Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Penjual Kaca Film Merek Palsu dan Upaya Penanggulangannya (Studi Putusan No. 555/Pid.B/2008/PN.Bpp)

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENJUAL

KACA FILM MEREK PALSU

DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

(STUDI PUTUSAN No. 555/Pid.B/2008/PN.Bpp)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh: AGAVENTA TARIGAN

NIM. 050200273

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENJUAL

KACA FILM MEREK PALSU

DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

(STUDI PUTUSAN No. 555/Pid.B/2008/PN.Bpp)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Oleh:

AGAVENTA TARIGAN NIM. 050200273

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Abul Khair, S.H., M.Hum NIP. 196107021989031001

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum Rafiqoh Lubis, S.H.,M.Hum NIP. 195102061980021001 NIP. 197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadiran Tuhan Yesus Kristus, atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Skripsi ini disusun untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara, yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang akan menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan adalah “Pertanggungjwaban Pidana Terhadap Penjual Kaca Film Merek Palsu dan Upaya Penanggulangannya (Studi Putusan No. 555/Pid.B/2008/PN.Bpp). Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam menyusun skripsi ini. Namun, penulis menyadari masih banyak kekurangan dari segi isi maupun penulisan skripsi ini.

Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tinnginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

4. Bapak M. Husni, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Abul Khair, SH, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Ibu Nurmalawati, SH, M.Hum, sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberi bantuan, pengarahan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, sebagai Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bantuan, pengarahan dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi dan juga juga telah membantu penulis selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Ibu Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum, sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bantuan, pengarahan, bimbingan dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini dan juga telah membantu penulis selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Ibu Rabiatul Syariah, SH, M.Hum selaku Dosen Wali Penulis.

10. Para Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dedikasi yang sangat besar kepada penulis serta para pegawai Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantuy penulis selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

11. Secara khusus penulis juga mengucapakan terima kasih yang sangat besar kepada kedua orang tua saya tercinta yang selalu mencurahkan segenap kasih sayang, pengorbanan, doa serta memberikan motivasi hati sehingga penulis dapat memperoleh pendidikan tinggi dan karena doa mereka jualah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12. Keluarga tercinta ,Kakak Yvany Tarigan dan adek Theo Saga Tarigan yang member segenap dukungan dan doa kepada penulis.

13. Buat Jahrent Pandu Pinem terima kasih atas perhatian, dukungan dan bantuannya selama ini.

14. Buat sahabat-sahabatku Dewi Yuliany, Novenalia, dan Nurpinta Sari yang selalu ada serta membantu penulis di kampus.

15. Buat teman-temanku Chrisse, Helga, Indriwaty, Santy, Angelita, Tiomsy, Lamgok, Ipho, Leo, Daniel, David, Okber, Dani, Santo, Nelson, Deus, serta teman-teman stambuk 2005 yang tidak disebutkan namanya.

16. Terima kasih juga buat abang/kakak senior yang telah memberikan saran serta bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

17. Untuk semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bias penulis sebutkan satu persatu.


(6)

Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana, bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca.

Medan, Maret 2010


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iv

ABSTRAKSI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 16

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 16

D. Keaslian Penulisan ... 18

E. Tinjauan Kepustakaan ………. 18

1. Pengertian Tindak Pidana ... 18

2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 32

3. Pengertian Merek ……….. 44

F. Metode Penelitian ... 48

G. Sistematika Penelitian ... 49

BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK DALAM RUANG LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG MEREK ... 52

A. Sebelum Undang-Undang No. 15 tahun 2001 ... 52

B. Menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 Jo Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 ... 57


(8)

BAB III UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA

PEMALSUAN MEREK ... 61

A. Penanggulangan Melalui Upaya Penal... 61

B. Penanggulangan Melalui Upaya Non Penal ... 67

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENJUAL KACA FILM MEREK PALSU (STUDI PUTUSAN No. 555/Pid.B/2008/PN.Bpp) ... 69

A. Kasus Posisi ... 69

1. Kronologis……… 69

2. Dakwaan ……….. 71

3. Fakta Hukum ………... 71

4. Tuntutan ……….. 83

5. Pertimbangan Hakim ……….. 84

6. Putusan ………... 91

B. Analisa Putusan ………. 93

BAB V PENUTUP ... 99

A. Kesimpulan ... 99

B. Saran ………..101


(9)

ABSTRAKSI

Pemalsuan dibidang merek pada umunya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, dimana kejahatan di bidang merek merupakan salah satu dari aktivitas kriminal yang berkembang cepat yang disebabkan karena adanya perkembangan di bidang teknologi dan informasi. Berbagai hal telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak pidana dibidang merek mulai dari dibentuknya Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang merek serta peningkatan kesadaran terhadap masyarakat untuk mau menggunakan produk asli. Namun kejahatan di bidang merek ini masih saja terdapat di dalam masyarakat, bahkan dapat diperkirakan kasus kejahatan terhadap pemalsuan di bidang merek ini meski sudah ditangani, akan terus mengalami peningkatan.

Berdasarkan alasan inilah yang melatarbelakangi ketertarikan penulis unutk menulis skripsi dengan permasalahan diantaranya perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana di bidang merek dan upaya penanggulangannya. Skripsi ini merupakan penelitian yuridis normative, dengan melakukan penelitian di perpustakaan (library research) serta menganalisa putusan Pengadilan Negeri Balikpapan dalam Perkara Register No. 555/Pid.B/2008/PN.Bpp.

Di Indonesia sendiri, masalah pemalsuan terhadap merek bukanlah hal yang baru. Di mana di dalam KUHP mengenai merek ada diatur di dalam di atur dalam Pasal 253- Pasal 262 KUHP. Namun, karena pemerintah Indonesia merasa bahwa pasal-pasal yang ada dalam KUHP itu kurang kuat mengikat para pelakunya maka kemudian pemerintah mengupayakan larangan terhadap pemalsuan di bidang merek yang telah dituangkan dalam suatu peraturan tentang merek yaitu Undang-Undang Merek No.21 Tahun 1961 yang telah mengalami beberapa perubahan yaitu Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 ,Undang-Undang No. 14 Tahun 1997, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001.

Dalam hal upaya penaggulangan yang dapat dilakukan untuk memininimalisir terjadinya tindak pidana pemalsuan merek adalah menciptakan hukum yang dapat memberikan hukum yang sesuai dengan perbuatan pelaku, melakukan penanggulangan tindak pidana secara penal dan non penal, serta menjalin kerjasama antara pemerintah dengan seluruh masyarakat.

Mengenai konsep pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pemalsuan merek sama dengan pertanggungjawaban pidana pada umumnya, yaitu harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab. Dan yang harus tetap diperhatikan adalah terpenuhinya unsur-usnur dalam pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.


(10)

ABSTRAKSI

Pemalsuan dibidang merek pada umunya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, dimana kejahatan di bidang merek merupakan salah satu dari aktivitas kriminal yang berkembang cepat yang disebabkan karena adanya perkembangan di bidang teknologi dan informasi. Berbagai hal telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak pidana dibidang merek mulai dari dibentuknya Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang merek serta peningkatan kesadaran terhadap masyarakat untuk mau menggunakan produk asli. Namun kejahatan di bidang merek ini masih saja terdapat di dalam masyarakat, bahkan dapat diperkirakan kasus kejahatan terhadap pemalsuan di bidang merek ini meski sudah ditangani, akan terus mengalami peningkatan.

Berdasarkan alasan inilah yang melatarbelakangi ketertarikan penulis unutk menulis skripsi dengan permasalahan diantaranya perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana di bidang merek dan upaya penanggulangannya. Skripsi ini merupakan penelitian yuridis normative, dengan melakukan penelitian di perpustakaan (library research) serta menganalisa putusan Pengadilan Negeri Balikpapan dalam Perkara Register No. 555/Pid.B/2008/PN.Bpp.

Di Indonesia sendiri, masalah pemalsuan terhadap merek bukanlah hal yang baru. Di mana di dalam KUHP mengenai merek ada diatur di dalam di atur dalam Pasal 253- Pasal 262 KUHP. Namun, karena pemerintah Indonesia merasa bahwa pasal-pasal yang ada dalam KUHP itu kurang kuat mengikat para pelakunya maka kemudian pemerintah mengupayakan larangan terhadap pemalsuan di bidang merek yang telah dituangkan dalam suatu peraturan tentang merek yaitu Undang-Undang Merek No.21 Tahun 1961 yang telah mengalami beberapa perubahan yaitu Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 ,Undang-Undang No. 14 Tahun 1997, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001.

Dalam hal upaya penaggulangan yang dapat dilakukan untuk memininimalisir terjadinya tindak pidana pemalsuan merek adalah menciptakan hukum yang dapat memberikan hukum yang sesuai dengan perbuatan pelaku, melakukan penanggulangan tindak pidana secara penal dan non penal, serta menjalin kerjasama antara pemerintah dengan seluruh masyarakat.

Mengenai konsep pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pemalsuan merek sama dengan pertanggungjawaban pidana pada umumnya, yaitu harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab. Dan yang harus tetap diperhatikan adalah terpenuhinya unsur-usnur dalam pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang sangat pesat, juga mendorong globalisasi Hak Kekayaan Intelektual. Suatu barang atau jasa yang hari ini diproduksi di suatu negara, di saat berikutnya telah dapat dihadirkan di negara lain. Kehadiran barang atau jasa yang dalam proses produksinya telah menggunakan Hak Kekayaan Inetelektual, dengan demikian juga telah menghadirkan Hak Kekayaan Intelektual pada saat yang sama ketika barang atau jasa yang bersangkutan dipasarkan. Kebutuhan untuk melindungi Hak Kekayaan Intelektual dengan demikian juga tumbuh bersamaan dengan kebutuhan untuk melindungi barang atau jasa dari kemungkinan pemalsuan atau dari persaingan yang tidak wajar (curang), juga berarti kebutuhan untuk melindungi Hak Kekayaan Intelektual tersebut tidak terkecuali bagi merek.1

Merek telah digunakan sejak ratusan tahun untuk memberikan tanda dan produk yang dihasilkan dengan maksud menunjukkan asal-usul barang (indication of origin). Merek dan sejenisnya dikembangkan oleh para pedagang sebelum adanya industralisasi. Bentuk sejenis merek mulai dikenal dari bentuk tanda resmi

(hallmark) di Inggris bagi tukang emas, tukang perak, dan alat-alat pemotong.

1

Bambang Kesowo, “Kebijaksanaan Pemerintah di Bidang Merek”, Disampaikan dalam acara Temu Wicara Memasyarakatkan No. 19 Tahun 1992 tentang Merek, Diselenggarakan oleh Fakultas UGM – Kanwil Departemen kehakiman DIY, Yogyakarta, 8-9 Desember 1992, hlm. 3.


(12)

Sistem tanda resmi seperti terus dipakai karena bisa membedakan dari penghasil barang sejenis lainnya.2

Kebutuhan adanya perlindungan atas merek semakin berkembang dengan pesat setelah banyaknya orang yang melakukan peniruan. Terlebih pula setelah dunia perdagangan semakin maju, serta alat transportasi yang semakin baik, juga dengan dilakukannya promosi maka wilayah pemasaran barang pun menjadi lebih luas lagi. Keadaan seperti itu menambah pentingnya merek, yaitu untuk membedakan asal-usul barang dan kualitasnya, juga menghindarkan peniruan. Pada gilirannya perluasan pasar seperti itu juga memerlukan penyesuaian dalam sistem perlindungan terhadap merek yang digunakan pada produk yang diperdagangkan.3

Perlindungan atas merek di Inggris pada perkembangan awalnya adalah untuk melawan peniruan. Kasus menenai merek yang pertama diselesaikan di pengadilan Inggris adalah kasus Lord Hardwicke L.C. in Blanchard lawan Hill

pada tahun 1742. Sedangkan peraturan merek yang pertama dibuat ialah

Merchandise Marks Act pada tahun 1862. Sebelumnya, Inggris pada tahun 1857 telah mengadopsi sistem pendaftaran merek dari Prancis yang dikenal dengan

Merchandise Marks ini mendasarkan cara perlindungannya dalam bentuk an pidana tersebut kemudian dilengkapi dan diperbaharui pada tahun 1887. Selanjutnya, terus diperbaharui dan terus berlaku sampai dibuatnya baru yang dikenal dengan the Trade Description Act Tahun 1968. Inggris selain memiliki

2

Drs. Muhammad Djumahara, S.H. dan R. Djubaedillah, S.H., Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Bndung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 159.

3 Ibid.


(13)

Merchandise Marks Registration Act 1875, yang diperbaharui pada tahun 1876 dan tahun 1877 digabungkan ke dalam Patents Design and Trade Marks 1883. Selain itu, pada tahun 1938 dikeluarkan Trade Marks Act, yang pada tahun 1984 atas rekomendasi the Mathys Departemental Committe, itu diperbaharui dan memasukkan sistem pendaftaran merek jasa.4

Berkembangnya perdagangan internasional mengakibatkan adanya kebutuhan untuk perlindungan merek secara internasional pula. Tahun 1883 di Paris dibentuk sebuah konvensi mengenai hak milik perindustrian, yang kemudian menjadi tonggak sejarah mulainya perkembangan peraturan merek secara internasional. Sebagai konsekuensi dari kegiatan perdagangan internasioanl, dibutuhkan sekali peraturan merek yang luwes dan sederhana sesuai dengan posisi merek yang merupakan bagian strategis dari pemasaran. Pada tahun 1973 di Wina ditandatanganilah oleh Amerika Serikat dan Inggris sebagai pemimpin negara-negara Perjanjian Madrid (Madrid Agreement), yaitu sebuah perjanjian internasional yang dikenal dengan Trademark Registration Treaty.5

Indonesia mengenal Hak merek pertama kali pada saat penjajahan Belanda dengan dikeluarkannya Hak Milik Perindustrian, yaitu dalam “Reglement Industriele Eigendom Kolonien” stb. 1912-545 jo stb.1913-214, kemudian pada zaman penjajahan Jepang dikeluarkan peraturan merek yang

4 Ibid. 5


(14)

dikenal dengan Osamu Seirei Nomor 30 tentang Menyambung Pendaftaran Cap Dagang yang mulai berlaku pada tanggal 1 bulan 9 tahun Syowa (2603).6

Setelah Inonesia merdeka peraturan ini juga dinyatakan terus berlaku, berdasarkan Pasal II aturan Peralihan UNDANG-UNDANG 1945. Ketentuan itu masih terus berlaku, hingga akhirnya sampai pada akhir Tahun 1961 ketentuan tersebut diganti dengan No. 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan yang diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1961 dan dimuat dalam lembaran Negara RI No.290 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara RI No. 2431 yang mulai berlaku pada bulan November 1961.7

Kedua ini (RIE 1912 dan UNDANG-UNDANG Merek 1961) memiliki banyak kesamaan. Perbedaanya hanya terletak pada antara lain masa berlakunya merek; yaitu 10 (sepuluh) tahun menurut UNDANG-UNDANG Merek 1961 dan jauh lebih pendek dari RIE 1912; yaitu 20 (dua puluh) tahun. Perbedaan lain, yaitu UNDANG-UNDANG Merek Tahun 1961 mengenal penggolongan barang-barang dalam 35 kelas, penggolongan yang semacam itu sejalan dengan klasifikasi internasional berdasarkan persetujuan internasional tentang klasifikasi barang-barang untuk keperluan pendaftaran Merek di Nice (Prancis) pada tahun 1957 yang diubah di Stockholm pada tahun 1967 dengan penambahan satu kelas untuk penyesuaian dengan keadaan di Indonesia, pengklasifikasian yang demikian ini tidak dikenal dalam RIE 1912.8

6 Ibid.

7

H.OK.Saidin, S.H., M.Hum., Aspek Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 331.

8 Ibid.


(15)

Merek Tahun 1961 ini ternyata mampu bertahan selama kurang lebih 31 tahun, untuk kemudian ini dengan berbagai pertimbangan harus dicabut dan digantikan oleh No. 19 Tahun 1992 tentang Merek yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 1992 No. 81 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 3490, pada tanggal 28 Agustus 1992. yang disebut terakhir ini berlaku sejak 1 April 1993.9

Adapun alasan dicabutnya Merek Tahun 1961 itu adalah karena UNDANG-UNDANG Merek No.21 Tahun 1961 dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan masyarakat dewasa ini. Memang jika dilihat UNDANG-UNDANG merek Tahun 1992 ini ternyata memang banyak mengalami perubahan-perubahan yang sangat berarti jika dibanding dengan UNDANG-UNDANG merek No. 21 Tahun 1961. Antara lain adalah mengenai sistem pendaftaran, lisensi, merek kolektif, dan sebagainya.10

Dalam konsiderans UNDANG-UNDANG Merek 1992 itu dapat dilihat lagi berbagai alasan tentang pencabutan UNDANG-UNDANG Merek Tahun 1961, yaitu:

1. Merek sebagai salah satu wujud karya intelektual memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa.

9 Ibid. 10


(16)

2. UNDANG-UNDANG Merek No. 21 Tahun 1961 dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembagan keadaan dan kebutuhan.11

Alasan lain dapat juga kita lihat dalam penjelasan UNDANG-UNDANG Merek Tahun 1992 yang antara lain mengatakan:

Pertama: Materi UNDANG-UNDANG No. 21 Tahun 1961 bertolak dari konsepsi merek yang tumbuh pada masa sekitar Perang Dunia II. Sebagai akibat perkembangan keadaan dan kebutuhan serta semakin majunya norma dan tatanan niaga, menjadikan konsepsi merek yang tertuang dalam No. 21 Tahun 1961 jauh tertinggal. Hal ini semakin terasa pada saat komunikasi semakin maju dan pola perdagangan antarbangsa sudah tidak lagi terikat pada batas-batas Negara. Keadaan ini menimbulkan saling ketergantungan antar bangsa baik dalam kebutuhan, kemampuan maupun kemajuan teknologi dan lain-lainnya yang mendorong pertumbuhan dunia sebagai pasar bagi produk-produk merdeka.

Kedua: Perkembangan norma dan tatanan niaga itu sendiri telah menimbulkan persoalan baru yang memerlukan antisipasi yang harus diatur dalam ini.12

Apabila dibandingkan dengan UNDANG-UNDANG No. 21 Tahun 1961, ini menunjukkan perbedaan-perbedaan antara lain:

a. Lingkup pengaturan dibuat seluas mungkin. Untuk itu, judul dipilih yang sederhana tetapi luwes. Berbeda dari yang lama, yang membatasi pada merek perusahaan dan merek perniagan yang dari segi objek hanya mengacu pada hal yang sama yaitu merek dagang. Sedangkan merek jasa sama sekali tidak

11 Ibid. 12


(17)

dijngkau. Dengan pemakaian judul merek dalam ini, maka lingkup merek mencakup baik untuk merek dagang maupun jasa. Demikian pula aspek nama dagang yang pada dasarnya juga terwujud sebagai merek, telah pula tertampung di dalamnya. Lebih dari itu dapat pula ditampung pengertian merek lainnya seperti merek kolektif. Bahkan dalam perkembangan yang akan dating penggunaan istilah merek akan dapat pula menampung pengertian lain seperti certification marks, associate marks dan lai-lainnya.

b. Perubahan dari system deklaratif ke system konstitutif, karena system konstitutif lebih menjamin kepastian daripada sitem deklaratif. Sitem deklaratif yang mendasarkan pada perlindungan bagi mereka yang menggunakan merek terlebih dahulu, selain kurang menjamin kepastian juga menimbulkan persoalan dan hambatan dalam dunia usaha. Dalam ini, penggunaan system konstitutif yang bertujuan menjamin kepastian hokum disertai pula dengan ketentuan-ketentuan yang menjamin segi-segi keadilan. Jaminan terhadap aspek keadilan Nampak antara lain, pembentukan cabang-cabang kantor merek di daerah, pembentukan komisi banding merek, dan memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan yang tidak terbatas melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tetapi juga melalui Pengadilan Negeri lainnya akan ditetapkan secara bertahap, serta tetap dimungkinkannya gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Bahkan dalam masa pengumuman permintaan pendaftaran merek dimungkinkan pemilik merek tidak terdaftar yang telah menggunakan sebagai pemakai pertama untuk mengjukan keberatan.


(18)

c. Agar permintaan pendaftaran merek dapat berlangsung tertib, pemeriksaannya tidak semata-mata dilakukan berdasarkan kelengkapan persyaratan formal saja, tetapi juga dilakukan pemeriksaan substantive. Selain itu dalam sistem yang baru diintroduksi adanya pengumuman permintaan pendaftaran suatu merek. Pengumuman tersebut bertujuan memberi kesempatan kepada masyarakat yang berkepentingan dengan permintaan pendaftaran merek mengajukan keberatan. Dengan mekanisme semacam ini bukan saja problema yang timbul dari sistem deklaratif dapat teratasi, tetapi juga menumbuhkan keikutsertaan masyarakat. Selanjutnya ini mempertegas pula kemungkinan penghapusan dan pembatalan merek yang telah terdaftar berdasarkan alasan dan tata cara tertentu.

d. Sebagai negara yang ikut serta dalam Paris Concention for the Protection of Industrial Property Tahun 1883, maka ini mengatur pula pendaftaran merek dengan menggunakan hak prioritas yang diatur dalam konvensi tersebut.

e. Ini mengatur juga pengalihan hak atas merek berdasarkan lisensi yang tidak diatur dalam UNDANG-UNDANG No. 21 Tahun 1961.

f. Ini mnegatur juga tentang sanksi pidana baik untuk tindak pidana yang diklasifikasi sebagai kejahatan maupun sebagai pelanggaran.13

Secara lebih rinci hal-hal yang baru dalam UNDANG-UNDANG Merek 1992 dapat dilihat sebagai berikut:

13


(19)

1. Tentang pengertian merek yang sudah disebut secara tegas adalah berbeda dengan pengertian merek menurut UNDANG-UNDANG No.21 Tahun 1961 yang dirancang tegas batasannya dirumuskannya secara tegas.

2. Disamping itu dalam UNDANG-UNDANG Merek 1992 diintrodusir tentang sistem pendaftaran berdasarkan hak prioritas. Sistem ini sama sekali tidak dikenal dalam UNDANG-UNDANG Merek 1961. Hak prioritas ini diperlukan karena tentunya bagi pemilik merek sulit apabila diwajibkan secara simultan mendaftarkan mereknya di seluruh dunia (Vide Pasal 12 dan 13 UNDANG-UNDANG Merek Tahun 1992).

3. Perbedaan lain ialah dalam UNDANG-UNDANG Merek Tahun 1992 adanya system oposisi (Opposition proceeding), sedangkan dalam UNDANG-UNDANG No. 21 Tahun 1961 hanya dikenal prosedur pembatalan merek (canselatin proceeding).

4. Dalam UNDANG-UNDANG Merek Tahun 1992 diintrodusir tentang lisensi.

5. Dalam RUNDANG-UNDANG Merek Tahun 1992 kita jumpai pula tentang merek yang dikenal (know), tidak dikenal (unknown), dan sangat dikenal

(well-known).

6. Dalam UNDANG-UNDANG Merek dikenal merek jasa, merek dagang, dan merek kolektif.


(20)

7. Dan lain-lain.14

Disamping itu ada lain-lain perubahan yang menarik misalnya cara pemeriksaan dari permohonan pendaftaran merek yang dilakukan secara intensif substantif, cara melakukan pengumuman terlebih dahulu sebelum diterima suatu pendaftaran dengan maksud agar supaya khalayak ramai (masyarakat umum) dapat mengajukan keberatan terhadap si pemohon pendaftaran bersangkutan itu (Pasal 14 UNDANG-UNDANG Merek 1992). Penegasan hak-hak perdata pemilik yang terdaftar dan ketentuan bahwa tidak ada hak atas merek selain daripada yang terdaftar (Pasal 3 UNDANG-UNDANG Merek). Adanya sanksi pidana yang berat disamping kemungkinan-kemungkinan menuntut ganti kerugian secara perdata (Pasal 81 UNDANG-UNDANG Merek 1992 dan seterusnya). Juga soal system lisensi yang diakui secara tegas dan diatur pula pendaftarannya oleh kantor merek (Pasal 44 UNDANG-UNDANG Merek 1992) dan seterusnya. Kemudian juge permintaan pendaftaran merek dengan hak prioritas berdasarkan konvensi internasional (Pasal 12 UNDANG-UNDANG Merek 1992).15

Perubahan-perubahan yang demikian, sudah barang tentu akan membawa perubahan yang sangat besar dalam tatanan hokum hak atas kekayaan

14

Abdul Muis, RUNDANG-UNDANG Merek: Sistem Deklaratif Kepada Sistem Konstitutif, Mimbar Umum,Medan, 13 Maret 1992. Semula dalam tulisan tersebut, digunakan istilah RUNDANG-UNDANG Merek 1992.

15

Sudargo Gautama, Komentar Atas Merek Baru 1992 dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaanya, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 2.


(21)

perindustrian, khususnya hokum merek yang selama bertahu-tahun menguasai pangsa hukum merek di Indonesia.16

Dengan adanya perubahan ini, diharapkan dapat lebih merangsang investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, karena Indonesia telah memiliki kepastian hokum dalam pendaftaran mereknya, di samping adanya ancaman pidana yang berat dan terbukanya peluang untuk tuntutan ganti rugi secara perdata.17

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka diakhirilah era berlakunya UNDANG-UNDANG Merek Tahun 1961 untuk kemudian memasuki era UNDANG-UNDANG Merek Tahun 1992. 18

Selanjutnya tahun 1997 UNDANG-UNDANG Merek Tahun 1992 tersebut juga diperbaharui lagi dengan UNDANG-UNDANG No. 14 Tahun 1997. Perubahan Merek Tahun 1997 dilakukan karena beberapa alasan, di antaranya karena ketentuan Persetujuan Putaran Uruguay yang telah ditandatangani oleh Indonesia pada tahun 1994 do Marakesh Maroko. Dengan ditandatanganinya persetujuan tersebut Indonesia harus berusaha menegakkan prinsip-prinsip pokok yang dikandung di dalamnya termasuk TRIPs, yaitu Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights including Trade in Counterfeit Goods/TRIPd

16

H.OK.Saidin, S.H.,M.Hum., Aspek Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 335.

17

Ibid, hal.336.

18 Ibid.


(22)

aspek dagang yang terkait dengan hak milik intelektual termasuk perdagangan barang palsu).19

Persetujuan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) memuat beberapa ketentuan yang harus ditaati oleh negara penanda tangan kesepakatan tersebut, yaitu kewajiban bagi negara anggota untuk menyesuaikan peraturan peran hak milik intelektualnya dengan berbagai konvensi internasional di bidang Hak Milik Intelektual. Indonesia sebagai penada tangan persetujuan tidak bisa terlepas dari ketentuan demikian, sehingga oleh karenanya dalam jangka waktu yang kurang dari 5 (lima) tahun telah melakukan perubahan beberapa ketentuan pada Undang_undang Hak Cipta, Hak Merek maupun Hak Paten. Ketiga tersebut telah dilakukan perubahannya oleh Pemerintah melalui DPR dan disetujui DPR pada tanggal 21 Maret 1997.20

Dan pada saat ini tahun 2001 UNDANG-UNDANG No. 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UNDANG-UNDANG No. 14 Tahun 1997 tersebut dinyatakan tidak berlaku. Dan sebagai gantinya kini adalah Merek No. 15 Tahun 2001.21

Adapun alasan diterbitkannya UNDANG-UNDANG No. 15 Tahun 2001 dapat diuraikan sebagai berikut:

19

Drs. Muhammad Djumahara, S.H. dan R. Djubaedillah, S.H., Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Bndung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 161.

20 Ibid.

21

H.OK.Saidin, S.H.,M.Hum., Aspek Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), loc.cit.


(23)

Salah satu perkembangan yang kuat dan memperoleh perhatian seksama dalam masa sepuluh tahun ini dan kecendrungan yang masih akan berlangsung di masa yang akan datang adalah semakin meluasnya arus globalisasi baik bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang kehidupan lainnya. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan meningkat secara pesat dan bahakan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama.

Era perdagangan global hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim persaingan usaha yang sehat. Di sini merek memegang peranan yang sangat penting yang memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan sejalan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi Indonesia serta pengalaman melaksanakan administrasi merek, diperlukan penyempurnaan merek yaitu No. 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan No. 14 Tahun 1997 selanjutnya disebut Merek lama, dengan satu tentang merek yang baru.22

Beberapa perbedaan yang menonjol dalam ini dibandingkan dengan merek lama antara lain menyangkut proses penyelesaian permohonan. Dalam ini pemeriksaan substantif dilakukan setelah permohonan dinyatakan memenuhi syarat secara administratif. Semula pemeriksaan substantif dilakukan setelah selesainya masalah masa pengumuman tentang adanya permohonan, dengan perubahan ini dimaksudkan agar dapat lebih cepat diketahui apakah permohonan tersebut disetujui atau ditolak, dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk

22 Ibid.


(24)

mengajukan keberatan terhadap permohonan yang telah disetujui untuk didaftar. Sekarang jangka waktu pengumuman berdasarkan merek lama. Dengan dipersingkannya jangka waktu pengumuman, secara keseluruhan akan mempersingkan pula jangka waktu penyelesaian permohonan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Berkenaan dengan hak prioritas, dalam ini diatur bahwa apabila pemohon tidak melengkapi bukti penerimaan permohonan yang pertama kali menimbulkan hak prioritas dalam jangka waktu tiga bulan setelah berakhirnya hak prioritas. Permohonan tersebut diproses seperti permohonan tanpa menggunakan hak prioritas.23

Hal lain adalah berkenaan dengan ditolaknya permohonan yang merupakan kerugian bagi pemohon. Untuk itu, perlu pengaturan yang dapat membantu pemohon untuk mengetahui lebih lanjut alasan penolakan permohonannya dengan terlebih dahulu memberitahukan kepadanya bahwa permohonan akan ditolak.24

Selain perlindungan terhadap merek dagang dan merek jasa, dalam ini diatur juga perlindungan terhadap indikasi geografis, yaitu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang karena faktor lingkungan geografis, termasuk faktor alam atau faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor

23

Ibid, hal 337.

24 Ibid.


(25)

tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Selain itu juga diatur mengenai indikasi asal.25

Selanjutnya, mengingat merek merupakan bagian dari kegiatan perekonomian atau dunia usaha, penyelesaian sengketa merek memerlukan badan peradilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga sehingga diharapkan sengketa merek dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Sejalan dengan itu, harus pula diatur acara khusus untuk menyelesaikan masalah sengketa merek seperti juga bidang hak kekayaan intelektual lainnya. Adanya perdilan khusus untuk masalah merek dan bidang-bidang hak kekayaan intelektual lain, juga dikenal di beberapa negara lain, seperti Thailand. Dalam inipun pemilik merek diberi upaya perlindungan lain, yaitu dalam wujud penetapan pengadilan untuk melindungi mereknya guna mencegah kerugian yang lebih besar. Di samping itu, untuk memberikan kesempatan yang lebih luas dalam penyelesian sengketa, dalam ini dimuat ketentuan tentang arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.26

Dengan ini terciptalah merek dalam satu naskah (single text) sehingga lebih memudahkan masyarakat menggunakannya. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan dalam merek lama, yang substantifnya tidak diubah, dituangkan kembali dalam ini.27

25 Ibid. 26

Ibid, hal 338.

27 Ibid.


(26)

B. Perumusan Masalah

1. Perbuatan-perbuatan apakah yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana di bidang merek?

2. Upaya apakah yang dapat dilakukan dalam hal penanggulangan tindak pidana pemalsuan merek?

3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap penjual kaca film merek palsu dalam perkara No. 555/ Pid.B/ 2008/ PN. Bpp?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui perbuatan-pebuatan yang termasuk ke dalam ruang lingkup tindak pidana di bidang merek.

b. Untuk memberi masukan dalam hal menanggulangi tindak pidana pemalsuan merek.

c. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap penjual kaca film merek palsu dan juga menganalisa penyelesaian dalam putusan No. 555/Pid.B/2008/PN. Bpp

Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah:

1. Segi Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sekedar sumbangan pemikiran dalam rangka perkembangan ilmu pada umumnya,


(27)

perkembangan Pidana dan khususnya mengenai merek terhadap pertanggunggjawaban pidana terhadap penjual kaca film merek palsu beserta penanggulangannya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi kepada pendidikan ilmu mengenai pelaksanaan kaidah-kaidah di abad ini.

c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pembuat dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut sebagai upaya mengantisipasi terjadinya pelanggaran prinsip itikad baik dalam merek.

2. Segi praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada perusahaan-perusahaan dalam melindungi mereknya terhadap penciplakan atau peniruan dari perusahaan lainnya.

D. KEASLIAN PENULISAN

Berdasarkan pemeriksaan hasil penelitian baik di kepustakaan maupun di lapangan, perihal Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Penjual Kaca Film Merek Palsu dan Upaya Penanggulangannya (Studi Putusan No. 555/Pid.B/2008/PN.Bpp) ini memang sudah ada yang meneliti atau membahas dalam bentuk disertasi, makalah, majalah, artikel, bahan-bahan diskusi, seminar dan lokakarya, namun dengan pokok permasalahan yang berbeda. Oleh karena itu maka dapat dianggap penulisan skripsi ini memiliki keaslian.


(28)

1. Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk kita telah menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit” tersebut.

Perkataan “feit” itu sendiri did ala Bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”28, sedang “strafbaar” berarti “dapat di”, hingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat di”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat di itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan maupun tindakan.

Oleh karena pembentuk kita tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya telah ia maksud dengan perkataan “strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut.

HAZEWINKEL-SURINGA misalnya, mereka telah membuat suatu rumusan yang bersifat umum dari “strafbaar feit” sebagai “suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.29

28

van BEMMELEN, Ons Strafrecht I, hal. 62 29


(29)

Para penulis lama seperti Profesor van HAMEL telah merumuskan “strafbaar feit” itu “sebagai suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain”30 yang oleh HAZEWINKEL-SURINGA telah dianggap kurang tepat.

Menurut Profesor POMPE, perkataan “strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib ) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan an terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib dan terjaminnya kepentingan umum” atau sebagai “de normovertreding (verstoring der rechtsorde), waaraan de overtreder schuld heft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechts orde on de behartiging van het algemeen welzjin”.31

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam pidana Belanda yaitu “stafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada pemjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.

Isitilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam peran yang ada maupun dalam berbagai literatur sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah:

30

 Van Hamel, Inleiding, hal.172; HAZEWINKEL-SURINGA, ibid. 31


(30)

1. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa isitilah resmi dalam peran pidana kita. Dalam hamper seluruh peraturan peran menggunakan isitilah tindak pidana, seperti dalam No. 6 Tahin 1982 tentang Hak Cipta, No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (diganti dengan No. 31 Tahun 1999), dan peran lainnya.

2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli , misalnya: Mr. R. Schravendijk Tresna dalam bukunya “Azas-azas Pidana”, Mr. Drs. H.J van dalam buku Pelajaran tentang Pidana Indonesia, Prof. A. Zainal Abidin, S.H. dalam buku beliau “ Pidana”. Pembentuk juga pernah menggunakan isitilah peristiwa pidana, yaitu dalam Dasar Sementara Tahun 1950.

3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin “delictum” juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Isitilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya Prof. E. Utrecht, S.H., walaupun juga beliau menggunakan isitilah lain yakni peristiwa pidana. Prof. A. Zainal Abidin dalam buku beliau “ Pidana I”. Prof. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini, seperti pada judul buku beliau “Delik-Delik Percobaan, Delik-Delik Penyertaan”, walaupun menurut beliau lebih tepat dengan isitilah perbuatan pidana.

4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-Pokok Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H Tirtaamidjaja.


(31)

5. Pebuatan yang boleh di, isitilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam buku beliau “Ringkasan Tentang Pidana”. Begitu juga Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran Tentang Pidana Indonesia”.

6. Perbuatan yang dapat di, digunakan oleh Pembentuk dalam No. 12/ Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.

7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Azas-azas Pidana.

Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit. Dari 7 isitlah yang digunakan sebagai terjemahan dari starfbaar feit itu, ternyata straf

diterjemahkan dengan pidana dan . Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Secara literlijk “straf” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan isitilah strafbaar feit secara utuh, ternyata straf diterjemahkan juga dengan kata , padahal sudah lazim itu adalah berupa terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti straf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya.

Moeljatno menggunakan isitilah perbuatan pidana, yang di definisikan beliau sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut”. Adapun isitilah perbuatan pidana lebih tepat, alasannya adalah:


(32)

1. Bahwa yang dilarang itu adalah peruatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keaadan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sedangkan ancaman pidanya itu ditujukan pada orangnya.

2. Antara laranagan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya) ada hubungan yang erat, dan oleh karena itu perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.

3. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan kongkrit yaitu: pertama adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan kedua adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.

Disamping mengemukakan isitilah yang tepat yakni perbuatan pidana, Moeljatno juga menyatakan bahwa istilah peristiwa pidana dan istilah tindak pidana adalah suatu istilah yang tidak tepat, dengan alasan:

1. Untuk isitilah perisitiwa pidana, perkataan peristiwa menggambarkan hal yang kongkrit (padahal strafbaar feit sebenarnya abstrak) yang menunjuk pada kejadian tertentu, misalnya matinya orang, yang tidak penting dalam pidana. Kematian itu baru penting jika peristiwa matinya orang dihubungkan dengan atau diakibatkan oleh kekuatan orang lain.


(33)

2. Sedangkan isitilah tindak pidana, perkataan “Tindak” tidak menunjuk pada hal abstark seperti perbuatan, tapi sama dengan perkataan peristiwa yang juga menyatakan keadaan kongkrit, seperti kelakuan, gerak-gerik atau sikap jasmani, hal mana lebih dikenal dalam tindak tanduk, tindakan dan bertindak.

Adapun pendapat dari para ahli sarjana mengenai tindak pidana, sebagai berikut:

1. J.E Jonkers, yang merumuskan peristiwa pidana adalah “perbuatan yang melawan (wederrechtlijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”.

2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan an pidana.

3. H.J van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh di adalah “kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan sehingga kelakuan itu diancam dengan an, asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipersalahkan.

4. Simons, merumuskan strafbaar feit adalah “suatu tindakan melanggar yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat di”.

Dari empat rumusan diatas, dapat dilihat terutama kalimat, yakni: (1) “dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan” (Jonkers), (2) “yang pelakunya dapat dikenakan an” (Wirjono Prodjodikoro), (3)”asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipersalahkan (Schravendijk) dan (4)dilakukan oleh


(34)

seorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya” (Simons), menunjukkan bahwa didalam membicarakan perihal tindak pidana selalu dibayangkan bahwa di dalamnya telah ada orang yang melakukan, dan oleh karenanya ada orang yang dipidana.

Dalam hal ini setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Pidana itu pada umumnya dapat di jabarkan ke dalam dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur-unsur-unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur-unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang behubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah: 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;


(35)

5. Perasaan takut atau vrees seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana adalah: 1. Sifat melanggar wederrechttelijkheid;

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Adapun unsur-unsur tindak pidana menurut para sarjana dari paham dualisme adalah sebagai berikut32:

1. Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah perbuatan, yang dilarang (oleh aturan ), ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan). Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan . Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah inkongkrito orang yang

32


(36)

melakukan perbuatan itu diajtuhi ataukah tidak, adalah hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana.

2. Menurut R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia), yang bertentangan dengan Peraturan Peran, diadakan tindakan pengan. Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan pengan, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan pengan (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan de mikian dijatuhi pidana. Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subjektif) yang melekat pada orangnya untuk dapat dijatuhkannya pidana.

3. Menurut Vos, unsur-unsur tindak pidana adalah kelakuan manusia, diancam dengan pidana, dalam peraturan peran.

Dalam hal ini dapat dilihat bahwa ketiga pendapat dari paham dualisme mengenai unsur-unsur tindak pidana tersebut tidak terdapat perbedaan, ialah bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam , dan diancam pidana bagi yang melakukannya. Dari unsur-unsur yang ada jelas terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si pembuat atau dipidananya pembuat, semata-mata mengenai perbuatannya.


(37)

Sedangkan unsur-unsur tindak pidana menurut paham monism dari para sarjana adalah sebagai berikut:

1. Menurut Jonkers, unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan (yang), melawan (yang berhubungan dengan), kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat), dan dipertanggungjawabkan.

2. Menurut Schravendijk, unsur-unsur tindak pidana adalah kelakuan (orang yang), bertentangan dengan keinsyafan , diancam dengan an, dilakukan oleh orang (yang dapat), dan dipersalahkan/kesalahan.

Walaupun rincian dari tiga rumusan tersebut tampak berbeda-beda, namun pada hakekatnya ada persamaannya, ialah tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur-unsur yang mengenai diri orangya.

Disamping itu terdapat juga unsur-unsur tindak pidana dalam Kitab Pidana (KUHP) antara lain:

1. Unsur tingkah laku

Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat, oleh karena itu perbuata tingkah laku harus disebutkan dalam rumusan. Tingkah laku adalah unsur mutlak tindak pidana. Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku aktif atau posotif (handelen), juga dapat disebut perbuatan materiil (materiel feit) dan tingkah laku pasif atau negatif (nalaten). Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku yang untuk mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh, misalnya mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu


(38)

dan membuat secara palsu (Pasal 268 KUHP). Sebagian besar (hamper semua) tindak pidana tentang unsur tingkah lakunya dirumuskan dengan perbuatan aktif, dan sedikit sekali dengan perbuatan pasif. Sedangkan tingkah laku pasif adalah berupa tingkah laku membiarkan (nalaten), suatu bentuk tingkah laku yang tidak melakukan aktivitas tertentu tubuh atau bagian tubuh, yang seharusnya seseorang itu dalam keadaan-keadaan tertentu harus melakukan perbuatan aktif, dan dengan tidak berbuat demikian seseorang itu disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban nya. Contoh perbuatan tidak memberikan pertolongan (Pasal 531 KUHP), mmbiarkan (Pasal 304 KUHP), meninggalkan (Pasal 308 KUHP), tidak segera memberitahukan (Pasal 164 KUHP), tidak datang (Pasal 522 KUHP).

2. Unsur melawan

Melawan adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangya dari suatu perbuatan , yang sifat tercela mana dapat bersumber pada (melawan formil/formelle wederrechtlijk) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan materiil/materiel wederrechtlijk).

3. Unsur kesalahan

Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subjektif. Isitilah kesalahan (schuld) adalah pengertian yang tidak sama dengan pengertian harfiah. Kesalahan dalam pidana adalah berhubungan dengan pertanggung jawab, atau mengandung


(39)

beban pertanggung jawab pidana, yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa).

4. Unsur akibat konstitutif

Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada (1) tindak pidana materiil (materiel delicten) atau tindak pidana di mana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana, (2) tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana, dan (3) tindak pidana di mana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat.

5. Unsur keadaan yang menyertai

Unsur keadaan yang menyertai, adalah unsur tindak pidana yang berupa keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan. Unsur keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat berupa:

a. mengenai cara melakukan perbuatan;

b. mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan;

c. mengenai obyek tindak pidana;

d. mengenai subyek tindak pidana;

e. mengenai tempat dilakukannya tindak pidana; dan

f. mengenai waktu dilakukannya tindak pidana.


(40)

Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak mengadu.

7. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana

Unsur ini adalah alasan untuk diperberatnya pidana, dan bukan unsur syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagaimana pada tindak pidana materiil. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana bukan merupak unsur pokok tindak pidana yang bersangkutan ,artinya tindak pidana tersebut dapat terjadi tanpa adanya unsur ini. Misalnya pada penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP), kejahatan ini dapat terjadi (ayat 1), walaupun akibat luka berat tidak terjadi (ayat 2). Dalam hal ini luka berat hanyalah sekedar syarat untuk dapat diperberatnya pidana.

8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.

Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah berupa unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan. Artinya bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini timbu, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan dan karenanya si pembuat tidak dapat dipidana. Sifat melawan nya dan patutnya dipidana perbuatan itu sepenuhnya digantungkan pada timbulnya unsur ini. Nilai bahayanya bagi kepentingan dari perbuatan itu adalah terletak pada timbulnya unsur syarat tambahan, bukan semata-mata pada perbuatan.


(41)

Contohnya ialah bila orang yang tidak ditolong itu meninggal (Pasal 531 KUHP), kalau orang itu jadi bunuh diri (Pasal 344 KHUHP).

2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pasal 36 Rancangan RUNDANG-UNDANG KUHP Tahun 2006 merumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.

Artinya bahwa tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu varu bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggugjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijtbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hokum pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai karena perbuatannya.

Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidanya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai keslahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya.


(42)

Sudarto menegaskan bahwa dalam ruang lingkup asas pertanggung jawaban pidana, disamping kemampuan bertanggungjawab, kesalahan (schuld)

dan melawan (wederechttelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana, ialah pembahayaan masyarakat oleh pembuat. Dengan demikian konsepsi pertanggungjawaban pidana dalam arti dipidananya pembuat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain:

1. ada suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat 2. ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan 3. ada pembuat yang mampu bertanggung jawab

4. tidak ada alasan pemaaf

Berikut akan dijelaskan mengenai syarat-syarat pertanggung jawaban diatas.

Ad. 1 ada suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat

Melawan huku adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada (melawan formil) dan dapat bersumber pada masyaraka (melawan materil). Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas-asas masyarakat, maka sifat tercela itu tidak tertulis. Sering kali sifat tercela dari suatu perbuatan itu terletak pada kedua-duanya, seperti perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) pada pembunuhan (Pasal 338 KUHP), adalah dilarang baik dalam maupun dalam masyarakat. Adalah wajar setiap perbuatan yang tercela menurut masyarakat adalah tercela pula menurut , walaupun kadang kala ada pebuatan yang tidak tercela menurut masyarakat tetapi tercela menurut, misalnya


(43)

perbuatan mengemis (Pasal 504 KUHP) dan bergelandang (Pasal 505 KUHP). Sebaliknya ada perbuatan yang tercela menurut masyarakat tetapi tidak menurut .

Dari sudut, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat melawan sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undagan, artinya sifat terlarang itu bersumber pada dimuatnya dalam peraturan peran.

Berpegang pada pendirian ini, maka setiap perbuatan yang ditetapkan sebagai yang dilarang dengan mencantumkannya dalam peraturan peran (menjadi tindak pidana), tanpa melihat apakah unsur melawan itu dicantumkan ataukah tidak dalam rumusan, maka dengan demikian tindak pidana itu sudah mempunyai unsur melawan . Artinya melawan adalah unsur mutlak dari suatu tindak pidana. Dalam putusan Mahkamah Agung No. 30 K/Kr./1969 tanggal 6 Juni 1970 menyatakan bahwa “dalam setiap tindakan pidana selalu ada unsur sifat melawan dari perbuatan-perbuatan yang dituduhkan, walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan.

Perkataan melawan dalam KUHP yang berlaku sekarang, kadang-kadang disebutkan dalama rumusan tindak pidana dan kadang-kadang-kadang-kadang tidak. Menurut Schaffmeister ditambahkannya kata melawan sebagai salah satu unsur dalam rumusan delik yang (telah) dibuat terlalu luas. Ia menambahkan bahwa, tanpa ditambahkannya perkataan melawan mungkin timbul bahaya, yaitu mereka yang menggunakan haknya akan termasuk kedalam ketentuan pidana. Sedangkan, alasan tidak dicantumkannya dalam tiap-tiap Pasal dalam KUHP


(44)

adalah bilamana dari rumusan , perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajar sifat melawan nya, sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit.

Kedudukan sifat melawan sangat khas di dalam pidana. Bersifat melawan mutlak untuk setiap tindak pidana. Roeslan Saleh mengatakan “memidana sesuatu yang tidak melawan tidak ada artinya”. Sementara itu Andi A. Zainal Abidin mengatakan “salah satu unsur esensial delik ialah sifat melawan

(wederrechtelijkheid) dinayatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu Pasal pidana, karena alangkah janggalnya bila seseorang dipidana yang melakukan perbuatan tidak melawan ”. Dengan demikian untuk dapat dikatakan seseorang melakukan tindak pidana, perbuatannya itu harus bersifat melawan .

Rancangan KUHP juga menentukan masalah melawan tindak pidana. Mulanya dalam Pasal 15 ayat (2) rancangan KUHP Tahun 2000, menentukan bahwa, “untuk dipidanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan peran, perbuatan tersebut harus juga bersifat melawan .

Menurut Hoffman, bahwa suatu perbuatan dikatakan melawan apabila memenuhi 4 unsur, yaitu:

1. Harus ada yang melakukan perbuatan 2. Perbuatan itu harus melawan

3. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain 4. Perbuatan itu karena kesalahan yang dapat dicelakan kepadanya.

Ad 2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan

Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu


(45)

melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif. Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah berupa unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan dan perbuatan dengan si pelaku. Istilah kesalahan

(schuld) dalam pidana adalah berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana atau mengandung beban pertanggung jawab pidana, yang terdiri dari kesengajaan

(dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa).

Kesalahan merupakan penilaian normatif terhadap tindak pidana, pembuatnya dan hubungan keduanya, yang dari situ dapat disimoulkan bahwa pembuatnya dapat dicela karena sebenarnya dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan tindak pidana.

Menurut Capacity theory, kesalahan merupakan refleksi dari choice

(pilihan) atau freewill (kebebasan kehendak) pembuat tindak pidana. Kesalhan merupakan kapasitas pembuat untuk mengontrol perbuatannya. Dengan kata lain, dikatakan ada kesalahan jika pembuat melakukan tindak pidana dalam kontrolnya. Ketidakmampuan mengontrol perbuatan yang berujung pada dilakukannya tindak pidana merupakan dasar untuk mencela pembuat. Dengan demikian kesalahan merupakan konsekuensi atas pilihan sebagai anggota masyarakat yang bebas sepanjang dalam koridor . Sementara pandangan lain justru melihat keslahan bukan masalah”choice”, tetapi masalah “character”. Pembuat bersalah melakukan tindak pidana bukan sebagai konsekuensi pilihannya atau wujud dari kehendak bebasnya tetapi lebih kepada karakter (jahat) yang ada pada dirinya.33

33


(46)

Seperti halnya unsur melawan , unsur kesalahan ini ada disebagian rumusan tindak pidana yakni kejahatan tertentu dengan dicantumkan secara tegas, misalnya: Pasal 104, Pasal 179, Pasal 204, Pasal 205, Pasal 362, Pasal 368, Pasal 372, Pasal 378, Pasal 406 dan Pasal 480 KUHP, dan disebagian lagi tidak dicantumkan, misalnya: Pasal 162, Pasal 167, Pasal 170, Pasal 211, Pasal 212, Pasal 289, Pasal 294 dan Pasal 422 KUHP.34

Suatu pandangan yang dikenal dengan feit materiel, terdapat dalam teori pidana. Dalam hal ini penentu adanya kesalahan dan pertanggungjawaban pidana dilakukan cukup dengan penentu meninjau apakah pembuat memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana. Dengan demikian, seseorang dapat dipertanggungjawabkan dalam pidana sepanjang dapat dibuktikan bahwa perbuatannya telah memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana yang didakwakan.35

Pandangan ini cukup lama diikuti, hingga akhirnya dirasakan tidak lagi memusakan. Ketidakpuasaan terhadap ajaran ini dimanifestasikan dalam praktek peradilan melalui Arrest hoge Raad 1916, yang dikenal dengan Water en Milk Arrest. Pada satu sisi, arrest tersebut dapat dipandang mempekenalkan alasan penghapusan kesalahan di luar yang disebut dengan “tidak ada kesalahan sama sekali”. Terdakwa dalam kasus tersebut didakwa melakukan tindak pidana yang rumusannya tidak memuat unsur kesengajaan atau kealpaan, dinyatakan tidak bersalah karena “tidak ada kesalahan sama sekali”. Padahal apabila merujuk pada

34

 Adami Chazawi, (Buku I), Op.Cit, hal.91 35


(47)

ajaran “feit materiel”, terdakwa dalam kasus tersebut dapat dipertanggung jawabkan (dapat dipidana), karena seluru isi rumusan tindak pidana telah dipenuhi.36

Pada sisi lain, arrest tersebut juga mengukuhkan suatu asas yang dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld beginsel).

Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggingjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.37

Berpangkal tolak pada asas “tiada pidana tanpa kesalaan” William mengatakan, bahwa melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah akan hal itu. Untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam pidana diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntu ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan.38

Ad 3. Pembuat yang mampu bertanggungjawab

Berdasarkan teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban tindak pidana, maka tindak pidana merupakan suatu yang bersifat eksternal dari pertanggungjawaban pembuat. Dilakukannya tindak pidana merupakan syarat

36

 Ibid 37

 Ibid 38


(48)

eksternal kesalahan. Namun demikian, selain syarat eksternal untuk adanya kesalahan, ada pula syarat internal, yaitu persyaratan yang justru terletak pada diri si pembuat. Konkritnya, kondisi si pembuatlah yang dapat dipersalahkan atas suatu tindak pidana. Syarat internal tersebut karenanya merupakan unsur pertanggungjawaban pidana.39

Dapat dipertanggung jawabkan pembuat dalam hal ini berarto pembuat memenuhi syarat untuk dapat dipertanggung jawabkan. Mengenai asa tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, mka pembuat dapat dipertanggung jawabkan jika mempunyai kesalahan. Dengan demikian keadaan batin pembuat yang normal atau akalnya mampu membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau dengan kata lain mampu bertanggungjawab, merupakan sesuatu yang berada di luar pengertian kesalahan.40

Mampu bertanggungjawab merupakan syarat kesalahan. Sementara itu, kesalahan adalah unsur pertangungjawaban pidana. Mampu bertanggungjawab merupakan masalah yang berkaitan dengan keadaan mental pembuat yang dapat dipertanggungjawabkan dalam pidana. Allen mengatakan bahwa keadaan mental pembuat termasuk dalam masalah kemampuan bertanggungjawab. Tepatnya keadaan mental pembuat yang tidak dapat dipertanggugjawabkan dalam pidana. Dalam hal ini pembuat tidak mempunyai kemampuan untuk sepenuhya menyadari atau mengerti perbuatannya. Dengan demikian, keadaan batinnya tidak normal,

39

 Chairul Huda, Op.Cit, hal.88

40


(49)

karena tidak menyadari dan mengerti bahwa perbuatannya adalah sesuatu yang tidak diharapkan masyarakat. Dalam kondisi demikian, masyarakat tidak dapat mengharapkan kepadanya untuk berbuat sesuai yang ditentukan oleh . Oleh karena itu, dirinya tidak patut untuk dinilai dapat dicela karena tindakan pidana yang dilakukannya. Pada dirinya tidak terdapat syarat adanya kesalahan. Dengan kata lain pembuat tidak mampu bertanggung jawab.41

Tidak mampu bertanggungjawab ditandai dari dua hal, yaitu jiwa yang cacat atau jiwa yang terganggu karena penyakit. Mengenai hal ini, haruslah diambil sikap, bahwa mengenai mampu bertanggungjawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk menjatuhkan pidana dan bukan hal untuk terjadinya tindak pidana. Tidak mampu bertanggungjawab adalah ketidak normalan keadaan batin pembuat, karena cacat jiwa atau gangguan penyakit jiwa, sehingga padanya tidak memenuhi persyaratan untuk diperiksa apakah patut dicela atau tidak karena perbuatannya. Dengan kata lain, seseorang dipandang mampu bertanggung jawab jika tidak ditemukan keadaan-keadaan tersebut. Tidak dapat dipertanggungjawabkan mengakibatkan tidak dapat dijatuhi pidana. Bararti, ketika ditemukan tanda (sebab) seseorang tidak mampu bertanggung jawab dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam pidana, maka proses pertanggungjawabannya berhenti sampai disini. Orang itu hanya dapat dikenakan tindakan, tetapi tidak dapat dipidana.42

41

 Ibid, hal. 91

42


(50)

D. Simons menyatakan bahwa ciri-ciri psikis yang dimiliki oleh orang yang mampu bertanggung jawab pada umumnya adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh orang yang sehat rohaninya, orang yang memiliki pandangan normal, yang dapat menerima secara normal pandangan-pandangan yang dihadapkan, yang dibawah pengaruh pandanagn tersebi\ut ia dapat menentukan adanya kehendaknya dengan cara yang normal pula.43

Moeljanto menarik kesimpulan tentang adanya kemampuan bertanggung jawab ialah pertama harus adanya kemamppuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dan yang melawanh ; kedua harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.44

KUHP di seluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab, yang diatur adalah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggung jawab.45 Hal ini dapat dilihat dalam rumusan KUHP Pasal 44 ayat (1): “Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum”.

Ad 4. Tidak ada alasan pemaaf

Mengenai istilah-istlah alasan pembenar dan alasan pemaaf tidak ada disebutkan dalam KUHP. Dalam teori pidana, yang dimaksud dengan alasan

43

 Adami Chazawi, (Buku I), Op.Cit, hal.144

44 Ibid

45


(51)

pembenar yaitu alasan yang mengahapuskan sifat melawan nya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Sedangkan alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan , jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi ia tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.46

Pembuat tidak dapat berbuat lain yang berujung pada terjadinya tindak pidana dalam keadaan-keadaan tertentu, sekalipun sebenarnya tidak diinginkannya. Dalam kejadian tersebut, tidak pada tempatnya apabila masyarakat masih mengharapkan pada yang bersangkutan untuk tetap berada pada jalur yang telah ditetapkan , dengan kata lain, terjadinya tindak pidana ada kalanya tidak dapat dihindari oleh pembuat, karena sesuatu yang berasal dari luar dirinya.47

Faktor eksternal yang menyebakan pembuat tidak dapat berbuat lain mengakibatkan kesalahannya menjadi terhapus. Artinya, pada diri pembuat terdapat alasan penghapus kesalahan. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana masih ditunggukan sampai dapat dipastikan tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan pembuat. Sekalipun pembuatnya dapat dicela, tetapi dalam hal-hal tertentu celaan tersebut menjadi hilang atau selaan tidak dapat diteruskan terhadapnya, karena pembuat tidak dapat berbuat lain selain melakukan perbuatan itu.48

46

 Moeljatno, Op.Cit, hal.137 47

 Chairul Huda, Op.Cit, hal.188

48


(52)

Kesengajaan adalah pertanda kesalahan yang utama, alasan penghapus kesalahan selalu tertuju pada tekanan dari luar yang ditujukan pada kehendak bebas pelaku, sehingga memaksanya melakukan tindak pidana. Tekanan dari luar diri pelaku ini lah yang dikatakan sebagai kondisi luar pelaku yang tidak normal. Kondisi tersebut menekan batin pembuat, sehingga kehendaknya tidak lagi bebas. Kehendak yang tidak bebas inilah yang kemudian berakibat pada dilakukannya tindak pidana dengan sengaja, tetapi hal itu tidak dapat dicelakan padanya.49

Tidak dapat dicelanya pembuat karena memiliki alasan pemaaf ketika melakukan tindak pidana, berkaitan dengan pengertian kesalahan dalam hubungannya dengan fungsi preventif maupun represif pidana. Adanya alasan pemaaf menyebabkan pembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak dapat dipidana.50

Yang dipandang sebagai alasan pembenar dalam titel 3 buku I KUHP adalah Pasal 49 ayat (1) mengenai pembelaan terpaksa (noodweer), Pasal 50 mengenai melaksanakan ketentuan , Pasal 51 ayat (1) tentang melaksanakan perintah dari pihak atasan. Sedangkan yang dianggap sebagai alasan pemaaf adalah Pasal 49 ayat (2) tentang pembelaan yang melampaui batas, Pasal 51 ayat (2) (alasan penghapus) penuntutan pidana tentang perintah jabatan yang tanpa wewenang. Sedangkan tentang Pasal 48 yang dinamakan daya paksa (overmacht)

ada yang mengatakan, daya paksa ini sebagai alasan pembenar dan ada pula yang mengatakan bahwa ini ada alasan pemaaf. Disamoing itu, ada pendapat ketiga

49

 Ibid, hal.120

50


(53)

yang mengatakan bahwa Pasal 48 itu mungkin ada alasan pembenar dan mungkin pula ada alasan pemaaf.51

3. Pengertian Merek

Merek adalah sesuatu (gambar atau nama) yang dapat dugunakan untuk mengidentifikasi suatu produk tau perusahaan di pasaran. Pengusaha biasanya berusaha mencegah orang lain menggunakan merek karena dengan menggunakan merek, para pedagang memperoleh reputasi baik dan kepercayaan dari para konsumen serta dapat membangun hubungan antara reputasi tersebut dengan merek yang telah digunakan perusahaan secara reghular. Semua hal diatas tentunya membutuhkan pengorbanan waktu, tenaga dan uang.

Dalam Pasal 1 butir 1 Merek 2001 diberikan suatu definisi tentang merek yaitu: tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Selain menurut batasan yuridis beberapa sarjana ada juga memberikan pendapatnya tentang merek, yaitu:

1. H.M.N Purwo Sutjipto, S.H., memberikan rumusan bahwa, “Merek adalah suatu tanda, dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis”.

2. Prof. R. Soekardono, S.H., memberikan rumusan bahwa, “Merek adalah sebuah tanda (Jawa: ciri atau tengger) dengan mana dipribadikan sebuah

51


(54)

barang tertentu, dimana perlu juga dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitetnya barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain”.

3. Mr. Tirtaamidjaya yang mensitir pendapat Prof. Vollmar, memberikan rumusan bahwa, “Suatu merek pabrik atau merek perniagaan adalah suatu tanda yang dibubuhkan di atas barang atau di atas bungkusannya, gunanya membedakan barang itu dengan barang-barang yang sejenis lainnya.”

4. Drs. Iur Soeryatin, mengemukakan rumusannya dengan meninjau merek dari fungsinya, yaitu; “Suatu merek dipergunakan untuk membedakan barang yang bersangkutan dari barang sejenis lainnya oleh karena itu, barang yang nersangkutan dengan diberi merek tadi mempunyai: tanda asal, nama, jaminan terhadap mutunya”.

5. Essel R. Dillavou, Sarjana Amerika Serikat, sebagaimana dikutip oleh Pratasius Daritan, merumuskan seraya memberi komentar bahwa: No complete definition can be given for a trade mark generally it is any sign, symbol mark, work or arrangement of words in the form of a label adopted and used by a manufacture of distributor to designate his particular goods, and which no pther person has the legal right to use it. Originally, th sign or trade mark, indicated origin, but today it is used more as an adverstising mechanism.


(55)

(Tidak ada definisi yang lengkap yang dapat diberikan untuk suatu merek dagang, secara umum adalah suatu lambang, simbol, tanda, perkataan atau susunan kata-kata di dalam bentuk suatu etiket dikutip dan dipakai oleh seseorang pengusaha atau distributor untuk menandakan barang-barang khususnya, dan tidak ada orang lain mempunyai hak sah untuk memakainya desain atau trade mark menunjukkan keaslian tetapi sekarang itu dipakai sebagai suatu mekanisme periklanan).

6. Harsono Adisumarto, S.H., MPA, merumuskan bahwa: Merek adalah tanda pengenal yang membedakan milik seseorang dengan milik orang lain, seperti pada pemilikan ternak dengan memberi tanda cap pada punggung sapi yang kemudian dilepaskan di tempat pengembalaan bersama yang luas. Cap seprti itu memang merupakan tanda pengenal untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah milik orang tertentu. Biasanya, untuk membedakan tanda tau merek yang digunakan inisial dari mana pemilik sendiri sebagai tanda pembeda.

7. Philip S. James MA, Sarjana Inggris, menyatakan bahwa: A trade mark is used in conextion with goods which a trader uses in order to lignity that a certain type of good are his trade need not be the actual manufacture of goods, in order to give him the right to use a trade mark it will suffice if they marely pass trough his hand is the courese of trade.

(Merek adalah suatu tanda yang dipakai oleh seseorang pengusaha atau pedagang untuk menandakan bahwa suatu bentuk tertentu dari barang-barang kepunyaannya, pengusaha atau pedagang tersebut tidak perlu pengahasilan


(56)

sebenarnya dari barang-barang itu, untuk meberikan kepadanya hak untuk memakai sesuatu merek, cukup memadai jika barang-barang itu ada di tangannya dalam lalu lintas perdagangan).

Dari pendapat-pendapat sarjana tesebut, maupun dari peraturan merek itu sendiri, secara umum dapat disimpulkan bahwa merek adalah suatu tanda (sign) untuk membedakan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan atau diperdagangkan seseorang atau kelompok orang atau badan dengan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan oleh orang lain, yang memiliki daya pembeda mauoun sebagai jaminan atas mutunya dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

F. METODE PENULISAN

Dalam pembahasan skripsi ini, metode penelitian yang digunakan penulis meliputi :

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian normatif. Dalam hal penelitian normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan peran dan bahan yang berhubungan serta penulis menganalisis kasus yang berkaitan dengan judul skripsi ini yaitu Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Penjual Kaca Film Merek Palsu dan Upaya Penanggulangannya (Studi Putusan No. 555/Pid. B./ 2008/ PN. Bpp).

2. Data dan Sumber Data

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan data sekunder, yang diperoleh dari:


(57)

a. Bahan primer, yaitu bahan yang telah ada dan yang berhubungan dengan skripsi penulis yang terdiri dari UNDANG-UNDANG 1945 serta peraturan peran lain yang terkait dengan bahan primer yang terdiri dari rancangan , buku, pendapat para sarjana, hasil penelitian dan kasus-kasus yang terkait dengan pembahasan judul skripsi ini yaitu mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap penjual kaca film merek palsu dan upaya penanggulangannya.

b. Bahan sekunder yang terdiri dari Kamus , Ensiklopedia, dan lainnya.

c. Bahan tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan primer.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi. Tujuan penelitian kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data sekunder yang meliputi peraturan peran, buku, majalah, surat kabar, situs internet maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) akan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.


(58)

G. Sistematika Penelitian

Sistem penulisan dalam skripsi ini terbagi dalam beberapa bagian yang disebut dengan bab dimana masing-masing bab merupakan penjelasan dari jawaban permasalahan skripsi ini, namun bab tersebut masih dalam konteks yang berkaitan satu sama lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 4 (empat) bab yang terperinci sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Menggambarkan hal-hal yang bersifat umum, yang memuat mengenai alasan atau latar belakang pemilihan judul, lalu dilanjutkan dengan permasalahan, keaslian penulisan, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan dan metode penelitian.

Bab II Perbuatan-Perbuatan Yang Termasuk Dalam Ruang Lingkup Tindak Pidana Di Bidang Merek

Dalam bab ini diuraikan mengenai perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam ruang lingkup pidana di bidang merek sebelum UNDANG-UNDANG No. 15 Tahun 2001 dan menurut UNDANG-UNDANG No. 19 Tahun 1997 Jo UNDANG-UNDANG No. 15 Tahun 2001 tentang merek.

Bab III Upaya Yang Dapat Dilakukan Dalam Penaggulangan Tindak Pidana Pemalsuan Merek

Dalam bab ini diuraikan mengenai penanggulangan tindak pidana pemalsuan merek melalui upaya penal dan upaya non penal.


(59)

Bab IV Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Penjual Kaca Film Merek Palsu (Studi Putusan NO. 555/ Pid.B/ 2008/ Pn. Bpp)

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai kasus posisi dimulai dari kronoligis, dakwaan, fakta , tuntutan, perimbangan hakim dan putusan serta kan dibahas juga mengenai analisi putusan.

Bab V Penutup

Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang merumuskan suatu kesimpulan dari pembahasan permasalahan yang dilanjutkan dengan memberikan beberapa saran yang diharapkan akan dapat berguna bagi para pembaca baik secara teori maupun di dalam prakteknya.


(1)

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Perkembangan pengaturan tentang tindak pidana di bidang merek di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Pada masa penjajahan Belanda mengenai merek ada diatur dalam “Reglement Industriele Eigendom Kolonien” stb. 1912-545 jo stb.1913-214.

b. Pada masa penjajahan Jepang mengenai merek ada diatur dalam Osamu Seirei Nomor 30 tentang Menyambung Pendaftaran Cap Dagang yang mulai berlaku pada tanggal 1 bulan 9 tahun Syowa (2603).

c. Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan yang diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1961 dan dimuat dalam lembaran Negara RI No. 290 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara RI No. 2431 yang mulai berlaku pada bulan November 1961.

d. Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang No. 14 Tahun 1997, serta kemudian dirubah lagi menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2001.


(2)

2. Konsep pertanggung jawaban pidana dalam tindak pidana dibidang merek pada dasarnya adalah sama dengan konsep pertanggung jawaban pidana dalam pidana umum. Dalam rumusan Pasal 94, dapat dilihat adanya unsur kesalahan yaitu kesengajaan sudah dianggap ada meskipun tidak ada menyebut secara langsung unsur “dengan sengaja”, tetapi sebenarnya dalam pasal tersebut secara tersirat menyebut unsur “dengan sengaja”.

3. Pada kasus ini terdakwa Ni Wayan Sudiani anak dari Made Narka, di dakwa oleh Jaksa Penuntu Umum dengan dakwaan primair yang diatur dalam Pasal 94 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Kasus ini telah diputus oleh Pengadilan Negeri Balikpapan, dimana Terdakwa Ni Wayan Sudiani anak dari Made Narka dinyatakan bersalah karena telah melakukan memperdagangkan barang dan/atau jasa milik yang diketahuinya keseluruhan merek tersebut terdaftar untuk pihak lain di dalam dakwaan primair. Dimana Terdakwa Ni Wayan Sudiani anak dari Made Narka dijatuhi an berupa pidana kurungan selama 4 (empat) bulan dan membayar denda sebesar Rp 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah).

Jika dilihat dari segi keadilan, sanksi yang dijatuhkan oleh Hakim kepada Terdakwa Ni Wayan Sudiani anak dari Made Narka kurang memberikan keadilan. Putusan yang dijatuhi terhadap terdakwa terlau ringan mengingat bahwa korban dalam hal ini PT V-Kool Indo Lestari mengalami kerugian yang cukup besar.

Dari segi kemanfaatan pun putusan yang dijatuhkan kepada Terdakwa Ni Wayan Sudiani anak dari Made Narka kurang member manfaat baik dari segi


(3)

masyarakat maupun bagi pelakunya itu sendiri. Dalam hal ini sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku cukup ringan sehingga kurang memberikan efek jera kepada pelaku itu sendiri dan tidak memberikan efek rasa takut di dalam masyarakat.

B. SARAN

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka penulis dalam kesempatan ini memberikan beberapa saran atau masukan kepada pihak-pihak yang terkait sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap penjual kaca film merek palsu, yaitu:

a. Peraturan perundang-undangan yang ada khususnya mengenai merek telah mencerminkan adanya perlindungan terhadap masyarakat, akan tetapi hal ini masih dirasakan kurang. Hal ini disebabkan karena sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana merek itu masih terlalu ringan. Mengingat kerugian yang dimiliki atau yang harus ditanggung oleh korban sangat besar. Untuk itu kepada Pemerintah diharapkan untuk dapat melakukan revisi atau pembaharuan atau mengganti peraturan perundang-undangan yang telah ada dalam hal ini peraturan perundang-undangan mengenai merek, sehingga tujuan pembangunan untuk melindungi seluruh lapisan masyarakat dan mensejahterahkan rakyat dapat terlaksana.

b. Dalam hal telah terjadinya pelanggaran dan kejahatan dalam bidang merek, maka diperlukan adanya aparatur pemerintahan yang aktif serta memiliki pengetahuan yang cukup ataupun lebih luas mengenai merek. Hal ini


(4)

bertujuan untuk mencegah terjadinya ataupun mengatasi segala bentuk pelanggaran maupun kejahatan dalam bidang merek. Oleh karena itu kiranya para aparutur pemerintahan lebih membekali aparaturnya dengan ilmu pengetahuan ataupun pendidikan yang lebih memadai serta perlengkapan yang sesuai dengan bidangnya, dengan demikian para aparatur tersebut dapat melaksanakan seluruh tugasnya dengan sebaik-baiknya.

c. Dalam hal penegakan terhadap suatu pelanggaran maupun kejahatan, hendaknya diperlukan peran serta yang aktif dari masyarakat. Oleh karena itu dalam hal ini peran serta masyarakat juga diperlukan untuk membantu pemerintah dan aparaturnya dalam hal memberikan setiap informasi yang telah diketahuinya tentang terjadinya pelanggaran maupun kejahatan dilingkungan sekitar mereka.

d. Pemerintah juga hendaknya lebih meningkatkan sosialisasi terhadap seluruh masyarakat untuk mau menggunakan produk-produk yang bermerek asli.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Adisumitro, Harsono, 199, Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek. Akademika Pressindo, Jakarta.

Chazawi, Adami, 2001, Pelajaran Pidana Bagian I. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Djubaedillah, Djumhana, 2003, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Farid Zainal Abidin, 2007, Pidana I. Sinar Grafika, Jakarta.

Gautama, Sudargo, 1994. Hak Milik Intelektual Indonesia dan Perjanjian TRIPS, GATT,Putara Uruguay. PT Citra Aditya Bakti, Jakarta.

Hamzah, Andi, 1994, Asas-Asas Pidana. Rineka Cipta, Jakarta.

Jubaedal, Syarifin, 2004, Peraturan HAKI, Pustaka Bani Quraisy, Bandung. Lamintang, PAF, 1997, Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Pidana yang Berlaku

di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Miru Ahmad, 2005, Merek Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Moeljatno, 2002, Asas-Asas Pidana. Rineka Cipta, Jakarta.

Rizwanto, Sudargo Gautama, 1994. Komentar Atas Undang-Undang Merek Baru 1992 dan Peraturan-Peraturan Pelaksnaannya. Alumni, Bandung. Saidin, 1995, Aspek Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right). PT


(6)

Supramono, Gatot, 1996, Pendaftaran Merek Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992. Djambatan, Jakarta.

Suryoningrat R.M, 1984, Pengantar Ilmu Merek. Pradnya Paramita, Jakarta. Riswandi Budi, 2004, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya . PT RajaGrafindo,

Jakarta.

Tim Lindsey, 2006, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. PT Alumni, Bandung.

Usman, Rachmadi, 2003, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual. PT Alumni, Bandung.

B. Undang-Undang

Undang-Undang Merek mulai dari Undang-Undang No. 21 Tahun 1961, Undang-Undang No. 19 Tahun 1992, Undang-Undang No. 14 Tahun 1997, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001.

Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP)

C. Internet