Perkembangan Mediasi Definisi Mediasi dan Perkembangan Mediasi

Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi, yang dimaksud dengan mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Ada 2 dua jenis mediasi, yaitu di dalam pengadilan dan di luar pengadilan.Mediasi di luar pengadilan ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian sengketa yang dikenal sebagai Pusat Mediasi Nasional PMN dan dalam asuransi ada dikenal Badan Mediasi Asuransi Indonesia BMAI. Mediasi yang berada di dalam pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung PERMA Nomor 1 Tahun 2008 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata dengan mediator terdiri dari hakim-hakim Pengadilan Negeri tersebut yang tidak menangani perkaranya. 19

2. Perkembangan Mediasi

Penyelesaian konflik sengketa secara damai telah dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia berabad-abad yang lalu.Masyarakat Indonesia merasakan, penyelesaian sengketa secara damai telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil, seimbang, dan terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan komunalitas dalam masyarakat.Masyarakat mengupayakan penyelesaian sengketa mereka secara cepat dengan tetap menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan tidak merampas atau menekan kebebasan individual.Masyarakat Indonesia, sebagaimana masyarakat lainnya di dunia, merasakan bahwa konflik atau sengketa yang muncul dalam masyarakat tidak boleh dibiarkan terus- menerus, tetapi harus diupayakan jalan penyelesaiannya.Dampak dari konflik tidak hanya memperburuk hubungan antar para pihak, tetapi juga dapat mengganggu keharmonisan sosial dalam masyarakat. 20 Penyelesaian konflik atau sengketa dalam masyarakat mengacu pada prinsip “kebebasan” yang menguntungkan kedua belah pihak.Para pihak dapat menawarkan opsi penyelesaian sengketa dengan perantara tokoh masyarakat. Para 19 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi. 20 Rahmadi Takdir, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Edisi I, Jakarta : Rajawali Pers, 2010, hal. 23. pihak tidak terpaku pada upaya pembuktian benar atau salah dalam sengketa yang mereka hadapi tetapi mereka cenderung memikirkan penyelesaian untuk masa depan, dengan mengakomodasi kepentingan-kepentingan mereka secara berimbang. Penyelesaian sengketa yang dapat memuaskan para pihak walaupun tidak 100 dapat ditempuh melalui mekanisme musyawarah dan mufakat.Penerapan prinsip musyawarah ini umumnya dilakukan di luar pengadilan. Musyawarah mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk penyelesaian sengketa.Musyawarah mufakat sebagai nilai filosofi bangsa dijelmakan dalam dasar negara, yaitu Pancasila.Dalam sila keempat Pancasila disebutkan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratanperwakilan.Nilai tertinggi ini, kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan sejumlah peraturan perundang-undangan dibawahnya.Prinsip musyawarah merupakan nilai dasar yang digunakan pihak bersengketa dalam mencapai solusi terutama di luar jalur pengadilan.Nilai musyawarah terkonkritkan dalam sejumlah bentuk alternatif penyelesaian sengketa seperti mediasi, arbitrase, negosiasi, fasilitasi, dan berbagai bentuk penyelesaian sengketa lainnya. 21 Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia prinsip musyawarah mufakat yang berujung damai juga digunakan di lingkungan pengadilan, terutama dalam penyelesaian sengketa perdata.Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan perundang-undangan sejak masa Kolonial Belanda sampai sekarang masih memuat asas musyawarah damai sebagai salah satu asas peradilan di Indonesia.Bahkan akhir-akhir ini muncul dorongan kuat dari berbagai pihak untuk memperteguh prinsip damai melalui mediasi dan arbitrase dalam penyelesaian sengketa. Dorongan ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan antara lain penyelesaian sengketa melalui pengadilan memerlukan waktu yang cukup lama, melahirkan pihak menang atau kalah, cenderung mempersulit hubungan para 21 Ibid., hal. 25. pihak pasca lahirnya putusan hakim, dan para pihak-pihak leluasa mengupayakan opsi penyelesaian sengketa mereka. Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan Pasal 24 mengisyaratkan bahwa penyelesaian sengketa terjadi di kalangan masyarakat dilakukan melalui jalur pengadilan litigasi.Badan peradilan adalah pemegang kekuasaan kehakiman yang mewujudkan hukum dan keadilan.Meskipun demikian, sistem hukum Indonesia juga membuka peluang menyelesaiakan sengketa di luar jalur pengadilan non litigasi. Green menyebutkan dua model penyelesaian sengketa ini dengan metode penyelesaian sengketa dalam bentuk formal dan informal. Dalam peradilan di Indonesia, proses penyelesaian perkara sengketa menganut asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.Asas ini berlaku pada lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan badan peradilan- peradilan di bawahnya. Penerapan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan mengalami kendala dalam praktek peradilan, karena banyaknya perkara yang masuk, terbatasnya tenaga hakim, dan minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga peradilan terutama peradilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi kabupatenkota.Penumpukan perkara tidak hanya terjadi pada tingkat pertama dan banding, tetapi juga pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.Hal ini disebabkan sistem hukum Indonesia memberikan peluang setiap perkara dapat dimintakan upaya hukumnya, baik upaya hukum banding, kasasi dan bahkan peninjauan kembali.Akibat tersendatnya perwujudan asas ini telah mengakibatkan pencari keadilan mengalami kesulitan mengakses keadilan acces to justice guna mendapatkan hak-hak secara cepat.Keadaan ini tentu tidak dapat dibiarkan, karena berdampak buruk pada penegakan hukum di Indonesia. 22 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 membawa perubahan penting bagi pola penyelesaian sengketa perkara dalam kehidupan masyarakat Indonesia.Masyarakat cenderung berpikir bahwa ketika terjadi konflik atau sengketa, maka yang terbayang adalah pengadilan. Pengadilan adalah satu- satunya lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa, dan masyarakat tidak memiliki pilihan lain untuk menyelesaikan sengketa mereka. Pandangan ini tidak salah, karena pengadilan memang diberikan otoritas oleh negara untuk menyelesaikan sengketa.Namun, ketika berhadapan dengan pengadilan, para Menghadapi tantangan yang begitu berat, sistem hukum Indonesia sebenarnya memiliki aturan hukum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa secara cepat baik di lingkungan peradilan maupun di luar pengadilan. Dilingkungan peradilan dapat ditempuh jalur damai melalui proses mediasi, dimana hakim terlibat untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Di luar pengadilan dapat ditempuh jalur abitrase, mediasi, negosiasi atau fasilitasi sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa. Dalam Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.Dalam kaitan dengan penyelesaian sengketa dengan upaya damai ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.Dalam Pasal 56 disebutkan pengadilan tidak boleh menolak untuk memutus atau memeriksa suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutuskannya.Keputusan yang diambila hakim tidak menutup kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai. 22 Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis : Hukum Arbitrase, Cetakan II Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2001, hal. 48. pihak yang bersengketa menghadapi persoalan antara lain waktu, biaya, dan mungkin persoalan mereka diketahui publik.Dalam konteks ini, masyarakat berada pada posisi ambivalen. Pada satu sisi, masyarakat ingin perkaranya cepat selesai namun pada sisi lain mereka tidak bersedia berhadapan dengan pengadilan. Adakah cara lain yang dapat ditempuh guna menyelesaikan sengketa di luar pengadilan yang memiliki landasan yuridis kuat dalam negara hukum Indonesia. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa membawa angin baru bagi para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.Penyelesaian sengketa di luar pengadilan menganut prinsip sama-sama menguntungkan win-win solution, dan berbeda dengan penyelesaian sengketa di pengadilan dimana prinsip yang dianut adalah menang-kalah. Undang-undang ini memberikan dorongan kepada para pihak bersengketa agar menunjukkan itikad baik, karena tanpa itikad baik apapun yang diputuskan di luar pengadilan tidak akan dapat dilaksanakan. Prinsip win- win solution dan penyelesaian sengketa secara cepat telah menjadi pilihan dalam dunia bisnis akhir-akhir ini, sehingga keberadaan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 benar-benar memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang semakin berkembang. 23 Posisi mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ini berada di bawah Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mengatur dua hal utama, yaitu arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Dalam Pasal 1 disebutkan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. 23 Ibid.,hal. 50. payung alternatif penyelesaian sengketa. Alternatif penyelesaian sengketa terdiri atas sejumlah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan berupa konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Pengaturan mengenai alternatif penyelesaian sengketa cukup terbatas diatur dalam undang-undang ini, yaitu hanya satu pasal yaitu Pasal 6 dengan 9 ayat. Dalam pasal tersebut tidak ditemukan penjelasan mengenai mediasi, persyaratan mediator, pengangkatan mediator, kewenangan dan tugas mediator, keterlibatan pihak ketiga, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses mediasi. Oleh karena itu, sangat tepat bla undang-undang ini disebut sebagai undang-undang arbitrase dan bukan undang- undang mediasi. Lembaga atau pusat mediasi di Indonesia tumbuh dan berkembang, khususnya setelah diterbitkannya Perma No. 2 Tahun 2003.Meskipun aturan ini jelas mengatur tentang mediasi di peradilan. Jumlah ini akan semakin banyak seiring adanya tuntutan penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi. Di Indonesia terdapat 2 dua lembaga mediasi yang telah terakreditasi oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu The Indonesian Mediation Center Pusat Mediasi Nasional dan Indonesian Institute for Conflict Transformation IICT. Untuk lembaga yang kedua ini lebih tepat disebut lembaga riset karena bergerak di bidang transformasi dan manajemen konflik. Meskipun demikian lembaga ini juga melakukan aktifitas yang hampir sama dilakukan oleh mediasi, seperti menyelenggarakan pelatihan mediator bagi hakim-hakim pengadilan negeri. 24 Pusat Mediasi Nasional yang berdiri pada 4 September 2003 menjelang ditetapkannya Perma No. 2 Tahun 2003 merupakan salah satu lembaga mediasi yang telah terakreditasi oleh Pengadilan Tinggi Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. KMA044SKVII2004 tanggal 6 Juli 2004. Lembaga ini merupakan realisasi kebijakan program-program pimpinan MA dalam upaya meningkatkan upaya damai di luar pengadilan, sebagaimana 24 Anggreany Arief, Skripsi Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan, Surabaya : 2009, hal. 43. yang disampaikan Ketua Mahkamah Agung RI dalam temu karya tentang mediasi pada 7 Januari 2003, yaitu ”Mendorong pembentukan Pusat Mediasi Nasional National Mediation Center”. 25 Agar program mediasi di Pengadilan Negeri bisa berguna sepenuhnya di seluruh Indonesia, PMN bertujuan untuk lebih lanjut membantu Mahkamah Agung dalam menyediakan pelatihan mediasi untuk para hakim seluruhnya terdapat 2.800 hakim diutamakan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.Implementasi dari kegiatan ini sepenuhnya tergantung pada donor pendukung. Follow up kegiatan tersebut di iringi dengan Program Post Monitoring untuk Pengadilan Wilayah Jakarta Selatan, Bandung dan Surabaya. Post Monitoring terdiri dari: Co-mediation mediator hakim dengan pelatih-pelatih PMN dan Refresh Course untuk mediator hakim, seperti diskusi dan pengelolaan materi yang dipandang kurang dipahami. Terdapat program tambahan untuk Pengadilan Wilayah Jakarta Selatan, sekelompok dari 20 mediator PMN yang terdaftar memberikan “jasa mediasi pro-bono” untuk kasus mediasi di Pengadilan Menurut Direktur Pusat Mediasi Nasional, Ahmad Fahmi Sahab, Pusat Mediasi Nasional ini menangani resolusi sengketa, bukan resolusi konflik. Oleh karena itu bidang garapannya adalah sengketa komersial.Disamping itu, pusat mediasi ini juga melakukan community development, meskipun kegiatan ini belum optimal. Dalam rangka memenuhi kebutuhan mediator, Pusat Mediasi Nasional bekerjasama dengan Mahkamah Agung memberikan pelatihan dan pendidikan.Training ini terbuka bagi umum, khususnya bagi hakim untuk menjadi mediator.Tempat pelatihan dilaksanakan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.Kegiatan ini dibiayai oleh IALDF-AusAID Indonesia Australia Legal Development Facility dan pada fase pertama berlangsung pada bulan Desember 2005 sampai Mei 2006. 25 Ibid., hal. 58. Negeri. Kegiatan fase pertama dimulai pada bulan Desember 2005 sampai Mei 2006. Disamping Pusat Mediasi Nasional, Indonesian Institute for Conflict Transformation IICT juga merupakan lembaga mediasi riset yang telah terakreditasi.Lembaga ini berdiri pada tanggal 11 April 2002, dan bergerak di bidang transformasi dan manajemen konflik.Keberadaan IICT diharapkan dapat memberi sumbangsih bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa yang efektif.Sesuai dengan visinya lembaga ini mengembangkan pola-pola resolusi konflik untuk membangun masyarakat demokratis, harmonis, dan menghargai kemajemukan serta kesetaraan. Aktifitasnya terkait dengan mediasi di peradilan, ia melakukan kegiatan penelitian yang mendukung pengembangan resolusi konflik di berbagai wilayah di Indonesia dan penyelesaian sengketa alternatif yang berbasis pada kepentingan dan kebutuhan sebagai upaya pengembangan akses masyarakat terhadap keadilan access to justice. Lembaga yang saat ini dipimpin oleh seorang direktur eksekutif, yaitu Fatahillah AS, SH., MLI., M.Si. telah melakukan riset terhadap 4 pengadilan percontohan dalam melaksanakan Perma No. 2 Tahun 2003. Obyek riset ini meliputi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Bengkalis dan Pengadilan Negeri Batusangkar.Hasil penelitian tersebut kemudian disosialisasikan di beberapa tempat, sekaligus sosialisasi Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 itu sendiri. Kegiatan lain adalah memberikan pelatihan bagi para hakim Jawa Tengah. Jika PMN memberikan pelatihan bagi hakim-hakim pengadilan di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur, IICT memberikan pelatihan bagi hakim-hakim pengadilan yang berasal dari Jawa Tengah. 26 26 Ibid.,hal. 45. Disamping dua lembaga yang terakreditasi diatas, respon untuk membentuk lembaga mediasi muncul dari kalangan asuransi.Mereka mendirikan “Badan Mediasi Asuransi” pada tanggal 12 Mei 2006.Tujuan lembaga ini didirikan untuk memberikan pelayanan yang professional dan transparan yang berbasis pada kepuasan dan perlindungan serta penegakan hak-hak Tertanggung atau Penanggung PolisAhli Waris dan menyelesaikan sengketa antara pengguna asuransi dan lembaga asuransi melalui jalur non litigasi.Cara ini merupakan pilihan karena penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dipandang lebih efektif dan efisien karena mengkedepankan putusan win-win solution.

B. Unsur, Tujuan dan Jenis Mediasi