muamalah dalam kekuasaan negar tidak lagi tepat untuk sekarang.Hal ini terlihat dari pengaturan masalah zakat dan haji yang selama ini dipandang
sebagai bagian ibadah yang banyak tergantung pada ketaatan individu muslim dalam pelaksanaannya, kini telah diatur dan diberi landasan hukum, yaitu UU
No.38 Tahun 1999 tentang Zakat dan UU No. 17 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Ibadah Haji. Kedua jenis ibadah ini menyangkut dan
menyentuh kepentingan banyak orang yang berarti keduanya telah memasuki cakupan muamalah, dan karena itu perlu ada undang-undang sebagai aturan
khusus yang dapat menjalin pelaksanaannya, sehingga tidak ada hak-hak orang lain yang melanggar dan dirugikan.
Demikian pula halnya dalam penerapan halal-haramnya penganan untuk konsumen muslim perlu adanya formalisasi hukum dalam
pengaturannya, agar hak-hak konsumen muslim tidak dilanggar dan dapat terpelihara, sehingga terjaga keamanan, keselamatan serta kesehataannya
dalam mengkonsumsi pangan yang diperdagangkan.
B. Bentuk Pengawasan Yang Bisa Dilakukan Oleh Masyarakat Terhadap Produk Makanan Halal
Bentuk pengawasan yang dapat dilakukan oleh masyarakat terhadap produk makanan halal adalah dengan cara melakukan pelaporan kepada badan
yang berwenang apabila menemukan suatu makanan yang memiliki label atau sertifikat halal tetapi kenyataannya dalam produk tersebut terdapat unsur yang
Universitas Sumatera Utara
tidak halal. Hal ini mengkondisikan suatu hal bahwa bentuk pengawasan yang
dilakukan oleh masyarakat tersebut harus diikuti dengan pembuktian terhadap produk halal ternyata memiliki unsur yang tidak halal.
Soal halal haram memang sangat sensitif bagi umat Islam. Allah mengajurkan umatnya untuk mencari rezeki dan makanan yang halal melalui
cara yang halal pula. Barang siapa meremehkan hal ini, maka ia akan keluar dari agama seperti anak panah yang melesat dari busurnya, sedang ia tidak
merasakannya. Biasanya bila menyangkut kata haram, kerap kita dengar adalah babi, minuman keras khamar, dan judi maisir. Sesungguhnya
makanan yang haram telah disebut Allah dalam berbagai firmannya, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang disembelih dengan
menyebut nama selain Allah Q.S. Al-Maidah : 3, An-Nahl : 115. Allah juga telah memperingatkan agar umat-Nya jangan sekali-kali mengharamkan yang
telah dihalalkannya Q.S. Al-Maidah : 87. Meskipun dikatakan memakan babi telah jelas keharamannya, namun
timbul perbedaan ketika babi tersebut diolah berdasarkan ilmu pengetahuan. Paling tidak perbedaan ini terlihat dalam kasus ajinomoto. Pertama,
berpendapat haram, karena proses pengolahannya telah bercampur dan memanfaatkan bahan yang berasal dari pankreas babi. Kedua, berpendapay
halal, karena produk akhir yang dikonsumsi bebas babi. Enzim porcine hanya sebagai katalisator dan tidak terbawa dalam produk akhir. Pendapat ketiga,
Universitas Sumatera Utara
pilihan diserahkan pada keyakinan konsumen muslim untuk mau mengkonsumsi atau tidak.
Bagi umat Islam, persoalan utama adalah jaminan bahwa bahan makanan yang dikonsumsinya bebas dari barang haram. Kasus Ajinomoto
membuktikan bahwa pemberian sertifikat dan label halal yang diberikan MUI dan instansi terkait belum memberikan jaminan tersebut. Karena itu, harus
senantiasa diikuti dengan pengawasan secara priodik dan berkelanjutan, tidak saja ke perusahaan produk atau pabrik, tetapi juga ke tempat-tempat penjualan
atau pemasaran produk yang secara langsung berhubungan dengan konsumen. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 hanya mengatur masalah halal ini
pada bab perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, khususnya Pasal 8 huruf h. Dikatakan, pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan
barang atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label. Dikaitkan
dengan hak konsumen, dijumpai ketentuan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
atau jasa. Tentu saja masalah halal terkait dengan ketentuan ini, sehingga setiap produsen berkewajiban untuk memberikan informasi yang jelas, jujur
atas kehalalan produknya. Sebelumnya ketentuan mengenai pemasangan label halal dalam
produk pangan telah diatur di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992. Ketentuannya masih kabur, karena hanya dicantolkan dalam penjelasan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 21 ayat 2 dinyatakan setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi :
1. Bahan yang dipakai,
2. Komposisi setiap bahan,
3. Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa,
4. Ketentuan lainnya.
Pada penjelasan pasal inilah, khususnya tentang ketentuan lainnya, penyebutan kata atau tanda halal ditemukan, yang menjamin makanan dan
minuman dimaksud diproduksi dan diproses sesuai dengan persyaratan makanan halal.
Tidak terlalu jauh berbeda dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, kewajiban pemasangan sertifikat atas setiap produk pangan diatur juga
dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996. Disebutkan setiap orang yang memproduksi dan memasukkan pangan kemasan ke wilayah Indonesia untuk
diperdagangkan, wajib mencantumkan sertifikat pada, di dalam atau di kemasan pangan. Setiap sertifikat memuat sekurang-kurangnya keterangan
mengenai : 1.
Nama produk, 2.
Daftar bahan yang dipergunakan, 3.
Berat bersih atau isi bersih, 4.
Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan ke dalam
Universitas Sumatera Utara
wilayah Indonesia, 5.
Keterangan tentang halal dan, 6.
Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa. Pemberian tanda sertifikat halal dan kemudian diikuti dengan label
halal dalam setiap produk pangan kemasan dimaksudkan agar masyarakat konsumen mendapat informasi yang jelas dan benar serta tidak menyesatkan
mengenai isi dan asal bahan yang digunakan dalam produk. Khusus terhadap keterangan halal, sesuai dengan penjelasan Pasal 30 ayat 2 huruf e,
pencantuman sertifikatnya baru diwajibkan bila yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan
menyatakan bahwa pangan bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Keterangan ini dimaksudkan agar masyarakat terhindar dari mengkonsumsi
pangan yang tidak halal haram. Dengan pencantuman sertifikat halal pangan, dianggap telah terjadi pernyataan akan kehalalannya dan setiap yang membuat
pernyataan tersebut bertanggung jawab atas kebenarannya. Penjelasan itu memperlihatkan, kewajiban mencantumkan sertifikat
halal dalam produk pangan timbul ketika pelaku usaha menyatakan pangan bersangkutan halal bagi konsumen muslim. Undang-Undang No. 7 Tahun
1996 tidak ada menjelaskan lebih lanjut bagaimana bila pangan tersebut haram untuk dikonsumsi oleh konsumen muslim. Suatu informasi diperoleh “bahwa
ketentuan itu sebenarnya ada di peraturan Departemen Kesehatan. Semua produk haram, baik lokal atau impor harus menuliskan kata haram serta
Universitas Sumatera Utara
mencantumkan kepada babi dalam kemasannya”.
39
Terlepas dari pendapat-pendapat itu, peraturan perundang-undangan yang berlaku telah berjalan dengan penetapan sertifikasi halal bagi produk
pangan yang akan dikonsumsi oleh konsumen muslim berdasarkan pernyataan produsen atau pemasok bahan. Ketentuan ini membawa manfaat yang besar
bagi kepentingan konsumen, sehingga mereka dapat menikmati pangan tersebut dengan tenang dan aman, terlepas dari adanya unsur-unsur keharaman
yang begitu sensitif bagi kalangan konsumen muslim. Sesuai dengan kaedah segala sesuatu pada asalnya adalah diperbolehkan, maka yang menjadi prinsip
dalam menikmati kehidupan ini adalah prinsip halal. Pernyataan halal dalam produk yang diperdagangkan harus diiringi dengan tanggung jawab, sehingga
produsen atau pemasok tidak menganggap persoalan ini hanya sebatas formalitas dalam pemasaran dengan mencantumkan label halal saja dalam
produknya. Kebenaran pernyataan itu tidak hanya tercantum dalam label, Memang dalam tataran pemikiran ada yang berpendapat, sebenarnya
yang perlu diberikan label itu adalah pangan yang haram, karena yang halal jauh lebih banyak daripada yang haram, dan tentu hal ini akan lebih
mempermudah pekerjaan. Bahkan ada pendapat yang tidak setuju terhadap keduanya, yaitu pencantuman label halal atau label halal, karena Nabi hanya
mengajak dan memberitahukan saja, tidak bisa memperbaiki orang. Dalam ajakan itu, Nabi selalu dengan kata-kata “ laksanakan semampumu “.
39
Tini Hadad, Kembalikan Masalah Halal Pada LP-POM MUI, 17 Tokoh Bicara Halal, Info Halal Multimedia, Jakarta, Tanpa Tahun, hal. 132.
Universitas Sumatera Utara
tetapi termasuk dalam iklan produk. Dihubungkan dengan ketentuan Pasal 34 ayat 1 Undang-Undang No.
7 Tahun 1996, setiap orang bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan yang dibuatnya dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan
adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu. Barang siapa yang memberikan pernyataan yang tidak benar, sesuai dengan ketentuan
Pasal 58 butir j, yang bersangkutan diancam pidana paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp. 360 juta. Benar tidaknya pernyataan halal dalam label
atau iklan pangan itu tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan atau bahan bantu lain yang dipergunakan dalam memproduksi
pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya. Pencantuman label halal ini memang pernah mengundang polemik.
Satu pihak menginginkan agar label halal dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan berdasarkan rekomendasi dari MUI setelah diperiksa terlebih
dahulu bukti kehalalannya. Pada pihak lain menginginkan pencantuman label halal diserahkan kepada masing-masing produsen secara sukarela tanpa
memerlukan pemeriksaan lebih dahulu dengan konsekuensi jika dilanggar, produsen akan dikenakan sanksi hukum. Polemik ini dapat dituntaskan bila
memberi rasa aman pada konsumen, ditempat pada prioritas utama. Artinya bila label dan iklan halal diserahkan sepenuhnya kepada produsen, tentu akan
dipertanyakan sejauhmana konsumen muslim akan merasa aman dan yakin kebenaran isinya dan sejauhmana pula pemerintah mampu mencegah dan
Universitas Sumatera Utara
menindak perbuatan produsen yang tidak bertanggung jawab. Untuk hal yang demikian maka keberadaan MUI melalui lembaga
teknisnya yaitu LP POM MUI, baik di pusat maupun di daerah. Secara strurktural lembaga ini pada prinsipnya bersifat otonom yang mempunyai
tanggung jawab dan wewenang untuk mengatur diri sendiri. Segala yang berhubungan dengan penyelenggaraan teknis dalam tata cara audit halal
menjadi hak dan tanggung jawab LP POM MUI, namun untuk memutuskan atau mengeluarkan fatwa halal bagi suatu produk tetap merupakan tanggung
jawab dan wewenang Komisi Fatwa MUI.
C. Fungsi Dan Tugas LP Pom MUI Dalam Melakukan Pengawasan Penggunaan Sertifikat Halal.