipahami sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi objek-objek sosial dan kejadian-kejadian. Suatu prinsip penting dalam pendapat ini adalah bahwa masalah-masalah kecil dalam komunikasi sering diperumit oleh perbedaan-perbedaan persepsi.24

Dalam ilmu sosial-budaya, mempunyai tiga unsur yang mempunyai pengaruh yang besar dan langsung atas makna-makna yang kita bangun dalam persepsi kita. Unsur-unsur tersebut adalah sistem-sistem kepercayaan (belief), nilai (value), sikap (attitude), pandangan dunia (world view), dan organisasi sosial (social organization). Ketika ketiga unsur utama ini mempengaruhi persepsi kita dan makna yang kita bangun dalam persepsi, unsur-unsur tersebut mempengaruhi aspek-aspek makna yang bersifat pribadi dan subjektif. Berikut ini akan dijelaskan secara jelas ketiga unsure utama dalam komunikasi antarbudaya.

1) Sistem-sistem kepercayaan, nilai, sikap

24 Dr. Deddy Mulyana, M.A & Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc., Komunikasi AntarBudaya

(Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-orang Berbeda Budaya), (Bandung: PT. Remaja Rosda, 2006) hal 25


(51)

 Kepercayaan secara umum dapat dipandang sebagai kemungkinan-kemungkinan subjektif yang diyakini individu bahwa suatu objek atau peristiwa memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Kepercayaan melibatkan hubungan antara objek yang dipercayai dan karakteristik-karakteristik tertentu menunjukkan tingkat kemungkinan subjektif kita dan konsekuensinya, juga menunjukkan kedalaman atau intensitas kepercayaan kita. Intinya dari kepercayaan adalah semakin pasti kita dalam kepercayaan kita, semakin besar pulalah intensitas kepercayaan tersebut.

 Nilai-nilai adalah aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan, nilai dan sikap. Dimensi-dimensi evaluatif meliputi kualitas-kualitas seperti kemanfaatan, kebaikan, estetika, kemampuan memuaskan kebutuhan, dan kesenangan. Nilai-nilai dalam suatu budaya menampakkan diri dalam perilaku para anggota budaya yang dituntut oleh budaya tersebut. Nilai-nilai ini disebut dengan nilai normatif. Kebanyakan orang melaksanakan perilaku-perilaku normatif dan ada sebagian orang yang tidak melaksanakan perilaku-perilaku normatif. Orang yang tidak melaksanakan perilaku normatif mungkin akan mendapat sanksi informal ataupun sanksi yang sudah dibakukan.

 Kepercayaan dan nilai memberikan kontribusi bagi pengembangan dan isi sikap. Kita boleh mendefinisikan sikap sebagai suatu kecenderungan yang diperoleh dengan cara belajar untuk merespons suatu objek secara konsisten. Sikap itu dipelajari dalam


(52)

suatu konteks budaya. Bagaimanapun lingkungan kita, lingkungan itu akan turut membentuk sikap kita, kesepian kita untuk merespons, dan akhirnya perilaku kita.

2) Pandangan Dunia (world view)

Konsep dan uraian abstrak merupakan salah satu unsur terpenting dalam aspek-aspek perseptual komunikasi antarbudaya. Pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu budaya terhadap hal-hal seperti Tuhan, kemanusiaan, alam, alam semesta, dan masalah-masalah filosofi lainnya yang berkenaan dengan konsep makhluk. Pendangan dunia membantu kita untuk mengetahui posisi dan tingkatan kita dalam alam semesta. Isu-isi pandangan dunia bersifat abadi dan merupakan landasan paling mendasar dari suatu budaya. Pandangan dunia sangat mempengaruhi budaya. Efeknya seringkali tak terlihat dalam hal-hal yang tampak nyata dan remeh seperti pakaian isyarat, dan perbendaharaan kata. Pandangan dunia mempengaruhi nilai, sikap, pengguna waktu, dan banyak aspek budaya lainnya. Dengan cara-cara yang tak terlihat dan tidak nyata, pandangan dunia sangat mmpengaruhi komunikasi antarbudaya. Oleh karena itu sebagai anggota suatu budaya setiap perilaku komunikasi mempunyai pandangan dunia yang tertanam dalam jiwa yang sepenuhnya dianggap benar dan ia otomatis menganggap bahwa pihak lainnya memandang dunia sebagaimana ia memandangnya.


(53)

Cara bagaimana suatu budaya mengorganisasikan dirinya dan lembaga-lembaga-lembaganya juga mempengaruhi bagaimana anggota-anggota budaya mempersepsi dunia dan bagaimana mereka berkomunikasi. Ada dua unit yang dominan dalam suatu budaya, yang pertama adalah keluarga. Meskipun organisasi sosial terkecil dalam suatu budaya, namun keluarga mempunyai pengaruh yang sangat penting. Keluargalah yang paling berperan dalam mengembangkan anak selama periode-periode formatif dalam hidup. Keluarga memberikan banyak pengaruh budaya kepada anak, bahkan sejak pembentukkan sikap pertamanya. Keluarga membimbing dalam penggunaan bahasa, mulai dari cara memperoleh kata hingga dialek. Keluarga juga memberikan persetujuan, dukungan, ganjaran, dan hukuman yang mempengaruhi nilai-nilai perkembangan anak dan tujuan-tujuan yang ia ingin capai. Kemudian yang kedua adalah sekolah, yaitu organisasi sosial yang memiliki kepentingan yang sama dengan keluarga. Dilihat dari sudut definisi dan sejarahnya, sekolah diberi tanggung jawab besar untuk mewariskan dan memelihara suatu budaya. Sekolah merupakan penyambung penting yang menghubungkan masa lalu dan juga masa depan. Sekolah memelihara budaya dengan memberi tahu anggota-anggota barunya apa yang telah terjadi, apa yang penting, dan apa yang harus diketahui seseorang sebagai anggota budaya.25

25Dr. Deddy Mulyana, M.A & Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc., Komunikasi AntarBudaya

(Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-orang Berbeda Budaya), (Bandung: PT. Remaja Rosda, 2006) hal 29


(54)

41

A. Sinopsis Film Eat, Pray, Love

Diceritakan tentang pengalaman Elizabeth dalam menemukan kekosongan di dalam hidupnya yang sebenarnya sudah cukup sempurna.Liz adalah panggilan Elizabeth, dia memiliki karier yang bagus, memiliki rumah idamannya, teman-teman yang menyayanginya, serta suami yang sangat mencintainya.Namun dalam kesempurnaannya itu, dia merasa seperti masih ada yang hilang dalam dirinya.Kemudian dia memutuskan untuk berdoa,

namun konsep itu sangat asing baginya sampai dia memulai dengan “Aku Penggemar Besarmu”. Dalam islam Tuhan disebut Allah SWT dan Allah SWT diyakini sebagai Zat Maha Tinggi yang Nyata dan Esa. Pencipta yang Maha Kuat dan Maha Mengetahui, Yang Abadi, penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Esa, tertera dalam Surat Al-Ikhlas 112:1-41:

                              

Artinya: “katakanlah, Dialah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan

yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak

diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan dia” (QS. Al

-Ikhlas:1-4).

Selama Liz menjalani hidup dia jarang sekali berinteraksi dengan Tuhan.Setelah dia menyadari ada yang hilang dalam dirinya, dia langsung

1 Azharuddin Sahil, Indeks Al-Quran Panduan Mencari Ayat Al-Quran


(55)

teringat dengan Tuhan. Beberapa petikan dialog Liz yang mencoba berinteraksi dengan Tuhan:

Liz: “Hallo Tuhan”

“Senang akhirnya bisa bertemu”.

“Maaf aku tidak pernah bicara langsung denganmu”.

“Tapi, kuharap aku sudah mengekspesikan rasa syukurku atas berkahmu yang

diberikan dalam hidup ini”. “Entah aku harus bagaimana”. “Aku membutuhkan jawaban”.

“Tolong katakan aku harus bagaimana”. “Oh tuhan tolonglah aku”.

“Katakan aku harus bagaimana, aku pasti akan patuh”.

Setelah Liz mencoba berinteraksi, Liz menyadari bahwa dia harus pergi meninggalkan semuanya.Liz memilih meninggalkan zona nyamannya untuk pergi ketiga negara selama 1 tahun, demi melengkapi sesuatu yang hilang dalam dirinya.3 negara yang di pilih adalah Italia, India, dan Indonesia.

Untuk pergi mencari hal yang hilang dalam dirinya itu Liz meninggalkan semua yang dimilikinya di New York. Liz bercerai dengan suaminya, menjual semua barang yang ia punya, dan meninggalkan orang-orang yang di sayanginya. Negara yang pertama kali di kunjunginya adalah Italia.Selama 4 bulan Liz tinggal di Itali.Di negara ini Liz mendapatkan kembali nafsu makannya yang sempat hilang.Ia bertemu dengan teman-teman baru yang mengajarinya untuk menikmati hidup dan bergembira. Selama


(56)

berada di Itali Liz melakukan kuliner, sehingga berat badannya naik. Namun Liz sama sekali tidak memikirkan hal itu. Liz juga belajar bahasa Italia.

Setelah 4 bulan berakhir, kemudian melanjutkan perjalanannya menuju India.Tujuan Liz ke India adalah untuk kembali dekat dengan Tuhan.Kondisi di India sangat bertolak belakang dengan Italia. Awal mula berada di India Liz mengalami kesulitan, dia sangat kesulitan dalam menjalankan tata cara bermeditasi. Semua itu disebabkan karena Liz yang belum bisa menerima apa yang sedang terjadi dalam diri dan kehidupannya. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Richard yang membantunya untuk menyadari dengan apa yang sedang terjadi dan berusaha belajar untuk bisa menerima apa yang sedang terjadi. Akhirnya Liz kembali menemukan kehidupan spiritualnya.Ia belajar berdevosi (semacam meditasi), dan kemudian ia mulai melakukannya dengan rutin. Liz menghabiskan waktu sampai 4 bulan di India.

Setelah masanya habis di India, kunjungan terakhir Liz adalah mengunjungi Negara Indoneisa yaitu Bali.Sebelumnya Liz pernah ke Bali, dan bertemu dengan seorang peramal bernama Ketut Liyer yang juga seorang ahli pengobatan tradisional. Pada saat itu Ketut mengatakan bahwa Liz akan kembali ke Bali bertemu dengan Ketut dalam 2 tahun lagi (yaitu sekarang saat Liz berkeliling ketiga negara) dan akan menghabiskan waktu di bali selama 4 bulan. Dan ternyata ramalan Ketut benar Liz akhirnya kembali ke Bali.Sesampainya di Bali, orang yang pertama kali ditemui Liz adalah Ketut


(57)

Liyer.Awalnya Ketut lupa pada Liz, kemudian Liz mengingatkan Ketut dengan sebuah kertas bergambar dewa yang diberikan Ketut kepada Liz dulu.

Pada saat di Bali, selain bertemu dengan Ketut Liyer dan belajar banyak hal mengenai keseimbangan hidup, Liz juga bertemu dengan Wayan Nuriasih yang juga berprofesi sebagai ahli pengobatan tradisional Bali. Hari-hari Wayan dilalui bersama anak perempuannya yang bernama Tutti tanpa seorang suami.Wayan memberikan banyak masukan dan pelajaran bagi Liz.Rumah yang dihuni oleh Wayan sudah memiliki banyak kerusakan dimana-mana. Melihat kebaikan yang telah Liz dapatkan dari Wayan, Liz membalas dengan cara mengumpulkan donasi dari sahabat-sahabat dekatnya untuk memberikan bantuan dana bagi Wayan untuk membeli sebuah rumah baru di Bali.

Dia mengirimkan email kepada sahabat-sahabatnya yang intinya berisi, seandainya dia sekarang berada di New York dan akan melangsungkan ulang tahunnya, maka teman-temannya pasti akan memberikan hadiah yang mahal dan dia juga akan mengadakan pesta ulang tahun yang menghabiskan banyak uang, kemudian dia mengusulkan pada teman-temannya untuk menyumbangkan sedikit rezeki mereka untuk membantu Wayan dalam membeli rumah sebagai kado ulang tahunnya tahun ini, dari hal ini juga Liz mengatakan bahwa uang mereka akan jauh lebih berguna.

Selain bertemu dengan Ketut Liyer dan Wayan, akhirnya bertemulah Liz dengan pria yang bernama Felipe yang akhirnya menjadi pasangan hidup Liz hingga saat ini. Felipe merupakan pria asal Brazil dengan


(58)

kewarganegaraan Australia, ia sudah beberapa tahun berada di Indonesia karena memiliki usaha di Bali.

Film ini juga menjadikan lokasi syuting dan para pemainnya mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak yang merespon baik film ini. Sebuah situs online balinews.blog.com mengatakan bahwa Bali mendapat penghargaan sebagai The Best Leisure Destination In Asia Pasific, penghargaan tersebut diberikan oleh sebuah majalah terkemuka di Hongkong bernama Bisnis Travellers Asia Pasific. Sebagian besar keberhasilan Bali mendapatkan predikat ini karena film yang diperankan oleh Julia Robert yang berjudul Eat, Pray, Love. Detik.com mengabarkan bahwa KBRI Washington DC dan Sony Picture Entertaiment menggelar Private Screening film Eat,

Pray, Love di Lowe AMC Theater yaitu sebuah kawasan bergengsi di

Georgetown, Washington DC.

Salah satu pemain film Eat, Pray, Love yang mendapat penghargaan adalah Ketut Liyer. Dia mendapat penghargaan khusus dari Kementrian Kebudayan dan Pariwisata. Dalam acara ini juga di tanda tangani MOU antara Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata dengan 7 media nasional dalam menginformasikan dan mempromosikan pariwisata Indonesia.2

Blitzmegaplex.com juga memberitakan film Eat, Pray, Love menjadi

film pembuka dalam acara Cosmopolitan Film Festival yaitu sebuah festival film yang menghadirkan berbagai film bertemakan wanita. Acara ini

2

tourismnews.co.id/category/tourism-news/dua-belas-penghargaan-dalam-malam-apresiasi-visit-indonesia-year-2010


(59)

diadakan di blitzmegaplex Pasific Place dan acara ini tidak dibuka untuk umum (khusus tamu undangan).

B. Tim Produksi

1. Ryan Murphy (Director)

Ryan Murphy adalah seorang penulis, sutradara film dan serial TV yang berasal dari Amerika. Murphy lahir di Indianapolis, Indiana, pada 30 Novemver 1965. Murphy dibesarkan di keluarga Katolik Irlandia dan dirinya bersekolah di sekolah Katolik dari kelas 1 sampai 8, dan lulus dari Warren Central High School di Indianapolis. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal di rumah dan membesarkan dua anak laki-lakinya. Sedangkan sang ayah adalah seorang kepala sirkulasi di sebuah perusahaan surat kabar, sebelum akhirnya pensiun setelah 30 tahun bekerja.

Murphy kuliah di Indiana University, Bloomington. Selama kuliah, dirinya adalah anggota koran sekolah, Indiana Daily Student, juga anggota dari paduan suara Singin Hoosiers. Murphy mengakui dengan terbuka bahwa dirinya adalah seorang gay, dan terkadang dia beribadah di gereja di Los Angeles.

Murphy memulai karirnya sebagai seorang jurnalis yang bekerja untuk The Miami Herald, The Los Angeles Times, New York Daily News,


(1)

83

Dalam Alquran dijelaskan bahwa sebagai manusia kita harus menyayangi keluarga kita dan harus saling tolong menolong sesama manusia. Sesuai dengan Dalil Al qur'an dalam firman Allah SWT pada Surat Al-Maidah, ayat 22:





















































































































































Artinya: "...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan" (QS. Al-Maidah: 2).

2Ibid, hal 469


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Effendy, Onong Uchjana. Prof. Ilmu, Teori, Dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Cipta Aditya Bakti, 2003

Taslim, Uray Noviandy. “Semiotika Perjuangan “Said Nur” Menulis Kitab Risalah Nur dalam Film Nur Adam”. Skripsi S1, Jakarta: Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012

Utami, Ika Kurnia. “Semiotika Taubat dalam Film Mama Cake”. Skripsi S1, Jakarta: Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013

Kertapati, Ton. Dasar-dasar Publisistik. Jakarta: Bina Aksara, 1986

Biran, Misbach Yusa. Sejarah film 1900-1950: bikin film jawa. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009

Trianto, Teguh. Film Sebagai Media Belajar. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013

Baran, Stanleyn J. Pengantar Komunikasi Massa Melek Media & Budaya. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 2012

Vivian, John. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Putra Grafika, 2008

Pratista, Himawan. Memahami Film. Yogyakarta: Hormerian Pustaka, 2008)

Widagdo, M. Bayu. dan S, Winastwan Gora. Bikin Film Indie itu Mudah!. Yogyakarta: C.V. Andy Offset, 2007

as-Suhaimi, Fawwaz bin Hulayyil. Begini Seharusnya Berdakwah. Jakarta: Darul Haq, 2008

Muhtadi, Asep Saeful. Komunikasi Dakkwah. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2012

Bakti, Andi Faisal. Globalisasi: Dakwah Cerdas Era Globalisasi: Antara Tantangan dan Harapan. Lecture at Palembang

Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009 Thwaites, Tony. dan dkk. Introducing Cultural And Media Studies Sebuah


(3)

pick, Suzana M. Cinema As Sign and Language, Christian Metz, Language and Cinema, Translate by Donna Jean Umber-Sebeok, Mouton: The Hague Paris, 1974. pp. 304

Liliweri, Alo. Dasar-dasar Komunikasi AntarBudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007

Samovar, Larry A. Porter, Richard E. McDaniel, Edwin R. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: PT. Salemba Humanika, 2010

Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Jalaluddin. Komunikasi AntarBudaya (Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-orang Berbeda Budaya). Bandung: PT. Remaja Rosda, 2006

Rumondor, Alex H. Materi Pokok Komunikasi AntarBudaya. Jakarta: Universitas Terbuka, 1995

Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT, RajaGrafindo Persada, 2006

Badudu, J.S. dan Zain, Sutan Mohammad. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994

Sahil, Azharuddin. Indeks Al-Quran Panduan Mencari Ayat Al-Quran Berdasarkan Kata Dasarnya. Bandung: Mizan, 1995

Sumber Lain:

Film Eat, Pray, Love Diakses dari

http://sinthiasinor.blogdetik.com/2011/07/17/tentang-film/ pada pkl 13.45, hari Sabtu, 27 sep 2014

http://www.kapanlagi.com/hollywood/r/ryan_murphy/ Rabu, 15 Oktober 2014, pkl 14.30

http://www.elizabethgilbert.com/ Rabu. 15 Oktober 2014, pkl 15.01

http://id.wikipedia.org/wiki/Eat_Pray_Love Rabu, 15 Oktober 2014, pkl 14.17 http://uniqpost.com/profil/christine-hakim/ Rabu, 15 Oktober 2014, pkl 14.09


(4)

LAMPIRAN Lampiran 1


(5)

Lampiran 2


(6)

Lampiran 3