Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Pembayaran Pajak Bumi Dan Bangunan

(1)

PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

(STUDI PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK MEDAN PETISAH)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Hukum

Oleh : RETTA SITORUS

NIM : 060200284

Departemen : Hukum Keperdataan Program Kekhususan : Hukum BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

(STUDI PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK MEDAN PETISAH)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Hukum

Oleh : RETTA SITORUS

NIM : 060200284

Departemen : Hukum Keperdataan Program Kekhususan : Hukum BW

Ketua Departemen

NIP. 19620421 198803 1 004 Prof. Dr. TAN KAMELLO, SH, MS

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. TAN KAMELLO, SH, MS

NIP. 19620421 198803 1 004 NIP. 19591201 198601 1 002 ASMIN NASUTION, SH, M.HUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena berkat kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.

Penulis skripsi yang berjudul : “PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Penulis merasa terdorong untuk mengangkat judul ini mengingat pentingnya peranan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai salah satu sumber penerimaan negara dalam rangka pembiayaan pembangunan nasional.

Meskipun penulis sudah berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan penyusunan skripsi ini dengan sebaik – baiknya, namun sebagai manusia biasa yaang mempunyai keterbatasan kemampuan dan pengetahuan, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis dengan hati terbuka menerima segala kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari pembaca guna penyempurnaan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus – tulusnya kepada seluruh pihak yang secara langsung telah membantu penulis selama penyusunan skripsi ini, maupun selama menempuh perkuliahan, khususnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(4)

2. Bapak Prof. Dr. Tan Kalemello,SH,MS, selaku Ketua Jurusan Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I dalam penyusunan skripsi ini;

3. Bapak Asmin Nasution SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II dalam penyusunan skripsi ini, terima kasih atas bimbingan yang diberikan kepada penulis;

4. Bapak M. Hayat SH,M.Hum, selaku Dosen Wali penulis, yang telah banyak membantu penulis selama masa perkuliahan di Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan kuliah kepada penulis selama masa perkuliahan;

6. Bapak Nelson Siahaan, SH, selaku Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Petisah yang telah meluangkan waktu kepada penulis, serta seluruh staf Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan;

7. Teristimewa untuk kedua Orangtua Penulis yang tercinta, Ayahanda N. Sitorus dan Ibunda F. Br. Butar – butar, yang telah memberikan dukungan moril dan materil, serta semangat yang tak ternilai kepada penulis;

8. Kepada sahabat terkasih, Gidion Nainggolan, “Terima Kasih ya... atas persahabatan dan hari – hari indah yang telah kita lalui bersama, semoga kita dapat selalu menjadi sahabat baik”;


(5)

9. Kepada teman – teman sefakultas, Doni Panjaitan, Halimah Tusakdiah, Putra Y. Grath Barus, dan semua rekan – rekan stambuk 2006 yang telah banyak memberi bantuan kepada Penulis, baik dalam masa perkuliahan, maupun pada waktu penyusunan skripsi ini, yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

Kepada semua pihak yang belum disebutkan, penulis mengucapkan terimakasih yang setulus – tulusnya atas dukungan moril, materil, dan semangat serta doa yang diberikan kepada penulis, semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa membalas budi baik yang diberikan oleh semua pihak kepada penulis.

Besar harapan penulis, semoga tulisan ini dapat berguna dalam memperluas wawasan dan menambah pengetahuan bagi semua pihak.

Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

Abstraksi ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penulisan ... 10

G. Sistematika Penulisan... 11

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM (Onrechtmatige daad) ... 14

A. Sejarah dan Perkembangan Perbuatan Melawan Hukum . 14 B. Unsur – unsur dari Perbuatan Melawan Hukum ... 22

C. Teori dalam Perbuatan Melawan Hukum ... 28

D. Hubungan Sebab Akibat dalam Perbuatan Melawan Hukum ... 32

E. Beberapa Putusan Pengadilan tentang Perbuatan Melawan Hukum ... 36

BAB III BEBERAPA ASPEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN . 39 A. Subjek dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan ... 39

B. Prinsip Hukum Perpajakan dan Pajak Bumi dan Bangunan ... 47

C. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak ... 54


(7)

E. Peraturan Pajak Bumi dan Bangunan yang berkaitan

dengan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ... 58

BAB IV PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN ... 67

A. Perbuatan Melawan Hukum Yang Terjadi pada Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan ... 67

B. Proses Penagihan Utang Pajak Menurut UU No.19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan ... 70

C. Sanksi Terhadap Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan dari Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 82


(8)

ABSTRAKSI

Pajak merupakan iuran rakyat kepada negara, guna melaksanakan jalannya pemerintahan dan pembangunan yang berkesinambungan. Dalam rangka pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan diperlukan perangkat yang kuat, agar wajib pajak dapat mematuhi kewajibannya dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam pemungutannya, pajak juga harus mengacu berdasarkan undang – undang yang berarti bahwa pemungutan pajak tersebut sudah disepakati atau disetujui bersama antara pemerintah dengan rakyat. Tidak ada prestasi yang akan didapatkan oleh rakyat secara sebagai kompensasi atas pembayaran pajaknya, melainkan akan diwujudkan oleh pemerintah yaitu dengan melakukan pembangunan di segala bidang untuk kemajuan bangsa dan negara. Salah satu jenis pajak yang dipungut kepada rakyat adalah Pajak Bumi dan Bangunan yang mempunyai objek yaitu bumi, dan/atau bangunan. Untuk pengaturan lebih lanjut mengenai Pajak Bumi dan Bangunan terdapat dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang kemudian diperbaharui dengan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1994.

Dalam penyusunan skripsi ini Penulis mempergunakan dua jenis metode pengambilan data, yaitu metode studi kepustakaan, dan metode penelitian lapangan. Dengan metode studi kepustakaan dilakukan pengumpulan data sebanyak mungkin yang berasal dari referensi yang relevan dan berhubungan dengan permasalahan, yaitu meliputi buku, teks, artikel, maupun berita dari internet. Sedangkan penelitian lapangan dilaksanakan di Kantor Pelayanan Pajak Medan Petisah dengan melakukan wawancara langsung dengan pejabat yang ditunjuk untuk itu. Dari kedua jenis metode penulisan tersebut, maka didapatlah hasil yang dapat menjawab semua permasalahan berhubungan dengan judul skripsi ini.

Maka masyarakat sebagai wajib pajak diharuskan untuk berperan aktif dalam melakukan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan guna kelangsungan pembangunan dan jalannya pemerintahan. Namun ada kalanya kondisi ideal tersebut tidak dapat tercapai karena selalu saja terdapat kealpaan pada diri manusia yang kurang suka untuk membayar pajak dan melalaikan kewajibannya. Bila kondisi tersebut selalu berjalan secara terus – menerus maka akan terjadi dan berkembang adanya tunggakan pajak yang secara umum dapat mengurangi pemasukan negara di bidang pajak. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, maka pemerintah dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak Medan Petisah telah mengusahakan adanya sistem penagihan aktif yang diharapkan dapat memberikan penekanan yang lebih pada keseimbangan antara kepentingan masyarakat sebagai wajib pajak dan negara. Keseimbangan kepentingan yang dimaksud berupa pelaksanaan hak dan kewajiban oleh kedua belah pihak yang tidak berat sebelah atau memihak, adil, serasi, dan selaras. Selain itu juga diharapkan agar dengan sistem ini jumlah tunggakan pungutan pajak semakin berkurang.


(9)

ABSTRAKSI

Pajak merupakan iuran rakyat kepada negara, guna melaksanakan jalannya pemerintahan dan pembangunan yang berkesinambungan. Dalam rangka pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan diperlukan perangkat yang kuat, agar wajib pajak dapat mematuhi kewajibannya dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam pemungutannya, pajak juga harus mengacu berdasarkan undang – undang yang berarti bahwa pemungutan pajak tersebut sudah disepakati atau disetujui bersama antara pemerintah dengan rakyat. Tidak ada prestasi yang akan didapatkan oleh rakyat secara sebagai kompensasi atas pembayaran pajaknya, melainkan akan diwujudkan oleh pemerintah yaitu dengan melakukan pembangunan di segala bidang untuk kemajuan bangsa dan negara. Salah satu jenis pajak yang dipungut kepada rakyat adalah Pajak Bumi dan Bangunan yang mempunyai objek yaitu bumi, dan/atau bangunan. Untuk pengaturan lebih lanjut mengenai Pajak Bumi dan Bangunan terdapat dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang kemudian diperbaharui dengan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1994.

Dalam penyusunan skripsi ini Penulis mempergunakan dua jenis metode pengambilan data, yaitu metode studi kepustakaan, dan metode penelitian lapangan. Dengan metode studi kepustakaan dilakukan pengumpulan data sebanyak mungkin yang berasal dari referensi yang relevan dan berhubungan dengan permasalahan, yaitu meliputi buku, teks, artikel, maupun berita dari internet. Sedangkan penelitian lapangan dilaksanakan di Kantor Pelayanan Pajak Medan Petisah dengan melakukan wawancara langsung dengan pejabat yang ditunjuk untuk itu. Dari kedua jenis metode penulisan tersebut, maka didapatlah hasil yang dapat menjawab semua permasalahan berhubungan dengan judul skripsi ini.

Maka masyarakat sebagai wajib pajak diharuskan untuk berperan aktif dalam melakukan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan guna kelangsungan pembangunan dan jalannya pemerintahan. Namun ada kalanya kondisi ideal tersebut tidak dapat tercapai karena selalu saja terdapat kealpaan pada diri manusia yang kurang suka untuk membayar pajak dan melalaikan kewajibannya. Bila kondisi tersebut selalu berjalan secara terus – menerus maka akan terjadi dan berkembang adanya tunggakan pajak yang secara umum dapat mengurangi pemasukan negara di bidang pajak. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, maka pemerintah dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak Medan Petisah telah mengusahakan adanya sistem penagihan aktif yang diharapkan dapat memberikan penekanan yang lebih pada keseimbangan antara kepentingan masyarakat sebagai wajib pajak dan negara. Keseimbangan kepentingan yang dimaksud berupa pelaksanaan hak dan kewajiban oleh kedua belah pihak yang tidak berat sebelah atau memihak, adil, serasi, dan selaras. Selain itu juga diharapkan agar dengan sistem ini jumlah tunggakan pungutan pajak semakin berkurang.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam suatu masyarakat yang sudah sangat berkembang sudah tentu tidak dapat dipungkiri bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa masyarakat. Di dalam masyarakat, bumi, air, dan kekayaan alam mempunyai fungsi yang sangat penting dalam menunjang hidup manusia tersebut.

Sebagian besar orang membutuhkan tempat tinggal serta tempat untuk berlindung baik di atas tanah atau air. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Orang atau badan hukum yang memiliki atau menguasai bumi, air, dan bangunan mendapatkan kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik serta memperoleh keuntungan dari itu. Dan berdasarkan hal tersebut maka dianggap wajar jika mereka memberikan iuran kepada negara guna mewujudkan kelangsungan hidup.

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selain menjalankan pemerintahan umum juga melaksanakan pembangunan yang dilakukan secara berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh wilayah tanah air.

Pemerintah terus melaksanakan pembangunan di segala bidang untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera, baik material maupun


(11)

spiritual. Guna mewujudkan hal tersebut tentunya diperlukan beberapa faktor pendukung yang dapat memperlancar pelaksanaanya. Salah satu faktor pendukung tersebut adalah penyediaan dana bangunan yang cukup memadai yang dapat diperoleh dari beberapa sumber, baik dalam negeri maupun dari luar negeri.

Dalam struktur penerimaan negara, penerimaan perpajakan mempunyai peranan yang sangat strategis dan merupakan komponen terbesar serta sumber utama penerimaan dalam negeri untuk menopang pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional. “Penerimaan negara dari sektor pajak menjadi salah satu indikator kunci keberhasilan pemerintahan”.1

Dalam hal penerimaan dalam negeri, Indonesia memperoleh penerimaan tersebut dari penerimaan migas dan penerimaan non migas. Namun dalam kenyataannya penerimaaan untuk sektor migas sering mengalami fluktuasi harga yang disebabkan oleh nilai tukar mata uang rupiah yang sangat rentan terhadap kondisi atau keadaan ekonomi baik regional maupun internasional. Oleh karena itu dapat kita lihat untuk penerimaan dari sektor migas kurang dapat diandalkan secara konsisten. Dalam hal ini pemerintah kemudian berusaha untuk meningkatkan penerimaan dari sektor non migas dimana hal ini merupakan salah

Untuk itu dibutuhkan partisipasi aktif segenap lapisan masyarakat dalam memikul beban pembangunan, maupun dalam pertanggungjawaban atas pelaksanaan pembangunan, salah satunya dalam bidang perpajakan diwujudkan keikutsertaan dan kegotongroyongan dalam pembangunan nasional, untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

1


(12)

satu jalan yang harus ditempuh pemerintah dengan memanfaatkan segala sumber yang ada seefektif mungkin dan seefisien mungkin. Salah satu penerimaan non migas yang dirasakan sangat menunjang guna penyediaan dana pembangunan adalah penerimaan dari sektor pajak. Oleh karena itu usaha – usaha untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak terus dikembangkan. Pembaharuan dan penyempurnaan sistem perpajakan yang ada saat ini dirasakan sangat diperlukan apabila melihat keadaan negara saat ini namun tetap memperhatikan asas keadilan.

Pajak adalah sumber utama pembiayaan negara dan pembangunan nasional yang sumbernya dapat diperbaharui (renewable resource) sesuai dengan perkembangan yang terjadi, serta merupakan salah satu kewajiban kenegaraan yang nantinya akan dikembalikan kepada masyarakat luas. Oleh karenanya, setiap anggota masyarakat wajib berperan aktif dalam melaksanakan sendiri kewajiban perpajakan, sesuai dengan sistem penetapan pajak oleh wajib pajak sendiri (self assesment).

Salah satu jenis pajak yang ada adalah Pajak Bumi dan Bangunan, yang merupakan pajak atas tanah dan bangunan, baik yang dimiliki, diperoleh kemanfaatannya maupun dikuasai. Dasar hukumnya adalah Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang terakhir telah diubah menjadi Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Kondisi ideal diatas tidak sepenuhnya dapat berjalan dengan baik. Kodrat manusia yang mempunyai sifat yaitu diantaranya tidak suka membayar pajak. Karena banyak yang beranggapan bahwa tidak adanya kontraprestasi langsung


(13)

dengan pembayaran pajak. Peran serta masyarakat Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pambayaran pajak berdasarkan ketentuan perpajakan sangat diharapkan. Namun dalam kenyataannya masih dijumpai adanya tunggakan pajak sebagai akibat tidak dilunasinya utang pajak sebagaimana mestinya.

Perkembangan jumlah tunggakan pajak dari waktu ke waktu menunjukan jumlah yang semakin besar. Peningkatan jumlah tunggakan yang belum dapat diimbangi dengan kegiatan pencairannya, namun demikian secara umum penerimaan dibidang perpajakan semakin mengikat.

Kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak merupakan posisi strategis dalam peningkatan penerimaan pajak. Dengan demikian pengkajian terhadap faktor – faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak sangat perlu mendapatkan perhatian. Sebagaimana dikemukakan di atas, didalam sistem penetapan pajak oleh wajib pajak sendiri (self assesment) yang berlaku sekarang ini maka penagihan pajak yang dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan merupakan wujud penegakan hukum (law enforcement) untuk meningkatkan kepatuhan yang menimbulkan aspek psikologis bagi Wajib Pajak.

Dalam rangka pelaksanaan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, sangat diperlukan suatu perangkat hukum yang kuat. Hal ini dimaksudkan agar tindakan penagihan mempunyai kekuatan hukum yang memaksa, sehingga tujuan dari pelaksanaan tindakan penagihan berupa pencairan tunggakan dapat tercapai. Untuk itu diharapkan penekanan yang lebih pada keseimbangan antara kepentingan masyarakat sebagai wajib pajak dan negara. Keseimbangan yang dimaksud berupa pelaksanaan hak dan kewajiban oleh kedua belah pihak yang


(14)

tidak berat sebelah atau memihak, adil, serasi, dan selaras dalam wujud tata aturan yang jelas dan sederhana serta memberikan kepastian hukum.

Untuk melaksanakan pajak tersebut, maka sistem perpajakan harus terus – menerus disempurnakan, pemungutan pajak diinsentifkan, dan aparat perpajakan harus semakin mampu dan bersih. Untuk itu masyarakat wajib Pajak sebagai subjek Pajak harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakan sebagai pelaksanaan kewajiban perpajakan kenegaraan. Disamping itu, masyarakat wajib pajak juga dituntut untuk taat terhadap kewajibannya dam membayar Pajak Bumi dan Bangunan agar tidak menggangu penerimaan negara. Sehingga apabila Wajib Pajak telah membayar Pajak Bumi dan Bangunan maka akan terhindar dari sanksi yang akan dikenakan kepada wajib pajak.Berdasarkan keinginan itu diatas Penulis berkeinginan untuk mengangkatnya sebagai judu l skripsi, yaitu : “Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Pembayaran Pajak bumi dan Bangunan”.

B. PERUMUSAN MASALAH

Titik tolak penelitian jenis apapun tiada lain bersumber pada masalah, tanpa adanya masalah suatu penelitian tidak mungkin dilaksanakan. Pada waktu akan memulai penelitian masalah harus sudah dirumuskan dan difokuskan secara jelas, sederhana dan tuntas. Hal ini disebabkan karena seluruh unsur penelitian akan berpangkal pada perumusan masalah tersebut.


(15)

Dalam hubungan inilah perlu diberikan suatu identifikasi persoalan. Ruang lingkup permasalahan dititikberatkan pada Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.

Untuk memberikan ruang lingkup permasalahan maka dapat dinyatakan bahwa skripsi ini akan mengkaji tentang:

1. Bagaimanakah hubungan Pajak Bumi dan Bangunan dengan Hukum Perdata?

2. Bagaimanakah tata cara pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan yang tepat?

3. Bagaimanakah sanksi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang melakukan perbuatan melawan hukum pada saat pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

Penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi tugas akhir Penulis sebagai pemenuhan syarat – syarat dalam gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Tujuan utamanya adalah :

1. Untuk lebih mengetahui serta memahami hubungan Pajak Bumi dan Bangunan dengan Hukum Perdata;

2. Mengetahui lebih jelas mengenai prosedur pembayaran pajak bumi dan Bangunan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;


(16)

Manfaat yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini adalah antara lain untuk memberikan pengetahuan yang lebih mendalam kepada masyarakat mengenai sistem penagihan utang Pajak bumi dan Bangunan yang ada di Indonesia sehingga diharapkan agar masyarakat dapat membayar pajak tepat waktunya demi menunjang pembangunan negara di Indonesia.Selain itu juga diharapkan dapat menjadi bahan pemasukan dan dapat berguna sebagai bahan bacaan atau pengetahuan bagi rekan – rekan mahasiswa khususnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

D. KEASLIAN PENULISAN

Penulisan skripsi ini merupakan sebuah hasil luapan ide serta gagasan dari Penulis sebagai sebagai mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dalam rangka menulis tugas akhir yaitu berupa skripsi. Ide dan gagasan ini timbul dikarenakan oleh ketertarikan Penulis terhadap ilmu hukum pajak yang menurut penulis fleksibel dan terus menerus berkembang seiring dengan pembangunan di Indonesia. Selain itu sepengetahuan Penulis materi ini belum pernah dibahas sebelumnya sehingga oleh karena itu tulisan ini benar – benar asli merupakan ide dari Penulis sendiri.


(17)

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Untuk istilah perbuatan melawan hukum ini, dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah “Onrechtmatige daad” atau dalam bahasa Inggris disebut dengan “Tort”. Kata Tort berasal dari kata Latin “torquere” atau “Tortus” dalam bahasa Prancis.2

Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.3

Menurut Keeton, perbuatan melawan hukum sebagai suatu kumpulan dari prinsip – prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku berbahaya, untuk memberikan tanggung jawab tas suatu kerugian yang terbit dari interaksi social, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.4

Perbuatan melawan hukum ada banyak bentuknya. Salah satunya adalah ketika seorang wajib pajak tidak memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak tepat pada waktunya. Untuk memahami mengapa seseorang harus membayar pajak dalam membiayai pembangunan yang sedang terus dilaksanakan, maka terlebih dahulu dipahami, mengenai pengertian pajak itu sendiri.

2

Munir Fuady,2005, Perbuatan Melawan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 2

3

H. Mariam Darus Badrul Zaman, SH, 1974, Hukum Perdata, Fakultas Hukum USU, Medan, hal. 219

4


(18)

Definisi pajak menurut S.I Djajadiningrat sebagai berikut:

“ Pajak sebagai suatu kewajiban untuk menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan – peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum”.5

Menurut N.J.Feldmann, “Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontra – prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran – pengeluaran umum”).6

Saat dimana seseorang tidak juga membayar pajaknya kepada negara maka terjadilah adanya suatu utang pajak. “Utang adalah kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima”.7 Utang pajak adalah pajak yang harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum didalam Surat Ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan”8

Seseorang yang dilekati kewajiban untuk membayar dapat dikatakan sebagai subjek pajak. ”Objek pajak adalah orang pribadi dari badan yang menurut Undang-undang perpajakan dinyatakan sebagi subjek hukum yang dapat dikenakan pajak”9

5

Munawir, 1992, Perpajakan, Liberty, Yogyakarta, hal. 3

6

B. Illias Wirawan & Richard Burton, 2001, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, hal. 4

7

Kamus lengkap Bahasa Indonesia, 1997, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 1114

8

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, Pasal 1 angka (8).

9


(19)

Subjek pajak yang dikenakan utang pajak yang nantinya akan dibahas dalam tulisan ini khususnya adalah yang terdapat dalam Pajak bumi dan bangunan. Menurut Soeharno SH.,MPM.,” Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan pajak Pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah. Dalam anggaran pendapatan dan Belanja (APBD), penerimaan pajak Bumi dan Bangunan tersebut dimasukkan dalam kelompok penerimaan Bagi Hasil Pajak”.10

1. Studi Kepustakaan (library research)

Berdasarkan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan:

Pasal 1 angka 1: Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.

Pasal 1 angka 2: Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan / atau perairan.

F. METODE PENULISAN

Dalam penulisan yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu metode deduktif dan induktif. Dalam hal pengumpulan data bagi penulisan skripsi ini, Penulis melakukan dengan Studi Kepustakaan.

Dalam penelitian dengan metode studi kepustakaan ini, maka langkah pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan sebanyak mungkin referensi yang relevan dan berhubungan dengan permasalahan.

10

Suharno, 2003, MPM., Potret Perjalanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Direktorat PBB dan BPHTB, Jakarta, hal. 32


(20)

Referensi ini meliputi buku – buku, teks, artikel, majalah, koran maupun berita dari internet. Termasuk dalam tahapan ini melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang perpajakan.

2. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan dalam skripsi ini dilaksanakan di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Petisah, dengan melakukan wawancara langsung dengan pejabat yang ditunjuk untuk itu, melalui sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memberikan uraian yang sebaik – baiknya agar sistematik,skripsi ini dibagi atas 5 (lima) bab dan setiap bab terbagi atas beberapa sub bab yang pembagiannya disesuaikan dengan isi dari masing – masing bab. Bagian – bagian tersebut adalah :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diterangkan mengenai hal-hal pokok untuk menghantarkan pemahaman materi pokok dari skripsi secara menyeluruh. Pada bagian awal dipaparkan mengenai latar belakang dan perumusan masalah, diikuti dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, dan tinjauan kepustakaan. Untuk menyakinkan kebenaran data, dijelaskan 2 (dua) metode penelitian


(21)

yang dipakai untuk mengumpulkan data. Dan keutuhan isi skripsi ini terangkum dalam sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PAJAK BUMI dan BANGUNAN

Bab ini terbagi atas 5 (lima) sub bab, yaitu mengenai sejarah dan perkembangan perbuatan melawan hukum, unsur – unsur dari perbuatan melawan hukum, teori dalam perbuatan melawan hukum, hubungan sebab akibat dalam perbuatan melawan hukum, beberapa putusan pengadilan tentang perbuatan melawan hukum.

BAB III : BEBERAPA ASPEK PAJAK BUMI dan BANGUNAN

Pada bab ini akan diawali dengan pembahasan mengenai subjek dan objek Pajak Bumi dan Bangunan, prinsip hukum perpajakan dan Pajak Bumi dan Bangunan, kemudian hak dan kewajiban Wajib Pajak, serta hak dan kewajiban Fiskus, dan peraturan Pajak Bumi dan Bangunan yang berkaitan dengan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.

BAB IV : PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP

PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

Di dalam bab ini akan diuraikan mengenai perbuatan melawan hukum yang terjadi pada saat pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, proses penagihan utang pajak menurut Undang – Undang


(22)

Nomor 19 Tahun 2000 tentang penagihan Pajak Bumi dan Bangunan, serta sanksi terhadap pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan dari Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini disampaikan tentang kesimpulan dari skripsi, serta juga akan disampaikan beberapa saran dari Penulis.


(23)

BAB II

PERBUATAN MELAWAN HUKUM (ONRECHTMATIGE DAAD)

A. Sejarah dan Perkembangan Perbuatan Melawan Hukum

Perkembangan sejarah hukum tentang perbuatan melawan hukum di negeri Belanda sangat berpengaruh terhadap perkembangan di Indonesia, karena berdasarkan asas korkondansi, kaidah hukum yang berlaku di negeri Belanda akan berlaku juga di negeri jajahannya, termaksud di Indonesia. Di negeri Belanda perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum dapat dibagi menjadi 3 (tiga) periode sebagai berikut:11

1) Periode sebelum tahun 1838

Kodifikasi pada tahun 1983 membawa perubahan besar mengenai pendapat tentang makna dan ruang lingkup dari pengertian onrechtmatige daad. Pada waktu itu dianut pendirian bahwa onwetmatig , yang berarti bahwa suatu perbuatan baru dianggap melawan hukum bilamana perbuatan itu adalah bertentangan dengan ketentuan undang – undang.12 Sampai dengan kodifikasi Burgerlijk Wetboek (BW) di negeri Belanda pada tahun 1838, maka ketentuan seperti Pasal 1365 KUH Perdata di Indonesia saat ini belum tentu ada di Belanda. Karenanya kala itu, tentang perbuatan melawan hukum ini, pelaksanaannya belum jelas dan belum terarah.

11

Ibid, Hal. 30

12

M.A Moegni Djojodirdjo, 1979, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta Pusat, hal. 28


(24)

2)Periode antara tahun 1838 – 1919

Setelah BW Belanda dikodifikasi, maka mulailah berlaku ketentuan dalam Pasal 1401 (yang sama dengan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia) tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Meskipun kala itu sudah di tafsirkan bahwa yang merupakan perbuatan melawan hukum, baik perbuatan suatu (aktif berbuat) maupun tidak berbuat sesuatu (pasif) yang merugikan orang lain, baik yang disengaja maupun yang merupakan kelalaian sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 1366 KUH Perdata Indonesia, tetapi sebelum tahun 1919 dianggap tidak termaksud ke dalam perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut hanya merupakan tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan putusan masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain.

3)Periode setelah tahun 1919

Dalam tahun 1919 terjadi suatu perkembangan yang luar biasa dalam bidang hukum tentang perbuatan melawan hukum khususnya di negeri Belanda, sehingga demikian juga di Indonesia. Perkembangan tersebut adalah dengan bergesernya makna perbuatan melawan hukum, dari semula yang cukup kaku, kepada perkembangan yang luwes. Perkembangan tersebut terjadi dengan diterimanya penafsiran luas terhadap perbuatan melawan huku m oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung) negeri Belanda, yakni penafsiran terhadap Pasal 1401 BW Belanda, yang sama dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia. Putusan Hoge Raad adalah terhadap kasus Lindenbaum versus Cohen.


(25)

Kasus Lindenbaum versus Cohen tersebut pada pokoknya berkisar tentang persoalan persaingan tidak sehat dalam bisnis. Baik Lindenbaum maupun Cohen adalah sama – sama perusahaan yang bergerak di bidang percetakan yang saling bersaing satu sama lain. Dalam kasus ini, dengan maksud untuk menarik pelanggan – pelanggan dari Lindenbaum, seorang pegawai dari Lindebaum di bujuk oleh perusahaan Cohen dengan berbagai macam hadiah agar pegawai Lindenbaum tersebut mau memberitahukan kepada Cohen salinan dari penawaran – penawaran yang dilakukan oleh Lindenbaum kepada masyarakat, dan memberi tahu nama – nama dari orang – orang yang mengajukan order kepada Lindenbaum. Tindakan Cohen itu akhirnya tercium oleh Lindenbaum. Akhirnya Lindenbaum menggugat Cohen ke pengadilan Amsterdam dengan alasan bahwa Cohen telah melakukan perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige daad) sehingga melanggar Pasal 1401 BW Belanda, yang sama dengan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia.

Ternyata langkah Lindenbaum untuk mencari keadilan tidak berjalan mulus. Memang di tingkat pengadilan pertama Lindenbaum dimenangkan, tetapi di tingkat banding justru Cohen yang di menangkan, dengan alasan bahwa Cohen tidak pernah melanggar suatu pasal apapun dari perundang – undangan yang berlaku. Dan pada tingkat kasasi turunlah putusan yang memenangkan Lindenbaum, suatu putusan yang terkenal dalam sejarah hukum, dan merupakan tonggak sejarah tentang perkembangan yang revolusioner tentang perbuatan melawan hukum tersebut.


(26)

Dalam putusan tingkat kasasi tersebut, Hoge Raad menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum bukan hanya melanggar undang – undang yang tertulis seperti yang ditafsirkan saat itu, melainkan juga termasuk kedalam pengertian perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan:

a. Yang melanggar hak orang lain

b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden),atau d. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam

bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.13

Dengan demikian dengan terbitnya putusan Hoge Raad dalam kasus Lindenbaum versus Cohen tersebut, maka perbuatan melawan hukum tidak hanya dimaksudkan sebagai yang perbuatan yang bertentangan dengan pasal – pasal dalam perundang – undangan yang berlaku, tetapi juga termasuk perbuatan yang melanggar kepatutan dalam masyarakat.

Dengan demikian sejak tahun tersebut, perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang – undang saja, tetapi berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat sampai sekian perumusan hukum, dalam arti sempit atau pun bertentangan dengan

13


(27)

kesusilaan maupun berhati – hati sebagaimana sepatutnya di dalam lau lintas masyarakat atau barang orang lain.14

1) Nonfeasance, yakni merupakan tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan

oleh huku m.

Perkembangan yang revolusioner dari pengertian perbuatan melawan hukum di negeri Belanda sejak tahun 1919 tersebut, kemudian juga masuk ke Indonesia (dahulu Hindia Belanda) berdasarkan asas konkordansi, yakni asas yang memberlakukan setiap hukum di negeri Belanda ke negeri jajahannya, termasuk Indonesia.

Secara klasik, yang dimaksud dengan “perbuatan” dalam istilah perbuatan melawan hukum adalah :

2) Misfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan secara salah, perbuatan mana merupakan kewajibannya atau merupakan perbuatan yang dia mempunyai hak untuk melakukannya.

3) Malfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan, padahal

pelakunya tidak berhak untuk melakukannya.

Dahulu, pengadilan menafsirkan “melawan hukum” sebagai hanya pelanggaran dari pasal – pasal hukum tertulis semata – mata (pelanggaran perundang – undangan yang berlaku), tetapi sejak tahun 1919 terjadi perkembangan di negeri Belanda, dengan mengartikan perkataan “melawan hukum” bukan hanya untuk pelanggaran perundang – undangan tertulis

14


(28)

semata – mata, melainkan juga melingkupi atas setiap pelanggaran terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan hidup masyarakat. (lihat putusan Hoge Raad Belanda tanggal 31 Januari 1919 dalam kasus Lindenbaum versus Cohen). Dengan demikian sejak tahun 1919 tindakan onrechtmatige daad tidak lagi dimaksudkan hanya sebagai onwetmatige daad saja.15

1) Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.

Sejak tahun 1919 tersebut, di negeri Belanda, dan demikian juga di Indonesia, perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas, yakni mencakup salah satu dari perbuatan – perbuatan sebagai berikut :

2) Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri. 3) Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.

4) Perbuatan yang bertentangan dengan kehati – hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik.

Berikut penjelasan untuk masing – masing kategori tersebut, yaitu sebagai berikut:

1. Perbuatan yang Bertentangan dengan Hak Orang Lain

Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain (inbreuk op eens anders recht) termasuk salah satu perbuatan yang dilarang oleh Pasal 1365 KUH Perdata. Hak – hak yang dilanggar tersebut adalah hak – hak seseorang yang diakui oleh hukum, termasuk tetapi tidak terbatas pada hak – hak sebagai berikut :

15


(29)

a) Hak – hak pribadi (persoonlijkheidscrechten). b) Hak – hak kekayaan (vermogensrecht). c) Hak – hak kebebasan.

d) Hak atas kehormatan dan nama baik.

Berikut ini beberapa putusan Mahkamah Agung Negeri Belanda (Hoge Raad) tentang perbuatan melawan hukum yang menyangkut tentang perbuatan yang melanggar hak orang lain, antara lain adalah putusan Hoge Raad tanggal 10 Maret 1972. Putusan ini mempertimbangkan apakah akibat negatif dari tindakan seseorang sedemikian besar sehingga dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum.

2. Perbuatan yang Bertentangan dengan Kewajiban Hukumnya Sendiri

Juga termasuk ke dalam kategori perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum (rechtsplicht) dari pelakunya. Dengan istilah “kewajiban hukum”, yang dimaksudkan adalah bahwa suatu kewajiban yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Jadi, bukan hanya bertentangan dengan hukum tertulis (wettelijk plicht), melainkan juga bertentangan dengan hak orang lain menurut undang – undang ( wettelijk recht). Karena itu pula, istilah yang dipakai untuk perbuatan melawan hukum adalah onrechtmatige daad, bukan onwetmatige daad.


(30)

3. Perbuatan yang Bertentangan dengan Kesusilaan

Tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Karena itu, manakala dengan tindakan melanggar kesusilaan itu telah terjadi kerugian bagi pihak lain, maka pihak yang menderita kerugian tersebut dapat menuntut ganti rugi berdasarkan atas perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata). Dalam putusan terkenal Lindenbaum v. Cohen (1919), Hoge Raad menganggap tindakan Cohen untuk membocorkan rahasia perusahaan dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan, sehingga dapat digolongkan sebagai suatu perbuatan hukum.

4. Perbuatan yang Bertentangan dengan Kehati – hatian atau Keharusan dalam Pergaulan Masyarakat yang Baik

Perbuatan yang bertentangan dengan kehati – hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik ini atau disebut dengan istilah zorgvuldigheid juga dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Jadi jika seseorang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, tidak secara melanggar pasal – pasal dari hukum tertulis, mungkin masih dapat dijerat dengan perbuatan melawan hukum, karena tindakannya tersebut bertentangan dengan prinsip – prinsip kehati – hatian atau keharusan dalan pergaulan masyarakat. Keharusan dalam masyarakat tersebut tentunya tidak tertulis, tetapi diakui oleh masyarakat yang bersangkutan.


(31)

B. Unsur – Unsur dari Perbuatan Melawan Hukum

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 KUH Perdata, maka suatu perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur – unsur sebagai berikut:

1) Adanya suatu perbuatan

2) Perbuatan tersebut melawan hukum 3) Adanya kesalahan dari pihak pelaku 4) Adanya kerugian bagi korban

5) Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian

Berikut ini penjelasan bagi masing – masing unsur dari perbuatan melawan hukum tersebut, yaitu sebagai berikut :

a. Adanya Suatu Perbuatan

Kata perbuatan meliputi perbuatan positif, yang bahasa aslinya “daad” (Pasal 1365 KUH Perdata) dan perbuatan negatif, yang dalam bahasa aslinya bahasa Belanda “nalatigheid” (kelalaian) atau “onvoorzigtigheid” (kurang hati – hati) seperti ditentukan dalam Pasal 1366 KUH Perdata. Dengan demikian, Pasal 1365 itu untuk orang – orang yang betul – betul berbuat, sedangkan Pasal 1366 itu untuk orang yang tidak berbuat. Pelanggaran dua pasal ini mempunyai akibat hukum yang sama, yaitu mengganti kerugian.16

16

Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 4


(32)

Perbuatan adalah perbuatan yang nampak secara aktif, juga termasuk perbuatan yang nampak secara tidak aktif artinya tidak nampak adanya suatu perbuatan, tetapi sikap ini bersumber pada kesadaran dari yang bersangkutan akan tindakan yang harus dilakukan tetapi tidak dilakukan.17

b. Perbuatan tersebut Melawan Hukum

Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan disini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk membuatnya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku ( karena ada juga kewajiban yang timbul dari suatu kontrak). Karena itu, terhadap perbuatan melawan hukum, tidak ada unsur “persetujuan atau kata sepakat” dan tidak ada juga unsur “causa yang diperbolehkan” sebagaimana yang terdapat dalam kontrak.

Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum tersebut diartikan dalam arti yang seluas – luasnya, yakni meliputi hal – hal sebagai berikut:

a. Perbuatan yang melanggar undang – undang yang berlaku, b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atau c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zedeen), atau

17


(33)

e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschap-pelijk verkeer betaamt ten aanzien van anders persoon of goed).

Jadi, perbuatan itu harus melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang diberikan oleh undang – undang. Dengan demikian, melanggar hukum (Onrechtmatig) sama dengan melanggar undang – undang (Onwetmatig).18

c. Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku

Kesalahan dalam Pasal 1365 KUH Perdata mengandung semua gradasi dari kesalahan dalam arti “sengaja” sampai pada kesalahan dalam arti “tidak sengaja” (lalai). Menurut hukum perdata, seorang itu dikatakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa ia telah melakukan / tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan. Perbuatan yang seharusnya dilakukan / tidak dilakukan itu tidak terlepas dari dapat tidaknya hal itu dikira – kirakan. Dapat dikira – kirakan itu harus diukur secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira – ngirakan dalam keadaan tertentu itu perbuatan seharusnya dilakukan / tidak dilakukan. Dapat dikira – kirakan itu harus juga diukur secara subjektif, artinya apa yang justru orang itu dalam kedudukannya dapat mengira – ngirakan bahwa perbuatan itu seharusnya dilakukan / tidak dilakukan.19

18

Ibid, hal. 253

19


(34)

Untuk itu kesalahan dalam arti objektif adalah seseorang dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena berbuat kesalahan, apabila ia bertindak dari pada seharusnya dilakukan oleh orang – orang dalam keadaan itu dalam pergaulan masyarakat. Kesalahan dalam arti subektif adalah melihat pada orangnya yang melakukan perbuatan itu, apakah menurut hukum dapat dipertanggungjawabkan artinya fisik orang itu normal atau masih kanak – kanak.20

Agar dapat dikenakan Pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum tersebut, undang – undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar para pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan (schuldelement) dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Karena itu, tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggung jawab berdasarkan kepada Pasal 1365 KUH Perdata. Jikapun dalam hal tertentu diberlakukan tanggung jawab tanpa kesalahan tersebut (strict liability), hal tersebut tidak didasari atas Pasal 1365 KUH Perdata, tetapi didasarkan kepada undang – undang lain.21

Karena Pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan adanya unsur “kesalahan”(schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum, maka perlu diketahui bagaimana cakupan dari unsur kesalahan tersebut. Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur – unsur sebagai berikut:

20

Ibid, hal. 255

21


(35)

a) Ada unsur kesengajaan, atau

b) Ada unsur kelalaian (negligence, culpa), dan

c) Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (recht-vaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain – lain.

d. Adanya Kerugian Bagi Korban

Dalam perbuatan melawan hukum, unsur – unsur kerugian dan ukuran penilaiannya dengan uang dapat diterapkan secara analogis. Dengan demikian, penghitungan ganti kerugian dalam perbuatan melawan hukum didasarkan pada kemungkinan adanya tiga unsur yaitu biaya, kerugian yang sesungguhnya, dan keuntungan yang diharapkan (bunga). Dan kerugian itu dihitung dengan sejumlah uang.22

Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum disamping kerugian materil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immaterial, yang juga akan dinilai dengan uang.23

22

Ibid, hal. 256

23


(36)

e. Adanya Hubungan Kausal antara Perbuatan dengan Kerugian

Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan adalah sebab dari suatu kerugian, maka perlu diikuti teori “adequate veroorzaking” dari Von Kries. Menurut ini yang dianggap sebagai sebab adalah perbuatan yang menurut pengalaman manusia normal sepatutnya dapat diharapkan menimbulkan akibat, dalam hal ini kerugian. Jadi antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan langsung.

Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi juga merupakan syarat dari perbuatan melawan hukum.Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira – kira. Hubungan sebab akibat secara faktual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah “fakta” atau apa yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai “but for” atau “sine qua non”. Von Buri adalah salah satu ahli hukum Eropa Kontinental yang sangat mendukung ajaran akibat faktual ini.24

Selanjutnya agar lebih praktis dan agar tercapainya elemen kepastian hukum dan hukum yang lebih adil, maka diciptakanlah konsep “sebab kira – kira” (proximate cause). Proximate cause merupakan bagian yang paling

24


(37)

membingungkan dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum.

C. Teori dalam Perbuatan Melawan Hukum

Ada 2 teori yang berkembang dalam perbuatan melawan hukum yaitu: 1. Teori Schutznorm dalam perbuatan melawan hukum

Teori schutznorm atau disebut juga dengan ajaran “relativitas” ini berasal dari hukum Jerman, yang dibawa ke negeri Belanda oleh Gelein Vitringa. Kata “schutz” secara harafiah berarti “perlindungan”. Sehingga dengan istilah “schutznorm” secara harafiah berarti “norma perlindungan”. Teori schutznorm ini mengajarkan bahwa agar seseorang dapat dimintakan tanggung jawabnya karena telah melakukan perbuatan melawan hukum vide Pasal 1365 KUH Perdata, maka tidak cukup hanya menunjukkan adanya hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul. Akan tetapi perlu juga ditunjukkan bahwa norma atau peraturan yang dilanggar tersebut dibuat memang untuk melindungi (schutz) terhadap kepentingan korban yang dilanggar.

Teori schutz disebut juga dengan istilah “teori relativitas” karena penerapan dari teori ini akan membeda – bedakan perlakuan terhadap korban dari perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini jika seseorang melakukan suatu perbuatan, bisa melakukan perbuatan melawan hukum bagi korban X, tetapi mungkin bukan merupakan perbuatan melawan hukum bagi korban Y.


(38)

Sungguhpun begitu, pro dan kontra terhadap teori schultznorm ini sangat kental. Di negeri Belanda, para ahli hukum yang mendukung diterapkannya teori schultznorm ini antara lain adalah Telders, Van der Grinten, dan Molengraaf. Bahkan putusan Hoge Raad lebih banyak yang mendukung teori schultznorm ini. Sebaliknya, para ahli hukum Belanda yang menentang penerapan teori schultznorm ini, antara lain adalah Scholten,Ribius,dan Wetheim.

Bahkan ada yang berpendapat (misalnya Meyers di negeri Belanda) bahkan schultznorm ini hanya tepat diberlakukan terhadap perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Namun demikian, penerapan teori ini sebenarnya dalam kasus – kasus tertentu sangat bermanfaat karena alasan – alasan sebagai berikut:

1. Agar tanggung gugat berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tidak diperluas secara tidak wajar

2. Untuk menghindari pemberian ganti rugi terhadap kasus dimana hubungan antara perbuatan dan ganti rugi hanya bersifat normatif dan kebetulan saja 3. Untuk memperkuat berlakunya unsur “dapat dibayangkan”(forseeability)

terhadap hubungan sebab akibat yang bersifat kira – kira (proximate causation).

2. Teori Aanprakelijkheid dalam perbuatan melawan hukum

Teori aanprakelijkheid atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan teori “ganggu gugat” adalah teori untuk menentukan siapakah yang harus


(39)

menerima gugatan (siapa yang harus digugat) karena adanya suatu perbuatan melawan hukum. Pada umumnya, tetapi tidak selamanya, yang harus digugat/menerima tanggung gugat jika terjadi suatu perbuatan melawan hukum adalah pihak pelaku perbuatan melawan hukum itu sendiri. Artinya dialah yang harus digugat ke pengadilan dan dia pulalah yang harus membayar ganti rugi sesuai putusan pengadilan.

Dalam beberapa situasi, seseorang boleh bertanggung jawab untuk kesalahan perdata yang dilakukan orang lain, walaupun perbuatan melawan hukum itu bukanlah kesalahannya. Hal semacam ini dikenal sebagai pertanggungjawaban yang dilakukan orang lain atau vicarious liability.25

1. Teori tanggung jawab atasan (Respondeat Superior, a superior risk bearing theory), dan

Ada kalanya si A yang melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi si B yang harus digugat dan mempertanggungjawabkan atas perbuatan tersebut. Terhadap tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain ini dalam ilmu hukum dikenal dengan teori tanggung jawab pengganti (vicarious lability).

Teori tanggung gugat ini atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain, dapat dibagi kepada 2 (dua) kategori sebagai berikut:

2. Teori tanggung jawab pengganti yang bukan dari atasan atas orang – orang dalam tanggungannya.

25

S.B. Marsh and J. Soulsby (Abdulkadir Muhammad), 2006, Hukum Perjanjian), PT. Alumni, Bandung,hal. 203


(40)

3. Teori tanggung jawab pengganti dari barang – barang yang berada di bawah tanggungannya.

KUH Perdata memperinci beberapa pihak yang harus menerima tanggung gugat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak lain, yaitu sebagai berikut:

1. Orang tua atau wali bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan oleh anak – anak dibawah tanggungannya atau dibawah perwaliannya (Pasal 1367 KUH Perdata).

2. Majikan bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan oleh pekerjanya (Pasal 1367 KUH Perdata).

3. Guru – guru sekolah bertanggung gugat atas tindakan murid – muridnya (Pasal 1367 KUH Perdata).

4. Kepala – kepala tukang bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan tukang – tukangnya (Pasal 1367 KUH Perdata).

5. Pemilik binatang bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan oleh binatang piaraannya itu (Pasal 1368 KUH Perdata).

6. Pemakai binatang bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan oleh binatang yang dipakainya (Pasal 1368 KUH Perdata).

7. Pemilik sebuah gedung bertanggung gugat atas ambruknya gedung karena kelalaian dalam pemeliharaan atau karena


(41)

cacat dalam pembangunan maupun tataannya (Pasal 1369 KUH Perdata)

D. Hubungan Sebab Akibat dalam Perbuatan Melawan Hukum 1) Hubungan sebab akibat (the darling of academic mind).

Ilmu tentang sebab akibat ini disebut dengan causaliteitsleer. Banyak kalangan ahli mencoba menstrukturalkan masalah, tetapi kelihatannya tidak pernah kelihatan hasil yang memuaskan, sementara dalam praktek peradilan, hubungan sebab akibat bergerak sangat cepat kearah yang sangat luas, hampir – hampir tanpa suatu pedoman karena rumitnya teori yuridis dan aplikasi dari masalah hubungan sebab akibat ini, maka doktrin tentang hubungan sebab akibat ini menjadi menarik untuk ditelaah secara akdemik, sehingga doktrin ini dijuluki sebagai the darling of academic mind.

Masalah hubungan sebab akibat ini menjadi isu sentral dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum karena fungsinya adalah untuk menentukan apakah seorang tergugat harus bertanggung jawab secara hukum atas tindakannya yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain.

Hubungan sebab akibat merupakan faktor yang mengaitkan antara kerugian seseorang dengan perbuatan dari orang lain. Masalah utama dalam hubungan sebab akibat ini adalah seberapa jauh kita masih menganggap hubungan sebab akibat sebagai hal yang masih dapat diterima oleh huku m. Dengan perkataan lain, kapankah dapat dikatakan bahwa suatu kerugian adalah fakta (the fact) atau kemungkinan (proximate), dan kapan pula dianggap terlalu jauh (too remote).


(42)

Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa konsep “penyebab kira – kira”(proximate cause), yang merupakan bagian yang sangat krusial dari masalah hubungan sebab akibat ini, bahkan barangkali yang paling krusial diantara seluruh bagian dari hukum tentang perbuatan melawan hukum, banyak mendapat penolakan dari pendekatan secara logika. Itulah sebabnya bagian dari perbuatan melawan hukum ini disebut the darling of the academic mind. Menurut HLA Hart, tahap pertama dalam dispute mengenai kasus – kasus perbuatan melawan hukum, adalah untuk menginterpretasi hukum tentang fakta apakah yang masih diketengahkan untuk menunjukkan bahwa fakta tersebut mempunyai kaitannya dengan kerugian.

Metode yang disarankan untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

a. Jika perbuatan yang melawan hukum tersebut mempunyai hubungan sebab akibat dengan kerugian yang terjadi.

b. Jika perbuatan yang melawan hukum tersebut tidak perlu mempunyai hubungan sebab akibat dengan kerugian yang terjadi.

c. Jika perbuatan tergugat tidak perlu ada kesalahan, tetapi mesti mempunyai hubungan sebab akibat dengan kerugian yang terjadi.


(43)

Hubungan sebab akibat secara faktual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah “fakta” atau apa yang secara faktual terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai “but for” atau “sine qua non”. Von Buri adalah salah satu ahli hukum Eropa Kontinental yang sangat mendukung ajaran akibat faktual ini.

Selanjutnya agar lebih praktis dan agar tercapainya elemen kepastian hukum dan hukum yang lebih adil, maka diciptakanlah konsep “sebab kira – kira”(proximate cause). Proximate cause merupakan bagian yang paling membingungkan dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum. Kadang – kadang untuk penyebab jenis ini sering disebut dengan legal cause, atau dengan pengertiannya sedikit bervariasi sering juga disebut dengan:

a. Direct cause

b. Natural and probable consequence cause

c. Natural, direct and immediate cause

d. Natural and unbroken cause

e. Natural and continuosus cause

f. Unbroken chain of cirmumstance


(44)

Di negeri Belanda, untuk proximate cause ini sering disebut dengan istilah adequate veroorzaking. Sering didefenisikan bahwa proximate cause merupakan sesuatu yang dalam sekuensi alamiah tidak dicampuri oleh penyebab independent, menghasilkan akibat yang merugikan tersebut. Kadang – kadang proximate cause diartikan juga sebagai konsekuensi yang mengikuti sekuensi yang tidak terputus tanpa suatu penyebab lain yang mengintervensi (intervening) terhadap perbuatan ketidakhati – hatian yang asli.

3) Hubungan sebab akibat yang dikira – kira (proximate cause)

Selain dari doktrin penyebab secara faktual, digunakan juga doktrin “penyebab kira – kira (proximate cause) dalam menetapkan sejauh mana perilaku perbuatan melawan hukum mesti bertanggung jawab atas tindakannya itu. Karena adalah layak dan adil jika seseorang diberikan tanggung jawab hanya terdapat akibat yang dapat diramalkan akan terjadi (foreseen), maka konsep proximate cause menempatkan elemen “sepatutnya dapat diduga” (forseeability) sebagai faktor utama. Jadi A bertanggungjawab atas tindakannya kepada B jika dia sepatutnya dapat menduga bahwa karena perbuatannya itu, B akan mendapat kerugian. Konsep forseeability dalam proximate cause ternyata tidak ada hubungannya dengan kedekatan ruang dan waktu. Akan tetapi bagian terbesarnya, konsep proximate cause berhubungan dengan “kepentingan umum” (public policy), yakni seberapa jauh public policy tersebut menghendaki agar tanggung jawab tersebut diletakkan atas si pelaku perbuatan melawan hukum.


(45)

Jadi, para pihak pertama konsep proximate cause memperluas tanggungjawab tergugat dari hanya sekedar tanggung jawab secara faktual, tetapi di lain pihak konsep proximate cause membatasi tanggung jawab pelakunya, dengan jalan tidak mempertimbangkan segala akibat yang dikategorikan sebagai akibat yang “terlalu jauh” (too remote). Meskipun kadang kala terdapat kasus dimana seorang pelaku perbuatan melawan hukum tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya secara proximate cause (karena tidak memenuhi unsur forseeability), tetapi dapat dimintakan tanggung jawabnya secara penyebab faktual.

E. Beberapa Putusan Pengadilan tentang Perbuatan Melawan Hukum

Berikut beberapa putusan pengadilan tentang perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:

a. Putusan Hooge Raad (Negeri Belanda) Tanggal 21 Januari 1919 Putusan yang merupakan tonggak sejarah perkembangan hukum tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) ini menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1401 BW Belanda (sama dengan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia) adalah bukan hanya melanggar undang – undang yang tertulis (wet), melainkan termasuk juga perbuatan yang melanggar kepatutan dalam masyarakat.


(46)

b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 212K/SIP/1958 Tanggal 22 November 1958.

Bahwa apabila seorang ahli waris menjual harta dalam boedel warisan yang belum dibagi tanpa pengetahuan dan tanpa persetujuan dari ahli waris lainnya, padahal dia (penjual) tahu bahwa disamping dia, masih ada ahli waris lainnya, maka perbuatan menjual tersebut termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum.

c. Putusan Mahkamah Agung Nomor 558K/SIP/1971 Tanggal 4 Juni 1973.

Bahwa seorang pegawai dari perusahaan (perusahaan bus) yang mengetahui atau patut akan bahaya (kebakaran) dari suatu perbuatan (mengisi bensin dengan ember diluar pompa bensin), tetapi tetap saja melakukannya, maka dia dianggap bersalah karena perbuatan melawan hukum, sehingga majikannya haruslah bertanggung jawab untuk mengganti kerugian.

d. Putusan Mahkamah Agung Nomor 610K/1968 Tanggal 23 Mei 1970.

Bahwa jika penggugat meminta ganti rugi yang besarnya tidak layak, maka hakim dengan kekuasaannya sendiri dapat menghitung sendiri besarnya ganti rugi yang layak, dan hal ini tidak bertentangan dengan pasal 178 ayat (3) HIR (ex aequo et bono). Dalam hal ini cara perhitungan ganti rugi dilakukan dengan membagi 2 (dua) selisih jika


(47)

dikalkulasi dengan harga emas pada waktu kejadian dengan harga emas pada waktu digugat.

e. Putusan Mahkamah Agung Nomor 104K/SIP/1968 Tanggal 1 Maret 1969.

Bahwa tindakan tergugat yang sekonyong – konyong masuk (menyerobot) kepekarangan dan memasang patok dengan maksud untuk mendirikan bangunan padahal tempat tersebut disewa oleh penggugat tanpa seizin penggugat selaku penyewa, maka tindakan penyerobotan oleh tergugat tersebut dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.


(48)

BAB III

BEBERAPA ASPEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

A. Subjek dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas bumi dan/atau bangunan (Pasal 4 ayat (1) Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1985).

Mempunyai hak atas bumi dan/atau bangunan adalah mempunyai hak atas bumi/bangunan menurut ketentuan undang – undang yang berlaku. Tetapi mungkin juga orang atau badan mempunyai hak atas tanah/bangunan berdasarkan suatu perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum. Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan jangkauannya lebih luas karena juga meliputi orang atau badan yang menguasai tanah dan/atau bangunan, bahkan juga orang atau badan yang memperoleh manfaat dari tanah dan/atau bangunan, tanpa memiliki atau mempunyai hak yang sah atas tanah dan/atau bangunan.26

Orang atau badan yang mempunyai hak atas, memiliki, menguasai atau memperoleh manfaat dari objek (tanah dan/atau bangunan) yang dibebaskan dari Pajak Bumi dan Bangunan, seperti dicantumkan dalam Pasal 3 ayat (1), tidak dikenakan pajak, sehingga bukan merupakan Wajib Pajak, tetapi ia tetap merupakan Subjek Pajak.

26


(49)

Dalam Pasal 4 ayat (2) diuraikan bahwa Subjek Pajak sebagai dimaksud dalam ayat 1 yang dikenakan kewajiban membayar pajak, menjadi Wajib Pajak menurut Undang-undang.

Jika dari suatu Objek Pajak, baik yang berupa tanah atau bangunan, belum diketahui dengan pasti siapa yang harus membayar pajaknya, umpama karena mempunyai hak atau pemiliknya tidak diketahui, tetapi ada yang menguasai dan ada pula orang lain yang memperoleh manfaat dari objek itu, maka Direktur Jenderal Pajak oleh Undang-Undang diberi wewenang untuk menunjuk dan menetapkan Subjek Pajak.

Memori Penjelasan Pasal 4 ayat (3) memberikan beberapa contoh :

1. Subjek Pajak bernama A yang memperoleh manfaat atau menggunakan bumi dan/atau bangunan milik B, bukan karena sesuatu hak yang berdasarkan undang-undang atau bukan karena perjanjian, maka A dapat diterapkan sebagai Wajib Pajak berdasarkan alasan bahwa A memperoleh manfaat atau menggunakan bumi/bangunan milik B.

2. Suatu Objek Pajak yang masih dalam sengketa di pengadilan tentang siapa pemiliknya, maka orang atau badan yang memanfaatkan atau menggunakan objek tersebut dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak.

3. Subjek Pajak yang dalam jangka waktu lama berada di luar wilayah letak objek pajak, sedang pengurusan Objek Pajak itu dikuasakan secara sah kepada orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak.


(50)

Mengenai badan yang menjadi Subjek Pajak atau Wajib Pajak, tidak pula dipengaruhi oleh sifat, bentuk dan status badan, sehingga badan yang bukan merupakan badan hukum atau perkumpulan yang bukan badan hukum dapat juga menjadi Subjek Pajak atau Wajib Pajak.

Pasal 3 ayat (2) mengandung makna bahwa negara dimungkinkan menjadi Wajib Pajak. Terhadap hal ini, Racmat Soemitro berpendapat bahwa tidak wajar dan bertentangan dengan asas perpajakan bahwa membayar pajak kepada diri sendiri.

Namun berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1004/KMK.04/1985 Tanggal 28 Desember 1985, terdapat pengecualian terhadap Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional tertentu yang menggunakan Objek Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak dikenakan pajak.

Pengecualian tersebut berlaku dengan Syarat Resiprositas. Artinya bahwa pengecualian itu baru diberlakukan, jika negara asing yang bersangkutan itu juga memberikan pengecualian yang sama dari pajak yang sifatnya sama yang dikenakan kepada Wakil – Wakil Diplomatik Indonesia di negara asing tersebut.

Bila syarat ini tidak dipenuhi, maka dengan sendirinya pengecualian itu tidak berlaku sehingga Wakil Diplomatik tersebut tetap akan dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.

Subjek Pajak yang oleh Direktur Jenderal Pajak ditetapkan sebagai Wajib Pajak, bila merasa hal ini tidak tetap, dapat mengajukan keberatan dengan memberikan keterangan secara tertulis, bahwa ia bukan Wajib Pajak dari Objek yang bersangkutan. Dan apabila Direktur Jenderal Pajak dapat menerima


(51)

keterangan yang diajukan oleh orang yang bersangkutan, maka ia akan membatalkan penetapan orang itu sebagai wajib pajak dalam jangka waktu satu bulan, terhitung sejak diterimanya surat keterangan dimaksudkan di atas.

Akan tetapi apabila keterangan tersebut di atas tidak disetujui oleh Direktur Jenderal Pajak maka ia akan mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan – alasannya.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak itu terikat pada suatu jangka waktu, yaitu jika jangka waktu satu bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat keterangan, Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan maka surat keterangan yang diajukan itu dianggap telah disetujui (ayat 7).

Sebagaimana tercantum dalam Undang – Undang Pajak Bumi dan Bangunan, yang menjadi Objek Pajak Bumi dan Bangunan (Pasal 2) adalah bumi/atau bangunan. Bumi adalah permukaan bumi (perairan) dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi itu sebenarnya tidak lain daripada tanah. Jadi yang menjadi Objek Pajak Bumi dan Bangunan itu adalah tanah (perairan) dan tubuh bumi.

Bangunan yang dijadikan Objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan, yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau tempat berusaha atau tempat yang diusahakan.


(52)

Objek Pajak Bumi dan Bangunan baik berupa tanah, bangunan maupun perairan yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, apakah akan dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan atau tidak akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Apabila objek itu dikenakan pajak maka kewajiban pelunasan pajak tersebut dibebankan kepada negara.

Penjelasan Pasal 1 angka (2) menguraikan lebih lanjut bahwa termasuk dalam pengertian bangunan adalah :

1. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;

2. Kolam renang 3. Pagar mewah 4. Tempat olah raga

5. Galangan kapal dermaga 6. Taman mewah

7. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak 8. Fasilitas lain yang memberikan manfaat

9. Jalan tol

Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokkan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang.


(53)

Nilai jual ini diperoleh dari nilai jual sebenarnya tanah bersangkutan (yaitu transaksi pasar) dan diterapkan pada semua sektor (kota, desa, pertambangan, perkebunan dan kehutanan).

Penggunaan nilai jual menurut harga pasar ini sebagai dasar pajak sangat menguntungkan karena :

1. Perkembangan nilai tanah itu diperhitungkan, karena perkiraan mengenai sewa di masa datang biasanya dikaitkan pada nilai jual tanah, nilai jual tanah merupakan perkiraan yang lebih mendekati kenyataan mengenai nilai ekonomi dan kemampuan tanah dibebani pajak daripada nilai sewa.

2. Tidak perlu lagi ada pajak terpisah untuk tanah kosong, artinya karena nilai jual tanah mencakup baik nilai sewa sekarang maupun nilai tanah bila dikembangkan, tidak perlu lagi menentukan pajak terpisah untuk tanah kosong. Hasil pajak dari tanah kosong akan lebih tinggi atas dasar nilai jual daripada atas dasar nilai sewa. Pajak yang lebih tinggi ini akan menyebabkan mahal membiarkan tanah kosong saja untuk tujuan-tujuan spekulasi, dan merangsang pengembangan tanah kosong dan penggunaan lebih besar tanah yang selama ini tidak digunakan penuh.

3. Nilai jual tanah akan memungkinkan dasar pajak naik seiring dengan kenaikan nilai tanah.

4. Karena nilai sewa mungkin telah ditetapkan jauh di masa lampau, nilai sewa sebagai dasar pajak mungkin tidak banyak mencerminkan kenaikan nilai jual tanah akibat perkembangan kota. Karena itu biasanya lebih menguntungkan


(54)

bagi negara sedang berkembang menggunakan nilai jual tanah daripada nilai sewa tanah sebagai dasar pajak.

5. Data mengenai nilai sewa jika ada, dapat selalu digunakan untuk memeriksa nilai kena pajak berdasarkan nilai jual.

Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:

a. Letak b. Peruntukan c. Pemanfaatan

d. Kondisi lingkungan dan lain-lain

Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :

a. Bahan yang digunakan b. Rekayasa

c. Letak

d. Kondisi lingkungan dan lain-lain

Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan, adalah Objek Pajak yang :

1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.


(55)

2. Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa Objek Pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan.

3. Hal ini dapat diketahui antara lain dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik negara.

4. Contoh pesantren atau sejenis dengan itu, madrasah, tanah wakaf, rumah sakit umum.

5. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu.

6. Merupakan Hutan Lindung, Hutan Suaka Alam, Hutan Wisata, Taman Nasional, Tanah Penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan Tanah Negara yang belum dibebani suatu hak;

7. Digunakan oleh Perwakilan Diplomatik, Konsulat berdasarkan atas azas perlakuan timbal balik;

8. Digunakan oleh Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Di samping pengecualian di atas, terhadap objek yang berada di bawah Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak juga dibebaskan dari pengenaan pajak.

Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan Objek Pajak di sini adalah Objek Pajak yang


(56)

dimiliki/dikuasai/digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan.

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan Pendapatan Daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, wajar Pemerintah Pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.

Mengenai bumi dan/atau bangunan milik perorangan dan/atau badan yang digunakan oleh negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan.

Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak, penyesuaian besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

B. Prinsip Hukum Perpajakan dan Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak merupakan sumber keuangan negara dalam melaksanakan pemerintah dan pembangunan, serta pemungutan pajak sudah didasarkan pada Undang-undang yang berarti bahwa pemungutan pajak tersebut sudah disepakati atau disetujui bersama antara pemerintah dengan rakyat, maka sudah sewajarnya kalau masyarakat sadar akan kewajibannya di bidang perpajakan. Masyarakat harus membayar pajak dengan benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(57)

Pada hakikatnya pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu sarana perwujudan kegotong royongan nasional dalam Pembiayaan Negara dan Pembangunan Nasional, sehingga dalam pengenaannya harus memperhatikan kepastian hukum, keadilan, kesederhanaan serta ditunjang oleh sistem administrasi perpajakan yang memudahkan Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban pembayaran pajak.

Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum dan keadilan, maka arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang ini adalah sebagai berikut : 1. Menunjang kebijaksanaan pemerintah menuju kemandirian bangsa dalam

membiayai pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak.

2. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya.

Pajak itu tidak lain adalah pengalihan kekayaan dari satu tempat ke tempat lain, yang berarti pemindahan kekayaan dari seseorang atau beberapa orang kepada pihak kedua (Pihak II).

Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan dapat dipengaruhi aspek kehidupan masyarakat, oleh sebab itu pemungutan pajak harus benar-benar dilakuan menurut Undang-undang yang berlaku itu. Jadi sebelum dilakukan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan itu terlebih dahulu harus direncanakan suatu undang – undang ataupun peraturan yang sesuai guna pemungutan pajak tersebut sehingga efek yang negatif dapat dihindarkan.


(58)

Hal tersebut di atas sesuai dengan isi Pasal 23 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ayat (2) yang berbunyi : “Segala pajak untuk keperluan negara harus berdasarkan undang –undang”.

Di dalam pemungut an Pajak Bumi dan Bangunan juga harus memperhatikan unsur keadilan sehingga tercipta apa yang dinamakan pemerataan pajak.

Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan adalah kesadaran masyarakat dan bukan merupakan hutang perikatan kepada pemerintah, sehingga dapat dilihat bahwa pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan diusahakan berdasarkan Undang-undang atau peraturan.

Di dalam Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat seperti pemungutan pajak dan lain-lain harus ditetapkan dengan undang – undang dan kewajiban dipenuhi dan ditaati sehingga dapat tersimpul makna bahwa Undang-undang itu adalah kekuasaan masyarakat.

Asas-asas di dalam Pajak Bumi dan Bangunan tersebut adalah : 1. Asas Adil

Di dalam hukum pajak asas adil dalam hal pemerintah melakukan pemungutan pajak, harus ada landasan kewenangan atau landasan kelayakan atau landasan yang memberikan hak yang wajar membenarkan bahwa pemerintah layak memungut pajak dari rakyatnya.


(59)

Untuk membenarkan pemerintah memiliki hak dan kewenangan dalam hal pemungutan pajak dari rakyat dengan rasa keadilan itu beberapan sarjana memberikan teori-teorinya, antara lain :

a. Teori Asuransi

Menurut teori asuransi ini, yang termasuk ke dalam tugas negara untuk melindungi orang dengan segala kepentingannya, keselamatan dan keamanan jiwa, serta harta bendanya.

Sebagaimana juga halnya dengan setiap perjanjian asuransi (pertanggungan) maka yang ditanggung (orang yang dilindungi) wajib membayar premi, dalam hal ini pajak inilah yang dianggap sebagai preminya yang pada waktu-waktu tertentu harus dibayar oleh masing-masing para wajib pajak.

Kelemahan teori ini :

a. Tidak terdapat hubungan langsung antara pembayaran pajak dengan jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada wajib pajak

b. Tidak ada masalah ganti rugi dari negara kepada pembayaran pajak.27

b. Teori Kepentingan

Dimana pada dasarnya penganut dari teori ini berpendapat bahwa masyarakat membayar pajak kepada negara karena memperhatikan pembahagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduk.

27


(60)

Pembahagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan orang-orang, masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah yang bermanfaat baginya, termasuk juga perlindungan atas jiwa orang itu beserta harta bendanya. Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara itu untuk menunaikan tugas rutinnya, untuk melindungi kepentingan mereka yang dibebankan kepada Wajib Pajak.

Kelemahan teori ini :

a. Adanya kontradiksi dimana golongan masyarakat tertentu dalam kenyataannya berkepentingan lebih banyak pada negara, tapi pajaknya lebih ringan atau mungkin juga bebas dari pajak

b. Adanya kesulitan untuk menentukan/menetapkan ukuran besarya pajak seseorang kepada negara.28

c. Teori Daya Pikul

Teori ini lebih menjelaskan bagaimana mestinya memungut pajak dengan adil. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan kemampuan Wajib Pajak untuk memikul beban pajaknya. Komponen-komponen yang menjadi ukuran kekuatan tersebut terutama melihat pendapatan, kekayaan dan juga melihat susunan keluarga Wajib Pajak. Karena hak manusia yang utama adalah hak untuk hidup, oleh karena itu maka para penganut teori ini berpendapat bahwa dasar keadilan pemungutan pajak adalah terletak pada jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya yaitu perlindungan jiwa atau harta bendanya, dimana untuk itu

28


(61)

diperlukan biaya. Biaya-biaya ini dipikul oleh segenap orang yang memiliki perlindungan itu yaitu dalam bentuk pajak.

Yang menjadi pokok pangkal dari teori ini adalah keadilan yaitu tekanan pajak itu haruslah sama beratnya untuk setiap orang.

d. Teori Daya Beli

Menurut teori ini, fungsi pemungutan pajak dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil daya beli dari rumah-rumah tangga dalam masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan mengarahkannya ke tujuan tertentu, tanpa memperhatikan asal-usul darimana uang yang digunakan untuk membeli.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa wajar bila negara memungut pajak dari rakyat, dan rakyat wajar membayar pajak kepada negara, yang keduanya didasarkan kepada adanya kepentingan, baik pada negara maupun pada rakyat. Meskipun demikian akan tetap diusahakan agar pemunguan pajak tersebut adil dan merata.

2. Asas Kepastian Hukum

Hukum pajak dapat memberi jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan dan tugas baik untuk negaranya maupun untuk warganya. Dalam asas yuridis diartikan bahwa pemungutan pajak hendaknya berdasarkan ketentuan hukum yang sah, baik berupa Undang-undang, maupun peraturan-peraturan. Hal ini dimaksud untuk menjamin kepastian hukum bagi pelaksana (pemerintah/inspeksi pajak) maupun bagi Wajib Pajak.


(62)

Mengenai Pajak Bumi dan Bangunan, di negara-negara hukum, segala sesuatu harus ditetapkan dalam Undang-undang. Asas ini tampak dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan bahwa pengenaan pemungutan pajak untuk keperluan negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang – undang.

Adapun menurut R. Santoso Brotodihardjo, pengenaan pajak harus berdasarkan undang – undang, rationya adalah sebagai berikut :

”Pajak adalah pengalihan kekayaan dari sektor pemerintah untuk membiayai keperluan negara. Untuk itu tidak dapat ditunjukkan kontraprestasi secara langsung terhadap individu. Padahal peralihan kekayaan dari satu sektor kepada sektor lain, tanpa ada kontrapersepsi, hanya dapat terjadi, bila terjadi suatu hibah wasiat saja. Kemungkinan lain adalah hanya bilamana peralihan kekayaan itu terjadi karena kekerasan/paksaan, yaitu dalam peristiwa perampasan atau perampokan”.29

29

Ibid, hal. 36

Demikianlah halnya sudah menjadi keharusan dan kelaziman di negara hukum, dimana Pajak Bumi dan Bangunan dipungut berdasarkan ketentuan undang – undang dan dalam menyusun undang – undang nyata – nyata harus diusahakan oleh pembuat undang – undang untuk dapat tercapai keadilan dalam hal pemungutan pajak, demi kesejahteraan rakyat sebagai Wajib Pajak.


(63)

3. Azas Sederhana dan Mudah Dimengerti

Dalam suatu negara modern, suatu sistem pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan yang sewajarnya harus sesederhana mungkin sehingga mudah dimengerti oleh seluruh masyarakat.

C. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak I. Hak – hak Wajib Pajak

Hak – hak Wajib Pajak adalah sebagai berikut :

1. Wajib Pajak Bumi dan Bangunan berhak untuk menerima tanda bukti pemasukan surat pemberitahuan (SPPT)30

2. Wajib Pajak Bumi dan Bangunan berhak untuk mengajukan permohonan penundaan dan pengangguran pajak sesuai dengan kemampuannya.31

3. Wajib Pajak Bumi dan Bangunan berhak untuk mengajukan permohonan pengambilan kelebihan bayar pajak.

Kelebihan ini terjadi jika setelah diadakan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar dari pada jumlah pajak yang terutang.

4. Wajib pajak berhak untuk mengajukan permohonan pembetulan kesalahan atau kekeliruan yang terdapat dalam SKP dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan.

5. Wajib pajak berhak untuk mengajukan keberatan dan berhak atas kepastian terbitnya surat keputusan atas surat permohonan keberatannya.

30

B. Boediono, 2000, Perpajakan Indonesia (Teori Perpajakan, Kebijaksanaan Perpajakan Pajak Luar Negeri), hal. 95

31


(1)

4. Bunga karena ada selisih antara pajak yang sebenarnya terutang dan pajak sementara

b. Bunga Penagihan

Bunga penagihan adalah bunga karena pembayaran pajak yang ditagih dengan surat tagihan berupa STP, tidak dilakukan dalam batas waktu pembayaran. Bunga penagihan umunya ditagih dengan STP (Pasal 19 ayat (1) Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983 jo. Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1994.

c. Bunga Ketetapan

Bunga ketetapan adalah bunga yang dimasukkan dalam surat ketetapan pajak sebagi tambahan pokok pajak. Bunga ketetapan umumnya ditagih dengan SKP Pasal 13 ayat (2) Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983 jo. Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1994.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pajak Bumi dan Bangunan adalah merupakan iuran yang wajib dibayar oleh wajib PBB kepada negara berdasarkan peraturan perundang – undangan guna membiayai kebutuhan pemerintahan negara dan sebagai sarana untuk mengatur di bidang sosial ekonomi. Ketentuan hukum perdata banyak mengatur tentang pajak, khususnya Pajak Bumi dan Bangunan. Pajak Bumi dan Bangunan banyak mempergunakan istilah – istilah yang terdapat dalam hukum perdata, hukum pajak juga banyak mempergunakan menyatakan keadaan, dan kejadian / peristiwa dan di dalam hukum pajak memberikan penafsiran dan pengertian yang sebagian besar dipergunakan dalam hukum perdata, juga hal – hal yang menjadi dasar – dasar kemungkinan untuk pemungutan pajak bumi dan bangunan. Kaitan tersebut dapat terlihat dengan jelas dengan adanya subjek dan objek pajak, serta hak – hak dan kewajibannya.

2. Dalam pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, pajak harus dibayar oleh wajib PBB setelah ada Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT). Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat – lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterima Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang. Pajak harus sudah lunas pada saat hutang jatuh temponya, pembayaran dapat diatur sendiri oleh wajib pajak, asal tidak melampaui


(3)

batas waktu. Pajak Bumi dan Bangunan juga dibayar melalui petugas pemungut yang ditunjuk untuk itu, maka petugas pemungut wajib menyetorkan hasil pungutan Pajak Bumi dan Bangunan ke kantor pos dan giro setempat atau ke cabang bank pemerintah setempat.

3. Jika pada saat hutang pajak jatuh tempo, dan ternyata pajak belum dibayar atau belum dibayar semua, maka akan dikenakan denda administrasi sebesar 2% sebulan untuk jumlah yang sudah jatuh temponya tetapi belum dibayar, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran. Untuk jangka waktu paling lama 24 bulan. Dan apabila wajib pajak masih tetap melakukan kewajibannya untuk membayar pajak maka akan dilakukan penagihan yaitu dengan penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Teguran, Surat Paksa, pelaksanaan sita, dan lelang.

A. Saran

1. Agar pelayanan terhadap Pajak Bumi dan Bangunan tetap dipertahankan dan ditingkatkan, sehingga tercapai komunikasi yang baik antara wajib pajak dan fiskus. Kondisi yang seperti ini akan membantu mewujudkan keberhasilan di dalam pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan. Sehingga wajib pajak akan benar – benar merasakan kenyamanan dalam melakukan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Karena fiskus memperlakukan wajib pajak dengan hormat dan sopan.

2. Agar pejabat dalam Kantor Pelayanan Pajak selalu memasyarakatkan bahwa dengan taat dalam pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan adalah


(4)

untuk upaya untuk menegakkan kemandirian sebagai bangsa yang merdeka. Caranya adalah dengan melakukan penyuluhan seluas – luasnya bahwa taat dalam membayar pajak adalah untuk menambah penerimaan dalam pembangunan negara yang merata. Dengan demikian wajib pajak akan semakin melakukan kewajibannya yaitu membayar Pajak Bumi dan Bangunan dengan baik.

3. Melakukan kerjasama yang baik dengan Bank Pemerintah dan Bank Swasta dalam hal mempermudah pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA 1. Buku

Boediono, B., 2000, Perpajakan Indonesia (Teori Perpajakan, Kebijaksanaan Perpajakan Pajak Luar Negeri), Diadit Media, Jakarta

Bohari, H., 2002, Pengantar Hukum Pajak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Brotodihardjo, R. Santoso, 1993, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT. Eresco,

Bandung

___________, 1993, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT. Eresco, Bandung

Djojodirdjo, M.A Moegni, 1979, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta Pusat

Fuady, Munir, 2005, Perbuatan Melawan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Hadi, H. Moeljo, 2001, Dasar-dasar Penagihan Pajak dengan Surat Paksa oleh Juru Sita Pajak Sita Pusat dan Daerah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Hamdan, Aini, 1993, Perpajakan, Cetakan Ketiga, Bumi Aksara, Jakarta Ichsan, Achmad, 1969, Hukum Perdata, PT. Pembimbing Masa, Jakarta

Kamus lengkap Bahasa Indonesia, 1997, Balai Pustaka, Jakarta

Kartohadiprodjo, Sudiman, 1997, Pengantar Tata Hukum Indonesia, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, Jakarta

Mardiasmo, 2002, Perpajakan (Edisi Revisi Tahun 2002), Andi, Yogyakarta Muhammad, Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung

Munawir, 1992, Perpajakan, Liberty, Yogyakarta

Muqodim, 1999, Perpajakan, Buku Kesatu,UI Press dan Ekonisia, Yogyakarta Soemitro, Rochmat, 1989, Pajak Bumi dan Bangunan, PT. Eresco, Bandung ________________, 1991, Pajak ditinjau dari segi Hukum, PT. Eresco, Bandung


(6)

________________, 1998, Asas dan Dasar Perpajakan, Eresco, Bandung

Soulsby, J. and S.B. Marsh (Abdulkadir Muhammad, SH), 2006, Hukum Perjanjian), PT. Alumni, Bandung

Subekti, 1984, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta

Suharno, 2003, MPM., Potret Perjalanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Direktorat PBB dan BPHTB, Jakarta

Sumyar, 2004, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Perpajakan, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta

Wirawan, B. Illias & Richard Burton, 2001, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta

Wirawan B. Illias dan Waluyo, 2000, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Jakarta

Zaman, Mariam Darus Badrul, 1974, Hukum Perdata, Fakultas Hukum USU, Medan

2. Undang – Undang

Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2000

3. Internet

Klikpajak.com, 22 Desember 2003. Masih Seputar Gijzeling dan Pemeriksaan Pajak