Konsep dasar Semiotika Tinjauan Umum Semiotika

tanda, melainkan dunia itu sendiri pun ikut terkait sejauh hubungannya dengan realitas. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna meaning ialah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda tersebut disusun. 15 Semiotika seperti kata Lechte adalah teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelas lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana sign „tanda-tanda’. Hjelmslev mendefinisikan tanda sebagai suatu keterhubungan antara wahana ekspresi expression plan dan wahana isi content plan. Cobley dan Jansz menyebutnya sebagai “discipline is simply the analysis of signs or the study of the functioning of sign systems ” artinya adalah ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi. Charles Sanders Pierce mendefinisikan semiosis seba gai “a relationship among a sign, an object, and a meaning” yang berarti suatu hubungan di antara tanda, objek, dan makna. Dua aspek tanda memiliki nama standar. Kesan mental bunyi disebut penanda dan konsep umum yang dimunculkan disebut petanda. Dengan kata lain, satu aspek tanda bertindak menandakan. Aspek lainnya 15 Ibid, hal 14 adalah apa yang ditandakan. Relasi di antara keduanya disebut sistem tanda signification. Tabel 1: Petanda dan Penanda Penanda adalah kesan indrawi suatu tanda. Contoh: imaji mental meninggalkan marka marks pada sebuah halaman kertas, atau imaji mental bunyi udara. Petanda adalah konsep yang dimunculkan sebuah tanda. Relasi antara penanda dan petanda, cara kesan indrawi „menunjuk pada’ atau memunculkan suatu konsep, disebut sistem pertandaan signification. Kedua istilah ini merupakan istilah yang berguna untuk menekankan dua cara berbeda bagaimana sebuah tanda harus berfungsi agar bisa menjadi tanda. Penanda dan petanda selalu berjalan bersama. 16 Ferdinand de Saussurean mengatakan bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi semacam kata atau representasi visual dan sebuah konsep dimana citra bunyi disandarkan. Pandangan Saussurean ini merupakan manifestasi konkret dari citra bunyi dan ini sering diidentifikasi dengan citra bunyi itu sebagai penanda signifier. Dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Bagi Saussurean, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbiter bebas, baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Prinsip arbiteran bahasa atau tanda tidak dapat diberlakukan secara mutlak atau sepenuhnya. Ada tanda-tanda yang benar- benar arbiteran, tetapi ada pula yang hanya relatif. Keartbiteran bahasa 16 Tony Thwaites, dkk, Introducing Cultural And Media Studies Sebuah Pendekatan Semiotik , Yogyakarta: Jalasutra, 2011, hal. 42 sifatnya bergradasi. Disamping itu, ada pula tanda-tanda yang bermotivasi, yang relatif non-arbitrer. Kemudian Charles Sanders Pierce menyatakan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Pierce menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab-akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional. Berikut ini tabel yang bisa memperjelas: Tabel 2: Trikotomi Ikon Indeks Simbol Pierce 17 TANDA IKON INDEKS SIMBOL Ditandai dengan: Contoh: Proses Persamaan kesamaan Gambar-gambar Patung-patung Tokoh besar Foto Reagan Dapat dilihat Hubungan sebab-akibat Asap api Gejala penyakit Bercak merah campak Dapat diperkirakan Konvensi Kata-kata Isyarat Harus dipelajari

2. Konsep Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Ayahnya seorang perwira angkatan laut, meninggal dalam sebuah pertempuran di Laut Utara. Sepeninggalan ayahnya, Barthes kecil di asuh oleh ibu, kakek, dan neneknya. 17 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009, hal 15 Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama, eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Bartens menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 70-an. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Barthes telah menulis banyak buku, dan beberapa diantaranya telah menjadi bahan rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Dalam bukunya yang terkenal, SZ 1970, yang oleh Bartens pantas disebut sebuah buku dengan judul cukup aneh. Buku ini merupakan salah satu contoh bagus tentang cara kerja Barthes. Dalam buku ini Barthes menganalisa sebuah novel kecil yang relatif kurang dikenal, berjudul Sarrasine , ditulis oleh sastrawan Prancis abad ke-19, Honore de Balzac. Dalam penilaian John Lechte, buku ini ditulis Barthes sebagai upaya untuk mengeksplisitkan kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis. Barthes berpendapat bahwa Sarrasine ini terangkai dalam kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode. Ada lima kode yang ditinjau oleh Barthes yaitu, kode hermeneutic kode teka-teki, kode semik makna konotatif, kode simbolik, kode proaretik logika tindakan, dan kode gnomic atau kode cultural yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu. Pada tahun 1954-1956, sebuah rangkaian tulisan muncul dalam majalah Prancis, Le Letters nouvelles. Pada setiap terbitannya Roland Barthes membahas “Mythology of the Month” Mitologi Bulan Ini, sebagian besar dengan menunjukkan bagaimana aspek denotatif tanda- tanda dalam budaya pop menyikapkan konotasi yang pada dasarnya adalah “mitos-mitos” myths yang dibangkitkan oleh sistem tanda yang lebih luas yang membentuk masyarakat. John Lechte memaparkan, imaji dan pesan iklan, hiburan, kultur popular dan literer, serta barang-barang konsumsi sehari-hari menemui telaah subjektif yang cukup unik dalam hasil dan penerapannya. Cobley Jansz mengungkapkan bahwa Barthes membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologi- mitologi tersebut biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat. 18 Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca the reader. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes diebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau 18 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009, hal 63-68