Beberapa Putusan Pengadilan tentang Perbuatan Melawan Hukum

Jadi, para pihak pertama konsep proximate cause memperluas tanggungjawab tergugat dari hanya sekedar tanggung jawab secara faktual, tetapi di lain pihak konsep proximate cause membatasi tanggung jawab pelakunya, dengan jalan tidak mempertimbangkan segala akibat yang dikategorikan sebagai akibat yang “terlalu jauh” too remote. Meskipun kadang kala terdapat kasus dimana seorang pelaku perbuatan melawan hukum tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya secara proximate cause karena tidak memenuhi unsur forseeability, tetapi dapat dimintakan tanggung jawabnya secara penyebab faktual.

E. Beberapa Putusan Pengadilan tentang Perbuatan Melawan Hukum

Berikut beberapa putusan pengadilan tentang perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut: a. Putusan Hooge Raad Negeri Belanda Tanggal 21 Januari 1919 Putusan yang merupakan tonggak sejarah perkembangan hukum tentang perbuatan melawan hukum onrechtmatige daad ini menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1401 BW Belanda sama dengan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia adalah bukan hanya melanggar undang – undang yang tertulis wet, melainkan termasuk juga perbuatan yang melanggar kepatutan dalam masyarakat. Universitas Sumatera Utara b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 212KSIP1958 Tanggal 22 November 1958. Bahwa apabila seorang ahli waris menjual harta dalam boedel warisan yang belum dibagi tanpa pengetahuan dan tanpa persetujuan dari ahli waris lainnya, padahal dia penjual tahu bahwa disamping dia, masih ada ahli waris lainnya, maka perbuatan menjual tersebut termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum. c. Putusan Mahkamah Agung Nomor 558KSIP1971 Tanggal 4 Juni 1973. Bahwa seorang pegawai dari perusahaan perusahaan bus yang mengetahui atau patut akan bahaya kebakaran dari suatu perbuatan mengisi bensin dengan ember diluar pompa bensin, tetapi tetap saja melakukannya, maka dia dianggap bersalah karena perbuatan melawan hukum, sehingga majikannya haruslah bertanggung jawab untuk mengganti kerugian. d. Putusan Mahkamah Agung Nomor 610K1968 Tanggal 23 Mei 1970. Bahwa jika penggugat meminta ganti rugi yang besarnya tidak layak, maka hakim dengan kekuasaannya sendiri dapat menghitung sendiri besarnya ganti rugi yang layak, dan hal ini tidak bertentangan dengan pasal 178 ayat 3 HIR ex aequo et bono. Dalam hal ini cara perhitungan ganti rugi dilakukan dengan membagi 2 dua selisih jika Universitas Sumatera Utara dikalkulasi dengan harga emas pada waktu kejadian dengan harga emas pada waktu digugat. e. Putusan Mahkamah Agung Nomor 104KSIP1968 Tanggal 1 Maret 1969. Bahwa tindakan tergugat yang sekonyong – konyong masuk menyerobot kepekarangan dan memasang patok dengan maksud untuk mendirikan bangunan padahal tempat tersebut disewa oleh penggugat tanpa seizin penggugat selaku penyewa, maka tindakan penyerobotan oleh tergugat tersebut dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Universitas Sumatera Utara

BAB III BEBERAPA ASPEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN