makan. 2. Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir, maksudnya
adalah darah yang keluar pada waktu penyembelihan mengalir sedangkan darah yang tersisa setelah penyembelihan yang ada pada daging setelah
dibersihkan dibolehkan. Dua macam darah yang dibolehkan yaitu jantung dan limpa.
3. Babi, apapun yang berasal dari babi hukumnya haram baik darahnya, dagingnya, maupun tulangnya.
4. Binatang yang ketika disembelih menyebut selain nama Allah. Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat produk pangan halal
menurut syariat Islam adalah : a. Halal dzatnya
a. Halal cara memperolehnya b. Halal dalam memprosesnya
c. Halal dalam penyimpanannya d. Halal dalam pengangkutannya
e. Halal dalam penyajiannya.
34
B. Kriteria Makanan Halal
Pengertian kehalalan makanan bisa di kategorikan menjadi dua yaitu
34
Bagian proyek sarana dan prasarana produk halal, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tanya Jawab Seputar Poduki Halal, Jakarta, 2003,
hal. 17
Universitas Sumatera Utara
halal dalam mendapatkannya dan halal dzat atau subtansi barangnya. Halal dalam mendapatkannya maksudnya adalah benar dalam mencari dan
memperolehnya. Tidak dengan cara yang haram dan tidak pula dengan cara yang batil. Jadi, makanan yang pada dasar dzatnya halal namun cara
memperolehnya dengan jalan haram seperti; mencuri, hasil korupsi dan perbuatan haram lainnya, maka secara otomatis berubah status hukumnya
menjadi makanan haram. Namun penelitian ini hanya akan membahas tentang makanan halal dari segi dzatnya atau subtansi barangnya.
Makanan halal secara dzatiyah subtansi barangnya, menurut sayyid sabiq dibagi dalam dua kategori, yaitu jamad benda matidan hayawan
binatang.
35
3. Dalam proses, menyimpan dan menghidangkan tidak bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang tidak memenuhi persyaratan sebagai
mana huruf a, b, c, dan d di atas atau benda yang dihukumkan sebagai najis Yang termasuk makanan dan minuman yang halal adalah :
1. Bukan terdiri dari atau mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh ajaran Islam untuk memakannya atau yang tidak disembelih
menurut ajaran Islam. 2. Tidak mengandung sesuatu yang digolongkan sebagai najis menurut ajaran
Islam.
35
Thobieb Al-asyhar, Bahaya Makanan Haram bagi Kesehatan Jasmani Dan Rohani, Jakarta, Al Mawardi Prima, 2003, hal.125.
Universitas Sumatera Utara
menurut ajaran Islam.
36
C. Label Halal Sebagai Wujud Perlindungan Konsumen
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 pada dasarnya merupakan piranti hukum yang melindungi konsumen, dan dapat mendorong iklim berusaha yang
sehat untuk mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan yang semakin kompetitif melalui penyediaan barang dan jasa yang
berkualitas. Selanjutnya juga merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.
Sebagai dasar hukum penegakan hak-hak konsumen, maka Undang- Undang No. 8 Tahun 1999 bertujuan menciptakan sistem perlindungan
konsumen atas dasar keterbukaan informasi dan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha betapa pentingnya perlindungan konsumen, sehingga tumbuh
sikap jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha untuk menghasilkan barang dan jasa yang dapat menjamin kenyamanan, keamanan dan keselamatan
konsumen. Bagaimanapun juga konsumen mempunyai satu kekuatan dan kekuatan ini di Indonesia adalah konsumen muslim sebagai pemeluk agama
mayoritas. Pelaku usaha atau produsen sangat berkepentingan sekali terhadap konsumen muslim ini, sehingga mereka harus senantiasa mempertimbangkan
produknya dari segala sesuatu yang bertentangan dengan agama Islam, termasuk soal halal dan haram. Produsen akan merasa ketakutan atau
36
Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Op.Cit. hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
kelabakan bila produknya diboikot oleh konsumen muslim, karena dinyatakan tidak halal atau haram.
“Karena itu perlu penyadaran terhadap konsumen muslim dalam menggunakan haknya sebagai muslim terhadap produk yang diperolehnya di Pasar”.
37
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi dirinya sendiri, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 disyahkan pada tanggal 20 April
1999 dan berlaku sejak tanggal diundangkan tersebut. Oleh Undang-Undang ini yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen Pasal 1 ayat 1. Adapun tujuan perlindungan konsumen ini
adalah:
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang danatau jasa, 3.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab
37
Abdul Hamid Mahmud Thihmaz, Hidangan Halal Haram Keluarga Muslim, Cendekia Sentra Muslim, Jakarta, 2001, hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
dalam berusaha, 6.
Meningkatkan kualitas barang danatau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan
dan keselamatan konsumen. Meskipun Undang-Undang perlindungan konsumen lebih banyak
memberikan perhatian atau kepedulian kepada kepentingan konsumen, namun tidak berarti mengabaikan kepentingan pelaku usaha. Paling tidak hal ini
tergambar dari adanya aturan tentang hak-hak pelaku usaha serta asas-asas perlindungan konsumen. Harus pula diakui kepentingan antara konsumen
dengan pelaku usaha adalah berbeda, baik terhadap penggunaan barang atau jasa maupun pelaksanaan kegiatannya.
Kepentingan konsumen yang menonjol adalah perlindungan bagi keamanan jiwa, kesehatan tubuh yang tidak membahayakan diri, keluarga atau
rumah tangganya dan harta benda. Semantara bagi kalangan pelaku usaha perlindungan itu berkaitan dengan kepentingan komersial mereka dalam
menjalankan usaha, seperti mendapatkan bahan baku, bahan tambahan dan penolong. Termasuk juga cara memperoduksi, mengangkut dan
memasarkannya serta menghadapi persaingan usaha. Dari kaca pandang hukum perlindungan konsumen berkaitan erat
dengan perlindungan hukum, sehingga materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum
terhadap hak-hak konsumen. Dalam konteks ini Undang-Undang No. 8 Tahun
Universitas Sumatera Utara
1999 telah mengatur secara eksplisit mengenai hak-hak dan kewajiban konsumen serta hak dan kewajiban-kewajiban pelaku usaha. Hak dan
kewajiban ini merupakan antinoni dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha pada dasarnya menjadi hak konsumen. Hak-hak konsumen diatur lebih
banyak dari hak pelaku usaha, sedang kewajiban pelaku usaha lebih banyak daripada kewajiban konsumen. Hak dan kewajiban kewajiban konsumen diatur
dalam Pasal 4 – 5 semantara hak dan kewajiban pelaku usaha terdapat dalam Pasal 6 – 7.
Bila diperhatikan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa menjadi hak yang paling utama dalam
perlindungan konsumen. Dalam melaksanakan hak ini, konsumen bebas untuk memilih barang atau jasa yang diinginkan berdasarkan informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang-barang atau jasa yang digunakan, dan bila merasa dirugikan, konsumen berhak mendapatkan
advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa secara patut, bahkan sampai pada konpensasi dan ganti rugi.
Sementara itu kewajiban pelaku usaha yang dapat dilihat sebagai manifestasi konsumen menekankan tuntutan terhadap itikad baik pelaku usaha
dalam melakukan kegiatan usahanya. Itikad baik ini dikaitkan dengan kewajiban lainnya berupa penjaminan mutu, memberi kesempatan bagi
konsumen untuk menguji dan memberi jaminan atas barang yang dibuat atau diperdagangkan, serta kewajiban memberi kompensasi dan ganti rugi kepada
Universitas Sumatera Utara
konsumen. Selain itu dalam rangka perlindungan konsumen, Undang-Undang No.
8 Tahun 1999 telah menetapkan secara detail beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan pelaku usaha dalam kegiatan usahanya. Diantaranya adalah
larangan memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualannya. Juga larangan tidak memberi informasi secara lengkap dan benar yang berkaitan dengan produksi yang diperdagangkan, seperti
barang rusak, cacat dan tercemar atau barang bekas. Bahkan memberi informasi yang benar, jelas dan jujur ini merupakan kewajiban pelaku usaha
terhadap konsumen. Larangan juga dilakukan bagi pelaku usaha yang tidak mengikuti
ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label. Larangan ini berarti, adanya label halal merupakan
kewajiban yang harus dicantumkan bila pelaku usaha menyatakan produk yang dihasilkannya adalah halal dikonsumsi bagi Umat Islam. Karena itu, pelaku
usaha harus memenuhi segala ketentuan berproduksi secara halal. Karena itu pelaksanaan pensertifikatan atas suatu produk untuk dinyatakan halal
merupakan suatu keharusan sebelum suatu produksi sampai ke tangan konsumen. Karena hal tersebut merupakan suatu dasar diterapkan hak-hak
konsumen khususnya konsumen yang beragama Islam.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK KONSUMEN DALAM