Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing (Sk Menteri Sosial Ri No.13 / Huk / Tahun 1993 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak - Study Di Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANGKATAN ANAK (ADOPTIE)

WARGA NEGARA INDONESIA OLEH WARGA NEGARA ASING (SK

MENTERI SOSIAL RI NO.13 / HUK / TAHUN 1993 TENTANG

PEDOMAN PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK - STUDY di

DINAS SOSIAL PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

RIANTO SITORUS 020200035

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PK: HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, Allah yang penuh kasih dan setia. Atas berkat, penyertaan dan kekuatan dari-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk melengkapi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul ”TINJAUAN YURIDIS

TERHADAP PENGANGKATAN ANAK (ADOPTIE) WARGA NEGARA

INDONESIA OLEH WARGA NEGARA ASING (SK MENTERI SOSIAL

RI NO.13 / HUK / TAHUN 1993 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN

PENGANGKATAN ANAK - STUDY di DINAS SOSIAL PROVINSI

SUMATERA UTARA”.

Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberi dukungan dengan membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Chairuddin Lubis

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum USU, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M. Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU, Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU, Bapak Muhammad Husni, SH, MH selaku Pembantu


(3)

Dekan III Fakultas Hukum USU beserta seluruh Dosen Pengajar dan Staf Pegawai, yang mendukung penulis selama perkuliahan di Fakultas Hukum universitas Sumatera Utara (USU).

3. Bapak Prof. Dr.Tan Kamello, SH, MS selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Malem Ginting, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I, yang mendukung penulis dalam masa perkuliahan di Program Kekhususan Hukum Perdata BW dan membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Muhammad Husni, SH, MH selaku Pembimbing II, yang telah menyediakan waktu membimbing penulis dalam pembahasan dan cara penulisan skripsi serta memberi masukan sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

6. Kepada Keluarga Besar penulis, terkhusus kepada Kedua Orang Tua. 7. Saudara/i di UKM KMK UP FH USU

8. Semua teman-teman di Fakultas Hukum yang telah mendukung dan membantu penulis serta mendoakan penulis.

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna. Namun penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan berpikir bagi setiap orang yang membaca.

Medan, February 2008


(4)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANGKATAN ANAK (ADOPTIE)

WARGA NEGARA INDONESIA OLEH WARGA NEGARA ASING (SK

MENTERI SOSIAL RI NO.13 / HUK / TAHUN 1993 TENTANG

PEDOMAN PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK - STUDY di

DINAS SOSIAL PROVINSI SUMATERA UTARA

Rianto Sitorus*) Malem Ginting**)

M. Husni***)

ABSTRAKSI

Pada mulanya pengangkatan anak (adopsi) dilakukan semata-mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan/ marga, dalam suatu keluarga yang tidak mempunyai anak kandung. Di samping itu juga untuk mempertahankan dalam perkawinan, sehingga tidak timbul perceraian. Tetapi dalam perkembangannya kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan adopsi telah berubah untuk kesejahteraan anak. Dengan permohonan pengangkatan anak ada pihak-pihak yang menarik banyak keuntungan yang tidak pada tempatnya, dan kurangnya pengamatan/ penelitian lingkungan dapat mengakibatkan lolosnya permohonan pengangkatan anak antar Warga Negara (domestic adoption) maupun pengangkatan anak oleh Warga Negara Asing (Inter Country Adoption) tanpa memperhatikan aspek kesejahteraan anak. Dengan demikian perlu dikaji permasalahan proses pengangkatan anak oleh Warga Negara Asing (WNA), pengaruh pengangkatan anak Warga Negara Indonesia (WNI) oleh Warga Negara Asing (WNA) terhadap kewarganegaraan dan agama anak yang diangkat, dan hambatan yang dihadapi oleh Departemen Sosial dalam proses pengangkatan anak oleh Warga Negara Asing dalam pemantauan keadaan anak yang diangkat dan jaminan hukumnya.

Dalam mengkaji permasalahan tersebut digunakan metode yuridis empiris dan untuk penelitiannya adalah bersifat deskriptif. Dengan studi riset Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi dokumen dan wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Proses pengangkatan anak WNI oleh WNA pada Departemen Sosial R.I adalah: Calon Orang Tua Angkat mengajukan permohonan kepada Menteri Sosial R.I melalui Organisasi Sosial yang akan diteruskan permohonan kepada Menteri Sosial R.I c.q. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial. Jika permohonan disetujui maka diajukan kepada Pengadilan Negeri R.I untuk mendapatkan pengesahannya. Namun jika terdapat penyimpangan terhadap persyaratan pengangkatan anak,


(5)

maka harus mendapatkan dispensasi dari Departemen Sosial atau Mahkamah Agung R.I sebelum diajukan ke Pengadilan Negeri R.I. putusan yang dimintakan kepada Pengadilan harus bersifat tunggal atau tidak disertai (in samenloop met) petitum lain. Dan hanya berisi tentang penetapan anak tersebut sebagai anak angkat dari pemohon, atau hanya berisi pengesahan saja. Dalam hal pengangkatan anak WNI oleh WNA terhadap kewarganegaraan menganut prinsip asas patrilineal, yaitu menurut hukum kewarganegaraan. Apabila kedua orang tua angkat tersebut tidak pada satu kewarganegaraan, tetap memakai hukum kewarganegaraan suami. Dalam hal agama bagi anak WNI yang diadopsi oleh WNA sebelum tahun 2003, agama bagi anak yang di adopsi tidak dapat dipantau tetapi sejak tahun 2005 pengangkatan anak dimaksud dapat dibatalkan apabila tidak sesuai dengan agama anakyang dianut oleh kedua orang tua biologis si anak. Hambatan-hambatan yang ditemui Depatemen Sosial dalam hal pengangkatan anak adalah tentang: umur anak yang diangkat, izin tinggal yang belum memenuhi syarat, masa perkawinan dua (2) tahun, status agama anak, kurangnya sosialisasi pengangkatan anak WNI oleh WNA yang harus dengan izin Menteri Sosial, masih banyak pengadilan yang mengeluarkan putusan terhadap pengangkatan anak WNI kepada WNA, serta pemantauan keadaan anak yang diangkat dan jaminan hukumnya. Departemen Sosial sampai tahun 1986 untuk memantau keadaan anak yang di adopsi oleh WNA di monitoring ke negara dimana anak tersebut di adopsi. Adapun anggaran monitoring untuk anak-anak yang di adopsi tersebut dimasukkan ke dalam APBN yaitu dalam kegiatan monitoring dan evaluasi bagi anak-anak adopsi. Sejalan dengan hal tersebut sejak tahun 1992 karena dianggap kegiatan itu merugikan dan tidak sejalan dengan tujuan monitoring dan evaluasi maka dihapuskan dari APBN dengan menggantikan kedalam suatu peraturan dimana anak tersebut sampai dengan umur 18 tahun harus tetap melapor ke KBRI setempat.

Disarankan kepada Pemerintah dalam hal ini Departemen Sosial serta pihak terkait lainnya untuk memberikan informasi atau penyuluhan tentang pengangkatan anak di tiap-tiap daerah, sehingga dapat diketahui tentang proses pengangkatan anak WNI oleh WNA, adanya jaminan dan kepastian yang menyakinkan bahwa kehidupan hari depan dari anak yang di adopsi akan lebih cerah, di samping itu kepentingan dan martabat bangsa serta agama tidak dirugikan karena pengangkatan anak. Perlunya dibuat suatu lembaga sistem informasi nasional dalam rangka pengangkatan anak sehingga tidak terjadi lagi penyimpangan dalam mengambil keputusan untuk pengangkatan anak.

Kata Kunci: - Pengangkatan Anak

- Pengangkatan Anak Antar Negara - Departemen Sosial

*) Mahisaswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2002 **) Dosen/Staf Pengajar Fakultas Hukum USU, Pembimbing I ***) Dosen/Staf Pengajar Fakultas Hukum USU, Pembimbing II


(6)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

ABSTRAKSI... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 18

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 18

D. Keaslian Penulisan... 19

E. Tinjauan Kepustakaan... 20

F. Metode Penelitian... 22

G. Sistematika Penulisan... 23

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK ADOPTIE A. Pengertian Pengangkatan Anak dan Anak Angkat... 25

B. Latar Belakang Pengangkatan Anak... 30

C. Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Per Undang–Undangan... 32

D. Akibat Hukum Pengangkatan Anak ... 36


(7)

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG ADOPSI INTER COUNTRI A. Dasar Hukum

B. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak Warga Negara Asing Kepada WNI

C. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak (Adopsi) WNI oleh WNA D. Deskripsi Departemen Sosial Republik Indonesia

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANGKATAN ANAK (ADOPTIE) WARGA NEGARA INDONESIA OLEH

WARGA NEGARA ASING (SK MENTERI SOSIAL RI NO. 13/HUK/1993 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK).

A. Proses Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing... B. Pengaruh Pengangkatan Anak Warga

Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing Terhadap Kewarganegaraan dan Agama Anak yang Diangkat... 85 C. Hambatan yang Dihadapi Oleh


(8)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing dalam Pemantauan Keadaan Anak yang Diangkat Dan Jaminan

Hukumnya... 86 D. Contoh Kasus...

E. Pembatalan Penetapan Pengadilan Negeri Makassar Tentang Pengangkatan Anak WNI Oleh WNA a.n. Brian Williams dan Hj. Nursaedah...

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 94 B. Saran... 96

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelahiran anak dalam suatu perkawinan selalu dianggap merupakan salah satu syarat yang amat penting untuk terciptanya suatu keluarga yang “bahagia” baik pada masyarakat tradisional maupun modern. Bagi masyarakat arti anak dalam sebuah perkawinan justru dianggap lebih penting karena anak dianggap sebagai unsur penting bagi terciptanya keluarga bahagia, juga dianggap sebagai penerus keturunan, sebab tujuan perkawinan itu adalah meneruskan garis keturunan dari kerabat (ibu, bapak atau ibu-bapak) dari pihak yang melangsungkan perkawinan itu.

Jika dalam suatu perkawinan tidak diperoleh anak berarti tidak ada yang melanjutkan keturunan dan kerabatnya, yang dapat mengakibatkan punahnya kerabat tersebut. Oleh karena itu orang akan melakukan cara apa saja dan mengorbankan biaya apa saja untuk mendapatkan anak dalam perkawinan, bahkan ada yang melakukan program bayi tabung, tidak jarang juga mendapatkan anak, walaupun telah berusaha secara maksimal sehingga pengangkatan anak (adopsi) dianggap sebagai jalan terakhir.

Hasil penyelidikan dari H. David Kirk mengungkapkan adanya orang tua angkat yang tidak mempunyai anak sama sekali hendak menutupi pengangkatan anaknya (rejection of difference) dan ia ingin dipandang sebagai orang tua asli.


(10)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

Orang mempunyai naluri untuk menutup-nutupi hal-hal yang dianggap kurang baik karena dalam kehidupan masyarakat pada keluarga “normal” terdapat keluarga karena hubungan darah, maka keluarga yang terjadi bukan hubungan darah dianggap atau kurang normal. Cara seperti itu tentu bertentangan dengan hukum karena menggelapkan status keperdataan seseorang dan dapat dituntut pidana.1

Masalah pengangkatan anak semakin menarik perhatian untuk dikaji setelah berlakunya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, oleh karena Kompilasi Hukum Islam mengakui adanya hubungan hukum (alimentasi) antara anak angkat dan orang tua angkat berupa wasiat

Pengangkatan anak yang lazim disebut adopsi (adoption) merupakan lembaga hukum yang dikenal sejak lama dalam budaya masyarakat Indonesia. Bermacam-macam motif orang melakukan pengangkatan anak, mungkin hanya sebagai pemancing atau sebagai pelanjut keturunan atau untuk pemeliharaan karena didasarkan pada rasa belas kasihan atau karena alasan-alasan yang lain.

Peraturan mengenai tata cara dan akibat hukum dari pengangkatan anak itu sendiri juga bersifat pluralistik di Indonesia. Masing-masing etnis dan golongan penduduk mempunyai aturan sendiri mengenai prosedur dan akibat hukum pengangkatan anak. Keanekaragaman ini sering menyebabkan ketidakpastian dan masalah hukum yang tidak jarang menjadi sengketa di pengadilan.

1

) Runtung, Bahan Kuliah Kapita Selekta Hukum Adat, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, h.32


(11)

wajibah dalam Pasal 209. sehingga mengenai pengangkatan anak merupakan topik yang sangat menarik untuk dibahas.

Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan tetapi kadang-kadang naluri itu terbentur pada Takdir Ilahi, dimana kehendak mempunyai anak tidak tercapai.

Pada umumnya manusia tidak akan puas dengan apa yang dialaminya, sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kepuasan tersebut. Dalam hal pemilikan anak, usaha yang mereka lakukan adalah mengangkat anak “adopsi”.

Eksistensi adopsi di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum masih belum sinkron, sehingga masalah adopsi masih merupakan problema bagi masyarakat, terutama dalam masalah yang menyangkut ketentuan hukumnya. Ketidaksinkronan tersebut sangat jelas dilihat, kalau dipelajari ketentuan tentang eksistensi lembaga adopsi itu sendiri dalam sumber-sumber yang berlaku di Indonesia, baik hukum barat yang bersumber dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek (BW); hukum adat yang merupakan”the living law” yang berlaku di masyarakat Indonesia, maupun hukum islam yang merupakan konsekuensi logis dari masyarakat Indonesia yang mayoritas mutlak beragama islam.2

Dalam BW tidak diatur tentang masalah adopsi atau lembaga pengangkatan anak. Dalam beberapa pasal BW hanya menjelaskan masalah pewarisan dengan istilah “ anak luar kawin” atau anak yang diakui (erkend kind).


(12)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

Sedangkan menurut hukum adat terdapat keanekaragaman hukumya yang berbeda, antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, sehingga dengan perbedaan lingkaran hukum adat, seperti yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven “di Indonesia terdapat 19 lingkaran hukum adat (rechtskring)”, sedang tiap-tiap rechtskring pun terdiri dari beberapa kukuban hukum (rechtstgouw)”.3

Dalam hukum Islam lebih tegas dijelaskan, bahwa pengangkatan seorang anak dengan pengertian menjadikannya sebagai anak kandung didalam segala hal, tidak dibenarkan. Hal ini sesuai dengan pembahasan Al Ustadz Umar Hubies dalam bukunya “Fatwa”. Hanya yang perlu digarisbawahi disini adalah bahwa larangan yang dimaksudkan adalah pada status pengangkatan anak menjadi anak kandung sendiri; dengan menempati status yang persis sama dalam segala hal

Dengan demikian tentunya akan terdapat beberapa perbedaan pada masing-masing daerah hukum di Indonesia , tentang masalah status anak angkat itu.

4

2

) Muderis Zaini, Adopsi: Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, h. 1

3

)Ibid

4

) Muderis Zaini, Loc. Cit.

. Dari apa yang dikemukakan diatas maka jelaslah ketidaksinkronan dari tiga sistem hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam BW tidak dikenak kedudukan anak angkat itu sendiri, tetapi khusus bagi orang-orang yang termasuk golongan Tionghoa, lembaga adopsi ini diatur dalam staatsblad 1917 Nomor 129.


(13)

Dalam hukum adat masih terdapat ketentuan-ketentuan yang beranekaragam, namun demikian masih pula terdapat titik tautnya, sesuai dengan keanekaragaman budaya bangsa Indonesia yang tercermin dalam bentuk lambang negara Indonesia.

Dalam Hukum Islam ada indikasi yang tidak menerima lembaga adopsi ini, dalam artian persamaan status anak angkat dan anak kandung.5

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), yang diwarisi dari pemerintah Hindia Belanda tidak mengenal mengenai lembaga pengangkatan anak. Hal ini disebabkan BW memandang suatu perkawinan sebagai bentuk hidup bersama, bukan untuk mengadakan keturunan.6 Hanya bagi golongan Tionghoa yang diadakan pengaturannya secara tertulis di dalam stb 1917 Nomor 129. KUHPerdata Indonesia tidak memuat peraturan mengenai adopsi, sebab dalam BW Nederland yang belum dirubah (sebelum Perang Dunia II), materi tersebut tidak diatur, dan berdasarkan asas konkordansi, KUHPerdata Indonesai tidak pula mengenalnya. Pada tahun 1956 Nederland memasukkan ketentuan-ketentuan adopsi dalam BW. Tetapi oleh karena Nederland dan Indonesia tidak lagi terdapat hubungan konstitusional maka tidak ada lagi penyesuaian KUHPerdata Indonesia dengan BW Nederland.7

5

) Ibid.

6

) Ali Affandi, Hukum Keluarga, Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada , Yogyakarta, h.57

7


(14)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

Nederland baru menerima lembaga adopsi itu setelah Perang Dunia II, meskipun Nederland sudah berabad-abad lamanya merevisi dasar-dasar hukum Romawi yang sudah lama mengenal lembaga adopsi dengan akibat timbulnya hubungan perdata penuh antara yang mengangkat anak dan anak angkatnya. Dari kenyataan itu, bahwa lembaga adopsi dengan akibat-akibat perdata seperti yang dikenal dalam hukum Romawi, memang tidak dikenal dalam hukum bangsa Belanda asli.

Setelah Perang Dunia II yang mengakibatkan banyak anak-anak terlantar, lembaga adopsi diterima sebagai salah satu penyelesaian dalam masalah sosial yang sangat serius itu.8

Bangsa Tionghoa yang sistem kekeluargaannya partilineal dan kepercayaannya berdasarkan pemeliharaan arwah nenek moyang memerlukan keturunan laki-laki untuk melakukan upacara-upacara yang ditujukan kepada nenek moyang tersebut. Karena itu hukum adat mereka mengenal lembaga adopsi yang terbatas pada anak laki-laki.9

8

) Ketentuan-Ketentuan Hukum Perdata Anak (Penelitian dan Saran-Saran), Badan Koordinasi Nasional untuk Kesejahteraan Keluarga dan Anak (BKN-KKA), Jakarta, 1972, h.. 17-18.

9

) Djaja S. Meliala, Loc. Cit

Dengan memperhatikan hal itu pemerintah Hindia Belanda, sesuai pula dengan politik hukumnya devide et impera membuat peraturan tertulis mengenai pengangkatan anak khusus bagi golongan Tionghoa yang tidak berlaku bagi golongan Indonesia asli.


(15)

Oleh karena peraturan tersebut berasal dari negara asing, maka ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal yang bersangkutan sejak semula adalah tidak sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, dan kini bahkan seluruh perangkat peraturan dalam Stb. 1917 Nomor 129 sudah tidak memadai, karena telah tertinggal oleh perkembangan zaman.

Golongan pribumi Indonesia atau sekarang disebut warga negara Indonesia asli mengenal lembaga pengangkatan anak yang diatur dalam hukum adat masing-masing yang bercorak pluralistis.

Mengangkat anak dengan berbagai akibat hukum banyak dilakukan oleh orang Indonesia asli, dan/ atau oleh warga negara asing terhadap anak-anak Indonesia dan sebaliknya, juga oleh mereka yang memeluk agama Islam, padahal hukum Islam tidak mengenal lembaga adopsi.10

10

) S. Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku ketujuh, jilid ketiga Hal ini menunjukan bahwa dikalangan orang Indonesia asli dirasakan kebutuhan akan lembaga pengangkatan anak tersebut.

Karena itu lembaga adopsi perlu diatur dalam hukum perdata Nasional yang dicita-citakan, hal ini disamping untuk memberi kepastian hukum pada lembaga adopsi yang dirasakan kebutuhannya itu, juga sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan masalah-masalah anak-anak terlantar dan anak yatim piatu.


(16)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

Hukum positif tidak dapat terlepas dari pengaruh hukum agama dan hukum adat, maka perlu dicari bentuk pengangkatan anak yang tidak bertentangan dengan perasaan agama dan kebiasaan masyarakat, yang telah meresap dan telah mendarah daging dalam perasaan hukum masyarakat Indonesia.11

R. Soepomo, memberi rumusan terhadap adopsi, bahwa adopsi adalah mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri.12 Seorang sarjana hukum Belanda yang khusus mempelajari tentang adopsi, yaitu J.A. Nota, memberi rumusan, bahwa adopsi adalah suatu lembaga hukum (een rechtsintelling), melalui mana seseorang berpindah kepada ikatan keluarga yang lain (baru), dan sedemikian rupa, sehingga menimbulkan secara keseluruhan atau sebagian hubungan-hubungan hukum yang sama seperti antara seorang anak yang dilahirkan sah dengan orang tuanya.13

Di berbagai negara, seperti: Jerman, Belgia, dan Austria, adopsi dipandang sebagai suatu kontrak, sebagai “vertrag”, atau ”overeenkomst”.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa adopsi atau pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang memberi kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti seorang anak yang sah.

14

11

) Djaja S. Meliala, Op. Cit, h. 2

12

) R. Soepomo, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, terjemahan Ny. Nani Soewondo, Djambatan, Jakarta, 1967, h. 27

13

) J.S. Nota, De Adoptie, Kluwer-Deventer, h. 3, dalam Djaja S. Meliala, Op.Cit, h. 3

14

) S. Gautama, Op.Cit, h. 99


(17)

pembagian hukum perdata materil15

15

) Soedirman Kartohadiprojo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, cetakan kelima,

adopsi terletak dalam lapangan hukum keluarga. Hukum keluarga adalah semua kaidah-kaidah yang mengatur dan menentukan syarat-syarat, dan cara mengadakan hubungan abadi serta seluruh akibat hukumnya.

Pada mulanya pengangkatan anak (adopsi) dilakukan semata-mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan/marga, dalam suatu keluarga yang tidak mempunyai anak kandung. Di samping itu juga untuk mempertahankan ikatan perkawinan, sehingga tidak timbul perceraian. Tetapi dalam perkembangannya kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan adopsi telah berubah menjadi untuk kesejahteraan anak. Hal ini tercantum pula dalam pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang berbunyi: “Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”.

Masih ada juga penyimpangan-penyimpangan, seperti misalnya ingin menambah/mendapatkan tenaga kerja yang murah. Adakalanya keluarga yang telah mempunyai anak kandung, merasa perlu lagi untuk mengangkat anak, yang bertujuan untuk menambah tenaga kerja dikalangan keluarga atau karena merasa kasihan terhadap anak yang terlantar itu.


(18)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

Dalam situasi ini, anak yang hendak diangkat diambil dari lingkungan keluarga dekat, jika tidak ada, baru dari lingkungan keluarga yang jauh. Dan kalau itu pun tidak ada, baru mengangkat anak orang lain.

Pengangkatan anak lazim dilakukan di seluruh Indonesia. Akan tetapi caranya adalah berbeda-beda menurut hukum adat setempat. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan unifikasi hukum….16

Perubahan-perubahan dalam hidup bernegara mempengaruhi sekali pertumbuhan hukum adat. Antara lain daripadanya adalah pertumbuhan penduduk, perkembangan industri dengan perkembangan teknik modern, perhubungan/ komunikasi modern, hubungan internasional. Hal-hal itu sangat menonjol dan membawa perubahan kepada kesadaran hukum bangsa. Oleh karena itu bila hendak mengadakan hukum nasional sesuai dengan apa yang sudah ditentukan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara dengan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat, hukum adat Indonesia, maka faktor-faktor yang

, sehubungan dengan hal itu perlu ditinjau terlebih dahulu hukum adat itu, apa lagi dalam perkembangannya sekarang. Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1978 mencantumkan peningkatan dan penyempurnaan hukum nasional dengan antara lain pembaharuan kodifikasi dan unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.


(19)

mempengaruhi itu harus turut diperhitungkan. Yang telah berhasil dengan baik dimasukkan dalam Perundang-undangan nasional ialah lembaga hak ulayat dengan hak-hak yang bersumber padanya.17

1) Ingin mempunyai keturunan, ahli waris

Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan. Perumusan ini adalah perumusan umum untuk pengangkatan anak yang mempunyai beberapa bentuk perwujudan yang berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat tertentu pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya apabila masalah pengangkatan anak ini diamati menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, maka akan ditemukan hal-hal yang menjadi perhatian pengangkatan anak dan menyangkut hukum pengangkatan anak.

Dari defenisi di atas dapat ditarik pemahaman yang menjadi sebab seorang melakukan pengangkatan anak adalah sebagai berikut:

2) Ingin mempunyai teman untuk dirinya sendiri atau untuk anaknya karena kesepian;

16

) BPHN, “ Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional”, Kerjasama Badan Pembinaan Hukum Nasional dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, tanggal 15-17 Januari 1975 di Yogyakarta, Kesimpulan, h. 251.

17


(20)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

3) Ingin mewujudkan rasa sosial, belas kasihannya terhadap orang lain, bangsa lain yang dalam kesulitan hidup sesuai dengan kemampuannya; 4) Adanya peraturan perundang-undangan yang memungkinkan pelaksanaan

pengangkatan anak;

5) Adanya orang-orang tertentu yang menganjurkan pengangkatan anak untuk kepentingan pihak tertentu.18

Kenyataan sosial yang tidak dapat lagi dipungkiri ialah bahwa pengangkatan anak merupakan salah satu aspek dalam hubungan antar bangsa dan anak negara. Pengangkatan anak semacam itu menimbulkan masalah baru yaitu masalah pengangkatan anak antar negara. Namun demikian hingga kini belum dijumpai literatur yang memadai tentang Pengangkatan Anak Antar Negara, demikian pula mengenai Undang-Undang tentang Pengangkatan Anak yang sejak tahun 1982 masih tetap dalam taraf Rancangan Undang-Undang.19

Indonesia sebagai negara yang sudah memasuki kancah dalam hubungan dunia internasional tidak dapat terlepas dari masalah pengangkatan anak antar negara dimaksud, yang timbul lebih kurang sejak tahun 1912.20

Pengangkatan anak untuk kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan,

18

) Shanti Dellyana, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, edisi pertama, cetakan pertama, Liberty, Yogyakarta, 1988, h. 29

19

) Ny. Erna Sofwan Syukrie, Pengaturan adopsi Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 1992, h. 2


(21)

tercantum dalam pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Sementara Undang-Undang Pengangkatan anak di Indonesia masih dalam tahap pembentukan, yang ternyata hingga kini masih berupa “Rancangan Undang-Undang” namun demikian banyaknya masalah pengangkatan anak antar Negara yang dihadapi menuntut penyelesaian dengan segera, sedangkan peraturan-peraturan yang ada (ketentuan adopsi untuk lingkungan golongan penduduk Tionghoa yang di atur dalam Stb. 1917 No. 129 dan Undang-Undang No.62 Tahun 1958 yang telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI” sudah tidak lagi memadai. Oleh karenanya untuk menyelesaikan permohonan-permohonan pengangkatan anak (baik antar negara maupun antar warga negara) yang sebagi pedoman, semula diatur oleh Mahkamah Agung R.I. dengan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 (M.A./ Perub/ 0296/ 1979) tanggal 7 April 1979. Pengaturan tersebut adalah berdasarkan kewenangan Mahkamah Agung yang diuraikan dalam Pasal 131 Undang-Undang Mahkamah Agung R.I. No. 1 Tahun 1950 bab VIII. Peraturan rupa-rupa yang berbunyi: “jika dalam jalan peradilan ada soal yang tidak diatur dalam Undang-Undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan sendiri secara bagaimana soal itu harus dibicarakan”.

Mendahului Surat Edaran Mahkamah Agung R.I. tersebut ialah Surat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 0754 A/ Pan.Kep/ 1972 tanggal 5 Juni 1972, disusul dengan Surat Edaran dari Menteri Kehakiman No.JHA 1/ 1/ 2


(22)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

tanggal 24 Februari 1978. sementara itu dikeluarkan pula Surat Edaran dari Menteri Sosial No. HUK.3-1-58/ 78 tanggal 7 Desember 1978 perihal: Petunjuk sementara dalam pengangkatan anak (adopsi) Internasional. Juga peraturan Menteri Sosial R.I. No.13 tahun 1981 tentang Organisasi Sosial yang dapat menyelenggarakan usaha penyantunan anak terlantar, tanggal 25 Agustus 1981. 21

Hal ini tentunya juga tergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Tidak boleh menutup mata akan adanya kasus pengangkatan anak yang dalam

batas-Dari berbagai peraturan yang telah dikeluarkan oleh masing-masing instansi nampak bahwa peraturan tentang Pengangkatan Anak Antar Negara sangat diperlukan dalam pembangunan dan pengembangan hukum nasional.

Dalam proses pengangkatan anak, anak tidak mempunyai kedudukan yang sah sebagai pihak yang membuat persetujuan. Anak merupakan objek persetujuan yang dipersoalkan dan dipilih sesuai dengan selera pengangkat. Tawar menawar seperti dalam dunia perdagangan dapat selalu terjadi. Pengadaan uang serta penyerahannya sebagai imbalan kepada yang punya anak dan mereka yang telah berjasa dalam melancarkan pengangkatan merupakan petunjuk adanya sifat bisnis pengangkatan anak.

Sehubungan dengan ini, maka harus dicegah pengangkatan anak yang menjadi suatu bisnis jasa komersial. Karena hal ini sudah bertentangan dengan azas dan tujuan pengangkatan anak.

21


(23)

batas tertentu merupakan suatu keberhasilan peningkatan kesejahteraan anak. Kelihatan jelas perbaikan segi fisik, meteriilnya. Yang sulit diketahui, dijajaki adalah peningkatan segi mental, spiritual kesejahteraannya. Kecukupan kemakmuran materiil tidak dapat dipakai sebagai ukuran kepastian adanya kebahagiaan, kemakmuran spritual yang lestari. Permasalahan mental, spritual akan timbul apabila anak sudah mulai berpikir kritis. Hal ini apabila tidak ditangani secara bijaksana akan menimbulkan pertentangan-pertentangan antar orang tua dan anak angkat, yang dapat berakibat perpecahan hubungan orang tua dan anak yang lebih muda. Salah satu faktor pendukung perpecahan ini adalah hubungan orang tua dan anak yang tidak asli serta tidak alamiah (keputusan pengadilan antara lain).22

Menurut azas pengangkatan anak, maka seorang anak berhak atas perlindungan orang tuanya, dan orang tuanya wajib melindungi anaknya dengan berbagai cara. Oleh sebab itu hubungan antara seorang anak dengan orang tua harus dipelihara dan dipertahankan sepanjang hidup masing-masing. Pelaksanaan pengangkatan anak pada hakekatnya merupakan suatu bentuk pemutusan hubungan antara orang tua kandung dengan anak kandung. Dengan demikian, Hubungan kasihnya adalah lain jika dibandingkan dari orang tua kandungnya. Ini tidak menutup kamungkinan adanya orang tua angkat yag lebih baik daripada orang tua kandung.


(24)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

maka pengangkatan anak adalah pada dasarnya tidak sesuai dengan azas pengangkatan anak dan tidak dapat dianjurkan.

Pengangkatan anak pada hakekatnya dapat dikatakan sebagai salah satu penghambat usaha perlindungan anak. Oleh sebab pengangkatan anak yang pada hakekatnya memutuskan hubungan antara ayah kandung dengan anak kandung, menghambat seorang ayah kandung melaksanakan tanggungjawabnya terhadap anak kandungnya dalam rangka melindungi anak (mental, fisik dan sosial). Pengangkatan anak tidak memberikan kesempatan anak melaksanakan hak dan kewajibannya terhadap orang tua kandungnya. Hal ini tidak mendidik dan membangun kepribadian seorang anak.

Pengangkatan secara langsung atau tidak langsung menyangkut kepentingan pelayanan anak yang dapat mempunyai dampak positif dan negatif pada masa depan yang bersangkutan. Oleh sebab itu perlu adanya suatu usaha pencegahan penyalahgunaan pengangkatan anak secara individual dan kolektif yang menyebabkan anak angkat menjadi korban (mental, fisik, sosial). Usaha pencegahan ini harus dilakukan secara terpadu (integrative) yang menjurus kearah penanganan yang interdepartemental dan interdisipliner akibat pengamatan secara makro integrasi.23

Pengangkatan anak menyangkut nasib anak yang harus dilindungi. Oleh sebab itu pengangkatan anak menjadi pokok perhatian perlindungan anak, serta

23


(25)

pelaksanaannya harus diamankan oleh hukum perlindungan anak demi perlakuan adil dan sejahtera bagi kehidupan anak.

Apabila diperhatikan apa yang dikemukakan diatas mengenai keuntungan dan kerugian mengenai pelaksanaan pengangkatan anak, maka jelaslah bahwa pengangkatan anak bukanlah jalan atau cara terbaik untuk mengatasi permasalahan kesejahteraan anak dan orang tua kandung sekeluarga dan pengangkatan anak hanya boleh dilakukan apabila benar-benar diperlukan dan harus tidak bertentangan dengan azas-azas pengangkatan anak. Pelaksanaan pengangkatan anak harus merupakan suatu pengecualian dan kondisi tertentu.

Pada hakekatnya pengangkatan anak itu merupakan sesuatu yang bernilai ganda (ambivalent) dan yang kontradiktif dan berkaitan benar dengan atau erat dengan situasi dan kondisi tertentu yang tidak dapat dihindarkan. Antara lain pengangkatan anak itu merupakan sesuatu yang bersifat positif dan negatif, dapat merugikan dan menguntungkan yang bersangkutan, tidak dapat dilarang, tetapi juga tidak dapat dianjurkan.

Berdasarkan hasil sidang tim PIPA tanggal 24 Agustus 2005 dihasilkan rekomendasi terhadap kasus-kasus adopsi yang telah mempunyai penetapan Pengadilan Negeri namun tidak sesuai dengan Undang-Undang dan ketentuan adopsi yang berlaku, guna diajukan ke Mahkamah Agung untuk meninjau kembali Penetapan Pengadilan Negeri tersebut, antara lain :


(26)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

1. Penetapan PN Makassar No. 76/ Pdt.P/ 2002/PN.Mks tanggal 20 Juni 2002, dimana seharusnya melalui proses inter country adoption tetapi Pengadilan Negeri Makassar menetapkan proses adopsi yang dilakukan menggunakan domestic adoption.

2. Penetapan PN Malang No. 63/Pdt.P/2005/PN.Mlg, dimana orang tua kandung (asal) beragama islam sedangkan orang tua angkat beragama kristen, hasil ini bertentangan dengan ketentuan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

3. Penetapan PN Bogor No. 92/Pdt.P/2001/PN Bogor, pengangkatan anak dilakukan oleh orang tua tunggal (single parent) yang harus mendapat persetujuan sosial, namun yang bersangkutan tidak pernah mengajukan permohonan ke Menteri Sosial.

Dengan demikian kelihatan dengan jelas betapa kompleksnya, rumitnya permasalahan pengangkatan anak ini dan dapat membuat anak yang tidak mampu melindungi dirinya sendiri menjadi korban non struktural dan struktural (korban suatu sistem struktur tertentu). Pengangkatan anak juga dapat dikatakan sebagai hasil suatu interaksi karena adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Yang penting sekarang fenomena mana yang relevan dan dominan yang mempengaruhi adanya pengangkatan anak. Hal ini adalah penting dalam rangka menentukan kebijaksanaan untuk menyusun strategi dalam


(27)

mengatasi permasalahan pengangkatan anak. Yang rasional, positif, dapat di pertanggungjawabkan dan bermaanfaat bagi yang bersangkutan.

Dengan banyaknya permohonan pengangkatan anak antar negara ada pihak-pihak yang menarik banyak keuntungan yang tidak pada tempatnya. Kemudahan-kemudahan untuk mendapatkan keterangan-keterangan dari kelurahan atau kepala desa dan kurangnya pengamatan/penelitian dapat mengakibatkan lolosnya permohonan pengangkatan anak antar negara tampa memperhatikan aspek keamanan negara.24

1. Bagaimana proses pengangkatan anak oleh Warga Negara Asing?

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

2. Bagaimana pengaruh pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing terhadap kewarganegaraan dan agama anak yang diangkat?

3. Apakah hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Departemen/ Dinas Sosial dalam proses pengangkatan anak oleh Warga Negara Asing dalam pemantauan keadaan anak yang diangkat dan jaminan hukumnya?


(28)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga C. Tujuan dan Manfaat Panulisan

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan proses pengangkatan anak oleh warga negara asing.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan pengaruh pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh warga negara asing terhadap kewarganegaraan dan agama anak yang diangkat

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Dinas Sosial dalam proses pengangkatan anak oleh Warga Negara Asing dalam pemantauan keadaan anak yang diangkat dan jaminan hukumnya.

Sedangkan yang menjadi manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis, penulis berharap kirannya penulisan skripsi ini bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis, khususnya bagi masyarakat yang hendak melakukan pengangkatan anak.

24


(29)

2. Secara Praktis, masyarakat dapat mengetahui tentang tata cara dalam pengangkatan anak.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANGKATAN ANAK (ADOPTIE) WARGA NEGARA INDONESIA OLEH WARGA NEGARA ASING (SK MENTERI SOSIAL RI NO.13 / HUK / TAHUN 1993 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK - STUDY RISET DINAS SOSIAL PROVINSI SUMATERA UTARA) belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan kondisi dan fenomena dalam pelaksanaan pengangkatan anak yang ada melalui refrensi buku-buku, media elektronik dan bantuan dari berbagai pihak, dalam rangka melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak (adoptie) adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memberi status/ kedudukan kepada seorang anak orang lain yang


(30)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

sama seperti kandung. Adanya anak angkat ialah karena seorang mengambil anak atau di jadikan anak oleh orang lain sebagai anaknya. Anak angkat itu mungkin seorang anak laki-laki atau seorang anak perempuan.25

25

B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat

Hukumnya di Kemudian Hari, Rajawali, Jakarta, 1983, h. 45. Lihat Pasal 1 angka 9

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 2. Pengertian Anak Angkat

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (WJS. Purwadarminta) menyebutkan anak angkat adalah anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anak sendiri.

Menurut Hilman Hadikesuma, anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas kekayaan rumah tangga.

Dengan kata lain anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

3. Pengertian Pengangkatan Anak Antara Warga Negara Indonesia Dengan Warga Negara Asing.


(31)

Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh Warga Negara Asing terhadap anak Warga Negara Indonesia atau pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia.

4. Pengertian Warga Negara

Warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

5. Pengertian Kewarganegaraan

Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara.

6. Pengertian Warga Negara Indonesia.

Warga Negara Indonesia adalah setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/ atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia.

3. Metode Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif yaitu untuk menggambarkan secara lengkap karakteristik atau ciri-ciri dari suatu keadaan, perilaku (individu, kelompok) tampa didahului


(32)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

hipotesa serta memperoleh data mengenai hubungan antara satu gejala dengan gejala lain.26

26

Runtung, Metode Penelitian Hukum, Diktat Perkuliahan Magister Kenotariatan, USU, Medan, 2005

Metode pendekatan yang digunakan adalah teori yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan dengan data dan perilaku yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk menghimpun data primer berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku, teori-teori dan azas-azas hukum, doktrin-doktrin dan Yurisprudensi yang berkaitan dengan materi penelitian. Penelitian dilakukan di Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara untuk mendapatkan data-data yang akurat.

Alat-alat yang digunakan untuk melakukan pengumpulan data-data dalam penelitian ini adalah studi dokumen yaitu meneliti dan mempelajari serta menganalisa bahan hasil penelitian dari data dokumen yang relevan dengan permasalahan yang dibahas. Mengadakan wawancara terhadap Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara untuk mendapatkan data yang mendalam, utuh dan lengkap untuk dipakai dalam menjawab permasalahan .


(33)

Gambaran isi dari tulisan ini diuraikan secara sitematis dalam bentuk tahapan-tahapan atau bab-bab yang masalahnya diuraikan secara tersendiri, tetapi antara satu dengan lainnya mempunyai keterkaitan (komprehensif).

Berdasarkan sistematika penulisan yang baku, penulisan skripsi ini dibagi dalam 4 (empat) bab, yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisi latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,metode penulisan, dan gambaran isi.

BAB II :TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK

(ADOPTIE)

Didalam bab ini dijelaskan pengertian pengangkatan anak dan anak angkat, latar belakang pengangkatan anak, pengangkatan anak menurut peraturan perundang-undangan, akibat hukum pengangkatan anak, kedudukan anak menurut Yurisprudensi.

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG ADOPSI INTER COUNTRY


(34)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

Pengangkatan anak (Adoptie) Warga Negara Asing kepada WNI dan Pengangkatan anak WNI oleh WNA serta deskripsi Departemen Sosial Republik Indonesia.

BAB IV :TINJAUAN YURIDIS PENGANGKATAN ANAK (ADOPTIE)

WARGA NEGARA INDONESIA OLEH WARGA NEGARA

ASING (SK MENTERI SOSIAL RI NO. 13/HUK/TAHUN 1993

TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PELAKSANAAN

ANAK)

Didalam bab ini dijelaskan tentang syarat-syarat pengangkatan anak

(Adopsi) WNI oleh WNA, proses pengangkatan anak oleh warga negara asing, pengaruh pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh warga negara Asing terhadap kewarganegaraan dan agama anak yang diangkat, hambatan yang dihadapi oleh Dinas Sosial Propinsi Sumatera Utara dalam proses pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh warga negara Asing dalam pemantauan keadaan anak yang diangkat dengan jaminan hukumnya.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini akan memberikan kesimpulan dari seluruh analisis dan pembahasan dan saran yang dapat diberikan oleh penulis.


(35)

TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK

(ADOPTIE)

A. Pengertian Pengangkatan Anak dan Anak Angkat

Pengangkatan anak (adopsi) adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memberi status/ kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti anak kandung. Adanya anak angkat ialah karena seorang mengambil anak atau di jadikan anak oleh orang lain sebagai anaknya. Anak angkat itu mungkin seorang anak laki-laki atau seorang anak perempuan.27

Adapun maksud pengangkatan anak ini pada umumnya adalah untuk melanjutkan keturunan (klan), suatu fenomena baru dalam kehidupan masyarakat modern khususnya bagi orang-orang yang tidak mempunyai keturunan atau bagi para wanita yang tidak mampu karena terlambat melangsungkan perkawinan. Orang yang mengangkat anak tidak terbatas hanya orang-orang yang kawin saja atau orang-orang berkeluarga saja akan tetapi orang yang belum kawin pun dimungkinkan juga untuk mengangkat anak. Oleh karena itu pengangkatan anak biasanya dilakukan terhadap saudara dekat ataupun terhadap kemenakan sendiri, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan bagi anak-anak yang ada di luar kerabat (klan). Memang bilamana anak yang diangkat berasal dari kerabat sendiri, tentu hal ini secara phisikologis telah mempunyai suatu ikatan naluri, sehingga kehadirannya di tengah-tengah keluarga tersebut akan lebih harmonis. Pengangkatan anak biasanya dilaksanakan dengan upacara-upacara yang dihadiri penghulu, pengetua adat setempat, disaksikan oleh anggota keluarga yang mengangkatnya dengan tujuan agar status dan kedudukan anak yang diangkat menjai terang dan jelas. Biasanya dilingkungan kerabat yang mengangkatnya, banyak di jumpai di daerah-daerah antara lain: Jawa Timur, Bali, Minahasa, Palembang dan Batak.28

27

B. Bastian Tafal,Op.Cit. h. 45. Lihat Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

28

Rosmi Hamdan, “Tinjauan Yuridis Tentang Status Anak Angkat”, KamusJurnal Ilmu


(36)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

Pengertian tentang adopsi, dapat dibedakan dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan secara terminologi. Secara etimologi, adopsi berasal dari kata “adoptie” bahasa Belanda, atau “adpot” (adoption) bahasa Inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut Kamus Hukum, berarti “pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri”. Jadi disini penekanannya pada persamaan status anak angkat dari hasil pengangkatan anak sebagai anak kandung. Ini adalah pengertian secara literlijk, yaitu (adopsi) diover kedalam bahasa Indonesia berarti anak angkat atau mengangkat anak.29

Adopsi (mengangkat) Anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.

Secara terminologi, para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang definisi adopsi, antara lain: Surojo wignjodipuro, dalam bukunya Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, memberikan batasan-batasan sebagai berikut:

30

Kedua; yakni yang dipahamkan dari perkataan “tabanni” (mengangkat anak secara mutlak). Menurut syariat adat dan kebiasaan yang berlaku pada Kemudian Mahmud Syaltut, seperti yang dikutip secara ringkas Fatchur Rahman dalam bukunya Ilmu Waris, beliau membedakan dua arti anak angkat yaitu:

Pertama; penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia sebagai anak orang lain kedalam kelurganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberi nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.

29

) Muderis Zaini, Op.Cit, 1992, h 4.

30


(37)

manusia. Tabanni ialah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai orang lain kedalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya, sebagai anak sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai anak.31

Pengertian kedua ini konsekuensinya sampai kepada hal untuk mendapatkan warisan dari orang tuanya yang mengangkat dan larangan kawin dengan keluarganya.

Pengertian kedua menurut Mahmud Syaltut tersebut persis dengan pengertian adopsi menurut hukum Barat, yaitu dimana arahnya lebih menekankan kepada memasukkan anak yang diketahuimya sebagai anak orang lain kedalam keluarganya dengan mendapatkan status dengan fungsi yang sama persis dengan anak kandungnya sendiri.

32

Meskipun ada yang membedakan antara pengertian adopsi dengan pengertian anak angkat, tapi hak ini hanyalah dilihat dari sudut etimologi dan sistem hukum negeri yang bersangkutan. Adopsi dalam bahasa Arab disebut Tabanni mengandung pengertian untuk memberikan status yang sama, dari anak angkat sebagai anak kandung sendiri dengan konsekuensi ia mempunyai hak dan kewajiban yang persis sama pula. Sedang istilah anak angkat adalah pengertian menurut hukum adat, dalam hal ini masih mempunyai bermacam istilah dan pengertian, sesuai dengan keanekaragaman sistem peradatan di Indonesia.33

Sebagaimana diketahui pada mulanya sering terjadi pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh warga negara asing dilakukan dengan menyerahkan

31

) Mahmud Syahltut, Ibid, h. 5-6.

32

) Ibid.

33


(38)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

anak secara langsung dari orang tua kandung kepada orang tua yang akan mengangkat (private adoption) hanya dengan akte notaris seperti halnya yang dilakukan pada Pengangkatan Anak dalam lingkungan penduduk golongan Tionghoa yaitu berdasarkan: Bepaling voor geheel Indonesie betreffende het Burgerlijk en Handelsrecht van de Chinezen, Stb. 1917-129 van Adoptie.34

Bahwa peraturan tersebut hanyalah meliputi Pengangkatan Anak yang dilakukan di Indonesia khususnya untuk melanjutkan keturunan laki-laki.tetapi kemudian dengan yurisprudensi tetap pengangkatan anak perempuan dianggap pula sah.35

a. Cara memperoleh kewarganegaraan R.I. pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: Berlakunya Intruksi Presidium Kabinet Nomor 31/V/In/112/1966 tanggal 27 Desember 1966, maka hanya dikenal dua golongan penduduk di Indonesia yaitu warga negara Indonesia dan warga negara asing. Dengan demikian peraturan (Stb.1917-129) tersebut tidak mengatur pengangkatan anak antar negara seperti dimaksudkan dalam pengangkatan anak waga negara Indonesia oleh warga negara asing atau anak warga negara asing oleh warga negara Indonesia.

Sementara itu telah berlaku Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 yang telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia pada tanggal 1 Agustus yang antar lain mengatur:

“Anak asing yang belum berumur 5 tahun yang diangkat oleh seorang warga negara indonesia, memperoleh kewarganegaraan R.I, apabila

34

) Bepaling voor geheel Indonesie betreffende het burgerlijk en Handelsrecht van de

Chinezen. Stb. 1917-129 jis 1919-81, 1924-557 en 1925-92 tweede hoofdstuk van Adoptie.

(Terjemahan: Ketentuan-Ketentuan untuk seluruh Indonesia tentang hukum perdata dan hukum dagang untuk golongan Tionghoa). Lihat Ny. Erna Sofwan Sukrie, Op.Cit, h. 9.

35


(39)

pengangkatan itu dinyatakan sah oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang yang mengankat anak itu”

b. Kehilangan kewaraganegaraan R.I pasal 17 (d) yang berbunyi :

“Kewarganegaraan R.I hilang karena anak yang diangkat dengan sah oleh orng asing sebagai anaknya, jika anak yang bersangkutan belum berumur 5 tahun dan dengan kehilangan kewarganegaraan R.I tidak menjadi tanpa kewarganegaraan”.36

d. Pemohon beserta istri berdasarkan peraturan perundang-undangan negaranya mempunyai surat izin untuk mengangkat anak.

Undang-undang kewarganegaraan R.I tersebut tidak pula mengatur tentang tata cara (acara) pengangkatan anak antar negara, baik pengankatan anak warga negara Indonesia oleh warga negeri asing ataupun pengangkatan anak warga negara asing oleh warga negara Indonesia.

Berdasarkan surat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tnggal 5 Juni 2002 No.0574 A/Pan. Kep./1972 menentukan syarat-syarat pengangkatan anak internasional, antara lain:

a. Permohonan adopsi Internasional harus diajukan di Pengadilan Negeri Indonesia ( dimana anak yang akan dingkat bertempat kediaman ).

b. Pemohon harus berdiam atau ada di Indonesia.

c. Pemohon beserta istri harus menghadap sendiri dihadapan hakim, agar hakim memperoleh keyakinan bahwa pemohon betul-betul cakap dan mampu untuk menjadi orang tua angkat.

37

1. Pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh orang asing hanya dapat dilakukan dengan penetapan Pengadilan Negeri.

Selanjutnya Surat Edaran Menteri Kehakiman No. JHA 1/1/2 tanggal 24 Februari 1978 yang ditujukan kepada notaris di seluruh Indonesia tentang prosedur Pengangkatan Anak warga negara Indonesia oleh orang asing dengan ketentuan:

36

) Ny. Erna Sofwan Sukrie, Op.Cit, h. 9-10.

37


(40)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

2. Tidak dibenarkan apabila pengangkatan tersebut dilakukan dengan akte notaris yang dilegalisir oleh Pengadilan Negeri.

3. Pemberitahuan tersebut dalam angka 2 didasarkan atas Yurisprudensi sebagaimana tersebut didalam Surat Ketua Pengadilan Negri Jakarta Pusat tanggal 5 Juni 1972 A /Pan.Kep/1972 dimana ditentukan sebagai syarat antara lain: butir a sampai d diatas.38

Dalam hal ini instansi yang berwenang melaksanakan penelitian pengangkatan anak dimaksud adalah Departemen Sosial, maka dikeluarkan Surat Edaran Menteri Sosial RI No. HUK 3-1-58/78 tanggal 7 Desember 1978 perihal: petunjuk sementara dalam Pengangkatan Anak ( Adopsi ) Internasional yang antara lain menentukan tentang:

• Batas usia anak yang diangkat ( 5 tahun ) • Batas usia Calon Orang Tua Angkat ( 50 tahun) • Asal-usul anak yang diangkat

• Izin tertulis dari orang tua kandung ( kalau masih ada) • Persetujuan negara Calon Orang Tua Angkat39

B. Latar Belakang Pengangkatan Anak

Beberapa alasan seseorang melakukan pengangkatan anak diantaranya : 1. Untuk menghilangkan rasa lesunya diri atau kehidupan keluarga dalam

suatu rumah tangga yang telah dibina bertahun-tahun tanpa kehadiran seorang anak.

2. Untuk melanjutkan garis keturunan, terutama sekali bangsa yang menganut sistem pengabdian kepada leluhur ( vooe onder vereringI ).

3. karena niat baik untuk memelihara dan mendidik anak-anak yang terlantar, menderita,miskin,dan sebagainya. Dalam hal ini dengan tidak memutuskan hubungan biologi dengan orang tua kandungnya.

4. Untuk mencari tenaga kerja atau membantu dalam melaksanakan pekerjaan rutin yang bersifat intern maupun eksteren.

5. Untuk mencapai dan mencari kepuasan batiniah bagi keluarga yang sangat membutuhkan kehadiran seorang anak dari kehidupan rumah tangga dan seluruh keluarganya.40

38

) Ibid..

39


(41)

Sementara Shanti Deliayana mengemukakan yang menjadi alasan pengangkatan anak itu adalah sebagai berikut:

1. Ingin mempunyai keturunan, atau ahli waris.

2. Ingin mempuyai teman untuk dirinya sendiri atau untuk anaknya karena sunyi dan kesepian.

3. Ingin mewujudkan rasa sosial, belas kasihan terhadap orang lain yang dalam kesulitan hidupnya sesui dengan batas kemampuannya.

4. Adanya peraturan perundang-undangan yang memungkinkan pelaksanaan pengangkatan anak.

5. Adanya orang-orang tertentu yang melaksanakan pengangkatan anak untuk kepentingan pihak tertentu.41

Dilain pihak Djaja S. Meliala mengatakan bahwa tujuan pengangkatan anak adalah:

1. Adanya belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu memeliharanya.

2. Tidak ada anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan memeliharanya kelak dihari tua.

3. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak di rumah maka diharapkan akan dapat memperoleh anak sendiri.

4. Untuk mendapatkan teman bagi anak yang sudah ada. 5. Untuk menambah/untuk mendapatkan tenaga kerja.

6. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan sekaligus untuk mendapatkan kebahagiaan dalan keluarga.42

Alasan dan tujuan melakukan adopsi adalah bermacam-macam, tetapi yang terutama adalah:

1. Rasa belaskasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu memelihara/kemusiaan.

2. Tidak mempunyai anak, dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan memeliharanya kelak kemudian di hari tua.

40

) Iman Jauhari, “Kajian Yuridis Terhadap Perlindungan Hak-Hak Anak dan

Penerapannya (Penelitian di Kota Binjai, Kota Medan, dan Kabupaten Deli Serdang), Disertasi,

Sekolah Pasca Sarjana USU, Medan, 2005, h. 243.

41


(42)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

3. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak dirumah, maka akan dapat mempunyai anak sendiri.

4. Untuk mendapatkan teman bagi anak yang sudah ada. 5. Untuk menambah/mendapatkan tenaga kerja.

6. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan.43

Pada mulanya pengangkatan anak (adopsi) dilakukan semata-mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan/marga dalam suatu keluarga yang tidak mempunyai anak kandung. Disamping itu juga untuk mempetahankan ikatan perkawinan, sehingga tidak timbul perceraian, tetapi dalam perkembangannya kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan adopsi telan berubah menjadi untuk kesejahteraan anak. Hal ini tercantum dalan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang bebunyi : “Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.

Walau demikian, tentu masih ada juga penyimpangan-penyimpangan, seperti misalnya, ingin menambah/mendapatkan tenaga kerja yang murah. Adakalanya keluarga yang telah mendapatkan anak kandung, merasa perlu lagi untuk mengangkat anak, yang bertujuan menambah tenaga kerja dikalangan keluarga atau merasa kasihan terhadap anak yang terlantar itu.44

43

) Djaja S. Meliala,Op.Cit, h. 4.

44

) Ibid.


(43)

Pengangkatan anak dalam staatblaad 1917 No. 129 berlaku untuk golongan Timur Asing Tionghoa, yang berkaitan dengan berbagai syarat untuk melakukan suatu perbuatan pengangkatan anak.

Di dalamnya diatur antara lain seorang laki-laki yang kawin dapat mengadopsi seorang anak laki-laki. Ketentuan tersebut ada larangan bahwa anak perempuan tidak dapat diadopsi, hanya anak laki-laki saja yang boleh diangkat. Ketentuan ini sekarang telah diperkuat dengan adanya yurispudensi yang menentukan seorang anak perempuan pun dapat diangkat oleh golonan Timur Tionghoa. Jadi sekarang perempuan telah dapat dilakukan pengangkatan oleh Timur Asing Tionghoa.45

1. Tunai/kontan artinya bahwa anak itu dilepaskan dari lingkungan semula dan dimasukkan kedalam kerabat yang mengadopsinya dengan suatu pembayaran benda-benda megis, uang , dan/atau pakaian.

Untuk dapat mengadopsi harus ada persetujuan terlebih dahulu antara suami istri yang hendak melakukannya. Bila yang hendak diadopsi adalah seorang sah, maka diperlukan persetujuan orang tua kandungnya. Apabila diadopsi bagi anak yang dilahirkan diluar nikah, yang memberi persetujun ialah orang tua yang mengakui sebagai anak. Demikian pula bila kedua orang tua kandungnya telah meninggal dunia, wali dan balai harta peninggalan memberi persetujuan.

Pengangkatan anak dalam masyarakat hukum adat dapat dilakukan dengan cara, yaitu:

45


(44)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

2. Terang artinya bahwa adopsi dilakukan dengan upacara-upacara dengan bantuan para Kepala Persekutuan, ia harus terang diangkat kedalam tata hukum masyarakat.46

Berdasarkan pembagian hukum adat di Indonesia, dibeberapa daerah, hukum adat tersebut mengalami adanya pengangkatan anak, walaupun tidak terdapat keseragaman, karena berkaitan dengan hukum keluarga.

Di daerah-daerah yang mengikuti garis keturunan dari pihak laki-laki (kebapakan) antara lain terdapat di Tapanuli, Nias,Gayo, Lampung, Bali dan Kepulauan Timor, dimana pengangkatan anak hanya dilakukan terhadap anak laki-laki saja, dengan tujun adalah untuk meneruskan garis keturunan dari pihak bapak. Mengenai kewenangan anak angkat pada umumnya dapat dikatakan sama dengan kewenangang anak kandung, dalan arti anak angkat sama seperti anak kandung mempunyai kewenangan dalam pengurusan hari tua orang tua angkat. Ia menjadi generasi penerus bagi orang tua angkatnya.47

Di daerah yang mengikuti garis keibuan (matrilinial) terutama di Minang Kabau. Hal ini ditegaskan oleh Mr. B. Ter Haar tidak mengenal lembaga pengangkatan anak, karena menurut hukum adat yang berlaku di daerah Minang Kabau harta warisan seorang ayah (bapak) tidak akan jatuh (diwarisi) oleh anak-anak keturunannya, melainkan diwarisi oleh saudara-saudara sekandung beserta saudara perempuan yang bersasal dari satu ibu. Dengan demikian di Minang

46

) Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Adat, Liberty, Yogyakarta, 1999, h. 103. Lihat Hamzah, 1997, “Adopsi Menurut Ketentuan Hukum Adat, Majalah Hukum, Edisi September, No.1, Vol. 2, fakultas Hukum USU, Madan, Hal.37. Menurut Ketentuan Undang-Undang Pengangkatan Anak oleh Seorang Tionghoa Hanya Dapat Dilakukan Dengan Suatu Akte Notaris, akan tetapi dewasa ini telah banyak pula dilakukan dengan putusan pengadilan, sehingga pengadilan di Indonesia telah dapat menyetujui permohonan pengangkatan anak perempuan, seperti orang-orang Timur Asing Tionghoa (Warga Negara keturunan China). Dalam peraturan perundang-undangan, ketentuan hukum tentang pengangkatan anak, terdapat di dalam hukum adat. Yang dimaksud hukum adat disini ialah hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi.

47

) Rosni Hamdan, “Tinjauan Yuridis Tentang Status Anak Angkat”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Edisi Agustus No.26 Tahun X, Fakultas Hukum Unsyiah, Darussalam-Banda Aceh, 2000 h. 894.


(45)

Kabau tidak mendesak untuk melakukan perbuatan pengangkatan anak, karena yang mewarisi adalah anak-anak dari saudaranya yang perempuan.

Di daerah-daerah yang mengikuti garis keturunan keibu-bapakan (parental) seperti Jawa dan Sulawesi, dimana pengangkatan anak (laki-laki atau perempuan) pada umumnya dialakukan terhadap anak keponakannya sendiri dengan maksud dan tujuan untuk :

a) Memperkuat pertalian kekeluargaan.

b) Suatu kepercayaan, dengan mengangkat anak itu, kedua orang tua angkat akan dikaruniai anak.

c) Menolong anak yang diangkat karena belas kasihan.

Pengangkatan anak di Jawa dan Madura, dan di daerah Jakarta Raya orang lazim mengangkat anak. Anak angkat disebut anak pungut. Di daerah Tebet disebut kukutan, sedang di derah Rawasani, Senen dan Grogol, keponakan dari ayah angkat yang diambil jadi anak anak piara. Anak angkat (anak pungut), selama masih hidup tetap dengan orang tua angkat. Anak yang dijadikan anak angkat tidak ada ketentuan batas umur, pada umumnya adalah anak-anak yang masih di bawah umur. Ketentuan-ketentuan anak di Madura umumnya tidak berbeda dengan hukum adat di Jawa.48

Pengangkatan anak di sumatera, seperti di daerah Aceh disebut anuek geuteung. Di sekitar Aceh Timur-Idi, Langsa dan Kuala Simpang disebut Selanjutnya B. Bastian Tafal mengatakan bahwa;

48

) Ibid, h. 895. Lihat B. Bastian Tafal, 1983, Op.Cit, h 104. Pada hakikatnya tindakan pengangkatan anak menurut hukum adat Madura adalah suatu usaha mengambil anak yang untuk keturunannya sendiri dengan maksud untuk memelihara dan memperlakukan sebagai anak sendiri. Pengangkatan anak di Bali sudah merupakan suatu hal yang biasa dilakukan, dimana anak yang diangkat kedudukannya sama dengan anak pungut, dengan tidak ada perbedaan sama sekali, sebagai anak sendiri. Biasanya dilakukan dengan upacara adat yang disebut peperasan. Hubungan hukum si anak dengan orang tua kandungnya menjadi putus dan ia sepenuhnya menjadi anak dari


(46)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

anak bela. Sifatnya hanya memelihara saja dan tidak mempunyai akibat hukum. Di daerah Kuala Simpang penyerahan anak bela dilakukan di hadapan kepala-kepala adat, datuk, imam kampung dan keluarga. Walaupun hubungan yang timbul karena pengangkatan anak itu adalah akrab, akan tetapi tidak menimbulkan hak mewaris. Malahan anak angkat dapat dikawinkan dengan anak kandung sendiri, hal mana sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Di daerah Aceh Tengah, di mana yang diangkat anak ialah seorang anak laki-laki yang diharapkan akan menjadi penerus keturunan bagi orang tua angkat yang tidak mempunyai anak laki-laki. Istilah adatnya ialah luten aneuk ni jema menjadi aneuk te isahan (mengangkat anak orang lain menjadi anak sendiri dengan disahkan) yang boleh diangkat anak hanyalah seorang laki-laki dan dilakukan dengan upacara yang dihadiri oleh sarek opat dan ahli famili anak angkat mendapat bagian warisan dari orang angkat berupa kemangan kerosejuk (artinya memakan nasi dingin). Hal ini karena dalam kewarisan selaku anak kandung yang diutamakan, sedangkan anak angkat menerima sekedar hibah dari orang tua angkatnya. Di samping itu si anak angkat mendapat warisan pula dari orang tua kandung.49

Di daerah Aceh umumnya dalam hal ini dilukiskan dengan kata-kata: euoh geseutot, gadoh geumita, udep gepeujahan, mate geupeugafan, artinya jauh disusul, hilang dicari, hidup dibimbing, mati dikafankan. Pengangkatan anak dapat dilakukan menurut cara yang berlaku sesuai hukum adat masing-masing daerah tetap sebaiknya dibuat akta otentik, walaupun tidak dilakukan melalui seorang Notaris, cukup hanya keterangan Kepala Desa/ Lurah yang diketahui Camat.50

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 mengenai tata cara pengangkatan anak ditegaskan bahwa pengangkatan anak warga negara Indonesia, supaya ada jaminan dan memperoleh kepastian hukum anak tersebut, maka pengangkatannya harus melalui suatu keputusan pengadilan.

49


(47)

Mahkamah Agung lewat surat edarannya ingin menegaskan bahwa Penetapan dan Keputusan pengadilan merupakan syarat bagi sahnya pengangkatan anak. Dalam arti kata pengangkatan anak hanya sah sifatnya apabila diberikan oleh badan pengadilan (harus melalui suatu keputusan pengadilan).51

1. Allah tidak menjadikan dua hati dalam dada manusia.

Disamping itu pengangkatan anak juga dikenal dalam hukum Islam. Ketentuan tentang pengangkatan anak ini bersumber langsung dalam AL-Qu’ran sebagaimana tertera dalam surat AL-Azhab (33): 4-5-37. Dalam garis besarnya dapat dirumuskan sebagai berikut:

2. Anak angkatmu bukanlah anak kandungmu.

3. Panggillah anak angkatmu menurut nama bapaknya.

4. Bekas isteri anak angkat boleh kawin dengan bapak angkat.52

D. Akibat Hukum Pengangkatan Anak

1. Menurut Peraturan Perundang-Undangan

Menurut Stb 1917 Nomor 129 tentang Adopsi, bahwa akibat hukum dari perbuatan adopsi sebagai berikut :

a) Sesuai dengan Pasal 11 bahwa anak adopsi secara hukum mempunyai nama keturunan dari orang yang mengadopsi.53

50

) Rosni Hamdan, Op.Cit, 2000, h. 896

51

) Malem Ginting, “Kedudukan Anak Angkat Dalam Warisan Menurut Hukum Adat”,

Majalah Hukum, Edisi Agustus, Nomor 2 Tahun ke 4, Medan: Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, 1999, h. 66.

52

) B.Bastian Tafal, Op.Cit, 1983, h. 154.

53

) Pasal 11 berbunyi: “…bahwa orang yang di adopsi, jika mempunyai nama keturunan lain daripada laki-laki yang mengadopsinya sebagai anak laki-lakinya memperoleh nama keturunan dari orang yang mengadopsi sebagai ganti dari pada nama keturunan orang yang di


(48)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

b) Sesuai dengan Pasal 12 ayat(1) bahwa anak adopsi dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari orang yang mengadopsi. Konsekuensinya, anak adopsi, menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsi.54

Terhadap Pasal 12 tersebut J. Satrio berkomentar, konsekuensi lebih lanjut adalah bahwa karena dianggap dilahirkan dari perkawinan orang yang mengadopsi, maka dalam keluarga adoptan, adoptandus berkedudukan sebagai anak sah, dengan konsekuensi lebih lanjut.55

a) Kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak, yaitu orang tua wajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa dan sepanjang perkawianan bapak dan ibu tiap-tiap anak sampai ia menjadi dewasa, tetap dibawah kekuasaan orang tua sepanjang kekuasaan orang tua belum dicabut.

Bila anak adopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat anak adoptandus berkedudukan sebagai anak sah, maka akibat hukumnya sebagai berikut : “sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka akibat hukumnya tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, meliput i:

b) Kekuasaan orang tua terhadap harta kekayaan anak, yaitu terhadap anak yang belum dewasa maka orang tua harus mengurus harta kekayaan anak itu.

c) Hak dan kewajiban anak terhadap orang tua, yaitu tiap-tiap anak dalam umur berapa pun wajib menaruh kehormatan dan keseganan

54

) Bunyi Pasal 12 ayat (1) yang menyatakan: Bila orang-orang yang kawin mengadopsi seorang anak laki-laki, maka ia dianggap dilahirkan dari perkawinan mereka”.

55

) J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, h.236.


(49)

terhadap bapak dan ibunya serta berhak atas pemeliharaan dan pendidikan.56

Adanya adopsi, maka terputus segala hubungan keperdataan antara anak adopsi dengan orang tua kandungnya. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan:

1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2) Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara yang diangkat dan orang tua kandungnya.

3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon orang tua angkat.

4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

5) Dalam hal asal usul anak didik diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.

6) Orang tua angkat wajib memberitahukan.

7) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.57

Dari bunyi pasal di atas bahwa pengangkatan anak yang dilakukan dengan adat maupun dengan Penetapan Pengadilan tidak diperbolehkan memisahkan


(50)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

hubungan darah antara si anak angkat dengan orang tua kandungnya yang bertujuan antara lain untuk mencengah kemungkinan terjadinya perkawinan sedarah. Oleh karena itu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terhadap anak angkat maka orang tua angkat harus mempunyai data yang jelas mengenai asal usul keluarga anak angkat dan pada saat yang tepat wajib memberitahukannya kepada anak angkatnya.58

Pengangkatan anak menurut hukum adat biasanya dilakukan menurut adat setempat dan tidak ada suatu kesatuan cara yang berlaku bagi seluruh wilayah/daerah Indonesia. Menurut hukum adat Indonesia, anak angkat ada yang menjadi pewaris bagi orang tua angkatnya, tetapi ada pula yang tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya, tetapi ada pula yang tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Hal ini tergantung dari daerah mana perbuatan pengangkatan anak itu dilakukan. Dalam hal kedudukan anak angkat terhadap akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat adalah kedudukan anak angkat di dalam masyarakat yang sifat susunan kekerabatannya parental seperti di Jawa, berbeda dengan kedudukan anak angkat dalam masyarakat yang susunan kekerabatan patrilineal seperti Bali. Perbedaannya adalah di Jawa perbuatan pengangkatan anak hanya diambil dari keluarga terdekat, sehingga keadaan tersebut tidak memutuskan hubungan pertalian kekerabatan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandung. Akibatnya anak itu tetap berhak mewarisi harta peninggalan dari orang tua angkat, disamping itu berhak pula mewarisi harta warisan dari orang tua kandungnya. Di Bali tindakan mengangkat anak merupakan kewajiban hukum untuk melepaskan anak yang diangkat dari keluarganya masuk kedalam

Dilakukannya adopsi putuslah segala hubungan perdata yang berasal dari keturunan karena kelahiran (antara anak dengan orang tua kandungnya). Anak angkat menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya.

2. Menurut Hukum Adat

57

) Lihat Pasal 39, dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

58

) Berdasarkan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa pengangkatan anak yang bertentangan dengan Pasal 39 ayat (1), (2) dan (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000;. Dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 604 K/Sip/1970 tanggal 24 Maret 1971, yang menyatakan bahwa: bahwa seorang dapat dinyatakan sebagai anak angkat dari orang tua yang mengangkatnya bilamana ia telah dibesarkan, dikhitankan, dikawinkan, oleh kedua orang tua angkatnya.


(51)

keluarga yang mengangkatnya, sehingga anak itu selanjutnya berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan garis keturunan dari orang tua angkatnya.59

Pengangkatan anak merupakan istilah yang digunakan didalam hukum adat sedangkan didalam hukum barat disebut adopsi. Adopsi berasal dari kata adoptie (Belanda) atau adoption (Inggris). Menurut kamus Inggris – Indonesia, adoption artinya pengangkatan, pemungutan, adopsi dan untuk sebutan pengangkatan anak disebut adopsi, dan sebutan pengangkatan anak disebut adoption of child.60

Pengangkatan anak dibedakan dengan pemeliharaan anak karena pengangkatan anak menimbulkan akibat – akibat hukum, sebagaimana yang dikatakan Soepomo, “diseluruh wilayah hukum (Jawa Barat) bilamana dikatakan manupu, mulung atau mungut anak” yang dimaksud ialah mengangkat anak orang lain menjadi anak sendiri.61

Putusan Pengadilan Negeri Muara Tewe Kalimantan Tengah tanggal 7 Mei 1973 Nomor 3/ 1973 – Pdt. Mtw, menyatakan unuk dapat dikabulkan permohonan pengangkatan anak diperlukan adanya surat penyerahan dari orang tua, saksi – saksi dan dikuatkan di pengadilan.62

E. Kedudukan Anak Angkat Menurut Yurisprudensi.

59

) Rosmi Hamdan, Op.Cit, h. 898 – 899.

60

) Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1983, h. 13.

61


(52)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

Terdapat bermacam-macam ketentuan yang mengatur mengenai anak angkat, sehingga bagaimana hak dan kedudukan anak angkat terhadap harta peninggalan orang tua yang mengangkatnya belum ada terdapat keseragaman. Sebelum melihat kedudukan anak angkat dalam beberapa yurisprudensi, terlebih dahulu dilihat beberapa pendapat sarjana yang mengemukakan tentang kedudukan anak angkat.

Holleman menyatakan bahwa : “anak angkat bukanlah ahli wari dari

orang tua angkatnya, tetapi dia dapat memperoleh harta dengan hibah atau pemberian ataupun dengan semufakat ahli waris lainnya untuk diberikan barang-barang tertentu kepada anak tersebut”.

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa:

“Bahwa anak angkat mempunyai kedudukan hukum terhadap yang mengangkatnya, yang sama sekali tidak berbeda dari kedudukan hukum anak keturunannya sendiri juga perihal hak anak itu untuk mewarisi kekayaan yang kemudian ditinggalkan oleh orang yang mengangkat anak itu pada waktu mereka meninggal dunia”.63

“Anak angkat dipelihara seperti halnya anak sendiri, tetapi di samping itu haruslah dibedakan kedudukan anak angkat dengan orang tua angkat dan dengan orang tua kandungnya dan juga dengan keluarga orang tua angkatnya, oleh orang tua angkat diperlukan sebagai anak kandung sendiri, terhadap harta dari orang tua angkat, anak angkat hanya berhak atas harta pencaharian, terhadap harta asal, anak tidak berhak”.

Ter Haar berpendapat bahwa:

64

62

) Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjaun dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, h. 48.

63

) R. Wirjono Projodikoro, Warisan Hukum Di Indonesia, Penerbit Sumur, Bandung, 1983, h. 78.

64

) Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Penerbit Pradya Paramita, Jakarta, 1974, h. 184.


(53)

Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa:

“Di daerah Lampung anak angkat tegak tegi yang merupakan penerus keturunan bapak angkatnya merupakan ahli waris dari orang tua angkatnya, dan ia tidak mewaris lagi dari orang tua kandungnya, sedangkan di daerah Jawa anak angkat itu “Ngangsu Sumur Loro” artinya mempunyai dua sumber warisan, karena ia mendapat warisan dari orang tua angkatnya dan juga mendapat warisan dari orang tua kandungnya”.65

1. Keputusan MA No. 82 K/Sip/1957 dalam perkara di Bandung di putuskan bahwa anak angkat hanya berhak atas harta gono-gini orang tua angkatnya, sedangkan harta pusaka (barang asal) kembali kepada waris keturunan darah, jadi tidak jatuh kepada anak angkat atau anak pungut Selain dari pendapat-pendapat diatas, juga dilihat dalam putusan Mahkamah Agung R.I yang memuat hak dan kedudukan anak angkat terhadap harta orang tua angkatnya. Dalam hal ini Mahkamah Agung tidak seragam dalam memberi putusan tentang hak-hak anak angkat sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya:

2. Keputusan MA No. 416 K/Sip/ 1958, mengalami perubahan dimana perkara terjadi di Sumatera Timur, Keputusan tersebut berpedoman kepada hak adat Sumatera Timur, yaitu anak angkat tidak berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, hanya dibenarkan menerima hibah, selama hidup anak angkat.


(54)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

Hukum Islam tidak mengenal anak angkat, tetapi dalam kompilasi mengenal anak angkat yaitu Pasal 171 bagian h.

Undang-Undang Peradilan Agama: No. 7 Tahun 1989.

3. Keputusan MA No. 997 K/Sip/ 1972, ditegaskan bahwa: anak angkat berhak atas harta gono-gini dan harta bawaan orang tua angkatnya.

4. Keputusan MA No. 1002 K/Sip/1976, mengatakan bahwa janda dan anak angkat berhak atas harta gono-gini, sedangkan barang asal (bawaan) anak angkat tidak berhak.

5. Keputusan MA No. 3832 K/Sip/1985, MA memutuskan: - Prinsip tentang anak angkat:

MA memutuskan bahwa anak angkat mempunyai kedudukan yang sama dengan janda dan anak kandung yaitu ahli waris.

- Jika anak angkat bersekutu dengan janda, anak kandung berhak atas harta gono-goni, kesannya bagian anak anagkat adalah sama dengan bagian anak kandung atau janda.

- Anak angkat mewarisi seluruh harta gono-gini, bila tidak ada anak kandung dan janda .

6. Keputusan MA No. 246 K/Sip/1980 menegaskan bahwa:

Di Nganjuk seorang anak angkat dilihat dari kenyataan yaitu apabila anak angkat dipelihara sejak ia bayi, dikhitankan, dikawinkan, disahkan oleh orang tua angkatnya, maka ia berhak menjadi ahli waris orang tua angkatnya, dan atas harta bersama.


(55)

7. Keputusan MA No. 210 K/ Sip/ 1973, menyatakan bahwa keabsahan seorang anak angkat tergantung kepada acara adat, tanpa menilai secara obyektif, realita, dan keberadaan anak angkat dalam kehidupan orang tua angkatnya.

8. Keputusan MA No. 912 K/ Sip/ 1995, bahwa tanpa upacara adat tidak sah pengangkatan anak meskipun anak itu sejak kecil dipelihara, dikawinkan oleh orang tua angkatnya.

9. Keputusan MA No. 281 K/ Sip/ 1993, bahwa pengangkatan anak sah mana kala dipengaruhi beberapa syarat, dan harus dibarengi upacara “Widi Widina” (upacara peras) dihadiri oleh pendeta, disaksikan Clan adat, Clan suku, Kepala Desa serta diumumkan didepan Ulama.

10. Keputusan MA No. 849 K/ Sip/ 1979 menyatakan bahwa:

Pengangkatan anak salah satu syarat upacara tidak lagi di pedomani, sejak tahun1976, ditegaskan bahwa: anak yang diambil sejak bayi dilahirkan dan pemeliharaannya dilakukan secara terus menerus sampai besar dan dikawinkan, sah sebagai anak angkat, meskipun tidak melalui upacara adat.

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG ADOPSI INTER COUNTRY


(1)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Afandi, Ali, 1997, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

………, Hukum Keluarga, Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(BW), Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta.

Dellyana, Shanty, 1988, Wanita dan Anak Dimata Hukum, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta.

Echols, Jhon M., dan Hasan Shadily, 1981, Kamus Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta.

Gautama, Sudargo, 1969, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku ketujuh, Jilid ketiga (bagian pertama), PT. Kinta, Jakarta.

Haar, B. Ter, 1991, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, PT. Pradnya Paramaja, Jakarta.

Hariadi, Tresna, 2004, Hak-Hak Anak Angkat dari Orang Tua Angkat Dalam

Hukum Islam (Studi pada Pengadilan Agama Medan), Tesis, PPs-USU,

Medan.

Jauhari, Iman, 2003, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa Press, Jakarta.


(2)

………, 2003, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Pustaka Bangsa Press, Jakarta.

Kartohadiprodjo, Soedirman, 1967, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Cetakan Kelima, PT. Pembangunan, Jakarta.

Martosedono, Amir, 1997, Tanya Jawab Pengangkatan Anak, Dahara Prize, Semarang.

Moleong, Lexy j., 2005, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Ritonga, A. Rahman, et-al., 2001, Ensiklopedia Hukum Islam, Editor H. Abdul Aziz Dahlan, et-al., Jilid Pertama, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.

S. Meliala, Djaja, 1982, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Tarsito, Bandung.

…….., tt, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Tarsito, Bandung.

Satrio, J., 2000, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam

Undang-Undang, Bandung, Citra Aditya Bhakti.

Sitepu, Runtung, 2005, Metode Penelitian Hukum, Diktat Perkulihan Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, Medan.


(3)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

Soepomo., R., 1967, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, Terjemahan Ny. Nani Soewondo, Djambatan, Jakarta.

Sudiyat, Iman, 1999, Hukum Adat Sketsa Adat, Liberty, Yogyakarta.

Tafal, B. Bastian, 1983, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta

Akibat-Akibat Hukumnya Dikemudian Hari, CV. Rajawali, Jakarta.

……., 1983, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat

Hukumnya Dikemudian Hari, CV. Rajawali, Jakarta.

Thaib, H. M. Hasballah, 1995, 21 Masalah Aktual Dalam Pandangan Fiqih Islam.

Wignjodipoero, Soerojo, 1995, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, PT. Toko Gunung Agung, Jakarta.

Zaini, Muderis, 1992, Adopsi: Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

……., 2002, Adopsi: Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Djojodiguno, 1961, Majalah Hukum Adat, Tahun II Nomor 1 dan 2.

Ginting, Malem, 1999, “Kedudukan Anak Angkat Dalam Warisan Menurut

Hukum Adat”, Majalah Hukum, Edisi Agustus, Nomor 2 Tahun keempat,


(4)

Hamdan, Rosni, 2000, “Tinjauan Yuridis Tentang Status Anak Angkat”, Kanun

Jurnal Ilmu Hukum, Edisi Agustus Nomor 26 tahun X, Fakultas Hukum

Unsyiah, Darussalam-Banda Aceh.

Hamzah, 1997, “Adopsi Menurut Ketentuan Hukum Adat”, Majalah Hukum, Edisi September, Nomor 1 Volume 2, Fakultas Hukum USU, Medan.

Jauhari, Iman, 2005, “Kajian Yuridis Terhadap Perlindungan Hak-Hak Anak Dan

Penerapannya (Penelitian di Kota Binjai, Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang), Disertase, Sekolah Pascasarjana USU, Medan.

Sitepu, Runtung, 2004, “Fluralisme Hukum Mengenai Pengangkatan Anak di

Indonesia”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Nomor 39 Tahun XIV, Edisi

Agustus 2004, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Darussalam-Banda Aceh.

Departemen Sosial Ri, 2005, Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak, Jakarta.

Departemen Sosial RI, tt, Program Pengangkatan Anak (Child Adoption

Program), Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Direktorat


(5)

Rianto Sitorus : Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga

BPHN, “Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional”, Kerjasama Badan Pembinaan Hukum Nasional dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Tanggal 15-17 Januari 1975, Yogyakarta, Kesimpulan.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang Nomor 62 Tahun 1958 yang telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah.

Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 82/ HUK/ 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Sosial.

SEMA R.I. Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak.


(6)

Keputusan Kepala Badan Kesejahteraan Sosial Nasional Nomor: 01/ HUK/ BKSN/ 2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Kesejahteraan Sosial Nasional.

Ketentuan-Ketentuan Hukum Perdata Anak (Penelitian dan Saran-Saran), Badan Koordinasi Nasional Untuk Kesejahteraan Keluarga dan Anak ( BKN-KKA), Jakarta, 1972

Tabloit


Dokumen yang terkait

Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Warga Binaan Anak Oleh Upt Pelayanan Sosial Anak Dan Lanjut Usiadi Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

1 84 161

Peran Imigrasi Dalam Penanganan Pengungsi Warga Negara Asing Di Kota Medan

8 83 120

Perjanjian Penguasaan Hak Atas Tanah Oleh Indonesian Nominee Kepada Warga Negara Asing

6 86 123

Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing (Sk Menteri Sosial Ri No.13 / Huk / Tahun 1993 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak - Study Di Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara

0 29 139

Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara...

1 43 5

Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

5 114 133

Pengangkatan Anak Bagi Warga Muslim Di Pengadilan Negeri Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

0 8 103

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Efektivitas. - Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Warga Binaan Anak Oleh Upt Pelayanan Sosial Anak Dan Lanjut Usiadi Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah - Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Warga Binaan Anak Oleh Upt Pelayanan Sosial Anak Dan Lanjut Usiadi Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

0 0 10

Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Warga Binaan Anak Oleh Upt Pelayanan Sosial Anak Dan Lanjut Usiadi Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

0 0 20