b. Dasar Hukum Hadhanah
Hukum hadhanah adalah hukumnya wajib karena anak yang tidak dipelihara akan terancam keselamatannya, karena itu, hadhanah hukumnya
wajib sebagaimana juga wajibanya memberi nafkah kepadanya. Adapun dasar hukumnya tentang kewajiban orang tua dalam memelihara seorang
anak dalam firman allah pada surat Al-Baqarah ayat 233 :
ّﻢﺘﻳ ﹾﻥﹶﺃ ﺩﺍﺭﹶﺃ ﻦﻤﻟ ﹺﻦﻴﹶﻠﻣﺎﹶﻛ ﹺﻦﻴﹶﻟﻮﺣ ّﻦﻫﺩﻻﻭﹶﺃ ﻦﻌﺿﺮﻳ ﺕﺍﺪﻟﺍﻮﹾﻟﺍﻭ ﻤﹾﻟﺎﹺﺑ ّﻦﻬﺗﻮﺴﻛﻭ ّﻦﻬﹸﻗﺯﹺﺭ ﻪﹶﻟ ﺩﻮﹸﻟﻮﻤﹾﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋﻭ ﹶﺔﻋﺎﺿّﺮﻟﺍ
ﻒّﹶﻠﹶﻜﺗ ﻻ ﻑﻭﺮﻌ ﻰﹶﻠﻋﻭ ﻩﺪﹶﻟﻮﹺﺑ ﻪﹶﻟ ﺩﻮﹸﻟﻮﻣ ﻻﻭ ﺎﻫﺪﹶﻟﻮﹺﺑ ﹲﺓﺪﻟﺍﻭ ّﺭﺎﻀﺗ ﻻ ﺎﻬﻌﺳﻭ ﻻﹺﺇ ﺲﹾﻔﻧ
ﻼﹶﻓ ﹴﺭﻭﺎﺸﺗﻭ ﺎﻤﻬﻨﻣ ﹴﺽﺍﺮﺗ ﻦﻋ ﻻﺎﺼﻓ ﺍﺩﺍﺭﹶﺃ ﹾﻥﹺﺈﹶﻓ ﻚﻟﹶﺫ ﹸﻞﹾﺜﻣ ﺙﹺﺭﺍﻮﹾﻟﺍ ﺮﺘﺴﺗ ﹾﻥﹶﺃ ﻢﺗﺩﺭﹶﺃ ﹾﻥﹺﺇﻭ ﺎﻤﹺﻬﻴﹶﻠﻋ ﺡﺎﻨﺟ
ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻋ ﺡﺎﻨﺟ ﻼﹶﻓ ﻢﹸﻛﺩﻻﻭﹶﺃ ﺍﻮﻌﺿ ﺎﻤﹺﺑ ﻪّﹶﻠﻟﺍ ّﹶﻥﹶﺃ ﺍﻮﻤﹶﻠﻋﺍﻭ ﻪّﹶﻠﻟﺍ ﺍﻮﹸﻘّﺗﺍﻭ ﻑﻭﺮﻌﻤﹾﻟﺎﹺﺑ ﻢﺘﻴﺗﺁ ﺎﻣ ﻢﺘﻤّﹶﻠﺳ ﺍﹶﺫﹺﺇ
ﲑﺼﺑ ﹶﻥﻮﹸﻠﻤﻌﺗ ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ
:
233
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.
Seseorang tidak
dibebani melainkan
menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada
dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”Q.S Al-Baqarah 233
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa hadhanah adalah salah satu
kewajiban bagi kedua orang tua atau yang mendapatkan hal tersebut, pengabaian terhadap anak adalah suatu penganiyaan terhadap anak tersebut.
Pendidikan anak juga merupakan salah satu faktor yang amat penting dalam kehidupan keluarga. Orang tua berkewajiban untuk mengarahkan anak-anak
mereka untuk menjadi orang-orang beriman dan berakhlak mulia, serta patuh dalam melaksankan ajaran agama dengan baik agar terhindar dari
perbuatan dosa dan maksiat.
5
Allah berfirman dalam surat at-tahrim ayat 6 :
ﻳ ﺎﻬّﻳﹶﺃ ﺎ
ﺱﺎّﻨﻟﺍ ﺎﻫﺩﻮﹸﻗﻭ ﺍﺭﺎﻧ ﻢﹸﻜﻴﻠﻫﹶﺃﻭ ﻢﹸﻜﺴﹸﻔﻧﹶﺃ ﺍﻮﹸﻗ ﺍﻮﻨﻣﺁ ﻦﻳﺬّﹶﻟﺍ ﻢﻫﺮﻣﹶﺃ ﺎﻣ ﻪّﹶﻠﻟﺍ ﹶﻥﻮﺼﻌﻳ ﻻ ﺩﺍﺪﺷ ﹲﻅﻼﻏ ﹲﺔﹶﻜﺋﻼﻣ ﺎﻬﻴﹶﻠﻋ ﹸﺓﺭﺎﺠﺤﹾﻟﺍﻭ
ﹶﻥﻭﺮﻣﺆﻳ ﺎﻣ ﹶﻥﻮﹸﻠﻌﹾﻔﻳﻭ ﱘﺮﺤﺘﻟﺍ
6
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Q.S At-Tahrim 6
Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah swt untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota
keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larang- larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.
6
Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikan berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada
bahaya kebinasan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan
5
Tihami dan Sohari Sahroni, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers, 2009 ,h.217.
6
Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006, h. 177.
urusanya, dan orang yang mendidiknya. Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam pangkuan ibu bapaknya, karena dengan
adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya, membersihkan jiwanya serta mempersiapkan diri anak dalam
menghadapi kehidupannya dimasa yang akan datang.
7
c. Syarat-syarat Hadhanah dan Hadhin
Masalah yang paling pokok dalam pemeliharaan anak adalah syarat- syarat orang yang menjadi Hadhin. Karena sifat seorang pengasuh akan
berpengaruh kuat terhadap anak yang menjadi asuhannya, seorang Hadhin ibu asuh yang menangani dan menyelengarakan kepentingan anak kecil
yang diasuhnya yaitu adanya kecukupan dan kecakapannya. Kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat
tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya.
8
Untuk kepentingan anak dan pemeliharaannya diperlukan beberapa syarat bagi yang melakukan hadhanah, sebagai berikut:
9
1. Yang melakukan hadhanah hendaklah sudah baligh, berakal, tidak terganggu ingatanya, sebab hadhanah ini merupakan perkerjaan yang
7
Slamet Abidin, Fikih Munakahat II, Bandung: Pustaka Setia, 1999, h. 172.
8
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontempoler, Jakarta: Kencana, 2004, h. 172.
9
Satria Effendi M. Zein, problematika Hukum Keluarga Islam Kontempoler,Jakarta : Prenada Media,2004,h. 172-173.
penuh tanggung jawab. Oleh sebab itu, seorang ibu yang mendapat gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas hadhanah.
2. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik mahdun anak yang diasuh, dan tidak terikat dengan suatu perkenjaan
yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar. 3. Seorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya
memegang amanah, sehingga dengan itu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak. Orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan
contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh karena itu ia tidak layak melakukan tugas ini.
4. Jika yang akan melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak yang akan diasuh, disyaratkan tidak kawin dengan lelaki lain. Dasarnya adalah
penjelasan Rasullah bahwa seorang ibu hanya mempunyai hak hadhanah bagi anaknya selama ia belum menikah dengan lelaki lain HR. Abu
Daud. Adanya persyaratan tersebut disebabkan kekhawatiran suami pertama. Oleh karena itu, seperti disimpulkan ahli-ahli fikih, hak
hadhanahnya tidak menjadi gugur jika ia menikah dengan krerabat dekat si anak, yang memperlihatkan kasih sayang dan tanggung jawabnya.
Demikian pula hak hadhanah, hak hadhanah tidak gugur jika ia menikah dengan laki-laki lain yang rela menerima kenyataan. Hal itu terjadi pada
diri Ummu Salamah, ketika ia menikah dengan rasullah, anaknya dengan suami pertama selanjutnya tetap dalam asuhanya HR.Ahmad.
berdasarkan kenyataan ini Ibnu Hazmin berpendapat tidak gugur hak
hadhanah seorang ibu dengan menikahnya dia dengan laki-laki lain, kecuali jika suami kedua itu jelas menolaknya.
5. Seorang yang melakukan hadhanah harus beragama Islam. Orang kafir tidak boleh menjadi pengasuh anak yang beragama islam. Sebab
pemeliharaan anak merupakan perwakian. 6. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-
urusan dengan tuannya, sehingga ia tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil.
Ibnu Qayyim berkata: tentang syarat merdeka ini, tidaklah ada dalilnya yang menyakinkan hati. Hanya murid-murid dari tiga mazhablah
yang menetapkannya. Dan Imam Malik berkata tentang seorang laki-laki yang merdeka yang punya anak dari budak perempuannya: sesungguhnya
ibunya lebih berhak selama ibunya tidak dijual, maka hadhanahnya berpindah dan ayahnyalah yang lebih berhak atas anaknya.
10
Imam mazhab yang empat berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat yang menjadi pengasuh, perbedaan tersebut adalah:
Imam Hanafi berpendapat bahwa, syarat-syarat pengasuh adalah : a. Tidak murtad, sedang Islam tidak menjadikan syarat-syarat bagi
seorang pengasuh. b. Tidak fasik, seperti pencuri atau pemabuk, orang seperti ini tidak layak
diberi tugas mengasuh anak kecil.
10
Al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 2,Darul Fattah: Kairo, 1th, h.355.
c. Tidak kawin selain kepada bapaknya, kecuali kawin kepada orang yang sayang kepada anak.
d. Senantiasa memperhatikan anak asuhnya, orang yang tidak suka meninggalkan anak.
e. Bapaknya tidak dalam keadaan susah yang akan memperlambat biaya pemeliharaan anak.
f. Merdeka. Menurut pendapat Imam syarat-syarat seorang pengasuh adalah :
a. Berakal, tidak gila kecuali gilanya itu kadang-kadang, seperti satu hari dalam satu tahun.
b. Merdeka, tidak ada hak memelihara bagi hamba sahaya. c. Islam, tidak ada hak memelihara bagi orang kafir.
d. Iffah dapat menjaga kesucian diri, tidak ada hak pemeliharaan bagi orang yang fasik, walaupun hanya meninggalkan shalat.
e. Amanah dan dapat dipercaya dalam segala urusan. f. Ibunya tidak kawin kepada selain mahram anak yang menjadi asuhanya
itu. Sedangkan pendapat Imam Hambali adalah sebagai berikut:
a. Berakal, tidak ada hak hadhanah bagi orang gila. b. Merdeka, bukan hamba sahaya.
c. Tidak lemah, seperti buta yang dapat menghalagi maksud hadhanah. d. Tidak mempunyai penyakit menular, seperti lepra,
e. Tidak menikah dengan orang lain kecuali dengan kerabat mahram, seperti paman.
Adapun Imam Malik syarat-syarat pengasuh itu meliputi: a. Berakal.
b. Mampu menjaga anak yang menjadi asuhanya, sampai anak asuhanya dewasa.
c. Dapat dipercaya, tidak ada hadhanah bagi orang fasik, seperti pemabuk, pencuri, dan pezina.
d. Tidak terkena penyakit menular, yang dapat menular kepada anak asuhanya seperti kusta.
e. Hemat, tidak ada hak hadhanah bagi orang boros. f. Tidak menikah dengan orang lain kecuali dengan mahramnya, seperti
paman. Selain syarat-syarat diatas, untuk perempuan masih ada syarat khusus
sebagai berikut: a. Perempuan yang sudah cerai, namun masih punya anak kecil boleh
memelihara anaknya dengan syarat ia belum menikah lagi dengan laki- laki lain, atau laki-laki yang terhitung kerabat, namun bukan mahram.
Pendapat ini telah disepakati para ulama karena ada hadis yang berbunyi,”engkau lebih berhak atas hadhanah anak itu selama engkau
belum menikah lagi”. Syarat ini ditetapkan karena terkadang seorang ayah memperlakukan anak tirinya dengan kasar, sedangkan ibu kandung
anak tersebut sibuk dengan tugasnya sebagai istri. Jika perempuan tadi menikah lagi dengan kerabat dekat yang terhitung mahramnya si anak,
seperti pamannya tadi tidak gugur karena orang yang menikahinya masih tergolong keluarganya yang berhak mengurus hadhanah anak tersebut
sehingga keduanya bisa saling bantu untuk menanggung hidup anak itu. b. Perempuan yang jadi hadhin itu syaratnya harus memiliki hubungan
mahram dengan anak yang dipeliharanya, seperti ibu si anak, saudara perempuan si anak, dan nenek si anak. Hak hadhanah tidak diberikan
kepada anak perempuannay paman atau bibi. Tidak juga pada anak perempuannya dari jalur ibu, atau anak perempuannya bibi dari jalur ibu.
Alasanya karena tidak ada hubungan mahrim kepada si anak, namun mereka menurut hanifayah tetap berhak mengurus hadhanah anak
perempuan. c. Perempuan yang jadi hadhin tidak pernah berhenti meskipun tidak diberi
upah hadhanah karena memang ekonomi ayah si anak sedang kesulitan sehingga tidak mampu membayar upah hadhanah. Jika ekonomi ayah si
anak sedang sulit sehingga tidak mampu membayar upah hadhanah kepada anaknya, lantas perempuan yang menjadi hadhin itu berenti dari
tugasnya dan digantikan kepada kerabat dekat lainnya maka haknya sebagai hadhin pun menjdi gugur, syarat ini ditetapkan oleh ulama
Hanafiyah. d. Hadhanah tidak tinggal bersama orang yang dibenci oleh anak asuhnya,
meskipun orang itu kerabat dekat si anak sendiri karena hal ini akan
menimbulkan dampak negatif pada diri anak asuhnya. Jadi, seorang nenek tidak berhak mengasuh hadhanah anak jika ia tinggal bersama
puterinya jika ia sudah menikah, kecuali jika ia sudah pisah rumah. Syarat ini ditetapkan oleh Ulama Malikiyah.
Kemudian syarat-syarat untuk anak yang akan diasuhnya adalah sebagai berikut.
11
a. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.
b. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot.
Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah pengasuh siapapun.
Tetapi di dalam peraturan perundang-undangan Perkawinan di Indonesia baik itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan ataupun Impres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam tidak ada satu pun pasal yang membahas masalah mengenai
syarat-syarat atau persyaratan bagi seorang yang berhak mendapatkan hak asuh anak. Di dalam Kompilasi Hukum Islam hanya mengatur bahwa
apabila si pemegang hak asuh anak tidak mampu menjaga keselamatan jasmani dan rohani si anak, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanahnya kepda kerabat lainnya yang mempunyai hak hadhanahnya pula.
11
Amir Syarifuddin, Hukum Islam di Indonesia antara Fiqih dan Munakahat Dan UU Perkawinan,Jakarta: Prenada Media,2006, h.329.
d. Pihak-pihak Yang Berhak dalam Hadhanah
Seseorang anak pada permulaan hidupnya, seperti pada umur tertentu, memerlukan prang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti
makan, pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidur. Oleh karena itu, orang yang menanganinya perlu
mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran dan mempunyai keinginan agar anak itu baik dikemudian hari. Di samping itu juga, ia harus mempunyai
waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu.
12
Ulama fikih berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang memiliki hak hadhanah tersebut, apakah hak hadhanah milik terhadap wanita atau hak
anak yang diasuh.
13
Jika wanita lebih berhak mendidik dan mengasuh anak daripada laki-laki, maka sesuai ijma ibu kandung si anak tentu lebih berhak
mengasuh anaknya setelah terjadi perpisahan antara suami dan istrinya, baik karena talak, meninggalnya suami atau suami menikah dengan wanita lain,
karena ibu jauh memiliki kelembutan dan kasih sayang, kecuali ada penghalang yang menghapuskan hak si ibu untuk mengasuh anak.
Maka dari itu para Ulama memberikan urutan dan skala prioritas hak mengasuh anak bagi para wanita, sesuai dengan kemaslahatan anak tersebut.
Menurut mereka, naluri kewanitaan mereka lebih sesuai untuk merawat dan
12
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 217-218.
13
Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Presfektif Islam, Jakarta:Kencana,2008,h.116.
mendidik anak, serta adanya kesabaran mereka dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak lebih tinggi dibandingkan kesabaran seorang
laki-laki. Urut-urutan prioritas orang yang berhak mengasuh anak, menurut
ulama fikih adalah sebagai berikut: a. Kalangan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang paling berhak
mengasuh anak adalah: 1. Ibu kandungnya sendiri.
2. Nenek dari pihak ibu. 3. Nenek dari pihak ayah.
4. Saudara perempuan. 5. Bibi dari pihak ibu.
6. Anak perempuan saudara perempuan. 7. Anak perempuan saudara laki-laki.
8. Bibi dari pihak ayah. b. Kalangan Mazhab Maliki berpendapat bahwa urutan hak anak asuh
dimulai dari yaitu: 1. Ibu kandung.
2. Nenek dari pihak ibu. 3. Bibi dari pihak ibu.
4. Nenek dari pihak ayah. 5. Saudara perempuan.
6. Bibi dari pihak ayah.
7. Anak perempuan dari saudara laki-laki. 8. Penerima wasiat.
9. Dan kerabat lain ashabah yang lebih utama. c. Kalangan Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa urutan hak asuh anak
dimulai pada: 1. Ibu kandung.
2. Nenek dari pihak ibu. 3. Nenek dari pihak ayah.
4. Saudara perempuan. 5. Bibi dari pihak ibu.
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki. 7. Anak perempuan dari saudara perempuan.
8. Bibi dari pihak ayah. 9. Dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi si anak yang mendapat
bagian warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian harta warisan.
d. Kalangan Mazhab Hambali berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari:
1. Ibu kandung . 2. Nenek dari pihak ibu.
3. Kakek dan ibu kakek. 4. Bibi dari kedua orang tua.
5. Saudara perempuan seibu.
6. Saudara perempuan seayah. 7. Bibi dari ibu kedua orangtua.
8. Bibinya ibu. 9. Bibinya ayah.
10. Bibinya ibu jalur ibu. 11. Bibinya ayah dari jalur ibu.
12. Bibinya ayah dari pihak ayah. 13. Anak perempuan dari saudara laki-laki.
14. Anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah. 15. Kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.
Dengan demikian jelas bahwa anak yang belum dewasa tidak dapat mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum karena itu
segala perbuatan yang menyangkut kepentingan anak tetap menjadi tanggung jawab orang tua.
e. Masa Hadhanah
Dalam literatur fikih dua periode bagi anak dalam kaitanya dengan hadhanah, yaitu masa sebelum mumayyiz, dan masa sesudah mumayyiz.
Periode sebelum mumayyiz adalah dari waktu lahir sampai usia menjelang tujuh tahun atau delapan tahun. Pada masa tersebut pada umumnya
seorang anak belum lagi mumayyiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya.
Periode yang kedua yaitu periode mumayyiz, yaitu masa dimana usia anak tujuh tahun sampai menjelang balik berakal. Pada masa ini seorang
anak secara sederhana telah mampu membedakan masa yang berbahaya dan mana yang bermanfaat bagi dirinya.
Beberapa ulama mazhab berselisih pendapat mengenai masa asuh anak, karena didalam alquran tidak terdapat ayat-ayat dan hadis yang
menerangkan tentang masa hadhanah dan juga kapan berakhirnya masa hadhanah seorang anak akibat perceraian, perbedaan tersebut diantara
seperti : a. Imam syafi’i berpendapat tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak
tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibunya atau ayahnya, juka si anak sudah
sampai pada tingkat ini, dia disuruh memilih apakah bersama ibu atau ayahnya.
b. Imam Hanafi berpendapat, bahwa masa asuhan tujuh tahun untuk laki- laki, dan sembilan tahun untuk perempuan. Mereka menganggap bagi
perempuan lebih lama, sebab agar dia dapat menirukan kebiasaan- kebiasaan kewanitaan dari perempuan yang mengasuhnya.
14
c. Imam Maliki berpendapat, bahwa masa asuhan, anak laki-laki adalah sejak dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga ia
menikah.
14
Slamet Abidin, Fikih Munakahat2, Bandung: Pusaka setia, 1999,h.185.
d. Imam Hambali berpendapat, bahwa masa asuhan anak laki-laki dua tahun, sedang anak perempuan tujuh tahun, sesudah itu si anak disuruh
memilih apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya, lalu si anak tinggal bersama oyang yang dipilihnya itu.
15
Berdasarkan pendapat-pendapat para ulama diatas, tampak bahwa tidak ada ketentuan-ketentuan yang jelas mengenai masa pengasuhan
anakhadhanah. Pada umumnya para fukuha sepakat usia pengasuhan anak, dibatasi sampai anak tersebut sudah mencapai usia mencapai usia
mumayyiz.
B. Hak Asuh Anak Menurut Hukum Positif
a. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah disebutkan tentang hukum pengasuhan anak secara tegas merupakan
rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum pengasuhan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 9
Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah hadhanah ini belum dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada kehakiman
dilingkungan Peradilan Agama pada waktu itu masih merujuk pada hukum hadhanah dalam kitab-kitab fikih.
Baru setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1980 tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang penyebar
15
Muhammad Jawad Mughniyyah,Fikih Lima Mazhab, H.418.
luasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di
Indonesia dan
Peradilan Agama
diberi wewenang
untuk menyelesaikannya.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat beberapa pasal yang menjelaskan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak seperti pada
pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:
1 Kedua orang tua memiliki kewajiban memelihara dan mendidik anak- anak mereka sebaik-baiknya.
2 Kewajiban tersebut sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban tersebut berlaku terus meskipun pernikahan antara kedua
orang tua putus.
16
Mengenai batas kewajiban pemeliharaan dan pendidikan ini berlaku sampai anak tersebut berumah tangga atau dapat berdiri sendiri dan
kewajiban tersebut berlangsungan terus-menerus meskipun pernikahan orang tuanya bercerai.
Pasal 47 Undang-undang Nomor 1 Tahun tentang Perkawinan mengatur mengenai kekuasaan orang tua terhadap kekuasaan amak dibawah
umur, dimana disebutkan bahwa : Pasal 46:
1 Anak wajib menghormati dan menaati kehendak mereka yang baik.
16
Lihat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 45.
2 Jika anak yang telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila
mereka itu memerlukan bantuanya. Pasal 47:
1 Anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau yang belum pernah melangsungkan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang
tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya. 2 Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan diluar pengadilan.
17
Pasal 48: Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 49:
1 Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaanya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua
lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan
dalm hal-hal: a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
17
Lihat Pasal 47, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
c. Meskipun orang tua dicabut kekuasaanya, mereka masih berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Ketentuan tersebut pun berlaku meskipun pernikahan orang tuanya putus. Jadi dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, kekuasaan orang tua itu dapat dicabut jika orang tuanya sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan salah satu orang tuanya
berkelakuan buruk sekali. Tetapi meskipun kekuasaannya dicabut mereka masih berkewajiban memberi pemeliharaan dan mengasuh anaknya
tersebut.
b. Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam KHI masalah pemeliharaan anak atau yang dalam Islam disebut Hadhanah diatur dalam beberapa pasal di
dalamnya, seperti yang terdapat dalam pasal: Pasal 105 :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya; c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya;
Dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, mengenai hadhanah menjadi hukum positif di