Pengaturan Hukum Terkait Hak Konsumen Dalam Memperoleh Produk Makanan Halal

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK KONSUMEN DALAM

MEMPEROLEH PRODUK MAKANAN HALAL

A. Pengaturan Hukum Terkait Hak Konsumen Dalam Memperoleh Produk Makanan Halal

Secara nasional perihal pengaturan hukum terkait hak konsumen dalam memperoleh makanan halal adalah: 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan Didalam UU No. 7 tahun 1996 beberapa pasal berkaitan dengan masalah kehalalan produk pangan, yaitu dalam Bab label dan iklan pangan pasal 30, 34, dan 35. 3. PP No. 691999 tentang Label dan Iklan Pangan Ada dua pasal yang berkaitan dengan sertifikasi halal dalam PP No. 69 ini yaitu pasal 3, ayat 2, pasal 10 dan 11. Universitas Sumatera Utara 4. Kepmenkes No. 924MenkesSKVIII1996 tentang perubahan atas Kepmenkes No. 82MenkesSKI1996 tentang Pencantuman Tulisan ”Halal” pada Label Makanan. Sedangkan berdasarkan agama maka pengaturan hukum terkait hak konsumen dalam memperoleh makanan halal adalah berdasarkan Al-Quran dan Hadis Nabi. Dari tinjauan pustaka sebagaimana diterangkan terdahulu terlihat bahwa soal halal selalu dikaitkan dengan kepentingan konsumen muslim. Pencantuman label halal produk diberikan bila pelaku usaha menyatakan produk yang diperdagangkannya halal dikonsumsi oleh konsumen muslim. Memang masalah halal-haram sangat peka bagi umat islam, dan dapat dikatakan soal ini menjadi salah satu norma yang ingin ditegakkan oleh Islam dalam kehidupan di dunia ini. Dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, sensitivitas ini kembali terusak ketika kasus ajinomoto mencuat dengan ditemukannya enzim babi dalam proses pembuatannya. Seperti telah disinggung dalam Islam selain daging babi diharamkan juga memakan bangkai, darah dan daging hewan yang disembelih tanpa menurut ketentuan Hukum Islam, yaitu disembelih tanpa menyebut nama Allah Q.S. Al-Baqarah : 173. Haramnya bangkai, darah dan daging babi ini karena Allah telah memberi sifat kotor kepadanya Q.S. AL-An’am : 145. Allah menghalalkan segala yang baik dan mengharamkan segala yang buruk 51 Universitas Sumatera Utara atau kotor Q.S. Al-A’raf: 157. 38 Persoalan haram sebenarnya tidak hanya dalam makna bendanya saja bangkai, darah dan babi, tetapi juga subtansi binatangnya, yaitu cara penyembelihan yang tidak islami. Allah telah mengharamkan atas umat islam memakan semua hewan yang disembelih tidak dengan menyebut nama Allah Dengan sifat kotor itu, Allah telah mengharamkan daging babi, dan keharamannya itu berlaku secara umum yaitu meliputi semua organ tubuh yang terdapat pada hewan babi. Sehingga produk yang menggunakan bagian dari tubuh babi, seperti : minyak dan lemak babi, hukumnya sama dengan memakan babi. Pengharaman tersebut tidak hanya daging babi saja, tetapi juga semua makanan yang diproses dengan lemak babi. Ilmu pengetahuan modern telah mengungkapkan banyak penyakit yang disebabkan mengkonsumsi daging babi. Memakan daging babi dapat terjangkiti cacing babi tidak hanya berbahaya, tetapi juga dapat menyebabkan meningkatnya kolestrol, memperlambat proses penguraian protein dalam tubuh yang menyebabkan kemungkinan terserang kanker usus, dan juga menyebabkan iritasi kulit, ekstrim dan rematik. Cacing pita yang banyak terkandung dalam daging babi, banyak menimbulkan dan mendatangkan berbagai jenis penyakit di tengah-tengah manusia yang mengkonsumsinya. Jenis penyakit tersebut antara lain perut, kepala panas, sesak napas dan epilepsi serta penyakit tulang dan otot. 38 Ahmad Dimyati Badruzzaman, Umat Bertanya Ulama Menjawab, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2002, hal. 23 Universitas Sumatera Utara atau yang disembelih atas nama selain Allah. Karena itu Allah telah melarang umat-Nya memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama-Nya ketika menyembelih, dan perbuatan itu merupakan kefasikan. Penyembelihan yang sesuai dengan syari’at Islam harus juga menjadi jaminan bagi konsumen muslim, sehingga tidak ada keraguan untuk mengkonsumsinya. Penyembelihan yang islami, tidak saja memperhatikan cara penyembelihannya, tetapi juga penyembelihnya harus muslim. Penyembelihan yang dilakukan oleh orang-orang selain muslim mengakibatkan tidak sah penyembelihannya. Karena itu, pelaku usaha harus memberi informasi yang jelas mengenai persoalan ini, dan orang-orang Islam wajib menjaga dan berhati-hati dari bentuk makanan kemasan yang sudah tersedia, sehingga selamat dari bentuk makanan yang tidak halal. Penanganan halal tidak dapat dapat dilepaskan dari kepentingan konsumen muslim, karena masalah ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan hukum syari’at Islam. Hukum Islam yang dapat ditelusuri dari Firman Allah dalam Qur’an telah menetapkan beberapa pengetahuan mengenai segala yang dihalalkan maupun diharamkan untuk manusia. Sesungguhnya hukum halal dan haram dalam agama Islam erat kaitannya dengan perilaku umat manusia dalam segala bentuk hubungan antar manusia muamalah, termasuk juga dalam menentukan makanan serta minuman. Dalam lingkup bernegara seperti di Indonesia, beberapa bidang Hukum Islam, terutama menyangkut bidang muamalah telah diarahkan dan diberi Universitas Sumatera Utara tempat dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Artinya negara telah ikut campur tangan dalam mengatur dan melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum Islam. Proses formalisasi hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan merupakan perjuangan panjang masyarakat Islam untuk menempatkan bidang- bidang hukum Islam dalam tata hukum Indonesia dan kini hukum Islam menjadi bagian tak terpisahkan dari hukum nasional. Tidak semua ahli menyetujui adanya formalisasi hukum Islam. Alasannya adalah dengan formalisasi Islam akibatnya negara akan diberi otoritas sebagai pemaksa untuk menjalankan hukum agama. Tetapi meskipun demikian ada sebagian sarjana setuju dengan pelaksanaan formalisasi. Dikatakan lagi bukan hanya dalam Islam, tetapi semua isme juga membutuhkan formalisasi yang kemudian melibatkan negara, sebagai kekuasaan untuk memaksakan berlakunya suatu hukum atau syariah. Penerapan hukum islam yang dikaitkan dengan kekuasaan atau keberadaan negara dapat dilihat dalam tiga kemungkinan, yaitu: Pertama, sebagian membutuhkan kekuasaan negara untuk pelaksanaannya. Kedua, sebagian tidak membutuhkannya , dan ketiga, sebagian lainnya berada antara membutuhkan dan tidak membutuhkannya tergantung kepada situasi. Perkembangan yang terjadi di indonesia melihatkan kecenderungan formalisasi ini kan terus berjalan pada masa-masa mendatang. Bahkan perkembangan yang terjadi menunjukkan pembagian hukum islam kepada ibadah dan Universitas Sumatera Utara muamalah dalam kekuasaan negar tidak lagi tepat untuk sekarang.Hal ini terlihat dari pengaturan masalah zakat dan haji yang selama ini dipandang sebagai bagian ibadah yang banyak tergantung pada ketaatan individu muslim dalam pelaksanaannya, kini telah diatur dan diberi landasan hukum, yaitu UU No.38 Tahun 1999 tentang Zakat dan UU No. 17 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Ibadah Haji. Kedua jenis ibadah ini menyangkut dan menyentuh kepentingan banyak orang yang berarti keduanya telah memasuki cakupan muamalah, dan karena itu perlu ada undang-undang sebagai aturan khusus yang dapat menjalin pelaksanaannya, sehingga tidak ada hak-hak orang lain yang melanggar dan dirugikan. Demikian pula halnya dalam penerapan halal-haramnya penganan untuk konsumen muslim perlu adanya formalisasi hukum dalam pengaturannya, agar hak-hak konsumen muslim tidak dilanggar dan dapat terpelihara, sehingga terjaga keamanan, keselamatan serta kesehataannya dalam mengkonsumsi pangan yang diperdagangkan.

B. Bentuk Pengawasan Yang Bisa Dilakukan Oleh Masyarakat Terhadap Produk Makanan Halal