Konsep Semiotika Roland Barthes

Pada tahun 1954-1956, sebuah rangkaian tulisan muncul dalam majalah Prancis, Le Letters nouvelles. Pada setiap terbitannya Roland Barthes membahas “Mythology of the Month” Mitologi Bulan Ini, sebagian besar dengan menunjukkan bagaimana aspek denotatif tanda- tanda dalam budaya pop menyikapkan konotasi yang pada dasarnya adalah “mitos-mitos” myths yang dibangkitkan oleh sistem tanda yang lebih luas yang membentuk masyarakat. John Lechte memaparkan, imaji dan pesan iklan, hiburan, kultur popular dan literer, serta barang-barang konsumsi sehari-hari menemui telaah subjektif yang cukup unik dalam hasil dan penerapannya. Cobley Jansz mengungkapkan bahwa Barthes membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologi- mitologi tersebut biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat. 18 Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca the reader. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes diebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau 18 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009, hal 63-68 sistem pemaknaan tataran pertama. Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja. Tabel 3: Peta Tanda Roland Barthes 1. Signifier penanda 2. Signified Petanda 3. Denotative sign tanda denotatif 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER PENANDA KONOTATIF 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED PETANDA KONOTATIF 6. CONNOTATIVE SIGN TANDA KONOTATIF Dari tabel diatas, dijelaskan bahwa tanda denotatif 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif 4. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur materi: hanya jika kita me ngenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussurean, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif. Dalam pengertian umum, denotasi adalah konotasi tanda yang paling stabil dan teruji secara objektif. Sebagai hipitesis bahwa stabilitas relatif denotasi bisa muncul dengan sejumlah cara: 1 Ketika rentangan makna umum tertentu berlaku umum yaitu dinisbatkan kepada suatu tanda oleh sejumlah kode dimana tanda beroperasi. 2 Ketika kode tertentu berfungsi dominan. 3 Ketika tanda bekerja dalam berbagai kode objektif atau ilmiah tertentu. Walaupun denotasi merupakan makna yang relatif stabil, namun denotasi dihasilkan dalam permainan diferensial nilai di antara tanda dan kode, bukan oleh korespondensi sederhana antara penanda dan petanda. Stabilitas denotasi sama sekali merupakan perkara relatif, dan oleh karenanya tak ada perbedaan yang jelas dan absolute antara denotasi dan konotasi Konotasi merupakan kumpulan petandanya yang mungkin. Konotasi muncul melalui kode yang pada dasarnya dimiliki bersama dan bersifat sosial. Konotasi bukanlah sesuatu yang diciptakan secara personal dari suatu tanda. Konotasi adalah sesuatu yang diciptakan dari kode yang tersedia dari suatu tanda. Konotasi sangatlah terstruktur, sekalipun dengan cara yang sangat aktif dan fleksibel. Mitos adalah pengkodean. Mitos merupakan sebuah peristilahan dominan secara metonimis mewakili semua peristilahan dalam suatu sistem. Sebuah relasi metonimis dominan diantara berbagai peristilahan secara metonimis mewakili semua relasi. Efek dari mitos adalah simplifikasi radikal atas semua relasi didalam sistem. Mitos mengkodekan secara belebihan over code keseluruhan sistem kepada satu unsur dominan tunggal dan satu relasi tunggal. 19 19 Tony Thwaites, dkk, Introducing Cultural And Media Studies Sebuah Pendekatan Semiotik , Yogyakarta: Jalasutra, 2011, hal. 89-98 Denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah yaitu makna yang sesungguhnya. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, denotasi menurut Roland Barthes merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Barthes mengungkapkan, konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai- nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Didalam mitos juga terdapat tiga pola dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Didalam mitos sebuah petanda memiliki beberapa penanda. Imperialism Inggris misalnya, ditandai oleh berbagai ragam penanda, seperti teh yang menjadi minuman wajib ditanam, bendera Union Jack yang lengan-lengannya menyebar kedelapan penjuru, bahasa inggris yang kini telah menjadi bahasa internasional, dll. Arti dari segi jumlah, petanda lebih miskin jumlahnya dari pada penanda, sehingga dalam praktiknya terjadilah pemunculan sebuah konsep secara berulang-ulang dalam bentuk-bentuk tersebut karena pengulangan konsep terjadi dalam wujud berbagai bentuk tersebut. 20

C. Konsep Definisi Komunikasi AntarBudaya

1. Definisi Komunikasi AntarBudaya

20 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009, hal 71 Andre L. Rich E dan Denis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication A Reader mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antar suku bangsa, antar etnik dan ras, maupun antar kelas sosial. Charley H. Dood mengatakan komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta. Lustig dan Koester dalam Intercultural Communication Competence , menyatakan komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan tertentu memberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan. Intercultural Communication yang disingkat ICC , mengartikan komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi antara seorang anggota dengan kelompok yang berbeda kebudayaan. Dari semua pendapat beberapa tokoh di atas, dalam hal ini peneliti menggunakan pendapat menurut Alo Liliweri yaitu definisi yang paling sederhana dari komunikasi antarbudaya adalah menambah kata budaya ke dalam pernyataan “komunikasi antara dua oranglebih yang berbeda latar belakang kebudayaan”. 21 Pengertian-pengertian komunikasi antarbudaya diatas, membenarkan sebuah hipotesis proses komunikasi antarbudaya, bahwa semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Jadi harus ada jaminan terhadap akurasi interpretasi pesan-pesan verbal maupun non verbal. Hal ini disebabkan karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam peramalan, derajat ambiguitis, kebingungan, suasana misterius yang tak dapat dijelaskan, tidak bermanfaat, bahkan nampak tidak bersahabat. Dengan demikian manakala suatu masyarakat berada pada kondisi kebudayaan yang beragam maka komunikasi antarpribadi dapat menyentuh nuansa-nuansa komunikasi antarbudaya. Disini, kebudayaan yang menjadi lata belakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. 22 Dalam bukunya, Alo Liliweri mengasumsi sebuah teori komunikasi antarbudaya merupakan seperangkat pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan yang vali tempat dimana teori-teori 21 Dr. Alo Liliweri, M.S., Dasar-dasar Komunikasi AntarBudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007 hal. 8 22 Dr. Alo Liliweri, M.S., Dasar-dasar Komunikasi AntarBudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007 hal. 12