Indonesia, misalnya anak warga negara Indonesia sedangkan orangtua angkatnya Warga Negara Asing, atau sebaliknya anak Warga Negara Asing sedangkan
orangtua angkatnya Warga Negara Indonesia. Antara orangtua angkat dengan anak angkatnya minimal harus terdapat
selisih umur 25 tahun dan maksimal 45 tahun. Untuk itu setiap orang dewasa yang dapat mengangkat anak. Apabila calon orangtua dalam perkawinan, maka usia
perkawinan orangtua angkat minimal telah berlangsung selama 5 lima tahun, sehingga ada selisih antara usia perkawinan calon orangtua angkat dengan usia
calon anak angkat minimal lima tahun Darwan 2003:97.
2.5.1 Pengangkatan Anak Secara Adat Kebiasaan
Mengangkat anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri semikian rupa, sehingga antara orang yang memungut
anak dan anak yang dipungut itu menimbulkan suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada di antara orang tua dengan anak kandung sendiri.
Perbuatan mengangkat anak demikian ini adalah merupakan gejala yang umum dengan negara Indonesia Surojo 2010:117.
Menurut Prof. R. Supomo dalam bukunya Hukum Perdata Adat Jawa Barat Amir 1990:21, menyatakan bahwa:
“Pengangkatan anak dilakukan dengan cara penyerahan anak oleh orang tuanya kepada yang mengangkat, tanpa disaksikan oleh
orang-orang yang khusus dipanggil untuk keperluan itu, tanpa upacara, tanpa surat. Pendek kata, tanpa bentuk apapun, tetapi
pengangkatan anak itu akan segera diketahui oleh para tetan
gga.” Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan ini merupakan
pengangkatan anak yang biasa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya.
Pengangkatan anak yang dilakukan biasanya mengambil anak dari yang bukan keluarga, yaitu anak berasal bukan dari keluarga sendiri yang diangkat menjadi
anak angkat dan menjadi bagian dari keluarga itu. Biasanya tindakan ini disertai dengan penyerahan barang-barang atau sejumlah uang kepada keluarga anak
semula. Anak yang diangkat juga bisa berasal dari kalangan keluarga, serta berasal dari kalangan keponakan-keponakan.
Mengangkat keponakan menjadi anak sesungguhnya lebih sering terjadi, banyak alasan-alasan yang menjadi pendorong melakukan pengangkatan anak dari
kalangan keponakan Surojo 2010: 119, diantaranya: Pertama
: karena tidak mempunyai anak sendiri, sehingga memungut keponakan tersebut, merupakan jalan
untuk mendapat keturunan. Kedua
: karena belum dikarunia anak, sehingga dengan memungut
keponakan ini
diharapkan akan
mempercepat kemungkinan mendapat anak. Ketiga
: terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan, misalnya karena hidupnya
kurang terurus dan lain sebagainya.
Di daerah-daerah yang mengikuti garis keturunan dari pihak laki-laki kebapakan seperti di Tapanuli, Lampung, Bali, dimana pengangkatan anak
hanya dilakukan terhadap anak laki-laki saja, dengan tujuan adalah untuk meneruskan garis keturunan dari pihak bapak. Demikian juga dengan daerah yang
mengikuti garis keturunan dari pihak ibu keibuan terutama Minangkabau. Daerah Minangkabau pihak perempuan tidak mendesak untuk melakukan
pengangkatan anak karena yang mewarisi adalah anak-anak dari saudaranya yang perempuan.
Pengangakatan anak secara adat kebiasaan juga diuraikan dalam Permensos RI No. 110 Tahun 2009 Pasal 17 yang menyatakan bahwa
pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia yang berdasarkan adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat
yang bersangkutan. Serta dalam ayat 2 disebutkan bahwa kepala instansi sosial propinsi dan kabupatenkota berkewajiban melakukan pencatatan dan
pendokumentasian terhadap pengangkatan anak.
2.5.2 Pengangkatan Anak Berdasarkan Hukum Islam