Peranana KPAI dalam penyelesaian perbuatan hak asuh anak paska perceraian

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh : NIA OCTAVIANI NIM : 1111044100051

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

( A H W A L S Y A K H S I Y Y A H )

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H/2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015M, xi + 75 halaman + 15 halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pihak KPAI dalam menyelesaikan pengaduan tentang perebutan hak asuh anak pasca perceraian dan mengetahui perkara yang diselesaikan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan Yuridis Emperis, dengan jenis penelitian kualitatif dan penelitian kepustakaan. Dengan sumber data yang diambil dari data primer berupa data statistik kasus-kasus perlindungan anak, dan wawancara pihak KPAI dan data sekunder diperoleh dengan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara menganalisa isi putusan dan hasil wawancara yang ditranskip ke dalam tulisan.

Hasil penelitian ini menunjukkan, hak asuh anak yang diajukan kepada pihak KPAI mengenai kesulitan untuk mengakses bertemu dengan anaknya, oleh karena itu para pihak mengadukan perkara tersebut untuk diselesaikan oleh pihak KPAI dengan cara mediasi. Ketentuan mnyelesaikan masalah dengan mediasi ini sudah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Kata Kunci : Hak Asuh Anak Pasca Perceraian

Pembimbing : Drs .H. Ahmad Yani, M.Ag.


(6)

Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW, bagi keluarga, para sahabat, dan seluruh umatnya yang taat akan ajarannya hingga akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun syukur alhamdulillah berkat rahmat dan ridha-Nya, kesungguhan serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Arip Purkon, M.A., Ketua Program Studi dan

Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. H. Ahmad Yani,M.Ag., Dosen Pembimbing Skripsi yang telah berkorban

meluangkan waktu dan perhatiannya serta membantu dan membimbing penulis dalam memberikan pengarahan dan petunjuk tata cara penulisan skripsi.

4. Afwan Faizin, M A., Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan


(7)

selama duduk di bangku perkuliahan.

6. Pimpinan Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah memberikan penulis fasilitas untuk menggandakan studi perpustakaan

7. Kepala Sekretariat KPAI beserta staf yang telah meluangkan waktunya sehingga

memudahkan penulis menyelesaikan skripsi ini.

8. Retno Adji Prasetiaju,SH., Kepala Sekretariat KPAI yang telah meluangkan waktunya

untuk penulis wawancarai guna mempermudah penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Skripsi ini penulis persembahkan kepada orang tua yaitu Ayahanda Omod Mahmudin

dan Ibunda Yeti Sumiyati yang selalu memberikan dorongan, bimbingan kasih sayang, dan doa tanpa lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan

rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Allahummagfirlii Waliwaalidayya

Warhamhuma Kama Rabbayani shagiira.

10. Kepada adik-adikku yang senantiasa ada dan berupaya membantu penulis dalam

menempuh kuliah baik berupa semangat, candatawa, serta waktu. Terimakasih untuk selalu memberikan semangat dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Terimakasih untuk sahabat terbaik, Robiatul Adawiyah,Nur Adzimah,Nurul Khomsah

terimakasih atas dukungan dan semangatnya kepada penulis dari awal perkuliahan hingga penulis menulis skripsi dan dapat menyelesaikan skripsi ini.


(8)

13. Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan Peradilan Agama A dan B 2011 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah menjadi teman seperjuangan penulis dari awal masuk kuliah hingga penulis menulis skripsi dan dapat menyelesaikan skripsi. Terimakasih untuk canda tawa, semangat dan doa kalian semua.

Terima kasih atas dukunga dan motivasinya, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Amin.

Jakarta, 13 Oktober 2015


(9)

x

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Studi Review Terdahulu ... 9

E. Metode Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II HAK ASUH ANAK DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF ... 23

A. Hak Asuh Anak Dalam Hukum Islam ... 23

1. Pengertian Hadhanah ... 23

2. Dasar Hukum Hadhanah ... 26

3. Syarat-syarat Hadhanah ... 28


(10)

xi

2. Kompilasi Hukum Islam ... 43

3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ... 47

BAB III PROFIL KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA ... 50

A. Sejarah singkat KPAI ... 50

B. Dasar Hukum Pembentuk KPAI ... 55

C. Tugas dan Fungsi KPAI ... 55

D. Visi dan Misi KPAI ... 56

E. Bentuk Organisasi dan Kegiatan ... 58

BAB IV PERANAN KPAI DALAM MENYELESAIKAN PEREBUTAN HAK ASUH ANAK... 62

A. Deskripsi Data Pengaduan Perebutan Hak Asuh Anak ... 62

B. Upaya Komisi Perlindungan Anak Indonesia Dalam Menyelesaikan Pengaduan Perebutan Hak Asuh Anak ... 63

C. Analisis Penulis ... 65

BAB V PENUTUP ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran-Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan Hakim ataupun tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.1 Undang-Undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan saja antara seorang suami dan seorang istri, tetapi harus dengan adanya alasan yang sah. Perceraian mempunyai banyak akibat terhadap anak yang masih dibawah umur, yakni kekuasaan orang tua dapat berubah menjadi perwalian, karena jika perkawinan diputuskan oleh Hakim maka harus diatur pula tentang perwaliannya terhadap anak yang masih dibawah umur. Penetapan wali oleh Hakim dilakukan setelah mendengarkan keluarga dari pihak bapak maupun ibu yang dekat hubungannya dengan anak tersebut.2

Anak-anak merupakan penerus generasi muda dan pengganti orang tua sekaligus generasi harapan Bangsa. Jika orang tua dapat mendidik anaknya tersebut dengan baik, maka anak tersebut dapat diharapkan menjadi penerus Bangsa. Orang tua yang baik secara jasmani dan rohaninya serta bertanggung jawab mendidik maupun memelihara anaknya sampai tumbuh menjadi orang yang berguna, cerdas, berbakti kepada orang tua dan

1

Subekti , Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta : Intermasa,1994), h. 42. 2


(12)

bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berkemampuan untuk meneruskan cita-cita berdasarkan Pancasila.

Suatu perceraian dapat terjadi dikarenakan kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis atau kata lainnya adalah sudah tidak dapat diharapkan untuk hidup rukun dan damai lagi. Perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan yang terakhir setelah usaha dan upaya yang telah dilakukan guna memperbaiki kehidupan perkawinannya, tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh kecuali hanya dengan dilakukannya perceraian antara keduanya yakni suami istri tersebut.3

Putusnya suatu hubungan perkawinan akibat perceraian sebisa mungkin hanya sebagai jalan darurat yang dilakukan, jika saja perceraian menjadi jalan terakhir maka sepatutnya proses-proses upaya perdamaian telah dilakukan baik oleh inisiatif pasangan suami istri tersebut maupun oleh usaha keluarga ataupun juru perdamaian maupun yang selalu diupayakan oleh Hakim di Pengadilan sebelum melangsungkan berdasarkan persidangan, hedaknya upaya damai tersebut menjadi pertimbangan yang memang harus dilakukan oleh pihak yang ingin bercerai.4 Dalam sengketa perceraian, anjuran damai menjadi satu Asas Hukum Acara Peradilan

3

Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian (Jakarta: Ghalia Indonesia), h. 30. 4


(13)

Agama yang menjadi kewajiban Hakim untuk mengupayakan dalam setiap kesempatan pemeriksaan. 5

Hal tersebut jelas sangat tidak sesuai dengan tujuan adanya perkawinan yakni menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 1 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir maupun batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan istri, dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 6 Membentuk keluarga yang kekal artinya membentuk kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami,istri, dan anak-anak. Selain itu tujuan lain dari kata perkawinan yaitu untuk menghasilkan keturunan yang berguna dan mengharumkan sebuah kekeluargaan.7

Menurut pandangan Islam, tujuan perkawinan antara lain adalah agar suami istri dapat membina kehidupan yang tentram lahir maupun batiniah dan saling mencintai satu sama lain dalam suatu keluarga yang berlangsungan kekal dan abadi, oleh karena itu, islam memberi petunjuk untuk jalan yang harus ditempuh bila terjadi perselisihan didalam rumah tangga.8 Namun beda halnya dengan kitab undang-undang hukum perdata, sebab KUH Perdata tidak mengenal definisi dari perkawinan. Perkawinan

5

Roihan A. Rasyida, Hukum Acara Peradilan Agama,(Jakarta : Raja Grafindo Persada 1995) h. 99 dan 134.

6

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 7

Abdurahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rinek Cipta) h. 4. 8


(14)

ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama, UU memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan demikian bunyi pasal 26 Burgerlijk Wetboek. Artinya bahwa pasal tersebut hendak menyatakan bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan.9 Sedangkan tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah membentuknya keluarga yang rapat hubungannya dengan keturunannya, selain itu pula merupakan tujuan dari perkawinan, pemeliharaan, dan biaya pendidikan yang menjadi hak dan kewajiban orang tua. 10

Pertimbangan dari pasal tersebut adalah bahwa sebagaian negara yang berdasarkan pasal 41 UU Perkawinan, maka jelas bahwa meskipun suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan hubungan antara orang tua yakni suami istri yang telah bercerai dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi putus. Sebab dengan tegas diatur bahwa suami dan istri yang telah bercerai tetap mempunyai kewajiban sebagai orang tua yakni untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya, termasuk dalam hal pembiayaan yang timbul dari pemeliharaan dan pendidikan dari anak tersebut. Ketentuan diatas juga menegaskan bahwa negara melalui UU Perkawinan tersebut memberikan perlindungan

9

Soebekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2003), h. 23. 10


(15)

hukum bagi kepentingan anak-anak yang perkawinan orang tuanya putus karena perceraian.

Permohonan untuk mendapatkan hak asuh anak perlu dicermati bahwa ketentuan pasal 41 huruf A, UU Perkawinan pada bagian terakhir menyatakan bahwa “bilamana ada perselisihan mengenai pengasuhan anak, pengadilan memberikan keputusan”. Berangkat dari ketentuan tersebut maka dalam suatu gugatan perceraian, selain dapat memohonkan agar diberikan hak asuh anak-anak ( yang masih dibawah umur) yang lahir dari perkawinan tersebut. Dalam UU Perkawinan sendiri memang tidak terdapat definisi mengenai Hak Asuh Anak tersebut, namun jika melihat pasal 1 angka 11, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya. 11

Sesuai dengan apa yang sudah disampaikan tentunya akan timbul suatu pertanyaan, siapakah diantara bapak atau ibu yang paling berhak untuk memperoleh hak asuh atas anak tersebut. Satu-satunya aturan yang dengan jelas dan tegas memberikan pedoman bagi hakim dalam memutus pemberian hak asuh atas anak tersebut terhadap dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan :

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

11

UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


(16)

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anaknya untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. 12

Hadhanah sebagai salah satu akibat putusnya perkawinan diatur secara panjang lebar oleh KHI, sebagai berikut :

Pasal 156

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah :

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya. b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan

hadhanah dari ayah atau dari ibunya.

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

d. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan pemeliharaan berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).

e. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang turut padanya.

12


(17)

Ketentuan KHI diatas nampaknya tidak dapat berlaku secara universal, karena hanya akan mengikat bagi mereka yang memeluk agama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama). Sedangkan untuk orang-orang yang bukan beragama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri), karena tidak ada pedoman yang secara tegas mengatur batasan pemberian hak asuh bagi pihak yang menginginkannya, maka hakim dalam menjatuhkan putusannya akan mempertimbangkan antara lain pertama, fakta-fakta yang terungkap di persidangan, kedua, bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak serta argumentasi yang dapat menyakinkan hakim mengenai kesanggupan dari pihak yang memohonkan Hak Asuh Anak tersebut dalam mengurus dan melaksanakan kepentingan dan pemeliharaan atas anak tersebut baik secara materi, pendidikan, jasmani, dan rohani dari anak tersebut.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik dengan masalah dalam kasus tersebut dan mencoba untuk mengangkat wacana tersebut dalam karya ilmiyah ini dengan judul “Peranan KPAI Dalam Penyelesaian Perebutan Hak Asuh Anak Pasca Perceraian”.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan skripsi ini tidak keluar dari pokok pembahasan, disamping keterbatasan penulisan miliki. Maka penulis akan melakukan pembatasan masalah yang dibahas yaitu mengenai data pengaduan tentang


(18)

perebutan hak asuh anak pasca cerai di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2014.

2. Perumusan masalah

Menurut Peraturan Undang-Undang, Hak Asuh Anak yang dibawah umur jatuh kepada ibunya, akan tetapi pada kenyataannya banyak anak yang dibawah umur diasuh oleh ayahnya.

Dari rumusan masalah tersebut maka penulis mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana Hak Asuh Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam? 2. Bagaimana upaya Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam

menyelesaikan pengaduan tentang perebutan hak asuh anak pasca cerai ?

C.Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui hak asuh anak menurut hukum Positif dan hukum Islam.

2. Untuk mengetahui upaya Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam menyelesaikan pengaduan tentang perebutan hak asuh anak pasca cerai.

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Secara Akademik, menambah ilmu pengetahuan dibidang hukum perdata serta mengembangkan ilmu dibidang syariah, khususnya dalam bidang pemeliharaan anak dan mengetahui dasar hukum dan pertimbangan dalam memutus perkara tentang hak asuh anak.


(19)

2. Secara Praktis agar dapat memikirkan dalam rangka memelihara hak-hak terhadap anak.

D. Kajian Studi Terdahulu

1. Diana Yulita Sari, Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Analisis Putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor 340.K/AG/2006. Dalam skripsi ini membahas tentang Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 yang mengatur kuasa asuh. Dan hal tersebut dapat dicabut bila diketahui orang tuanya menelantarkan anak-anak atau tidak dapat menjamin tumbuh kembang si anak-anak. Sesuai dengan amanat UU Perlindungan Anak dan UU Perkawinan bahwa jika suami istri telah bercerai, maka kewajibannya untuk mengasuh dan merawat anak-anak tetap menjadi kewajiban kepada mereka, namun yang perlu ditegaskan disini adalah, bahwa terdapat perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat materil dan tanggung jawab yang bersifat pengasuh. Perbedaan dengan skripsi penulis adalah skripsi yang ditulis oleh diana yulita sari yaitu bagaimana lingkup hak asuh anak dibawah umur dan bagaimana putusan hakim dalam memutuskan perkara tersebut. Sudah sesuaikah hakim dalam memutuskan perkara tesebut tidak menyalahkan Undang-undang tentang perlindungan anak, skripsi yang ditulis oleh diana


(20)

yulita sari lebih fokus terhadap putusan Mahkamah Agung menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002.

2. Moh Anas Maulana Ibroohim, pelimpahan hak asuh anak kepada bapak akibat perceraian (studi putusan Pengadilan Agama bekasi No 345/pdt.G/2007/PA.BKS), skripsi ini membahas tentang pelimpahan hak asuh anak yang jatuh kepada bapaknya. Sedangkan pemeliharaan yang optimal agar tumbuh kembang terpeliharanya anak tersebut, yang dimungkinkan bapak sibuk untuk mencari nafkah, maka seharusnya ibulah yang berkewajiban untuk memeliharanya. Karena peran ibu dalam mendidik anak sangatlah penting, sudah semestinya dalam memutuskan perkara bersikap hati-hati dan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan dan hukum wajib memberikan putusan yang seadil-adilnya, sehingga berbagai kepentingan dari berbagai para pihak yang berperkara dapat terpenuhi, termasuk perkara perlimpahan hak hadhanah terhadap anak yang belum mumayyiz hak hadhanah semestinya ikut ibunya, namun demikian dalam perkara ini telah dilimpahkan hak asuh anak yang belum mumayyiz jatuh kepada bapaknya. Perbedaan dengan skripsi penulis adalah skripsi yang ditulis oleh Moh Anas Maulana Ibroohim yaitu dasar pertimbangannya yurisprudensi yang digunakan oleh hakim dalam memutuskan perkara hak asuh anak atau yang disebut dengan hadhanah yang dilimpahkan kepada bapaknya yang mana hanya membatasi tentang gugatan pemeliharaan anak di Pengadilan Agama Bekasi dan putusan hakim


(21)

yang melimpahkan hak asuh anak kepada bapaknya dengan kekuatan hukum yang tetap atau sudah ingkra.

3. Firman Sulaeman, hak pemeliharaan anak yang belum mumayyiz akibat perceraian (studi kritis terhadap pasal 105 point A KHI), skripsi ini membahas tentang tentang syarat-syarat hadhanah, siapa saja yang berhak memelihara anak yang belum mummayiz ketentuan tentang hak hadhanah akibat terjadi perceraian orang tuanya yang diatur dalam KHI pasal 105 point A : a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anaknya untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan, c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya, namun dalam hadhanah Agama Islam memberikan syarat-syarat kepada seorang pengasuh yaitu : berakal, baligh, mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mendidik anak yang diasuh dapat dipercaya, dan juga harus beragama Islam atau seakidah dengan anaknya. Perbedaan dengan skripsi penulis adalah skripsi yang ditulis oleh Firman Sulaeman adalah hanya membatasi tulisanya tentang hak asuh anak yang belum mummayiz yang lebih fokus terhadap efektifitas yang berada didalam pasal 105 point A nya saja menurut KHI sebagai pedoman hukum bagi para hakim dalam menyelesaikan sengketa hadhanah dilingkungan Pengadilan Agama. Dan dalam skripsi ini penulis hanya menerapkan tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 105 di dalam skripsi ini.


(22)

E. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis emperis. Yang dimaksud dengan pendekatan yuridis emperis adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi di dalam masyarakat.

Metode pendekatan yuridis emperis merupakan cara prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data primer terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data sekunder dilapangan.

Pendekatan yuridis emperis ini dimaksudkan untuk melakukan penjelasan atas masalah yang diteliti dengan hasil penelitian yang diperoleh dalam hubungan dengan aspek hukum dan realita yang terjadi menyangkut hak asuh anak pada data pengaduan perebutan hak asuh di KPAI.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah : a. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yang dilakukan

dengan melakukan analisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi dari data pengaduan perebutan hak asuh anak yang penulis dapatkan tersebut.

b. Penelitian Kepustakaan (library pustaka), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji, menganalisa serta merumuskan


(23)

buku-buku, literature dan lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.13

Sumber Data A. Data Primer

Data prime adalah pengempulan data dengan cara turun langsung ke l apangan, melakukan wawancara dengan subjek penelitian.

1) Data primer, yaitu :

a. Data Pengaduan Anak Korban Perebutan Hak Asuh Anak Pasca Cerai

b. Wawancara terhadap pihak Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang menyelesaikan data pengaduan perebutan hak asuh anak,

B. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan.14 Dokumen-dokumen yang dimasukan adalah Al-Qur’an, Hadits, buku-buku ilmiah, Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Perlindungan Anak, Kompilasi Hukum Islam serta Peraturan yang lainnya yang dapat mendukung skripsi ini.

C. Teknik Pengumpulan Data

13

Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 113.

14

Soerjono Soekarnto, Pengantar Penelitian Hukum , (Jakarta: UI, 1984), h. 12.


(24)

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :

a. Menganalisa data pengaduan tentang perebutan hak asuh anak pasca cerai di KPAI.

b. Interview atau wawancara yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh pihak KPAI yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu.15 Interview yang sering juga disebut wawancara atau kisioner lisan adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara atau interviewer untuk untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Dalam hal ini penulis mengadakan wawancara dengan informan yakni pihak KPAI yang menyelesaikan data pengaduan perebutan hak asuh anak.

c. Pengelolah data, menjelaskan cara mengelolah data mentah hasil penelitian agar dapat terbaca dengan baik. Pengelolah data harus didasarkan pada kebutuhan data yang akan disajikan dalam skripsi. D. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses pelacakan dan pengaturan secara sistematik transkip wawancara, catatan lapangan, bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat dipresentasikan temuanya kepada orang lain.

15

Lexy J Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 186.


(25)

Adapun analisi data yang digunakan adalah analisa kualitatif yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan data pengaduan perebutan hak asuh anak pasca cerai dan menghubungkan hasil wawancara, catatan lapangan, baha-bahan lain sehingga didapatkan satu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan data penulis dalam penelitian ini.

F. KERANGKA TEORI

Hadhanah yaitu memelihara anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil dan belum dapat mandiri, menjaga kepentingan anak, melindungi dari segala yang membahayakan dirinya, mendidik rohani dan jasmani serta akalnya supaya si anak dapat berkembang dan mengatasi persoalan hidup yang akan dihadapinya.16

Pengertian ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh sayid sabiq bahwa hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak yang masih kecil, laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar belum mumayyiz tanpa kehendak dari apapun, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani dan rohani agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.17

Hadhanah merupakan kewajiban bagi kedua orang tua untuk bersama-sama mengasuh dan melindungi anaknya sampai batas umur yang

16

Hakim Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 224. 17


(26)

telah ditetapkan, namun hal itu akan sulit terealisasikan jika ayah dan ibu terjebak dalam kasus perceraian. Akan timbul masalah siapakah yang berhak atas kewajiban mengasuh anak tersebut.

Dalam buku hukum perdata islam di Indonesia, dikatakan bahwa hadhanah adalah memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukan baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.18

Dalam Al-Qur’an terdapat ayang yang menyinggung mengenai hadhanah namun tidak dijelaskan secara gamblang ketentuan-ketentuannya, dari sini Hadis yang berfungsi sebagai penjelasan al-qur’an memainkan perannya. Dan nash-nash Al-Qur’an maupun hadits yang berbicara mengenai hadhanah antara lain :

Surat Al-Baqarah ayat 233

)

ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ

233:2

(

ﻑﻭﺮﻌﻤﹾﻟﺎﹺﺑ

ّﻦﻬﺗﻮﺴﻛﻭ

ّﻦﻬﹸﻗﺯﹺﺭ

ﻪﻟ

ﺩﻮﹸﻟﻮﻤﹾﻟﺍ

ﻰﹶﻠﻋﻭَ

“adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk anak dan istri”(Q.S Al-Baqarah 233)

Para Ulama menetapkan bahwa hadhanah hukumnya wajib, dimana kewajibannya tidak hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.19

18

Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (jakarta: Sinar Grafindo,2006), H.67. 19

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana Predana Media Group,2009), H. 328.


(27)

Dalam ajaran Islam diungkapkan bahwa tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah tannga, dan tidak tertutup kemungkinan tanggung jawab itu beralih kepada istri untuk membantu suaminya bila suami tidak mampu melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, amat penting mewujudkan kerja sama dan saling membantu antara suami dan istri dalam memelihara anak sampai ia dewasa.

Menurut Ulama Al-hadwaiyah dan Ulama Hanafiyyah, tidak perlu disuruh memilih kata mereka. Ibu lebih utama terhadap anak itu hingga dia mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Apabila sudah mampu memenuhi diri sendiri maka ayah lebih berhak atasnya. Pendapat ini sesuai dengan pendapatnya Imam Malik.20

Setelah dasar hukum itu terselesaikan tentu pengasuh menjadi faktor untuk kecakapan atau kepatutan untuk memelihara anaknya maka harus ada syarat-syarat tertentu yaitu :

1. Berakal sehat, karena orang gila tidak boleh menangani dan menyelenggarakan hadhanah.

2. Merdeka, sebab seorang budak kekuasaanya kurang lebih terhadap anak dan kepentingan terhadap anak lebih tercurahkan kepada tuannya. 3. Beragama Islam, karena masalah ini untuk kepentingan agama yang ia

yakini atau masalah perwalian yang mana Allah tidak mengizinkan terhadap orang kafir.

4. Amanah.

20

Muhammad Abu Bakar, Terjamah Subulussalam Juz III, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1995) h. 819-820.


(28)

5. Belum menikah dengan laki-laki lain bagi ibunya.

6. Bermukim bersama anaknya, bila salah satu diantara mereka pergi maka ayah lebih berhak karena untuk menjaga nasabahnya.

7. Dewasa, karena anak kecil sekalipun mumayyiz tetapi ia butuh orang lain untuk mengurusi dirinya.

8. Mampu mendidik, jika penyakit berat atau perilaku tercela maka membahayakan jiwa anak dan justru terlantarkan berada ditanganya.21

Pada dasarnya orang tua bertanggung jawab atas pemeliharaan anak-anaknya, baik orang tua dalam keadaan rukun maupun dalam keadaan sudah bercerai. Hal ini dirumuskan pada garis hukumnya dalam pasal 41 Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam pasal 105 dalam permasalahan perceraian, yang mana anak pada saat itu belum mummayiz yaitu :

1. Belum berumur 12 tahun masih haknya seorang ibu.

2. Ketika sudah mumayyiz disarankan kepada anaknya untuk memilih diantara kedua orang tuanya sebagai pemegang hak pemeliharaanya. 3. Biaya pemeliharaan di tanggung oleh ayahnya.22

Untuk kepentingan anak dan pemeliharaannya diperlukan pelaku hadhanah harus memiliki kecakapan dan memenuhi syarat-syarat hadhanah, jika, syarat-syarat tertentu tidak dapat terpenuhi satu saja, maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya.

21

Musthafa Kamal Pasha, Fikih Islam, ( Jogyakarta : Citra Karsa Mandiri, 2002), h. 304. 22


(29)

Ulama fikih berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang memiliki hak hadhanah tersebut, apakah hak hadhanah milik terhadap wanita atau hak anak yang diasuh.23 Jika wanita lebih berhak mendidik dan mengasuh anak daripada laki-laki, maka sesuai ijma ibu kandung si anak tentu lebih berhak mengasuh anaknya setelah terjadi perpisahan antara suami dan istrinya, baik karena talak, meninggalnya suami atau suami menikah dengan wanita lain, karena ibu jauh memiliki kelembutan dan kasih sayang, kecuali ada penghalang yang menghapuskan hak si ibu untuk mengasuh anak.

Maka dari itu para Ulama memberikan urutan dan skala prioritas hak mengasuh anak bagi para wanita, sesuai dengan kemaslahatan anak tersebut. Menurut mereka, naluri kewanitaan mereka lebih sesuai untuk merawat dan mendidik anak, serta adanya kesabaran mereka dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak lebih tinggi dibandingkan kesabaran seorang laki-laki.

Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga disebutkan hak dan kewajiban anak, dalam Undang-undang ini perlindungan anak sangat lebih diutamakan, dimana hal ini tetap harus dilakukan meskipun diantara ibu atau ayahnya yang bersengketa salah satunya berkeyakinan diluar Islam, atau diantara mereka berlain bangsa, namun dalam memutuskan terhadap pilihan anak tersebut harus melihat

23

Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Presfektif Islam, (Jakarta:Kencana,2008),h. 116.


(30)

untuk kemaslahatan anak tersebut yang dalam hal ini bukan hanya kemaslahatan duninya saja tetapi juga akhiratnya.

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat beberapa pasal yang menjelaskan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak seperti pada pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:

1) Kedua orang tua memiliki kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

2) Kewajiban tersebut sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban tersebut berlaku terus meskipun pernikahan antara kedua orang tua putus.24

Mengenai batas kewajiban pemeliharaan dan pendidikan ini berlaku sampai anak tersebut berumah tangga atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban tersebut berlangsungan terus-menerus meskipun pernikahan orang tuanya bercerai.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan suatu masalah yang diteliti. Adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut :

24


(31)

Bab pertama, merupakan pendahuluan dalam bab ini yang memuat tentang latar belakang masalah, indetifikasi masalah, permbatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, study riview terdahulu, metode penelitian, kerangka teori, dan sistematika penulisan.

Bab kedua, dalam bab ini membahas tinjauan hak asuh anak dalam hukum islam dan hukum positif memuat tentang A. Hak Asuh Dalam Hukum Islam yang isinya adalah (1) pengertian hadhanah (2) dasar hukum hadhanah (3) syarat-syarat hadhanah dan hadhin (4) pihak-pihak yang berhak dalam hadhanah (5) masa hadhanah, B. Hak Asuh Anak Dalam Hukum Positif yang isinya adalah (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (2) Kompilasi Hukum Islam (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Bab ketiga, dalam bab ini membahas profil komisi perlindungan anak indonesia yang isinya memuat tentang (1) sejarah singkat komisi perlindungan anak Indonesia,(2) dasar hukum pembentukan komisi perlindungan anak Indonesia,(3) tugas dan fungsi komisi perlindungan anak Indonesia dan, (4) visi dan misi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (5) stuktur organisasi dan keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Bab keempat, dalam bab ini membahas tentang peran komisi perlindungan anak Indonesia dalam menyelesaikan pengaduan perebutan hak asuh anak pasca cerai yang isinya (1) deskripsi data pengaduan perebutan hak asuh anak pasca cerai, (2) upaya komisi perlindungan anak


(32)

Indonesia dalam menyelesaikan pengaduan perebutan hak asuh anak pasca cerai, (3) analisis penulis.

Bab kelima, dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab ini penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis lakukan, kermudian memberikan saran-saran.


(33)

23 A. Hak Asuh Anak Dalam Hukum Islam

a. Pengertian Hadhanah

Dalam istilah fiqih digunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud yang sama yaitu kafalah dan hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah atau kafalah dalam arti sederhana ialah “pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fiqih karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah atau ibunya.1

Menurut bahasa, hadhanah berasal dari kata hidhan yang berarti sesuatu yang terletak antara ketiak dan pusar. Hadhanah ath-Thaa’ir Baidhahu, berarti seekor bururng yang menghimpit telurnya (mengerami) di antara kedua sayap dan badannya. Demikian juga jika seorang ibu membuai abaknya dalam pelukan, atau lebih tepat jika dikatakan memelihara dan mendidik anaknya.2

Maka kita maksud dengan perkataan “mendidik” disini ialah menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal anak-anak yang belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri. Apabila dua orang suami istri bercerai

1

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 327.

2


(34)

sedangkan keduannya mempunyai anak yang belum mumayyiz (belum mengerti kemaslahatan dirinya), maka istrilah yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya. Dalam waktu itu pula si anak hendaklah tinggal bersama ibunya selama ibunya belum menikah denga orang lain. Meskipun si anak ditinggalkan bersama ibunya, tetapi nafkahnya tetap wajib dipikul oleh bapaknya.

Hadhanah artinya pemeliharaan anak baik laki-laki maupun perempuan yang masih kecil atau anak yang masih dibawah umur yang tidak dapat memebedakan sesuatu dan belum dapat berdiri sendiri, menjaga kepentingan anak, melindunginya dari segala yang membahayakan dirinya, mendidik jasmani dan rohani serta akalnya, supaya anak dapat berkembang dan dapat mengatasi persoalan hidup yang akan dihadapinya.

Dalam buku hukum perdata islam di Indonesia, dikatakan bahwa hadhanah adalah memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukan baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.3

Sedangkan menurut KHI yang terdapat didalam pasal 1 huruf G dikatakan bahwa : hadhanah atau memelihara anak adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau berdiri sendiri. Para ulama fikih mendefinisikan hadhanah sebagai tindakan

3


(35)

pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakitkan dan merusaknya, mendidik jasmani rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.

Dalam ajaran Islam diungkapkan bahwa tanggung jawab ekonomi keluarga berada dipundak suami sebagai kepala rumah tangga, tidak tertutup kemungkinan tanggung jawab itu beralih kepada istri untuk membantu suaminya bila suaminya tidak mampu melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, amatpenting mewujudkan kerjasama dan saling membantu antara suami istri dalam memelihara anak sampai ia dewasa. Hal ini yang dimaksud pada prinsipnya adalah tanggung jawab suami istri kepada anak-anaknya.4

Pemeliharaan anak itu juga adalah tugas dan tanggung jawab untuk memelihara, mengasuh, dan mendidik anak suami istri atau ayah dan ibu mempunyai tanggung jawab yang sama besarnya dalam melaksanakan pemeliharaan anak yang dilahirkan. Pemeliharaan anak tersebut meliputi pemberian makanan, pakaian, kesehatan, pendidikan, dan juga perlindungan diri berbagai segala macam bahaya dan hal-hal yang lain yang diperlukan.

4


(36)

b. Dasar Hukum Hadhanah

Hukum hadhanah adalah hukumnya wajib karena anak yang tidak dipelihara akan terancam keselamatannya, karena itu, hadhanah hukumnya wajib sebagaimana juga wajibanya memberi nafkah kepadanya. Adapun dasar hukumnya tentang kewajiban orang tua dalam memelihara seorang anak dalam firman allah pada surat Al-Baqarah ayat 233 :

ّﻢﺘﻳ ﹾﻥﹶﺃ ﺩﺍﺭﹶﺃ ﻦﻤﻟ ﹺﻦﻴﹶﻠﻣﺎﹶﻛ ﹺﻦﻴﹶﻟﻮﺣ ّﻦﻫﺩﻻﻭﹶﺃ ﻦﻌﺿﺮﻳ ﺕﺍﺪﻟﺍﻮﹾﻟﺍﻭ

ﻤﹾﻟﺎﹺﺑ ّﻦﻬﺗﻮﺴﻛﻭ ّﻦﻬﹸﻗﺯﹺﺭ ﻪﹶﻟ ﺩﻮﹸﻟﻮﻤﹾﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋﻭ ﹶﺔﻋﺎﺿّﺮﻟﺍ

ﻒّﹶﻠﹶﻜﺗ ﻻ ﻑﻭﺮﻌ

ﻰﹶﻠﻋﻭ ﻩﺪﹶﻟﻮﹺﺑ ﻪﹶﻟ ﺩﻮﹸﻟﻮﻣ ﻻﻭ ﺎﻫﺪﹶﻟﻮﹺﺑ ﹲﺓﺪﻟﺍﻭ ّﺭﺎﻀﺗ ﻻ ﺎﻬﻌﺳﻭ ﻻﹺﺇ ﺲﹾﻔﻧ

ﻼﹶﻓ ﹴﺭﻭﺎﺸﺗﻭ ﺎﻤﻬﻨﻣ ﹴﺽﺍﺮﺗ ﻦﻋ ﻻﺎﺼﻓ ﺍﺩﺍﺭﹶﺃ ﹾﻥﹺﺈﹶﻓ ﻚﻟﹶﺫ ﹸﻞﹾﺜﻣ ﺙﹺﺭﺍﻮﹾﻟﺍ

ﺮﺘﺴﺗ ﹾﻥﹶﺃ ﻢﺗﺩﺭﹶﺃ ﹾﻥﹺﺇﻭ ﺎﻤﹺﻬﻴﹶﻠﻋ ﺡﺎﻨﺟ

ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻋ ﺡﺎﻨﺟ ﻼﹶﻓ ﻢﹸﻛﺩﻻﻭﹶﺃ ﺍﻮﻌﺿ

ﺎﻤﹺﺑ ﻪّﹶﻠﻟﺍ ّﹶﻥﹶﺃ ﺍﻮﻤﹶﻠﻋﺍﻭ ﻪّﹶﻠﻟﺍ ﺍﻮﹸﻘّﺗﺍﻭ ﻑﻭﺮﻌﻤﹾﻟﺎﹺﺑ ﻢﺘﻴﺗﺁ ﺎﻣ ﻢﺘﻤّﹶﻠﺳ ﺍﹶﺫﹺﺇ

ﲑﺼﺑ ﹶﻥﻮﹸﻠﻤﻌﺗ

)

ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ

:

233

(

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang

makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar

kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(Q.S Al-Baqarah 233)

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa hadhanah adalah salah satu kewajiban bagi kedua orang tua atau yang mendapatkan hal tersebut, pengabaian terhadap anak adalah suatu penganiyaan terhadap anak tersebut.


(37)

Pendidikan anak juga merupakan salah satu faktor yang amat penting dalam kehidupan keluarga. Orang tua berkewajiban untuk mengarahkan anak-anak mereka untuk menjadi orang-orang beriman dan berakhlak mulia, serta patuh dalam melaksankan ajaran agama dengan baik agar terhindar dari perbuatan dosa dan maksiat.5

Allah berfirman dalam surat at-tahrim ayat 6 :

ﺎﻬّﻳﹶﺃ ﺎ

ﺱﺎّﻨﻟﺍ ﺎﻫﺩﻮﹸﻗﻭ ﺍﺭﺎﻧ ﻢﹸﻜﻴﻠﻫﹶﺃﻭ ﻢﹸﻜﺴﹸﻔﻧﹶﺃ ﺍﻮﹸﻗ ﺍﻮﻨﻣﺁ ﻦﻳﺬّﹶﻟﺍ

ﻢﻫﺮﻣﹶﺃ ﺎﻣ ﻪّﹶﻠﻟﺍ ﹶﻥﻮﺼﻌﻳ ﻻ ﺩﺍﺪﺷ ﹲﻅﻼﻏ ﹲﺔﹶﻜﺋﻼﻣ ﺎﻬﻴﹶﻠﻋ ﹸﺓﺭﺎﺠﺤﹾﻟﺍﻭ

ﹶﻥﻭﺮﻣﺆﻳ ﺎﻣ ﹶﻥﻮﹸﻠﻌﹾﻔﻳﻭ

)

ﱘﺮﺤﺘﻟﺍ

6

(

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (Q.S At-Tahrim 6)

Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah swt untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larang-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.6 Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikan berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan

5

Tihami dan Sohari Sahroni, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) ,h.217.

6


(38)

urusanya, dan orang yang mendidiknya. Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam pangkuan ibu bapaknya, karena dengan adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya, membersihkan jiwanya serta mempersiapkan diri anak dalam menghadapi kehidupannya dimasa yang akan datang.7

c. Syarat-syarat Hadhanah dan Hadhin

Masalah yang paling pokok dalam pemeliharaan anak adalah syarat-syarat orang yang menjadi Hadhin. Karena sifat seorang pengasuh akan berpengaruh kuat terhadap anak yang menjadi asuhannya, seorang Hadhin (ibu asuh) yang menangani dan menyelengarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya yaitu adanya kecukupan dan kecakapannya. Kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya.8

Untuk kepentingan anak dan pemeliharaannya diperlukan beberapa syarat bagi yang melakukan hadhanah, sebagai berikut:9

1. Yang melakukan hadhanah hendaklah sudah baligh, berakal, tidak terganggu ingatanya, sebab hadhanah ini merupakan perkerjaan yang

7

Slamet Abidin, Fikih Munakahat II, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 172. 8

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontempoler, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 172.

9

Satria Effendi M. Zein, problematika Hukum Keluarga Islam Kontempoler,(Jakarta : Prenada Media,2004),h. 172-173.


(39)

penuh tanggung jawab. Oleh sebab itu, seorang ibu yang mendapat gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas hadhanah.

2. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik mahdun( anak yang diasuh), dan tidak terikat dengan suatu perkenjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.

3. Seorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya memegang amanah, sehingga dengan itu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak. Orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh karena itu ia tidak layak melakukan tugas ini.

4. Jika yang akan melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak yang akan diasuh, disyaratkan tidak kawin dengan lelaki lain. Dasarnya adalah penjelasan Rasullah bahwa seorang ibu hanya mempunyai hak hadhanah bagi anaknya selama ia belum menikah dengan lelaki lain (HR. Abu Daud). Adanya persyaratan tersebut disebabkan kekhawatiran suami pertama. Oleh karena itu, seperti disimpulkan ahli-ahli fikih, hak hadhanahnya tidak menjadi gugur jika ia menikah dengan krerabat dekat si anak, yang memperlihatkan kasih sayang dan tanggung jawabnya. Demikian pula hak hadhanah, hak hadhanah tidak gugur jika ia menikah dengan laki-laki lain yang rela menerima kenyataan. Hal itu terjadi pada diri Ummu Salamah, ketika ia menikah dengan rasullah, anaknya dengan suami pertama selanjutnya tetap dalam asuhanya (HR.Ahmad). berdasarkan kenyataan ini Ibnu Hazmin berpendapat tidak gugur hak


(40)

hadhanah seorang ibu dengan menikahnya dia dengan laki-laki lain, kecuali jika suami kedua itu jelas menolaknya.

5. Seorang yang melakukan hadhanah harus beragama Islam. Orang kafir tidak boleh menjadi pengasuh anak yang beragama islam. Sebab pemeliharaan anak merupakan perwakian.

6. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan dengan tuannya, sehingga ia tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil.

Ibnu Qayyim berkata: tentang syarat merdeka ini, tidaklah ada dalilnya yang menyakinkan hati. Hanya murid-murid dari tiga mazhablah yang menetapkannya. Dan Imam Malik berkata tentang seorang laki-laki yang merdeka yang punya anak dari budak perempuannya: sesungguhnya ibunya lebih berhak selama ibunya tidak dijual, maka hadhanahnya berpindah dan ayahnyalah yang lebih berhak atas anaknya.10

Imam mazhab yang empat berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat yang menjadi pengasuh, perbedaan tersebut adalah:

Imam Hanafi berpendapat bahwa, syarat-syarat pengasuh adalah :

a. Tidak murtad, sedang Islam tidak menjadikan syarat-syarat bagi seorang pengasuh.

b. Tidak fasik, seperti pencuri atau pemabuk, orang seperti ini tidak layak diberi tugas mengasuh anak kecil.

10


(41)

c. Tidak kawin selain kepada bapaknya, kecuali kawin kepada orang yang sayang kepada anak.

d. Senantiasa memperhatikan anak asuhnya, (orang yang tidak suka meninggalkan anak).

e. Bapaknya tidak dalam keadaan susah yang akan memperlambat biaya pemeliharaan anak.

f. Merdeka.

Menurut pendapat Imam syarat-syarat seorang pengasuh adalah :

a. Berakal, tidak gila kecuali gilanya itu kadang-kadang, seperti satu hari dalam satu tahun.

b. Merdeka, tidak ada hak memelihara bagi hamba sahaya. c. Islam, tidak ada hak memelihara bagi orang kafir.

d. Iffah( dapat menjaga kesucian diri), tidak ada hak pemeliharaan bagi orang yang fasik, walaupun hanya meninggalkan shalat.

e. Amanah dan dapat dipercaya dalam segala urusan.

f. Ibunya tidak kawin kepada selain mahram anak yang menjadi asuhanya itu.

Sedangkan pendapat Imam Hambali adalah sebagai berikut: a. Berakal, tidak ada hak hadhanah bagi orang gila.

b. Merdeka, bukan hamba sahaya.

c. Tidak lemah, seperti buta yang dapat menghalagi maksud hadhanah. d. Tidak mempunyai penyakit menular, seperti lepra,


(42)

e. Tidak menikah dengan orang lain kecuali dengan kerabat mahram, seperti paman.

Adapun Imam Malik syarat-syarat pengasuh itu meliputi: a. Berakal.

b. Mampu menjaga anak yang menjadi asuhanya, sampai anak asuhanya dewasa.

c. Dapat dipercaya, tidak ada hadhanah bagi orang fasik, seperti pemabuk, pencuri, dan pezina.

d. Tidak terkena penyakit menular, yang dapat menular kepada anak asuhanya seperti kusta.

e. Hemat, tidak ada hak hadhanah bagi orang boros.

f. Tidak menikah dengan orang lain kecuali dengan mahramnya, seperti paman.

Selain syarat-syarat diatas, untuk perempuan masih ada syarat khusus sebagai berikut:

a. Perempuan yang sudah cerai, namun masih punya anak kecil boleh memelihara anaknya dengan syarat ia belum menikah lagi dengan laki-laki lain, atau laki-laki-laki-laki yang terhitung kerabat, namun bukan mahram. Pendapat ini telah disepakati para ulama karena ada hadis yang berbunyi,”engkau lebih berhak atas hadhanah anak itu selama engkau belum menikah lagi”. Syarat ini ditetapkan karena terkadang seorang ayah memperlakukan anak tirinya dengan kasar, sedangkan ibu kandung


(43)

anak tersebut sibuk dengan tugasnya sebagai istri. Jika perempuan tadi menikah lagi dengan kerabat dekat yang terhitung mahramnya si anak, seperti pamannya tadi tidak gugur karena orang yang menikahinya masih tergolong keluarganya yang berhak mengurus hadhanah anak tersebut sehingga keduanya bisa saling bantu untuk menanggung hidup anak itu. b. Perempuan yang jadi hadhin itu syaratnya harus memiliki hubungan

mahram dengan anak yang dipeliharanya, seperti ibu si anak, saudara perempuan si anak, dan nenek si anak. Hak hadhanah tidak diberikan kepada anak perempuannay paman atau bibi. Tidak juga pada anak perempuannya dari jalur ibu, atau anak perempuannya bibi dari jalur ibu. Alasanya karena tidak ada hubungan mahrim kepada si anak, namun mereka menurut hanifayah tetap berhak mengurus hadhanah anak perempuan.

c. Perempuan yang jadi hadhin tidak pernah berhenti meskipun tidak diberi upah hadhanah karena memang ekonomi ayah si anak sedang kesulitan sehingga tidak mampu membayar upah hadhanah. Jika ekonomi ayah si anak sedang sulit sehingga tidak mampu membayar upah hadhanah kepada anaknya, lantas perempuan yang menjadi hadhin itu berenti dari tugasnya dan digantikan kepada kerabat dekat lainnya maka haknya sebagai hadhin pun menjdi gugur, syarat ini ditetapkan oleh ulama Hanafiyah.

d. Hadhanah tidak tinggal bersama orang yang dibenci oleh anak asuhnya, meskipun orang itu kerabat dekat si anak sendiri karena hal ini akan


(44)

menimbulkan dampak negatif pada diri anak asuhnya. Jadi, seorang nenek tidak berhak mengasuh hadhanah anak jika ia tinggal bersama puterinya jika ia sudah menikah, kecuali jika ia sudah pisah rumah. Syarat ini ditetapkan oleh Ulama Malikiyah.

Kemudian syarat-syarat untuk anak yang akan diasuhnya adalah sebagai berikut.11

a. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.

b. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah pengasuh siapapun.

Tetapi di dalam peraturan perundang-undangan Perkawinan di Indonesia baik itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ataupun Impres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam tidak ada satu pun pasal yang membahas masalah mengenai syarat-syarat atau persyaratan bagi seorang yang berhak mendapatkan hak asuh anak. Di dalam Kompilasi Hukum Islam hanya mengatur bahwa apabila si pemegang hak asuh anak tidak mampu menjaga keselamatan jasmani dan rohani si anak, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanahnya kepda kerabat lainnya yang mempunyai hak hadhanahnya pula.

11

Amir Syarifuddin, Hukum Islam di Indonesia antara Fiqih dan Munakahat Dan UU Perkawinan,(Jakarta: Prenada Media,2006), h.329.


(45)

d. Pihak-pihak Yang Berhak dalam Hadhanah

Seseorang anak pada permulaan hidupnya, seperti pada umur tertentu, memerlukan prang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti makan, pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidur. Oleh karena itu, orang yang menanganinya perlu mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran dan mempunyai keinginan agar anak itu baik dikemudian hari. Di samping itu juga, ia harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu.12

Ulama fikih berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang memiliki hak hadhanah tersebut, apakah hak hadhanah milik terhadap wanita atau hak anak yang diasuh.13 Jika wanita lebih berhak mendidik dan mengasuh anak daripada laki-laki, maka sesuai ijma ibu kandung si anak tentu lebih berhak mengasuh anaknya setelah terjadi perpisahan antara suami dan istrinya, baik karena talak, meninggalnya suami atau suami menikah dengan wanita lain, karena ibu jauh memiliki kelembutan dan kasih sayang, kecuali ada penghalang yang menghapuskan hak si ibu untuk mengasuh anak.

Maka dari itu para Ulama memberikan urutan dan skala prioritas hak mengasuh anak bagi para wanita, sesuai dengan kemaslahatan anak tersebut. Menurut mereka, naluri kewanitaan mereka lebih sesuai untuk merawat dan

12

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 217-218. 13

Andi Syamsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Presfektif Islam, (Jakarta:Kencana,2008),h.116.


(46)

mendidik anak, serta adanya kesabaran mereka dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak lebih tinggi dibandingkan kesabaran seorang laki-laki.

Urut-urutan prioritas orang yang berhak mengasuh anak, menurut ulama fikih adalah sebagai berikut:

a. Kalangan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang paling berhak mengasuh anak adalah:

1. Ibu kandungnya sendiri. 2. Nenek dari pihak ibu. 3. Nenek dari pihak ayah. 4. Saudara perempuan. 5. Bibi dari pihak ibu.

6. Anak perempuan saudara perempuan. 7. Anak perempuan saudara laki-laki. 8. Bibi dari pihak ayah.

b. Kalangan Mazhab Maliki berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari yaitu:

1. Ibu kandung.

2. Nenek dari pihak ibu. 3. Bibi dari pihak ibu. 4. Nenek dari pihak ayah. 5. Saudara perempuan. 6. Bibi dari pihak ayah.


(47)

7. Anak perempuan dari saudara laki-laki. 8. Penerima wasiat.

9. Dan kerabat lain (ashabah) yang lebih utama.

c. Kalangan Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa urutan hak asuh anak dimulai pada:

1. Ibu kandung.

2. Nenek dari pihak ibu. 3. Nenek dari pihak ayah. 4. Saudara perempuan. 5. Bibi dari pihak ibu.

6. Anak perempuan dari saudara laki-laki. 7. Anak perempuan dari saudara perempuan. 8. Bibi dari pihak ayah.

9. Dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi si anak yang mendapat bagian warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian harta warisan.

d. Kalangan Mazhab Hambali berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari:

1. Ibu kandung .

2. Nenek dari pihak ibu. 3. Kakek dan ibu kakek. 4. Bibi dari kedua orang tua. 5. Saudara perempuan seibu.


(48)

6. Saudara perempuan seayah. 7. Bibi dari ibu kedua orangtua. 8. Bibinya ibu.

9. Bibinya ayah.

10. Bibinya ibu jalur ibu. 11. Bibinya ayah dari jalur ibu. 12. Bibinya ayah dari pihak ayah.

13. Anak perempuan dari saudara laki-laki.

14. Anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah.

15. Kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.

Dengan demikian jelas bahwa anak yang belum dewasa tidak dapat mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum karena itu segala perbuatan yang menyangkut kepentingan anak tetap menjadi tanggung jawab orang tua.

e. Masa Hadhanah

Dalam literatur fikih dua periode bagi anak dalam kaitanya dengan hadhanah, yaitu masa sebelum mumayyiz, dan masa sesudah mumayyiz. Periode sebelum mumayyiz adalah dari waktu lahir sampai usia menjelang tujuh tahun atau delapan tahun. Pada masa tersebut pada umumnya seorang anak belum lagi mumayyiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya.


(49)

Periode yang kedua yaitu periode mumayyiz, yaitu masa dimana usia anak tujuh tahun sampai menjelang balik berakal. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan masa yang berbahaya dan mana yang bermanfaat bagi dirinya.

Beberapa ulama mazhab berselisih pendapat mengenai masa asuh anak, karena didalam alquran tidak terdapat ayat-ayat dan hadis yang menerangkan tentang masa hadhanah dan juga kapan berakhirnya masa hadhanah seorang anak akibat perceraian, perbedaan tersebut diantara seperti :

a. Imam syafi’i berpendapat tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibunya atau ayahnya, juka si anak sudah sampai pada tingkat ini, dia disuruh memilih apakah bersama ibu atau ayahnya.

b. Imam Hanafi berpendapat, bahwa masa asuhan tujuh tahun untuk laki-laki, dan sembilan tahun untuk perempuan. Mereka menganggap bagi perempuan lebih lama, sebab agar dia dapat menirukan kebiasaan-kebiasaan kewanitaan dari perempuan yang mengasuhnya.14

c. Imam Maliki berpendapat, bahwa masa asuhan, anak laki-laki adalah sejak dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga ia menikah.

14


(50)

d. Imam Hambali berpendapat, bahwa masa asuhan anak laki-laki dua tahun, sedang anak perempuan tujuh tahun, sesudah itu si anak disuruh memilih apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya, lalu si anak tinggal bersama oyang yang dipilihnya itu.15

Berdasarkan pendapat-pendapat para ulama diatas, tampak bahwa tidak ada ketentuan-ketentuan yang jelas mengenai masa pengasuhan anak(hadhanah). Pada umumnya para fukuha sepakat usia pengasuhan anak, dibatasi sampai anak tersebut sudah mencapai usia mencapai usia mumayyiz.

B. Hak Asuh Anak Menurut Hukum Positif

a. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah disebutkan tentang hukum pengasuhan anak secara tegas merupakan rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum pengasuhan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah hadhanah ini belum dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada kehakiman dilingkungan Peradilan Agama pada waktu itu masih merujuk pada hukum hadhanah dalam kitab-kitab fikih.

Baru setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1980 tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang penyebar

15


(51)

luasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menyelesaikannya.

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat beberapa pasal yang menjelaskan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak seperti pada pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:

1) Kedua orang tua memiliki kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

2) Kewajiban tersebut sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban tersebut berlaku terus meskipun pernikahan antara kedua orang tua putus.16

Mengenai batas kewajiban pemeliharaan dan pendidikan ini berlaku sampai anak tersebut berumah tangga atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban tersebut berlangsungan terus-menerus meskipun pernikahan orang tuanya bercerai.

Pasal 47 Undang-undang Nomor 1 Tahun tentang Perkawinan mengatur mengenai kekuasaan orang tua terhadap kekuasaan amak dibawah umur, dimana disebutkan bahwa :

Pasal 46:

1) Anak wajib menghormati dan menaati kehendak mereka yang baik.

16


(52)

2) Jika anak yang telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan bantuanya.

Pasal 47:

1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau yang belum pernah melangsungkan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.

2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.17

Pasal 48:

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49:

1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaanya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalm hal-hal:

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya. b. Ia berkelakuan buruk sekali.

17


(53)

c. Meskipun orang tua dicabut kekuasaanya, mereka masih berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

Ketentuan tersebut pun berlaku meskipun pernikahan orang tuanya putus. Jadi dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, kekuasaan orang tua itu dapat dicabut jika orang tuanya sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan salah satu orang tuanya berkelakuan buruk sekali. Tetapi meskipun kekuasaannya dicabut mereka masih berkewajiban memberi pemeliharaan dan mengasuh anaknya tersebut.

b. Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) masalah pemeliharaan anak atau yang dalam Islam disebut Hadhanah diatur dalam beberapa pasal di dalamnya, seperti yang terdapat dalam pasal:

Pasal 105 :

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya;

Dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, mengenai hadhanah menjadi hukum positif di


(54)

Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menyelesaikannya. Hadhanah sebagai salah satu akibat putusnya perkawinan diatur secara panjang lebar oleh KHI dan materinya hampir keseluruhan mengambil dari fikih menurut Jumhur Ulama, khususnya Syafi’iyah. Kompilasi Hukum Islam kaitannya dengan masalah ini dibagi menjadi dua periode bagi anak yang perlu dikemukakan yaitu:

1. Periode sebelum mumayyiz

Apabila terjadi perceraian dimana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu dan pada masa tersebut seorang anak belum lagi mumayyiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya, maka anak tersebut dikatakan belum mumayyiz. KHI menyebutkan pada bab 14 masalah pemeliharaan anak pasal 98 menjelaskan bahwa “Batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya adalah sampai usia 21 tahun selama belum melakukan pernikahan”. Pada pasal 105 huruf (a) bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Kemudian KHI lebih memperjelas lagi dalam pasal 156, dirumuskan sebagai berikut:

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

1. Wanita-wanita garis lurus keatas dari ibu. 2. Ayah.


(55)

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.

5. Wanita-wanita kerabat menurut garis kesamping dari ibu. 6. Wanita-wanita kerabat menurut garis kesamping dari ayah.

7. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

8. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah juga;

9. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayang menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurusi diri sendiri sampai 21 tahun

10. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama yang memberikan putusan yaitu berdsarkan huruf (a), (b), (c) dan (d)

11. Pengadilan dapat pula dengan mengingatkan kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang turut padanya.18

2. Periode mumayyiz

Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan mana yang berbahaya dan mana yang bermanfaat bagi dirinya.

18


(56)

Pleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat menjatuhkan pihaknya sendiri apakah ikut ibunya atau ikut ayahnya. Dengan demikian ia diberi hak pilih menentukan sikapnya. Hal ini telah diatur dalam KHI pasal 105 ayat (b) bahwa : “ pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya”, dan juga terdapat dalam pasal 156 ayat (b) yang menyebutkan bahwa anak diberi pilihan untuk ikut dalam asuhan ibu atau ayahnya.

Berikutnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah bisa ditanya kepada siapa dia akan terus ikut. Batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya adalah sampai usia anak 21 tahun selama belum melakukan pernikahan (pasal 98 KHI). Jika anak tersebut memilih ibunya maka si ibu tetap berhak mengasuh anak itu. Jika anak itu memilih ikut ayahnya maka hak pengasuh pindah pada ayah.

Sebagaimana pasal 98 Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah :

1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan pernikahan.

2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dala dan di luar pengadilan.


(57)

3) Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terkedakat yang mampu menunaikan keawjiban tersebut apabila kedua orang tuany tidak mampu.19

c.Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Kewajiban dan tanggung jawab orang tua diatur dalam pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 26 yang berbunyi :

Pasal 26:

1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak.

b. Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya. c. Dan mencegah terjadinya pernikahan pada usia anak.

2) Dalam hal orang tua tidak ada atau karena suatu kewajiban dan tanggung jawabnya maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan kententuan perundang-undangan yang berlaku.20

Didalam penjelasan undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ditegaskan :” bahwa pertanggung jawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindungnya dan terarah

19

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h.137. 20


(58)

guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik mental, spiritual, maupun sosial”.21

Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

Dalam melakukan pembinaan pengembangan dan pelindungan anak perlu peran masyarakat baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.

Setiap anak berhak untuk berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tuanya. Karena anak memerlukan kebebasan dalam rangka mengembangkan kreatifitas dan intelektualitasnya (daya nalarnya) sesuai dengan tingkat usia anak. Dan pengembangan anak yang belum cukup umur masih harus dalam bimbingan orang tuanya.

Melihat peranan hukum Islam dan pembangunan hukum nasional, ada beberapa fenomena yang bisa dijumpai dalam praktik. Pertama, hukum Islam berperan dalam mengisi kekosongan hukum dalam hukum positif. Dalam hal ini hukum Islam diberlakukan oleh negara sebagai hukum positif bagi umat Islam. Kedua, hukum Islam berperan sebagai sumber nilai yang memberikan kontribusi terhadap aturan hukum yang dibuat. Oleh karena itu,

21


(59)

aturan hukum tersebut bersifat umum, tidak memandang perbedaan agama, maka nilai-nilai hukum Islam dapat berlaku pula bagi seluruh warga negara dan wajib ditaati oleh masyarakat.

Dengan demikian Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dapat dikatakan pengejewantah dan fikih hadhanah yang memiliki cangkupan yang lebih luas bukan dalam keluarga saja, tetapi masyarakat dan pemerintahmempunyai peran yang besar dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Materi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakn implementasi dari pengembangan fikih hadhanah. Dalam hal ini dapat diketahui juga transformasi fikih hadhanah dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Maka selayaknya sebagai masyarakat wajib menaatinya karena tujuannya tidak lain untuk mencapai kemaslahatan bersama.


(60)

50 BAB III

PROFIL KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA A. Sejarah Singkat Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Komisi perlindungan anak Indonesia adalah sebuah lembaga negara yang bersifat Independen, dibentuk berdasarkan amanat Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang-undang tersebut disahkan oleh sidang paripurna DPR pada tanggal 22 september 2002. Setahun kemudian sesuai pasal 76 Undang-undang Perlindungan Anak, presiden menerbitkan KEPPRES Nomor 77 tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Diperlukan waktu sekitar 8 bulan untuk memilih dan mengangkat anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia seperti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut.1

Nama dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia dipilih berdasarkan Komnas Perlindungan Anak yang setara dengan nama Komnas HAM dan Komnas perempuan, karena sama-sama dibentuk berdasarkan Undang-undang atau keputusan presiden telah terlebih dahulu di pakai oleh LSM yang pembentukannya dilakukan melalui akta nontaris. Ketika dalam pembahasan RUU Perlindungan Anak, lantara PANSUS DPR dan wakil pemerintah di sepakati untuk mencari dan menggunakan nama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), karena LSM tersebut tidak bersedia menganti nama baru itu memerlukan

1

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Negara Independen Untuk Perlindungan Anak, (Jakarta:KPAI,2006),h.1.


(61)

pemikiran, waktu, strategis, usaha, tenaga, dan biaya ekstra agar dapat dikenal dan dipahami perbedaan oleh masyarakat, yaitu nama Komisi Negara dan mana yang LSM.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah Komisi Negara yang dibentuk berdasarkan amanat pasal 74, 75 dan 76 dari UU No.23 Tahun 2002 tentang Komisi Perlindungan Anak, yang di sahkan pada tanggal 20 Oktober 2002. Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, di lakukan melalui KEPPRES No. 77 Tahun 2003, dan pengangkatan anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia berjumlah 9 orang dan tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang, yang dipilih mewakili unsur yang tercantum dalam UU yang dipilih dan di angkat berdasarkan persyaratan serta prosedur yang di atur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.2

Berdasarkan kententuan di atas, maka status Komisi Perlindungan Anak Indonesia sejajar dengan lembaga Komisi-komisi milik Negara lainnya, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Yudisial (KY), dan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU). Ada sedikit perbedaan antara Komisi Perlindungan Anak Indonesia dengan Komisi Ombusdmen dan Komisi Nasional Perlindungan Perempuan (Komnas Perempuan). Komisi-komisi tersebut hanya di

2

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Negara Independen Untuk Perlindungan Anak, (Jakarta:KPAI,2006),h.3.


(62)

bentuk berdasarkatn keputusan presiden atas tuntutan keadaan, tetapi belum di amanatkan oleh Undang-undang. Namun demikian, Komisi-komisi itu pun adalah Komisi Negara bukan LSM.

Sebagai Komisi negara, Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan bersifat independen agar terbatas dari pengaruh atau intervensi dari kepentingan-kepentingan lain di luar kepentingan terbaik bagi anak. Ketentuan di maksud tercantum didalam pasal 74 dari UU perlindungan Anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia dapat tidak seiringan dan sejalan dengan berbagai pilihan termasuk kebijakan eksekutif, legislatif atau yudikatif dalam membelah kepentingan dan melindungi hak-hak anak.

Status sebagai Komisi Negara yang Independen, harus bebas dari intervensi dari berbagai pihak kekuasaan dalam rangka pemenuhan hak dasar perlindungan anak secara nasional atau daerah, dengan kata lain setiap anggota Komisi Perlidungan Anak Indonesia baik secara pribadi maupun kelompok memiliki resiko dalam melindungi hak-hak anak. Apabila dalam budaya masyarakat Indonesia yang masih beranggapan bahwa urusan anak adalah bagian dari “privasi” keluarga yang tidak perlu melibatkan orang lain apalagi Komisi Perlindungan Anak Indonesia, namun UU Perlindungan Anak Menolak terhadap tersebut sehingga Komisi Perlindungan Anak Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan perlindungan


(63)

terhadap hak-hak anak baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, maupun publik.3

Dalam sejarahnya, sebelum KPAI berdiri seperti sekarang, rangkaian sejarah tentang upaya perlindungan anak di Indonesia telah lama digagas. Hal tersebut berawal dari rangkaian sidang umum PBB (1989), tepatnya pada tanggal 20 November 1989, majelis Umum PBB telah menyetujui dan mensahkan rumusan konvensi Hak-Hak Anak (KHA) yang dikenal dengan sebutan Convention on the rights of the clild (CRC) termasuk di ikuti oleh wakil delegasi pemerintah indonesia yang telah ikut serta secara aktif merumuskan dan membahas naskah serta menadatangani kesepakatan tersebut.

Dalam dokumen konvensi Hak-Hak Anak (KHA) secara garis besar di bagian atas tiga bagian dengan pasal 54, karena itu KHA merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration Of Human Right PBB 1948). Dan Deklarasi Hak-Hak Anak PBB (1959). Karena itu, KHA adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration Of Human Right PBB – 1948). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa upaya perlindungan terhadap

3

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Negara Independen Untuk Perlindungan Anak, (Jakarta:KPAI,2006),h. 5.


(64)

hak anak merupakan perlindungan terhadap hak-hak anak berarti pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).4

Salah satu tugas pokok Komisi Perlindungan Anak Indonesia tercantum dalam pasal 76, huruf a dari UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kegiatan tersebut sangat penting bagi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai Lembaga Negara yang bersifat independen dalam membela kepentingan terbaik bagi anak. Setiap warga negara yang perduli terhadap nasib anak, patut memberikan perlindungan terhadap anak baik fisik, mental, ekonomi yang rentan terhadap kekerasan eksploitasi, perdagangan, social maupun hukum. Disamping itu anak juga merupakan kelompok pendudukan yang rentan terhadap kekerasan, pemaksaan, ekploitasi, diperdagangan oleh orang dewasa, bahkan ada yang dilakukan dengan hal tertentu, salah satu tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah menerima pengaduan masyarakat tentang pelanggaran hak-hak anak. Dan untuk menuntaskan pengaduan masyarakat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dapat menindak lanjuti penanganan dan pengaduan tersebut melalui pelayanan kepada instansi atau lembaga fungsional yang bertanggung jawab guna memberikan perlindungan rehabilitasi, reginterasi dan reunifikasi anak

4

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Negara Independen Untuk Perlindungan Anak, (Jakarta:KPAI,2006),h.9.


(65)

kedalaman lingkungan kehidupan keluarga dan masyarakat sekitarnya.5

B. Dasar Hukum pembentukan KPAI

a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. b. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 77 Tahun 2003 tentang

Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

c. Undang-undang 1945, pasal 27 dan 28 dari hasil amandemen.

d. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 36 Tahun 1990 Tentang Ratifikasi KAH PBB.

e. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 95 Tahun 2004 Tentang Pengangkatan Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

C. Tugas dan Fungsi

Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mempunyai tugas:

a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak;

b. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.

5

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Negara Independen Untuk Perlindungan Anak, (Jakarta:KPAI,2006), h. 1


(66)

Maksud dari pendirian KPAI adalah meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia.

Pada 17 Oktober 2014, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak direvisi menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014, yang salah satunya merinci tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagai berikut:

a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan Hak anak;

b. memberikan masukan dan usaha dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan Perlindungan Anak.

c. mengumpulkan data dan informasi mengenai Perlindungan Anak; d. menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan Masyarakat

mengenai pelanggaran Hak Anak;

e. melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak;

f. melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk masyarakat di bidang Perlindungan Anak ;

g. memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-undang ini.

D. Visi dan Misi KPAI

Berdasarkan tugas yang diemban Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) serta tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan kondisi ideal anak Indonesia, maka visi Komisi Perlindungan Anak


(67)

Indonesia (KPAI) ditetapkan : “efektifitas penyelenggaraan anak di Indonesia untuk mewujudkan anak Indonesia yang berakhlak mulia, sehat, cerdas, ceria dan terlindungi”.

Disamping ini terdapat juga visi Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang lain yaitu “terjamin” terpenuh dan terlindungnya hak-hak anak Indonesia. Visi tersebut meliput 2 aspek yaitu:

a. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengutamakan promosi dan upaya pencegahan terhadap pelanggaran hak-hak anak tanpa meninggalkan upaya represif dan kuratif.

b. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berupaya mengayomi, melindungi, memenuhi hak-hak anak termasuk upaya rehabilitasi dan reintegrasi anak dengan keluarga dan lingkungan, untuk dapat mewujudkan visi tersebut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) harus mampu menjadi Lembaga Negara yang independen, terpercaya dan melindungi hak-hak anak baik di dalam maupun di luar lingkungan rumah tangga.

Adapun guna dapat mewujudkan visi dan diatas Komisi Perlindungan Anak Indonesia memiliki sejumlah misi yang akan dilakukan setidak-tidaknya untuk 5-6 tahun antara lain sebagai berikut:6 a. Menyadarkan semua pihak terutama orangtua, keluarga, masyarakat

dan negara akan pentingnya perlindungan hak-hak anak. b. Menyadarkan anak-anak sendiri akan hak-haknya.

6

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Negara Independen untuk Perlindungan Anak, (Jakarta : KPAI, 2006), h.23-24.


(68)

c. Menerima pengaduan masyarakat dan memfasilitasi pelayanan terhadap kasus-kasus pelanggaran hak-hak anak.

d. Melakukan penkajian, penelahaan dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintah dan pelaksanaan program penyelenggaraan perlindungan anak ditingkat pusat dan daerah.

e. Membangun kerjasama dan kemitraan dengan berbagai pihak dalam rangka perlindungan hak-hak anak.

f. Mengumpulkan data infromasi yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelenggaraan perlindungan anak.

g. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggara perlindungan anak yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.

h. Memberikan masukan, saran dan pertimbangan kepada berbagai pihak terutama pemerintah (presiden) dalam meningkatkan perlindungan hak-hak anak.

Melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga donor tingkat nasional dan internal dalam pelaksanaan perlindungan anak.

E. Bentuk Organisasi dan Keanggotaan

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah lembaga negara yang bersifat independen yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)