Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama, UU memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan demikian bunyi pasal 26 Burgerlijk Wetboek. Artinya bahwa pasal tersebut hendak menyatakan bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek dan syarat- syarat serta peraturan agama dikesampingkan. 9 Sedangkan tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah membentuknya keluarga yang rapat hubungannya dengan keturunannya, selain itu pula merupakan tujuan dari perkawinan, pemeliharaan, dan biaya pendidikan yang menjadi hak dan kewajiban orang tua. 10 Pertimbangan dari pasal tersebut adalah bahwa sebagaian negara yang berdasarkan pasal 41 UU Perkawinan, maka jelas bahwa meskipun suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan hubungan antara orang tua yakni suami istri yang telah bercerai dan anak- anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi putus. Sebab dengan tegas diatur bahwa suami dan istri yang telah bercerai tetap mempunyai kewajiban sebagai orang tua yakni untuk memelihara dan mendidik anak- anaknya, termasuk dalam hal pembiayaan yang timbul dari pemeliharaan dan pendidikan dari anak tersebut. Ketentuan diatas juga menegaskan bahwa negara melalui UU Perkawinan tersebut memberikan perlindungan 9 Soebekti, Pokok-pokok Hukum Perdata Jakarta: Intermasa, 2003, h. 23. 10 Soebekti, Pokok-pokok Hukum Perdata , h. 7. hukum bagi kepentingan anak-anak yang perkawinan orang tuanya putus karena perceraian. Permohonan untuk mendapatkan hak asuh anak perlu dicermati bahwa ketentuan pasal 41 huruf A, UU Perkawinan pada bagian terakhir menyatakan bahwa “bilamana ada perselisihan mengenai pengasuhan anak, pengadilan memberikan keputusan”. Berangkat dari ketentuan tersebut maka dalam suatu gugatan perceraian, selain dapat memohonkan agar diberikan hak asuh anak-anak yang masih dibawah umur yang lahir dari perkawinan tersebut. Dalam UU Perkawinan sendiri memang tidak terdapat definisi mengenai Hak Asuh Anak tersebut, namun jika melihat pasal 1 angka 11, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya. 11 Sesuai dengan apa yang sudah disampaikan tentunya akan timbul suatu pertanyaan, siapakah diantara bapak atau ibu yang paling berhak untuk memperoleh hak asuh atas anak tersebut. Satu-satunya aturan yang dengan jelas dan tegas memberikan pedoman bagi hakim dalam memutus pemberian hak asuh atas anak tersebut terhadap dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam KHI yang menyatakan : a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. 11 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anaknya untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan. c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. 12 Hadhanah sebagai salah satu akibat putusnya perkawinan diatur secara panjang lebar oleh KHI, sebagai berikut : Pasal 156 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah : a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya. b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau dari ibunya. c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. d. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan pemeliharaan berdasarkan huruf a, b, c, dan d. e. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang turut padanya. 12 Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 2010, h. 138. Ketentuan KHI diatas nampaknya tidak dapat berlaku secara universal, karena hanya akan mengikat bagi mereka yang memeluk agama Islam yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama. Sedangkan untuk orang-orang yang bukan beragama Islam yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri, karena tidak ada pedoman yang secara tegas mengatur batasan pemberian hak asuh bagi pihak yang menginginkannya, maka hakim dalam menjatuhkan putusannya akan mempertimbangkan antara lain pertama, fakta-fakta yang terungkap di persidangan, kedua, bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak serta argumentasi yang dapat menyakinkan hakim mengenai kesanggupan dari pihak yang memohonkan Hak Asuh Anak tersebut dalam mengurus dan melaksanakan kepentingan dan pemeliharaan atas anak tersebut baik secara materi, pendidikan, jasmani, dan rohani dari anak tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik dengan masalah dalam kasus tersebut dan mencoba untuk mengangkat wacana tersebut dalam karya ilmiyah ini dengan judul “Peranan KPAI Dalam Penyelesaian Perebutan Hak Asuh Anak Pasca Perceraian”.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah Agar pembahasan skripsi ini tidak keluar dari pokok pembahasan, disamping keterbatasan penulisan miliki. Maka penulis akan melakukan pembatasan masalah yang dibahas yaitu mengenai data pengaduan tentang perebutan hak asuh anak pasca cerai di Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2014.

2. Perumusan masalah

Menurut Peraturan Undang-Undang, Hak Asuh Anak yang dibawah umur jatuh kepada ibunya, akan tetapi pada kenyataannya banyak anak yang dibawah umur diasuh oleh ayahnya. Dari rumusan masalah tersebut maka penulis mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana Hak Asuh Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam? 2. Bagaimana upaya Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam menyelesaikan pengaduan tentang perebutan hak asuh anak pasca cerai ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui hak asuh anak menurut hukum Positif dan hukum Islam. 2. Untuk mengetahui upaya Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam menyelesaikan pengaduan tentang perebutan hak asuh anak pasca cerai. Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1. Secara Akademik, menambah ilmu pengetahuan dibidang hukum perdata serta mengembangkan ilmu dibidang syariah, khususnya dalam bidang pemeliharaan anak dan mengetahui dasar hukum dan pertimbangan dalam memutus perkara tentang hak asuh anak. 2. Secara Praktis agar dapat memikirkan dalam rangka memelihara hak-hak terhadap anak.

D. Kajian Studi Terdahulu

1. Diana Yulita Sari, Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Analisis Putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor 340.KAG2006. Dalam skripsi ini membahas tentang Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 yang mengatur kuasa asuh. Dan hal tersebut dapat dicabut bila diketahui orang tuanya menelantarkan anak- anak atau tidak dapat menjamin tumbuh kembang si anak. Sesuai dengan amanat UU Perlindungan Anak dan UU Perkawinan bahwa jika suami istri telah bercerai, maka kewajibannya untuk mengasuh dan merawat anak-anak tetap menjadi kewajiban kepada mereka, namun yang perlu ditegaskan disini adalah, bahwa terdapat perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat materil dan tanggung jawab yang bersifat pengasuh. Perbedaan dengan skripsi penulis adalah skripsi yang ditulis oleh diana yulita sari yaitu bagaimana lingkup hak asuh anak dibawah umur dan bagaimana putusan hakim dalam memutuskan perkara tersebut. Sudah sesuaikah hakim dalam memutuskan perkara tesebut tidak menyalahkan Undang- undang tentang perlindungan anak, skripsi yang ditulis oleh diana yulita sari lebih fokus terhadap putusan Mahkamah Agung menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002. 2. Moh Anas Maulana Ibroohim, pelimpahan hak asuh anak kepada bapak akibat perceraian studi putusan Pengadilan Agama bekasi No 345pdt.G2007PA.BKS, skripsi ini membahas tentang pelimpahan hak asuh anak yang jatuh kepada bapaknya. Sedangkan pemeliharaan yang optimal agar tumbuh kembang terpeliharanya anak tersebut, yang dimungkinkan bapak sibuk untuk mencari nafkah, maka seharusnya ibulah yang berkewajiban untuk memeliharanya. Karena peran ibu dalam mendidik anak sangatlah penting, sudah semestinya dalam memutuskan perkara bersikap hati-hati dan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan dan hukum wajib memberikan putusan yang seadil-adilnya, sehingga berbagai kepentingan dari berbagai para pihak yang berperkara dapat terpenuhi, termasuk perkara perlimpahan hak hadhanah terhadap anak yang belum mumayyiz hak hadhanah semestinya ikut ibunya, namun demikian dalam perkara ini telah dilimpahkan hak asuh anak yang belum mumayyiz jatuh kepada bapaknya. Perbedaan dengan skripsi penulis adalah skripsi yang ditulis oleh Moh Anas Maulana Ibroohim yaitu dasar pertimbangannya yurisprudensi yang digunakan oleh hakim dalam memutuskan perkara hak asuh anak atau yang disebut dengan hadhanah yang dilimpahkan kepada bapaknya yang mana hanya membatasi tentang gugatan pemeliharaan anak di Pengadilan Agama Bekasi dan putusan hakim