Aspek Hukum Penyertaaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara

(1)

ASPEK HUKUM PENYERTAAN DAN

PENATAUSAHAAN MODAL NEGARA PADA BADAN

USAHA MILIK NEGARA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

SUMI FRATIWI 060200008

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ASPEK HUKUM PENYERTAAN DAN

PENATAUSAHAAN MODAL NEGARA PADA BADAN

USAHA MILIK NEGARA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

SUMI FRATIWI 060200008

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui Oleh : Ketua Departemen

NIP.19561329 198601 1 001 Prof.Dr.Bismar Nasution,SH.MH

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Dr. Bismar Nasution, SH.MH Dr. Mahmul Siregar, SH.M.Hum NIP.19561329 198601 1 001 NIP.197302202002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Bismilllahirrahmanirrahim

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas segala petunjuk rahmat dan karunia-Nya, dan shalawat beriring salam juga Penulis persembahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammaad SAWsehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “ASPEK HUKUM PENYERTAAAN DAN PENATAUSAHAAN MODAL NEGARA PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA” sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan program studi sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan do’a dari berbagai pihak, dan dalam kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu , SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak M. Husni, SH, MH, selaku pembantu Dekan III Fakultas Universitas Sumatera Utara sekaligus Penasehat Akademik Penulis.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dalam menyelesaikan skripsi ini.


(4)

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan memberi banyak masukan-masukan dalam menyelasaikan skripsi ini.

5. Seluruh Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu selama menjalani perkuliahan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

6. Teristimewa persembahan untuk kedua orang tua tercinta ayahanda Sugiarto dan ibunda Fatimah yang telah banyak memberikan dukungan moril, materil, dan kasih saying yang tidak ternilai serta do’a yang tidak pernah putus hingga dapat mengantarkan menjadi seperti sekarang.

7. Teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Stambuk 2006, khususnya Gang 7 (riri, meci, fira, icha, jessika, ani (alumni)) yang selama ini telah menjadi sahabat-sahabat Penulis selama masa perkuliahan ini dan untuk setiap kebersamaan dan semangatnya yang selalu diberikan kepada Penulis serta waktu yang sangat menyenangkan yang tidak terlupakan, dan teman-teman seperjuangan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 8. Kepada some one special, makasih atas segala perhatian dan dorongan yang telah dibirikan selama ini.

9. Kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan masukan-masukan dan semangat kepada Penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Akan tetapi, Penulis berharap skripsi ini dapat


(5)

memberikan manfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan berfikir bagi setiap orang yang menbacanya.

Medan, Maret 2010 Penulis


(6)

ASPEK HUKUM PENYERTAAN DAN PENATAUSAHAAN MODAL NEGARA PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA

Sumi Fratiwi*) Pembimbing I**) Pembimbing II***)

Abstraksi

Pengaturan tentang Badan Usaha Milik Negara diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 yang juga menguraikan tentang bentuk-bentuk BUMN serta maksud dan tujuan pendirian BUMN. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. Negara melakukan penyertaan modal pada BUMN dalam rangka salah satu pendirian BUMN baru. Pengaturan tentang Penyertaan dan penatausahaan modal Negara pada BUMN diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan PT.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder. Alat pengumpulan data yaitu melalui studi pustaka (Library research) dengan mengumpulkan sumber-sumber/bahan antara lain dari buku-buku, artikel, majalah, dan penelusuran internet.

Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara diatur dalam PP Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan PT yang di dalamnya terdapat pengaturan tentang penyertaan dan penatausahaan modal Negara pada BUMN, dimana tujuan dilakukannya penyertaan modal Negara pada BUMN adalah optimalisasi barang milik Negara, mendirikan dan mengembangkan/meningkatkan kinerja BUMN. Sedangkan penatusahaan dilakukan dalam hal pencatatan untuk mengetahui besarnya penyertaan modal Negara pada BUMN. Tetapi, sampai saat ini ketentuan teknis tentang penatausahaan penyertaan modal Negara pada BUMN belum ada. Sehingga untuk itu, agar penatausahaan yang dilakukan oleh Menteri Keuangan dapat berjalan dengan baik dan lancar maka, harus dibuat sebuah peraturan hukum yang mengikat seperti dalam bentuk Peraturan Pemerintah.

Kata Kunci: Penyertaan Modal Negara, Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2006

**) Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Pembimbing I ***)Dosen/ Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,


(7)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Abstraksi ... iv

Daftar Isi ... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10

D. Keaslian Penulisan ... 11

E. Tinjauan Kepustakaan ... 11

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA A. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Badan Usaha Milik Negara ... 18

B. Pendirian dan Tujuan Pendirian Badan Usaha Milik Negara ... 21

C. Modal Badan Usaha Milik Negara ... 28

D. Pengurusan Badan Usaha Milik Negara... 31

BAB III : ASPEK HUKUM MODAL DALAM BADAN USAHA MILIK NEGARA A. Jenis-Jenis Modal Badan Usaha Milik Negara ... 43


(8)

C. Penambahan Modal Negara ke dalam Badan Usaha Milik

Negara ... 60 D. Pengurangan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara .. 62 BAB IV : ASPEK HUKUM PENYERTAAN DAN PENATAUSAHAAN

MODAL NEGARA PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA

A. Sumber Penyertaan Modal Negara ke dalam Badan Usaha

Milik Negara ... 69 B. Penyertaan Modal Negara ke dalam Badan Usaha Milik Negara 73 C. Pengurangan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara .... 86 D. Penatausahaan Penyertaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara ... 92 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 106 B. Saran ... 109 Daftar Pustaka ... 111


(9)

ASPEK HUKUM PENYERTAAN DAN PENATAUSAHAAN MODAL NEGARA PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA

Sumi Fratiwi*) Pembimbing I**) Pembimbing II***)

Abstraksi

Pengaturan tentang Badan Usaha Milik Negara diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 yang juga menguraikan tentang bentuk-bentuk BUMN serta maksud dan tujuan pendirian BUMN. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. Negara melakukan penyertaan modal pada BUMN dalam rangka salah satu pendirian BUMN baru. Pengaturan tentang Penyertaan dan penatausahaan modal Negara pada BUMN diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan PT.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder. Alat pengumpulan data yaitu melalui studi pustaka (Library research) dengan mengumpulkan sumber-sumber/bahan antara lain dari buku-buku, artikel, majalah, dan penelusuran internet.

Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara diatur dalam PP Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan PT yang di dalamnya terdapat pengaturan tentang penyertaan dan penatausahaan modal Negara pada BUMN, dimana tujuan dilakukannya penyertaan modal Negara pada BUMN adalah optimalisasi barang milik Negara, mendirikan dan mengembangkan/meningkatkan kinerja BUMN. Sedangkan penatusahaan dilakukan dalam hal pencatatan untuk mengetahui besarnya penyertaan modal Negara pada BUMN. Tetapi, sampai saat ini ketentuan teknis tentang penatausahaan penyertaan modal Negara pada BUMN belum ada. Sehingga untuk itu, agar penatausahaan yang dilakukan oleh Menteri Keuangan dapat berjalan dengan baik dan lancar maka, harus dibuat sebuah peraturan hukum yang mengikat seperti dalam bentuk Peraturan Pemerintah.

Kata Kunci: Penyertaan Modal Negara, Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2006

**) Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Pembimbing I ***)Dosen/ Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Sejak awal para pendiri bangsa (founding fathers) telah menyadari bahwa Indonesia sebagai suatu kolektivitas politik tidak memiliki modal yang cukup untuk melaksanakan pembangunan ekonomi, sehingga Negara yakni pemerintah mengambil peranan yang cukup penting dalam kegiatan ekonomi. Hal ini secara eksplisit diatur dalam pasal 33 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi sebagai berikut:

Ayat (2) :Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.

Ayat (3) :Bumi dan air dan kekayaan alam yang tekandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.1

Dalam kaitan di atas, dirasa perlu untuk meningkatkan seluruh kekuatan ekonomi nasional baik melalui regulasi sektoral maupun kepemilikan Negara terhadap unit-unit usaha tertentu dengan maksud untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Badan Usaha Milik Negara yang seluruh/sebagian besar modalnya berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan, merupakan salah satu pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian nasional,

1

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar


(11)

disamping usaha swasta dan koperasi serta melakukan peran saling mendukung berdasarkan demokrasi ekonomi.2

Oleh karena itu,selama pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 masih tercantum dalam konstitusi maka, selama itu pula keterlibatan pemerintah (termasuk BUMN) dalam perekonomian Indonesia masih diperlukan. Secara berkesinambungan Pemerintah terus berupaya untuk mewujudkan amanat konstitusional ini dalam pengelolaan perekonomian negara dengan membentuk Perusahaan Negara untuk mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dari sisi hukum, tahun 1969, Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 19 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara yang selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 sebagai pedoman pengelolaan Perusahaan Negara. Dalam UndangUndang Nomor 9 Tahun 1969 ditetapkan adanya 2 (dua) jenis Perusahaan Negara yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perusahaan Umum (Perum). Perusahaan Negara yang berbentuk Persero didirikan sesuai ketentuan Perseroan Terbatas yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (StbI.1847:23) dengan kepemilikan negara dalam bentuk saham baik secara keseluruhan atau sebagian. Sedangkan Perum adalah Perusahaan Negara yang didirikan dan diatur berdasarkan ketentuan

2

Penjelasan Umum I Undang-Undang Republik Indonesaia Nomor 19 Tahun 2003


(12)

Undang-Undang Nomor 19 Prp. Tahun 1960 dan yang seluruh modalnya, yang tidak terbagi atas saham, dimiliki oleh negara.

Saham negara pada Persero maupun modal pada Perum seluruhnya bersumber dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dipisahkan dalam arti pengelolaan kekayaan negara tersebut tidak dilakukan dalam mekanisme Anggaran Pendapatan Negara (APBN) melainkan dikelola sesuai dengan mekanisme korporasi oleh masing-masing Persero dan Perum.3

Khusus untuk BUMN pembinaan usaha diarahkan guna mewujudkan visi yang telah dirumuskan.Paling tidak ada 3 visi saling berkaitan, yakni visi dari

founding fathers yang terdapat dalam UUD, visi dari lembaga/badan pengelolaan

BUMN dan visi masing-masing perusahaan BUMN. Kesemuanya ini harus dapat diterjemahkan dalam ukuran yang jelas untuk dijadikan pedoman dalam pembinaan.Visi UUD 1945 mengamanatkan bahwa Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara serta pengelolaannya diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Visi ini harus diterjemahkan dalam ukuran yang lebih rinci dan kemudian dilakukan identifikasi jenis usaha yang masih perlu dikelola oleh Negara, sehingga menghasilkan jenis BUMN yang masuk kategori Public Service

Obligation (PSO) yang lebih berorientasi kepada pelayanan public atau non-PSO

(Public Service Obligation) yang berorientasi pada profit.4

4

Setyanto P.Santosa, Implementasi Privatisasi BUMN dan Pengaruhnya Terhadap


(13)

Kewajiban Pelayanan Umum atau PSO merupakan bagian dari

policy/beleidsregel. Oleh karena itu PSO diatur dalam Ketentuan Umum yang

mengatur mengenai maksud dan tujuan. Dalam Pasal 2 (1) huruf c UU BUMN bahwa salah satu maksud dan tujuan didirikannya BUMN adalah: “menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak”. Mengkaji pengaturan di atas maka menyelenggarakan kemanfaatan umum merupakan salah satu tujuan didirikannya BUMN. Dengan demikian, sebelum didirikan telah ada “niat” lebih dulu bahwa BUMN yang akan didirikan juga menyelenggarakan kemanfaatan umum. “Niat” atau motivasi ini tentu harus masuk sebagai hasil kajian yang dilakukan Menteri Keuangan, Menteri Teknis dan Menteri BUMN, terkait perlunya pendirian suatu BUMN. Makna untuk pengaturan ini bahwa “fungsi kemanfaatan umum”, adalah terkait pada layanan umum yang sebenarnya menjadi tugas pemerintah.

Selanjutnya,BUMN non-PSO harus diarahkan dan dibina menjadi perusahaan komersial murni yang sebagian atau keseluruhan kepemilikan sahamnya dimilki oleh Negara. Dengan prinsip komersial ini, visi BUMN harus diarahkan menjadi perusahaan yang mampu bersaing dengan kinerja di atas rata-rata industri dan secara bertahap bisa berperan dari national player menjadi

global player.

fungsi kemanfaatan umum yang terkait pada pelayanan umum kepada masyarakat yang sebenarnya menjadi tugas pemerintah.


(14)

Namun sayangnya, BUMN yang menjadi salah satu pendukung perekonomian nasional ternyata memiliki citra yang tidak begitu baik selama ini. Hal ini dikarenakan sering kali BUMN dianggap sebagai sarang KKN, sumber pemerasan dari birokrat, tidak membawa manfaat bagi masyarakat banyak maupun sekitarnya, tidak memperoleh hasil/keuntungan kecuali dengan berbagai subsidi, dan lain-lain yang menyebabkan BUMN memperoleh citra negatif bahkan tidak disukai oleh rakyatnya sendiri, yaitu rakyat Indonesia.5

5 Ibid

Kondisi demikian, kemudian membawa Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Negara BUMN selaku penerima kuasa dari Menteri Keuangan untuk bertindak selaku Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), mencanangkan untuk melakukan restrukturisasi Perusahaan Negara/Badan Usaha Milik Negara yang dikenal dengan program Rightsizing. Rightsizing yang dicanangkan Kementerian Negara BUMN meliputi pengkajian atas kemungkinan untuk secara terus menerus melakukan pembentukan holding diantara Badan Usaha Milik Negara dengan bidang usaha yang sama, merger/akuisisi Badan Usaha Milik Negara. Selain upaya upaya tersebut di atas, dalam rangka pengamanan atas kekayaan Negara yang telah ditempatkan dalam Badan Usaha Milik Negara, kiranya sesuai dengan prinsip pengawasan korporasi, Pemerintah perlu secara hati-hati dan bertanggungjawab dalam memilih dan mengusulkan pejabat Departemen Keuangan untuk menjadi wakil Pemerintah sebagai Komisaris dalam Badan Usaha Milik Negara.


(15)

Untuk mewujudkan kesejahteraan umum melalui Badan Usaha, maka Pemerintah melakukan Penyertaan Modal Negara untuk mendirikan Badan Usaha Milik Negara. Selanjutnya, untuk menyelamatkan perekonomian nasional, Pemerintah dapat pula melakukan Penyertaan Modal Negara ke dalam Perseroan Terbatas yang di dalamnya belum terdapat saham milik negara. Penyertaan Modal Negara seperti ini dilakukan oleh Pemerintah dengan mengeluarkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).6

Dalam Perseroan Terbatas, keberadaan harta kekayaan Persero harus didasarkan pada aturan hukum tentang harta kekayaan Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam UU PT Nomor 40 Tahun 2007. Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) UU PT, Perseroan Terbatas merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, dan melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Sedang menurut Pasal 31 ayat (1) UU PT, modal dasar Perseroan Terbatas terdiri atas seluruh nilai nominal saham. Sedang harta kekayaan Perseroan Terbatas meliputi modal dasar yang berupa nilai nominal saham dan aset-aset lainnya. Jadi, semua kekayaan termasuk kekayaan negara yang dipisahkan dan disertakan sebagai modal Persero adalah bagian dari persekutuan modal, berupa nilai nominal saham, yang merupakan modal dasar Persero. Modal dasar ini beserta aset yang lain merupakan harta kekayaan Persero. Singkatnya, kekayaan negara yang dipisahkan dan disertakan sebagai

6

Penjelasan PP Nomor 44 Tahun 2005, Tentang Tata Cara Penyertaan dan


(16)

modal Persero berubah menjadi harta kekayaan Persero, yang pengelolaannya didasarkan pada good corporate governance.7

Untuk memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, Pemerintah dapat pula melakukan penambahan Penyertaan Modal Negara ke dalam Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas tersebut yang dananya dapat berasal dari APBN, konversi cadangan perusahaan dan sumber lainnya, seperti keuntungan revaluasi asset dan agio saham.8

Sistem penatausahaan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dimaksud perlu dituangkan dan ditetapkan dalam suatu perangkat hukum yang bersifat mengikat, misalnya dengan Peraturan Pemerintah atau minimal

Dalam rangka penyusunan sistem penatausahaan penyertaan modal Negara, hal yang paling penting pada saat ini adalah adanya sistem penatausahaan Penyertaan Modal Negara dengan menitikberatkan dari sudut pandang tertib administrasi pengelolaan kekayaan negara. Modal negara pada Badan Usaha Milik Negara merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Persyaratan-persyaratan administratif dan legal atas Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara sesuai ketentuan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara.

7

Pengaturan GCG untuk BUMN diatur dalam pasal 73 UU Nomor 19 Tahun 2003. Selain itu juga diatur dalam Kepmen BUMN Nomor 117 Tahun 2002 Tentang Praktik Pelaksanaan good corporate governance.

8


(17)

Keputusan Menteri Keuangan. Dalam ketentuan teknis dimaksud perlu diatur mekanisme kerja penatausahaan pada Direktorat PKN, juga perlu ditetapkan unit teknis sebagai pusat pengolahan data. Kemudian diatur mekanisme kerja antara unit pengolah data dimaksud dengan unit teknis yang menangani kebijakan atas tertib administrasi kekayaan negara. Di samping itu, perlu diatur juga mekanisme kerja dengan instansi/unit yang memiliki kewenangan atau terkait dengan terbitnya dokumen hukum atas Penyertaan Modal Negara. Hal ini untuk menjamin tersedianya data dengan baik dan akurat.

Suatu ketentuan teknis yang baik tentunya harus dapat memberikan bentuk laporan pelaksanaan tugas. Bentuk laporan harus dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan kinerja atas pelaksanaan tugas tersebut dapat diukur. Harus diatur juga periode pelaporannya sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu, penyusunan Sistem penatausahaan penyertaan modal negara dimaksud perlu melibatkan pihak-pihak sumber data dan pihak-pihak pengguna data.Selain dari pada itu, tersedianya sumber daya manusia yang memadai untuk melaksanakan tugas dimaksud, baik melalui sumber internal maupun sumber eksternal. Sumber internal dimaksud adalah peningkatan pengetahuan dan ketrampilan pegawai yang saat ini tersedia pada Direktorat PKN. Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan terutama kepada pegawai pada tingkatan teknis dapat dilakukan dengan pemberian pendidikan dan pelatihan, diskusi dan seminar maupun workshop. Hal ini dilakukan perlu melibatkan narasumber yang berkompeten terkait dengan pembinaan BUMN maupun penyusunan Neraca Pemerintah. Sedangkan sumber


(18)

eksternal dapat dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan unit-unit yang berwenang dalam kepegawaian.

Disamping negara dapat melakukan penambahan Penyertaan Modal, negara juga dapat melakukan pengurangan Penyertaan Modal pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas antara lain dengan melakukan penjualan saham milik negara pada Persero dan Perseroan Terbatas.

Dalam rangka upaya untuk mewujudkan tertib administrasi dan tertib hukum dalam setiap Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas berikut segala perubahannya, maka perlu melakukan penatausahaan untuk mengetahui posisi modal negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. Mengingat modal negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas merupakan bagian dari kekayaan negara yang dikenal sebagai kekayaan negara yang dipisahkan, maka penatausahaannya dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku menteri yang mempunyai kewenangan melakukan penatausahaan kekayaan negara sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan.

B.Perumusan Masalah

Suatu pengajuan permasalahan adalah untuk membatasi ruang lingkup permasalahan agar tidak melebar sehingga akan mengaburkan tujuan pembahasan yang dapat dikatakan bahwa pembahasan dapat menjawab permasalahan tersebut. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:


(19)

1. Bagaimana bentuk-bentuk dan pengurusan Badan Usaha Milik Negara. 2. Bagaimana jenis-jenis modal dan saham pada Badan Usaha Milik Negara. 3. Bagaimana penyertaan dan penatausahaan modal Negara pada Badan

Usaha Milik Negara.

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan utama penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat tugas akhir untuk mendapat gelar sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Namun, berdasarkan permasalahan di atas,maka tujuan yang dicapai adalah:

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dan pengurusan Badan Usaha Milik Negara

2. Untuk mengetahui jenis-jenis modal dan saham pada Badan Usaha Milik Negara.

3. Untuk mengetahui pengaturan penyertaan dan penatausahaan modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara.

Manfaat penulisan yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Secara teoris

Manfaat teoritis berkaitan dengan penambahan wawasan teoritis, kaedah hukum dan doktrin ilmu hukum terkait dengan masalah yang diteliti.


(20)

b. Secara praktis

Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yuridis tentang penyertaan dan penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara, dan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pemahaman kepada para pembaca yang berminat dan mempelajari tentang penyertaan dan penatausahaan modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara.

D.Keaslian Penulisan

Aspek hukum penyertaan dan penatausahaan modal negara pada Badan Usaha Milik Negara yang diangkat menjadi judul skripsi ini merupakan hasil karya penulis sendiri dan belum pernah ditulis sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, berdasarkan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

E.Tinjauan Kepustakaan

Untuk memudahkan pemahaman mengenai konsep-konsep yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini,maka pelu diuraikan pengertian konsep sebagai berikut:


(21)

1. Modal adalah suatu perwujudan persatuan benda yang dapat berupa barang,uang dan hal-hal yang dipergunakan oleh sutu badan usaha untuk mendapatkan keuntungan.9

2. Modal negara adalah modal yang seluruhnya berasal dari Negara.10

3. Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta Perseroan Terbatas lainnya.11

4. Penyertaan modal Negara adalah pemisahan kekayaan Negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau penetapan cadangan perusahaan sumber lain untuk dijadikan sebagai modal Badan Usaha Milik Negara dan/atau Perseroan Terbatas lainnya,dan dikelola secara korporasi.12

5. Penatausahaan penyertaan modal Negara adalah pencatatan dalam rangka pengadministrasian untuk mengetahui besarnya penyertaan modal Negara dalam Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.13

6. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN,adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh

9

Abdul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 165.

10

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN.

11

Ibid, pasal 1 angka 10. 12

PP Nomor 44 Tahun 2005 , Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal

Negara Pada BUMN dan PT, pasal 1 angka 7. 13


(22)

Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan.14

7. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan,adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,didirikan berdasarkan perjanjian,melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas serta peraturan peaksananya.15

8. Penambahan modal adalah bagian dari kegiatan penyertaan modal Negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas yang di dalamnya telah terdapat saham milik Negara.16

9. Pengurangan modal adalah bagian dari penyertaan modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas yang dilakukan dalam rangka penjualan saham milik Negara, pengalihan asset BUMN untuk penyertaan modal Negara pada BUMN.17

F.Metode Penelitian

Penulisan ini termasuk dalam penelitian yang bersifat normatif, yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, misalnya peraturan dasar,peraturan PerUndang-undangan,dan peraturan lain yang berkaitan. Penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu umumnya diterima

14

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003, Op.Cit, pasal 1 angka 1.

15

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, pasal 1 angka 1.

16

PP Nomor 44 Tahun 2005, Op.Cit, Pasal 5

17


(23)

bahwa data dasar yang diperlukan adalah data-data sekunder. Data sekunder tersebut meliputi:

1. Tipe Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif18

2. Bahan Hukum

. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder. Alat pengumpulan data yaitu melalui studi pustaka dengan mengumpulkan sumber-sumber atau bahn-bahan antara lain dari buku-buku, artikel, Koran, dan penelusuran internet.

Bahan hukum dan sumber bahan hukum yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari:19

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat.Dalam penelitian ini antara lain Undang-Undang BUMN Nomor 19 Tahun 2003 ,Undang-Undang-Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, UU Nomor 9 Tahun 1969, Undang-undang kekayaan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 Tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan pada Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Jawatan (Perjan) kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara,PP Nomor 44 Tahun 2005

18

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 9-10.

19


(24)

Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya menjelaskan mengenai bahan hukum primer.Dalam penelitian ini adalah buku-buku, makalah, internet, dan bahan-bahan yang berhubungan dengan penyertaan dan penatausahaan modal Negara pada BUMN.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum dan kamus besar bahasa Indonesia).

3.Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi,maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis secara sistematis buku-buku, makalah ilmiah, internet, peraturan perUndang-Undangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

4.Analisis Data

Metode penelitian yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu data diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif yang mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif digunakan guna mendapatkan


(25)

data yang bersifat deskriptif analistis, yaitu data-data yang akan diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.

Analisis data dilakukan dengan:

1. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

2. Memilih kaedah-kaedah hukum yang sesuai dengan penelitian.

3. Menarik kesimpulan dengan menjawab setiap permasalahan yang diteliti.

G.Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik,maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per bab yang saling berangkaian satu sama lain.Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah:

BAB I : Berisikan PENDAHULUAN, yang merupakan pengantar yang di

dalamnya terurai mengenai Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II : Berisikan TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN USAHA

MILIK NEGARA, yang di dalamnya terurai mengenai Pengertian dan Bentuk-bentuk Badan Usaha Milik Negara, Pendirian dan


(26)

Tujuan Pendirian Badan Usaha Milik Negara, Modal Badan Usaha Milik Negara Pengurusan Badan Usaha Milik Negara.

BAB III : Berisikan ASPEK HUKUM MODAL DALAM BADAN

USAHA MILIK NEGARA, yang di dalamnya terurai mengenai Jenis-jenis Modal Badan Usaha Milik Negara, Saham Badan Usaha Milik Negara, Penambahan Modal Negara ke dalam Badan Usaha Milik Negara, Pengurangan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara.

BAB IV : Berisikan ASPEK HUKUM PENYERTAAN dan

PENATAUSAHAAN MODAL NEGARA PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA, yang di dalamnya terurai mengenai Sumber Penyertaan Modal Negara ke dalam Badan Usaha Milik Negara, Penyertaan Modal Negara ke dalam Badan Usaha Milik Negara, Pengurangan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara, Penatausahaan Penyertaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara.

BAB V : Bab ini berisikan PENUTUP, yang di dalamnya terurai mengenai

Kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan Saran-saran yang mungkin berguna bagi pelaku bisnis, pihak akademisi, dan orang-orang yang membacanya.


(27)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN USAHA MILIK

NEGARA

A.

Pengertian dan Bentuk-bentuk Badan Usaha Milik Negara

Keberadaan BUMN di Indonesia, berkaitan erat dengan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, khususnya ayat (2) dan (3) yaitu:

Ayat (2) :Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.

Ayat (3) :Bumi dan air dan kekayaan alam yang tekandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Penguasaan Negara itu penting agar kesejahteraan rakyat banyak terjamin dan rakyat banyak dapat menikmati sumber-sumber kemakmuran rakyat dari bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya. Penguasaan negara tercermin dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN yang menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan.

Dengan demikian, membedakan BUMN dengan badan hukum lainnya sebagimana dikemukakan di atas,adalah:20

20

Johannes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), hal.61.


(28)

a) seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara;

b) melalui penyertaan secara langsung;dan

c) berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan;

Dalam sistem perekonomian nasional, BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat atau masyarakat. Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha swasta. Disamping itu, BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar dan turut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang sigifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, deviden, dan hasil privatisasi.

BUMN juga mempunyai fungsi bisnis yaitu sebagai unit ekonomi, alat kebijaksanaan pemerintah/agen pembangunan. Sebagai unit ekonomi, BUMN dituntut untuk mencari keuntungan sebagaimana perusahaan swasta umumnya. Sedangkan sebagai agen pembangunan, BUMN dituntut untuk menjalankan misi pemerintah dengan sebaik-baiknya. Berarti setiap BUMN harus menjalankan fungsi tersebut sekaligus, meskipun dengan bobot yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.21

21


(29)

Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, dimana bentuk BUMN terbagi menjadi 2 (dua) yaitu:22

a. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Pendirian Persero berbeda dengan pendirian badan hukum (perusahaan) pada umumnya. Pendirian Persero diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri Keuangan. Organ Persero terdiri atas RUPS, Direksi,dan Komisaris. Ciri-ciri Persero adalah23

1. Makna usahanya adalah untuk memupuk keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan dan menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saingn kuat.

:

2. Berbentuk perseroan terbatas.

3. Modal seluruhnya atau sebagian merupakan milik Negara dari kekayaan Negara yang dipisahkan.

4. Dipimpin oleh seorang Direksi.

22

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003, Op.Cit, pasal 1

23

Achmad Ichsan, Dunia Usaha Indonesia, (Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2000), hal. 467.


(30)

b. Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi atas saham, tujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Pada dasarnya proses pendirian Perum sama dengan pendirian Persero. Organ Perum adalah Menteri, Direksi, dan Dewan Pengawas. Ciri-ciri Perum adalah:

1. Makna usahanya adalah melayani kepentingan umum dan sekaligus untuk memupuk keuntungan.

2. Berstatus badan hukum dan diatur berdasarkan UU.

3. Mempunyai nama dan kekayaan sendiri serta kebebasan bergerak seperti perusahaan swasta untuk mengadakan atau masuk ke dalam suatu perjanjian, kontark-kontrak, dan hubungan-hubungan dengan perusahaan lain.

4. Modal seluruhnya dimiliki oleh Negara dari kekayaan Negara yang dipisahkan.

5. Dipimpin oleh seorang Direksi

B.Pendirian dan Tujuan Pendirian Badan Usaha Milik Negara

Pendirian, pengawasan, serta pembubaran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 baik itu yang berbentuk Perum maupun Persero. Dalam PP ini yang dimaksud dengan pendirian


(31)

adalah pembentukan Persero atau Perum yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa pendiran BUMN meliputi:

a. pembentukan Perum atau Persero baru;

b. perubahan bentuk unit instansi pemerintah menjadi BUMN;

c. perubahan bentuk badan hukum BUMN; atau

d. pembentukan BUMN sebagai akibat dari peleburan Persero dan Perum

Dalam pasal 5 disebutkan bahwa pendirian BUMN ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah dan di dalamnya,sekurang-kurangnya memuat:

a. Penetapan pendirian BUMN;

b. Maksud dan tujuan pendirian BUMN; dan

c. Penetapan besarnya penyertaan kekayaan negara yang dipisahkan dalam rangka pendirian BUMN.

Pendirian BUMN dilakukan dengan mengalihkan unit instansi pemerintah menjadi BUMN, maka dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dimuat ketentuan bahwa seluruh atau sebagian kekayaan, hak dan kewajiban unit instansi pemerintah tersebut beralih menjadi kekayaan, hak dan kewajiban BUMN yang didirikan


(32)

Selanjutnya dalam pasal 6 disebutkan BUMN mempunyai tempat kedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar. Pendirian BUMN dilakukan dengan memperhatikan ketentuan mengenai tata cara penyertaan modal dalam dalam rangka pendirian BUMN.

BUMN yang berbentuk Perum, pendiriannya diatur dalam PP Nomor 13 Tahun 1998. Dalam pasal 7 PP tersebut disebutkan Perum adalah badan usaha milik Negara yang didirikan dengan peraturan pemerintah. PP tentang pendirian Perum sekaligus menetapkan keputusan untuk melakukan penyertaan modal Negara ke dalam Perum. Dengan ketentuan ini Perum memperoleh status badan hukum setelah PP pendirian Perum berlaku. PP tersebut sekurang-kurangnya memuat penetapan pendirian Perum, penetapan besarnya kekayaan Negara yang dipisahkan untuk penyertaan ke dalam modal Perum, anggaran dasar Perum, penunjukan Menteri Keuangan selaku wakil pemerintah dan pendelegasian wewenang Menteri Keuangan kepada Menteri BUMN dalam pelaksanaan pembinaan sehari-hari Perum.24

Dalam penjelasan pasal 8 tersebut menyatakan bahwa pemisahan kekayaan Negara untuk dijadikan modal dalam Perum dapat berupa uang tunai atau bentuk lain dan disebutkan jumlah atau nilai nominalnya. Pemisahan kekayaan Negara untuk dijadikan modal suatu Perum dapat dilakukan untuk pendirian suatu Perum, penambahan kapasitas suatu Perum, dan restrukturisasi permodalan Perum. Seperti telah disebutkan bahwa pendirian Perum dilakukan

24


(33)

dengan Peraturan Pemerintah. Dalam PP tersebut dicantumkan juga anggaran dasar Perum. Menurut ketentuan Pasal 10, anggaran dasar Perum memuat sekurang-kurangnya:

a. Nama dan tempat kedudukan Perum;

b. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perum; c. Jangka waktu berdirinya Perum;

d. Susunan dan jumlah anggota Direksi dan jumlah anggota Dewan Komisaris/Pengawas;

e. Penetapan tata cara penyelenggaraan rapat Direksi,rapat Dewan Komisaris/Pengawas,rapat Direksi dan/atau Dewan Komisaris dengan Menteri Keuangan dan Menteri;

Untuk penulisan nama Perum didahului dengan perkataan “Perusahaan Umum” atau dapat disingkat “Perum” dicantumkan sebelum nama perusahaan.

BUMN yang berbentuk Persero diatur dalam PP Nomor 12 Tahun 1998 jo PP Nomor 45 Tahun 2001 juga dalam hal-hal tertentu berlaku pula UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang PT termasuk dalam hal pendirian suatu Persero berlakulah UU PT. Setiap penyertaan modal Negara ke dalam modal saham perseroan terbatas ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah yang memuat maksud penyertaan dan besarnya kekayaan Negara yang dipisahkan untuk penyertaan modal tersebut. Penetapan dengan PP dilakukan karena modal dalam Perseroan Terbatas adalah kekayaan Negara. Jadi, PP tersebut bukan mengesahkan berdirinya perseroan terbatas, melainkan mengesahkan penyertaan modal Negara


(34)

dalam perseroan terbatas. Pemisahan kekayaan Negara untuk dijadikan penyertaan Negara dalam modal perseroan terbatas dapat dilakukan dengan cara penyertaan langsung Negara ke dalam modal perseroan terbatas.

Terhadap Persero, seperti yang telah disebutkan diatas maka, berlakulah prinsip-prinsip Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2007. Ini berarti dalam hal pendirian Persero, Menteri Keuangan bertindak mewakili Negara, atau dapat memberi kuasa kepada Menteri lain yang sesuai dengan sektor usaha Persero untuk menghadap notaris sebagai pendiri mewakili Negara.Namun, sebelum menghadap notaris, rancangan anggaran dasar Persero yang akan dituangkan dalam akta pendirian harus mendapat persetujuan lebih dahulu dari Menteri Keuangan.

Jadi, apabila Negara menyertakan modal dalam pendirian Persero, maka tindakan tersebut dapat diurutkan sebagai berikut:

a. Penyertaan modal dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah;

b. Menteri Keuangan menyetujui anggaran dasar;

c. Menteri Keungan/Menteri lain yang diberi kuasa membawa rancangan anggaran dasar Persero menghadap notaris untuk dibuatkan akta pendiriannya;

d. Dan seterusnya berlaku prosedur menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;


(35)

Menteri Keuangan menyelenggarakan penatausahaan setiap penyertaan modal Negara berikut perubahannya ke dalam modal saham perseroan terbatas dan penyertaan-penyertaan-penyertaan yang dilakukan oleh Persero. Pelaksanaan sehari-hari kegiatan penatausahaan tersebut dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Penatausahaan dalam hal ini adalah pencatatan dalam rangka pengadministrasian untuk mengetahui posisi keuangan Negara dalam BUMN.

Dalam pendiriannya penulisan nama Persero dilakukan sebagai berikut:

a. Dalam hal penulisan nama Persero dilakukan secara lengkap, maka didahului dengan perkataan ”Perusahaan Perseroan (Persero)” dan diikuti dengan nama perusahaan;

b. Dalam hal penulisan nama Persero dilakukan secara singkat, maka kata”(Persero)” dicantumkan setelah singkatan ”PT” dan nama perusahaan:

Dengan demikian, bahwa BUMN didirikan dengan tujuan untuk melayani masyarakat guna untuk menciptakan kesejahteraan sosial. Disamping itu juga dengan pertimbangan bahwa persaingan dunia usaha yang semakin tajam, sehingga perlu diambil langkah meningkatkan efisiensi, daya saing perusahaan (persero) maka, pengaturan BUMN juga diperlukan secara serius agar mempunyai landasan hukum yang pasti. Oleh pembuat UU pengaturannya ditetapkan dalam Peraturan Pengganti UU Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk usaha Negara jo UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara.


(36)

Persero didirikan oleh pemerintah dengan maksud dan tujuan untuk menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat baik di pasar dalam negeri maupun internasional dan memupuk keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. Sedangkan Perum didirikan oleh pemerintah dengan maksud dan tujuan menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang/jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Dengan demikian, BUMN adalah badan usaha yang didirikan secara khusus oleh pemerintah untuk menjalankan misi tertentu demi kepentingan masyarakat.

Kemudian, dengan keluarnya UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN disebutkan bahwa maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah:

1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaam Negara pada khususnya;

2. Mengejar keuntungan;

3. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak;

4. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;

5. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat;


(37)

Kegiatan BUMN harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan.

C.Modal Badan Usaha Milik Negara

Yang dimaksud dengan modal disini adalah modal dasar yang disebut dalam akte pendirian, yang merupakan suatu jumlah maksimum sampai jumlah mana surat-surat saham dapat dikeluarkan. Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. Untuk modal Perum dapat dilihat dalam UU Nomor 19 Tahun 1960 jo PP Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Perum. Dalam UU ini jo PP Nomor 13 Tahun 1998 disebutkan bahwa modal dari Perum keseluruhannya adalah berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. Dalam UU BUMN disebutkan:

a. Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh Negara b. Modal Perum tidak terbagi atas saham

Mengenai modal BUMN yang berbentuk Persero, diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1969 jo PP Nomor 12 Tahun 1998 jo PP Nomor 45 Tahun 2001 Tentang Persero. Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) dan angka (2) UU BUMN, modal PERSERO terbagi atas saham yang seluruh atau paling sedikit 51% dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Menurut Pasal 1 angka (10) UU BUMN, kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada PERSERO dan/atau


(38)

PERUM serta perseroan terbatas lainnya. Ketentuan ini ditegaskan lagi oleh Pasal 4 ayat (1) UU BUMN yang menentukan, modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Apa yang dimaksud dengan istilah ’ dipisahkan’. Menurut penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU BUMN, yang dimaksud dengan ’dipisahkan’ adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN, untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

Jadi, istilah ’dipisahkan’ harus dipahami dalam 2 (dua) pengertian, yaitu: (1) Kekayaan negara tersebut bukan lagi sebagai kakayaan negara, tetapi sebatas penyertaan modal dalam PERSERO, karena telah berubah menjadi harta kekayaan PERSERO dan (2) Jika terjadi kerugian sebagai akibat resiko bisnis (bussiness risk), harus dipahami dan diperlakukan dalam konteks ’bussiness

judgement’ berdasarkan ’bussiness judgement rules’.25

Sebagai entitas Perseroan Terbatas, keberadaan harta kekayaan PERSERO harus didasarkan pada aturan hukum tentang harta kekayaan Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam UU PT. Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) UU PT, Perseroan Terbatas merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, dan melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Sedang menurut Pasal 31 ayat (1) UU PT, modal dasar Perseroan Terbatas terdiri atas seluruh nilai nominal saham. Sedang harta

25


(39)

kekayaan Perseroan Terbatas meliputi modal dasar yang berupa nilai nominal saham dan aset-aset lainnya.

Jadi, semua kekayaan termasuk kekayaan negara yang dipisahkan dan disertakan sebagai modal PERSERO adalah bagian dari persekutuan modal, berupa nilai nominal saham, yang merupakan modal dasar PERSERO. Modal dasar ini beserta aset yang lain merupakan harta kekayaan PERSERO. Singkatnya, kekayaan negara yang dipisahkan dan disertakan sebagai modal PERSERO berubah menjadi harta kekayaan PERSERO, yang pengelolaannya didasarkan pada ’good corporate governance’.26

Aturan hukum dalam UU BUMN dan UU PT sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara universal. Mengutip pendapat Rudhi Prasetya, secara universal berlaku ajaran tentang ’separate legal entity’ (badan hukum/korporasi), bahwa suatu harta kekayaan yang telah dipisahkan dan dimasukkan sebagai modal ke dalam korporasi/badan hukum, harta kekayaan itu menjadi harta korporasi, dan tidak dapat diperlakukan sebagai harta kekayaan pemilik awal.27

26

Good Corporate Governance merupakan tata kelola pemerintahan yang baik yang harus diterapkan dalam pengurusan BUMN yang terdiri atas: Transparansi, Kemandirian, Akuntabilitas, Pertanggungjawaban, dan kewajaran yand diatur dalam Pasal 76 UU BUMN dan Kepmen Nomor 117 Tahun 2002

27

Rudhy Prasetya, Badan Hukum Korporasi, (Jakarta: PT.RajaGrafindo, 2008), hal. 10

Selain itu,terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.


(40)

D.Pengurusan Badan Usaha Milik Negara

Pada dasarnya pendirian, pengurusan, pengawasan dan pembubaran perseroan (BUMN) dilakukan berdasarkan ketentuan PT. Namun demikian, untuk hal-hal ini terdapat pengaturan khusus yaitu dalam UU BUMN jo PP Nomor 45 Tahun 2005, maka ketiga pengaturan ini berlaku bersama-sama untuk persero (BUMN), asalkan tidak saling bertentangan. Akibat kedudukan Menteri Negara BUMN dalam RUPS, tidak semua ketentuan-ketentuan dalam PT dapat diterapkan khususnya pada Perseroan Tertutup dalam hal pengurusan, pengawasan maupun pembubaran.

Mengenai pendirian baik PT Tertutup maupun Terbuka, kewenangan Menteri Negara BUMN adalah sama. Terkait kewenangan Menteri Negara BUMN pada pendirian persero, kedudukan Menteri Negara BUMN adalah mewakili Negara sebagai calon pemegang saham, menghadap Notaris untuk memenuhi prosedur pendirian sebuah PT.

Tentang pengurusan, pada Pasal 1 angka 12 PP No. 45 Tahun 2005 diatur bahwa Pengurusan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Direksi dalam upaya mencapai maksud dan tujuan perusahaan. Dimana dalam pasal 12 UU BUMN,maksud dan tujuan pendirian Persero adalah:

1) Menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat,


(41)

Pengurusan BUMN dilakukan oleh Direksi, yang dalam melaksanakan tugasnya harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan peraturan perUndang-Undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip good corporate governance yang meliputi sebagai berikut:

a. Transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan.

b. Kemandirian, yaitu keadaan dimana perusahaan dikelola secara professional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

c. Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.

d. Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

e. Kewajaran, yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengenai pelaksanaan good corporate governance diatur dalam Kepmen BUMN No.117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik Good Corporate


(42)

Kepmen BUMN No.117/M-MBU/2002 Pasal 2 menyatakan:

Ayat (2) :BUMN wajib menerapkan GCG secara konsisten dan atau menjadikan GCG sebagai landasan operasionalnya.

Ayat (3) :Penerapan GCG pada BUMN dilaksanakan berdasarkan keputusan ini dengan tetap memperhatikan ketentuan dan norma yang berlaku dan anggaran dasar BUMN.

Ketentuan tersebut dimaksudkan sebagai perintah dari Menteri BUMN kepada BUMN yang berada di bawah pengawasannya agar menjalankan prinsip good corporate governance, disamping sebagai upaya untuk memberikan landasan hukum dan pedoman bagi BUMN dalam melaksanakan GCG.

Dalam ketentuan tersebut juga mengatur prinsip-prinsip doktrin hukum modern dalam Kepmen BUMN adalah:28

1. Doktrin fiduciary duty. Berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab

direksi BUMN yang termuat dalam Kepmen BUMN yang masih berkaitan dengan doktrin fiduciary duty adalah ketentuan yang dimuat dalam Pasal 19 yang menyatakan bahwa perjanjian penunjukan anggota direksi yang bersangkutan dan kuasa pemegang saham/pemilik modal pada saat penunjukan yang bersangkutan sebagai anggota direksi, yang memuat persyaratan penunjukan dan pemberhentian, termasuk peran dan tanggung jawab.

2. Standard of Care. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4.

Ayat a : Memaksimalkan nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional.

28

Zaeny Asyhadie, Hukum Bisnis (Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia), (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2005), hal. 158


(43)

Ayat b : Mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, transparan, dan efisien, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ. Ayat c : Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial BUMN terhadap stakeholder maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN.

3. Self Dealing Transaction dan Corporate Opportunity. Doktrin self dealing transaction dalam ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 20, yang

menyatakan bahwa para anggota Direksi dilarang melakukan transaksi yang mempunyai benturan kepentingan dan mengambil keuntungan pribadi dari kegiatan BUMN yang dikelolanya selain gaji dan fasilitas sebagaimana anggaran direksi yang ditentukan oleh RUPS/pemilik modal. 4. Doctrine Business Judgement Rule. Doktrin ini diatur dalam Pasal 3 ayat

e yang menyatakan, kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan.

Mengenai pengurusan dalam BUMN, jika dilihat dari segi strukturnya, secara sepintas kelihatannya tidak ada perbedaan dengan pengurusan yang tedapat dalam PT pada umumnya. Tegasnya dalam pasal 13 UU BUMN disebutkan organ Persero adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris. Hanya saja dalam menjalankan fungsi dan tugas organ yang dimaksud, ada ketentuan yang lebih spesifik yakni peran Negara dalam hal ini yang diwakili oleh Menteri


(44)

Negara BUMN masih cukup dominan untuk menentukan siapa yang akan duduk dalam organ persero, baik untuk jabatan komisaris maupun direksi.29

1. Rapat Umum Pemegang Saham

Dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2005 disebutkan, dalam rangka pengangkatan anggota Direksi dan/atau Komisaris/Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara, Menteri Negara BUMN, selaku wakil Pemerintah sebagai Rapat Umum Pemegang Saham atau pemegang saham pada Persero, atau selaku wakil Pemerintah sebagai pemilik modal pada Perum, agar memperhatikan dan mengedepankan keahlian, profesionalisme dan integritas dari calon anggota Direksi dan/atau Komisaris/Dewan Pengawas yang bersangkutan,untuk memajukan dan mengembangkan perusahaan.

Dalam pasal 1 butir 13 UU BUMN disebutkan, Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah organ persero yang memegang kekuasaan tertinggi dalam persero dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada direksi dan komisaris. Sedangkan dalam UU PT Nomor 40 Tahun 2005 RUPS adalah Organ Perseroan yang yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan pada Direksi ataupun Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.30

29

Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan Tentang Perseroan Terbatas, (Bandung: CV Nuansa Mulia, 2006), hal. 69

30

UU PT Nomor 40 Tahun 2005, Op.Cit, Pasal 1 angka 4


(45)

1) Menteri bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham perserodimiliki oleh Negara dan bertindak selaku pemegang saham pada persero dan perseroan terbatasdengan tidak seluruhnya saham dimiliki Negara.

2) Menteri dapat memberikan kuasa baik dengan substitusi kepada perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS.

3) Pihak yang menerima kuasa sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2),wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai:

a. Perubahan jumlah modal; b. Perubahan anggara dasar; c. Rencana penggunaan laba;

d. Penggabungan.peleburan,pengambilalihan,pemisahan,serta pembubaran perseroan;

e. Investasi dan pembiayaan jangka panjang; f. Kerjasama perseroan;

g. Pembentukan anak perusahaan atau penyertaan; h. Pengalihan aktiva;

Seperti halnya dalam PT pada umumnya, penjabaran lebih lanjut tentang tugas dan wewenang RUPS dijabarkan dalam ADPT, demikian juga halnya dengan PT Persero. Namun, dari ketentuan di atas ada satu hal yang menarik, bahwa perwujudan RUPS dianggap sama dengan keputusan Menteri, jika saham seluruhnya dikuasai oleh Negara. Hal ini ditegaskan dalam pasal 14 Ayat (1) Bagi persero yang seluruh modalnya (100%) dimiliki oleh Negara, Menteri yang


(46)

ditunjuk mewakili Negara selaku pemegang saham dalam setiap keputusan tertulis yang berhubungan dengan persero merupakan keputusan RUPS. Bagi persero dan perseroan terbatas yang sahamnya dimiliki Negara kurang dari 100% (seratus persen), Menteri berkedudukan selaku pemegang saham dan keputusannya diambil bersama-sama dengan pemegang saham lainnya.

2. Direksi

Keberadaan Direksi BUMN yang berstatus persero, sejatinya merupakan derivatif keberadaan direksi PT. Artinya, ketentuan-ketentuan dalam PT tetap berlaku dan ketentuan-ketentuan yang menyangkut BUMN merupakan ketentuan khusus, terlebih khusus lagi bahwa BUMN tersebut berstatus perseroan, yang sangat khusus lagi adalah direksi bank umum berbentuk PT, berstatus BUMN yang berbentuk persero.31

Direksi adalah organ BUMN yang bertanggung jawab atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN, serta mewakili BUMN, baik di dalam maupun di luar pengadilan.32

Sebagaimana layaknya perseroan, yang mengangkat dan memberhentikan direksi adalah RUPS. Namun demikian, dalam perseroan (BUMN) mempunyai Selanjutnya dalam pasal 19 disebutkan bahwa dalam menjalankan tugasnya, anggota direksi wajib mencurahkan tenaga, pikiran dan pencapaian tujuan perseran. Sedangkan persyaratan untuk diangkat menjadi anggota direksi dijelaskan dalam pasal 16 UU BUMN.

31

Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008), hal. 153.

32


(47)

kekuasaan. Hal ini tampak dari ketentuan dalam pasal 15 UU BUMN yang mengemukakan, pengangkatan dan pemberhentian direksi dilakukan oleh RUPS. Dalam hal Menteri bertindak selaku RUPS, pengangkatan dan pemberhentian direksi ditetapkan oleh Menteri Direksi dalam menjalankan tugasnya, harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan peraturan perUndang-Undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (Tata Kelola Pemerintahan yang Baik).

3. Komisaris

Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan kegiatan pengurusan Persero.33

Mengingat tugas-tugas komisaris cukup strategis dalam suatu perseroan, maka keberadaan komisaris tersebut harus dapat diukur manfaat dan

Selanjutnya dalam pasal 31 disebutkan, komisaris bertugas mengawasi direksi dalam menjalankan kepengurusan perseroan serta memberi nasihat kepada direksi. Sedangkan persyaratan untuk dapat diangkat menjadi komisaris dijabarkan dalam pasal 28 yang mengemukakan bahwa, anggota Komisaris diangkat berdasarkan pertimbangan integritas, dedikasi, memahami masalah-masalah manajemen perusahaan yang berkaitan dengan salah satu fungsi manajemen,memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha Persero tersebut, serta dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya.

33


(48)

keberadaannya dalam perseroan. Secara ringkas dapat dikemukakan ukuran kuantitatif mengenai efektivitas dewan komisaris yakni:

a. Dewan komisaris seharusnya memberikan dampak positif terhadap kinerja perusahaan;

b. Dewan komisaris seharusnya mempunyai pengaruh terhadap keseluruhan strategi dan kebijakan perusahaan;

c. Dewan komisaris harus yakin bahwa strategi dan kebijakan perusahaan diimplementasikan oleh dewan Direksi;

Komisaris dalam melaksankan tugasnya berkewajiban:

1. Memberikan pendapat dan saran kepada RUPS mengenai rencana kerja dan anggaran perusahaan yang diusulkan direksi;

2. Mengikuti perkembangan kegiatan persero, memberikan pendapat dan saran kepada RUPS mengenai masalah yang dianggap penting bagi pengurusan persero;

3. Melaporkan dengan segera kepada pemegang saham apabila terjadi menurunnya kinerja persero;

4. Memberikan nasihat kepada direksi dalam melakukan pengurusan persero; 5. Melakukan tugas pengawasan lain yang ditetapkan dalam anggaran dasar

persero dan / atau berdasarkan keputusan RUPS;34

Ketiga organ di atas merupakan organ dalam pengurusan BUMN yang berbentuk persero. Untuk BUMN yang berbentuk Perum organ dalam melakukan pengurusan adalah Menteri, Direksi, dan Dewan Pengawas.

34


(49)

1) Menteri maksudnya adalah menteri yang ditunjuk dan atau/ diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemegang saham pada persero dan memiliki modal pada perum dengan peraturan perundang-undangan.35

2) Direktur/ Direksi. Pengangkatan dan pemberhentian direksi ditetapkan oleh menteri dengan mekanisme dan peraturan perundang-undangan. Persyaratan untuk dapat diangkat sebagai anggota direksi adalah:

Kedudukan Menteri dalam Perum adalah sebagai organ yang memegang kekuasaan tertinggi yang mempunyai segala wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan pengawas dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang atau peraturan pemerintah tentang pendirian perum. Kewenangan Menteri adalah memberikan persetujuan atas kebijakan pengembangan usaha perum yang diusulkan oleh direksi. Usulan pengembangan usaha ini harus disetujui oleh dewan pengawas.

(1) Orang perorangan yang mampu melaksanakan perbuatan hukum. (2) Tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau

dewan pengawas yang dinyatakan bersalah yang menyebabkan suatu perseroan atau perum dinyatakan pailit.

(3) Orang yang tidak pernah dihukum karena melakukan tindakan pidana yang merugikan keuangan Negara.

Pengangkatan anggota direksi harus melalui ujin kelayakan dan kepatutan dengan mempertimbangkan keahlian, kepemimpinan, pengalaman, jujur,

35


(50)

perilaku yang baik, serta dedikasi yang tinggi untuk memajukan dan mengembangkan perum.

Kewajiban Direksi adalah:

(1) Menyiapkan rancangan rencana kerja jangka panjang yang hendak dicapai dalam jangka waktu lima tahun yang merupakan rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan perum.

(2) Menyiapkan rancangan rencana kerja dan anggaran perusahaan yang merupakan penjabaran tahunan dari rencana jangka panjang.

(3) Menyampaikan laporan tahunan kepada menteri untuk memperoleh pengesahan dalam jangka waktu lima bulan setelah tahun buku ditutup; dalam hal anggota direksi atau dewan pengawas tidak menandatangani laporan tahunan, harus disebutkan alasannya secara tertulis.

(4) Memelihara risalah rapat dan menyelenggarakan pembukuan perum. 3) Dewan Pengawas. Pengangkatan dan pemberhentian dewan pengawas

ditetapkan oleh menteri dengan mekanisme peraturan perundang-undangan. Persyaratan untuk dapat diangkat sebagai anggota dewan pengawas, syaratnya sama dengan persyaratan untuk dapat diangkat sebagai anggota direksi. Pengangkatannya juga harus melalui uji kelayakan seperti yang berlaku dalam pengangkatan anggota direksi. Masa jabatan anggota dewan pengawas adalah lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Anggota dewan pengawas terdiri dari unsur-unsur menteri


(51)

teknis, menteri keuangan, dan pejabat departemen/ lembaga non departemen yang kegiatannya berhubungan langsung dengan perum.


(52)

BAB III

ASPEK HUKUM MODAL DALAM BADAN USAHA MILIK NEGARA

A. Jenis-Jenis Modal Dalam Badan Usaha Milik Negara

Di dalam ilmu ekonomi perusahaan, modal diartikan sebagai suatu perwujudan persatuan benda yang dapat berupa barang, uang dan hal-hal yang dipergunakan oleh suatu badan usaha untuk mendapatkan keuntungan. Pengertian modal berbeda dengan pengertian kekayaan, karena kekayaan dimaksudkan selisih antara milik bada usaha yang dinilai dengan uang dengan hutang-hutang badan usaha yang bersangkutan. Dengan demikian, berarti modal merupakan bagian atau salah satu komponen harta kekayaan suatu perusahaan, yang nanti akan diperhitungkan bersama-sama dengan hutang yang dimiliki suatu perusahaan.36

a. Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh Negara

Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan.Untuk modal Perum dapat dilihat dalam UU Nomor 19 Tahun 1960 jo PP Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Perum. Dalam UU ini jo PP Nomor 13 Tahun 1998 disebutkan bahwa modal dari Perum keseluruhannya adalah berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. Di dalam UU BUMN disebutkan:

b. Modal Perum tidak terbagi atas saham

36

Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Bandung: PT.Alumni, 2004), hal. 81


(53)

Mengenai modal BUMN yang berbentuk Persero, diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1969 jo PP Nomor 12 Tahun 1998 jo PP Nomor 45 Tahun 2001 Tentang Persero. Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) dan angka (2) UU BUMN, modal PERSERO terbagi atas saham yang seluruh atau paling sedikit 51% dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Menurut UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN disebutkan bahwa Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara. Dengan demikian, untuk BUMN yang berbentuk Persero maka berlaku pula ketentuan yang berlaku dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Di dalam UU PT, pada alinea ketujuh Penjelasan Umum dikemukakan, ketentuan mengenai struktur modal Perseroan tetap sama dengan apa yang diatur dalam UU PT 1995. Tetap terdiri atas modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Tentang hal ini pun ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 41 ayat (1) UU PT 2007, bahwa yang dimaksud dengan modal perseroan adalah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Namun demikian, terdapat perbedaan mengenai dua hal. Pertama, besarnya modal dasar, diubah menjadi paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Kedua, kewajiban penyetoran atas modal ditempatkan harus penuh, sedang mengenai pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan menurut Penjelasan Umum, pada prinsipnya tetap dapat


(54)

dilakukan dengan syarat jangka waktu Perseroan menguasai saham yang telah dibelinya kembali, hanya terbatas selama 3 (tiga) tahun.

1.Struktur Modal Perseroan

a.Modal Dasar

Modal dasar adalah seluruh nilai nominal saham Perseroan yang disebut dalam Anggaran Dasar. Hal ini ditegaskan pada Pasal 31 ayat (1), bahwa modal dasar perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham. Secara umum perkataan modal atau kapital dihubungkan dengan perseroan mengandung pengertian, sesuatu yang diperoleh Perseroan dalam bentuk uang melalui penerbitan saham. Uang itulah yang digunakan Perseoan melancarkan kegiatan dan bisnis yang ditentukan dalam Anggaran Dasar.

Modal dasar Perseroan pada prinsipnya merupakan total jumlah saham yang dapat diterbitkan oleh Perseroan.Anggaran Dasar sendiri yang menentukan berapa jumlah saham yang dijadikan modal dasar. Jumlah yang ditentukan dalam Anggaran Dasar, merupakan nilai nominal yang murni. Dengan demikian, setiap lembar saham, mempunyai nilai nominal yang akan menjadi jumlah nilai nominal modal dasar Perseroan, yang sama nilainya dengan nilai nominal seluruh saham.

Selanjutnya, aspek hukum yang dianggap perlu berkenaan dengan modal dasar Perseroan, antara lain sebagai berikut:37

37


(55)

1. Jumlah modal dasar harus disebut dalam Anggaran Dasar

Aspek yuridis pertama, besarnya modal dasar Perseroan, harus disebut dan dicantumkan dalam ADPT:

a. Jumlah modalnya harus terbagi dalam saham dengan nilai nominal yang pasti,

b. Namun dapat diperbesar jumlahnya dengan menerbitkan saham baru,

2. Batas minimal modal dasar

Mengenai batas minimal modal dasar, adalah jumlah yang paling rendah yang dibenarkan undang-undang dicantumkan dalam ADPT. Kurang dari jumlah batas minimal tersebut, tidak dibenarkan.Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) UU PT, modal dasar Perseroan yang dibenarkan, paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Lebih dari itu tidak dilarang.

3. Undang-undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu, dapat menentukan jumlah minimum yang lebih besar

Pasal 32 ayat (2) membuka kemungkinan menetapkan jumlah minimal modal dasar Perseroan yang lebih besar dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Kemungkinan itu terbuka bagi Perseroan yang melakukan kegiatan usaha tertentu dengan syarat hal itu ditentukan dalam undang-undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu itu. Kegiatan usaha tertentu itu menurut Penjelasan Pasal 32 ayat (2), antara lain usaha perbankan, dan asuransi.


(56)

4. Perubahan besarnya modal dasar, merupakan perubahan Anggaran Dasar tertentu

Sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (2) huruf d UU PT, perubahan ADPT mengenai besarnya modal dasar, termasuk perubahan AD tertentu yang memerlukan persetujuan Menteri.

Boleh memperbesar atau memperkecil jumlah modal yang ditetapkan dalam AD. Hanya saja perubahan itu harus sesuai dengan tata cara yang ditentukan Pasal 21 dan Pasal 22 serta harus diminta persetujuan Menteri.

5. Perubahan batas minimal modal dasar ditetapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah

Tentang besarnya batas minimum modal dasar sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang digariskan pada Pasal 32 ayat (1), kemungkinan besar tidak sesuai dengan perkembangan perekonomian di masa yang akan datang. Untuk mengantisipasi perubahan perekonomian yang cepat dan drastis pada saat sekarang, perlu diatur cara mengubah jumlah modal dasar melalui proses peraturan perundang-undangan yang lebih mudah dan sederhana. Perubahan ketentuan Pasal 32 ayat (1) tidak perlu melalui revisi atau amandemen UU PT.Hal itu dianggap menghambat kebutuhan perkembangan hukum yang mendesak. Oleh karena itu, cukup melalui sarana hukum yang berbentuk Peraturan Pemerintah.


(57)

Seperti yang telah disebutkan di atas, modal ditempatkan adalah salah satu struktur modal Perseroan. Pengertian modal ditempatkan adalah jumlah saham yang sudah diambil pendiri atau pemegang saham, dan saham yang diambil itu ada yang sudah dibayar dan ada pula yang belum dibayar.38 Kalau begitu, modal ditempatkan adalah modal yang disanggupi pendiri39

a. Saham yang telah dibayar penuh oleh pemegang atau pemiliknya,

atau pemegang saham untuk dilunasinya, dan saham itu telah diserahkan kepadanya untuk dimiliki.

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU PT , paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar, harus ditempatkan. Baik UU PT tahun 2007 dengan UU PT tahun 1995, sama-sama menentukan, 25% modal dasar harus telah ditempatkan pada saat pendirian Perseroan.

c.Modal Disetor

Struktur atau bentuk modal Perseroan yang ketiga, disebut modal disetor, yakni:

b. Jadi, modal disetor adalah modal yang sudah dimasukkan pemegang saham sebagai modal yang ditempatkan dari modal dasar Perseroan.

Mengenai posisi modal ditempatkan dengan modal disetor, perlu diperhatikan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU PT, yang berbunyi:

38

Ahchmad Ichsan, Hukum Dagang,Lembaga Perserikatan Surat-Surat Berharga,

Aturan-Aturan Angkutan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), hal. 167 39

HMN Purwosutijpto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Bentuk


(58)

Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh.

Berdasar ketentuan ini, paling sedikit 25% dari modal dasar:

1. Harus telah ditempatkan,dan

2. Juga harus telah disetor pada saat pendirian Perseroan.

Sekiranya modal ditempatkan diambil para pendiri 50% atau 70% dari modal dasar, berdasarkan Pasal 33 ayat (1) dihubungkan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) dan Penjelasannya harus disetor penuh. Misalnya modal ditempatkan 50% dari modal dasar.Berarti yang harus disetor penuh 50%. Tidak dapat diangsur. Sebab Penjelasan Pasal 33 ayat (3) menegaskan, tidak dimungkinkan penyetoran atas saham dengan cara mengangsur.

Mengenai penyetoran modal yang ditempatkan menurut Pasal 33 ayat (2), dibuktikan dengan tanda bukti penyetoran yang sah. Menurut Penjelasan pasal ini, bukti penyetoran yang sah, antara lain bukti setoran pemegang saham ke dalam rekening bank atas nama Perseroan, data laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan, atau neraca Perseroan yang ditandatangani oleh Direksi dan Dewan Komisaris.

B. Saham Badan Usaha Milik Negara

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan beberapa pengertian saham antara lain, dilihat dari sudut pandang ekonomis saham berarti


(59)

surat bukti bagian modal Perseroan yang memberi hak atas deviden dan lain-lain menurut besar kecilnya modal yang disetor, saham adalah hak yang dimiliki orang (pemegang saham) terhadap perusahaan berkat penyerahan bagian modal sehingga dianggap berbagi di pemilikan dan pengawasan. Dalam Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae40

Sementara itu dalam Kamus Khusus Pasar Uang dan Modal

dikemukakan, aandel (bld), saham (ind) adalah hak pada sebagian modal suatu Perseroan; andil dalam Perseroan atau Perusahaan, bagian-bagian modal pada perusahaan yang telah dibagi-bagi pada akte pendirian.

41

dijelaskan, saham adalah surat bukti pemilikan bagian modal Perseroan yang memberi hak atas deviden dan lain-lain menurut besar kecilnya modal yang disetor. Pendapat yang lebih komprehensif dikemukakan oleh John Downs dan Jordan Elliot

Goodman42

Dari berbagai pengertian di atas, kiranya dapat dikemukakan secara sederhana saham berarti bagian dari modal suatu Perseroan atau perusahaan. yakni saham adalah unit kepemilikan ekuitas dalam suatu Perseroan. Kepemilikan ini diwakili oleh suatu sertifikat saham yang menyebutkan nama perusahaan dan nama pemilik saham. Banyaknya saham yang dikuasakan kepada Perseroan untuk diterbitkan dirinci dalam anggaran dasar Perseroan. Biasanya Perseroan tidak menerbitkan semua saham yang diterbitkan.

40

Kamus istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, Diterjemahkan oleh H. Boerhanoedin St.Batuah,dkk, (Bandung: Binacipta, 1983), hal. 2

41

Kamus Khusus Pasar Uang dan Modal, (Jakarta: Departemen Keuangan RI-Badan Pelaksana Pasar Modal, 1974), hal. 49

42

John Downes dan Jordan Elliot Goodman, Kamus Istilah Keuangan dan Investasi, (Jak arta: Elex Media Komputindo,1994), hal. 525


(60)

Saham sebagai bagian dari modal mempunyai konsekuensi yakni bagi pemilik saham mempunyai hak-hak yang melekat kepada saham yang dimilikinya.

1. Jenis-Jenis Saham Perseroan

Hak-hak apa saja yang melekat pada saham sangat tergantung dari jenis saham yang dimiliki. Sebagaimana diketahui, saham dapat diterbitkan dalam beberapa jenis.Tampaknya disinilah salah satu daya tarik mengapa pemilik modal bersedia menanamkan modalnya di perusahaan yang menerbitkan saham. Sebaliknya, bagi para pendiri pun ingin agar eksistensinya tetap diakui sebagai pendiri perusahaan. Untuk itu, bagi para pendiri perusahaan ingin diberi hak-hak khusus dalam kepemilikan perusahaan.

Dalam kaitannya dengan adanya pengklasifikasian saham tersebut, maka akan dicoba diuraikan karakteristik yang ada pada jenis saham yang dimaksud. Secara teoritis dalam berbagai kepustakaan hukum perusahaan43

1. Saham biasa (common stock). Untuk jenis saham ini, kedudukan para pemegang saham sama. Untuk jenis saham ini tidak ada yang diistimewakan. Saham biasa, diberikan kepada setiap orang yang memberikan pemasukan sejumlah uang kepada Perseroan. Kepada orang itu diberikan beberapa lembar saham sesuai dengan uang pemasukannya.

dikemukakan berbagai jenis saham. Misalnya dari sudut pandang manfaat, pada dasarnya saham dapat dibagi dalam dua klasifikasi, yakni sebagai berikut:

43


(61)

2. Saham preferen (preferred stock) atau sering juga disebut saham prioritas. Untuk jenis saham ini, pemegang saham mempunyai hak-hak tertentu. Misalnya diberikan hak prioritas untuk membeli saham baru, diberi hak untuk mencalonkan atau dicalonkan menjadi direksi atau komisaris. Pada umumnya, hak semacam ini dicantumkan dalam anggaran dasar.

Selain penggolongan dari segi manfaat, saham juga dapat dilihat dari segi peralihannya yakni sebagai berikut:

1. Saham atas tunjuk (bearer stock). Untuk jenis saam ini, nama pemiliknya tidak disebutkan dalam sertifikat saham. Oleh karena itu, pengalihannya mudah, cukup dari tangan ke tangan. Dengan demikian, siapa yang menguasai atau memegang saham dianggap sebagai pemilik.

2. Saham atas nama (registered stocks). Nama pemiliknya dicantumkan dalam sertifikat saham. Cara pengalihannya harus mengikuti prosedur tertentu yakni dengan dokumen peralihan hak. Dengan adanya dokumen peralihan hak nama pemiliknya dicatat dalam daftar buku pemegang saham. Bila nama pemegang saham sudah tercatat, maka mempunyai hak-hak sebagaimana lazimnya pemegang saham.44

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa modal Perseroan ada tiga macam yaitu, modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Besarnya modal yang disetor harus sama dengan modal yang telah ditempatkan dan diambil bagian seluruhnya oleh para pemegang saham. Modal ditempatkan dan modal

44


(62)

yang disetor tersebut sekurang-kurangnya harus mewakili 25% (dua puluh lima persen) dari seluruh modal dasar Perseroan. Selanjutnya, setiap peningkatan modal ditempatkan oleh Perseroan harus disetor penuh. Peningkatan modal ditempatkan ini dilakukan dalam bentuk pengeluaran saham baru oleh Perseroan. Pada prinsipnya dalam Perseroan, setiap pengeluaran saham baru harus ditawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham yang ada dalam Perseroan secara proporsional dengan pemilikan sahamnya untuk masing-masing kelas saham. Dalam UU PT bahwa Perseroan berhak untuk menerbitkan berbagai jenis dan kelas saham, namun demikian tetap mensyaratkan bahwa kelas-kelas saham tersebut harus ada kelas saham yang:

a. Memberikan kewenangan untuk bersuara dalam tiap pengambilan keputusan rapat umum pemegang saham, terhadap semua permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan Perseroan,

b. Memberikan hak untuk menerima deviden dan pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi, yang secara umum dikenal sebagai saham biasa,

Saham adalah bukti kepemilikan atas sejumlah modal dalam suatu Perseroan (Perseoan Terbatas). Dengan demikian modal adalah tentang sesuatu yang abstrak yang lebih merupakan wujud kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang pendiri atau pemegang saham sebagai suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan berdasarkan perjanjian pendirian Perseroan, sedangkan saham merefleksikan sesuatu hak yang merupakan benda yang dapat dikuasai dengan


(63)

hak milik, yang memiki wujud konkret, yang dapat dilihat dan dikuasai secara fisik oleh setiap pemegang saham dalam suatu Perseroan.

Agar bagian dari modal atau saham dapat diketahui siapa pemiliknya dan berapa jumlahnya, hal ini dicatat dalam daftar buku pemegang saham. Dengan terkumpulnya modal tersebut, maka perusahaan dapat menjalankan aktivitasnya sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian perusahaan yang umumya sudah dicantumkan dalam anggaran dasar Perseroan. Bila perusahaan untung, maka pemilik modal (pemegang saham) berhak menikmati keuntungan yang lebih dikenal dengan sebutan deviden. Besarnya deviden akan ditentukan dalam RUPS.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika para pelaku bisnis mempunyai suatu harapan badan usaha yang sedang dan akan dibangunnya kelak menjadi suatu badan usaha yang dapat diandalkan dalam berbisnis.

2. Pengalihan Hak Atas Saham

Saham merupakan modal Perseroan yang paling utama saat Perseroan didirikan. Sebagaimana dalam Pasal 31 ayat (1) UU PT45

45

UU PT Nomor 40 Tahun 2007, Op.Cit, Pasal 31 (1)

, modal Perseroan terdiri atas nilai nominal mata uang Indonesia. Ketentuan UU PT menutup kemungkinan pengeluaran saham tanpa nilai nominal, namun tidak menutup kemungkinan saham-saham yang dikeluarkan tanpa nilai nominal sesuai ketentuan yang berlaku di bidang pasar modal sesuai dengan Pasal 49 UU PT. Nilai nominal yang paling kecil dari suatu saham ini menunjukkan asas individualiteit dalam hukum


(1)

ditempatkan. Modal disetor adalah modal yang sudah dimasukkan pemegang saham sebagai modal yang ditempatkan dari modal dasar Perseroan. Mengenai saham maupun jenis-jenis saham Perseroan juga tedapat dalam UU PT Nomor 40 Tahun 2007 dimana saham Perseroan tediri atas saham biasa, saham preferen, saham atas tunjuk dan saham atas nama. Saham adalah bukti kepemilikan atas sejumlah modal dalam suatu Perseroan (Perseoan Terbatas).

3. Penyertaan Modal Negara dan penatausahaan modal Negara pada BUMN diatur dalam PP Nomor 44 Tahun 2005. Penyertaan modal Negara adalah pemisahan kekayaan Negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi. Setelah Negara melakukan penyertaan modalnya pada BUMN maka harus dilakukan Penatausahaan modal Negara pada BUMN. Penatausahaan penyertaan modal Negara adalah pencatatan dalam rangka pengadministrasian untuk mengetahui besarnya penyertaan Negara dalam BUMN dan Perseroan Terbatas. Penatausahaan Penyertaan Modal Negara ditujukan untuk menyediakan informasi tentang nilai penyertaan modal Negara beserta dokumen pendukungnya pada BUMN. Fungsi penatausahaan kekayaan negara yang dipisahkan merupakan konsekuensi kepemilikan modal Pemerintah pada Badan Usaha Milik Negara. Penatausahaan penyertaan modal Negara pada BUMN dilakukan dalam rangka aktivitas pemerintah dalam pembinaan BUMN. Sistem penatausahaan PMN pada BUMN


(2)

dimaksud perlu dituangkan dan ditetapkan dalam suatu perangkat hukum yang bersifat mengikat, misalnya dengan Peraturan Pemerintah atau minimal Keputusan Menteri Keuangan.

A. Saran

Adapun beberapa saran yang dapat diberikan, antara lain sebagai berikut :

1. Tersusunnya suatu sistem penyertaan dan penatausahaan penyertaan modal Negara yang disesuaikan dengan kebutuhan tersedianya informasi merupakan hal yang harus diprioritaskan ;

2. Di samping itu, perlu dilakukan diskusi-diskusi, pelatihan, seminar maupun workshop untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pegawai maupun pejabat pada Direktorat Pembinaan Kekayaan Negara 3. Untuk itu, diperlukan koordinasi yang intensif di antara unit-unit teknis

pada intern Direktorat Pembinaan Kekayaan Negara dan juga koordinasi dengan pihak ekstern seperti Sekretariat Direktorat Jenderal Anggaran, Kementrian BUMN, serta Biro Hukum dan Humas Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan.

Untuk pembinaan BUMN sendiri dilakukan untuk :

1. meningkatkan kemampuan SDM dan debirokratisasi Kementerian Negara BUMN sehingga mampu melaksanakan program restrukturisasi dan revitalisasi BUMN dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing BUMN;


(3)

3. melaksanakan harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan BUMN;

4. menodorong BUMN meningkatkan investasi serta meningkatkan efisiensi operasi usaha, antara lain, melalui penerapan pengadaan secara elektronik (e-procurement) dan pengendalian internal yang lebih ketat;

5. mengoptimalkan perannya dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif, BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara lain melalui pembenahan pengurusan dan pengawasannya. Pengurusan dan pengawasan BUMN harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata-kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asyhadie, Zaeny, Hukum Bisnis (Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia). Jakarta: PT RajaGrafindo, 2005.

Downes, John dan Jordan Elliot, Kamus Istilah Keuangan dan Investasi. Jakarta: Elex Media Komputindo, 1994.

Hadikusuma, RT. Sutandya dan Sumatoro, Pengertian Pokok Perusahaan, Bentuk-Bentuk Perusahaan yang Berlaku di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1991.

Harahap, M. Yahya, Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Ibrahim, BUMN dan Kepentingan Umum. Jakarta: PT Citra Aditya, 1997. Ichsan, Achmad, Dunia Usaha Indonesia. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2000. Muhammad, Abdul Kadir, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung:

PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

Prasetya, Rudhy, Badan Hukum Korporasi. Jakarta: PT RajaGrafindo, 2008. Purwosutijpto, HMN, Pengertian Hukum Dagang Indonesia, Bentuk Perusahaan.

Bandung: Djambatan, 2005.

Rajagukguk, Erman, Saham Sebagai Agunan Kredit. Jakarta: BPHN, 1996.

Sembiring, Sentosa, Hukum Perusahaan Tentang Perseroan Terbatas. Bandung: CV Nuansa Mulia, 2006.

St. Batuah, H. Boerhanoedin, dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia. Bandung: Bina Cipta, 1983.


(5)

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaya, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

PP Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan PT

PP Nomor 45 Tahun 2005 Tentang Pendirian, Pengurusan dan Pembubaran BUMN

Kepmen Nomor 117 Tahun 2002 Tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance Pada BUMN

Koran

Harian Kompas, Kamis 13 Januari 2010 Harian Kompas, Kamis 21 Januari 2010 Harian Tempo, Senin 1 Februari 2010

Internet


(6)

2010