Daerah Perlindungan Laut DPL merupakan kawasan laut yang ditetapkan dan diatur sebagai daerah “larang ambil”, secara permanen tertutup bagi berbagai
aktivitas pemanfaatan yang bersifat ekstraktif pengambilan Wiryawan et al., 2002.
DPL berbasis masyarakat merupakan cara yang populer digunakan bagi perlindungan pesisir dan laut, pengelolaan perikanan secara lestari sustainable.
Berdasarkan keputusan Kepala Desa Tejang Pulau Sebesi No. 14002KD- TPS16.01I2002 Pulau Sebesi terpilih sebagai lokasi pengembangan model DPL
berbasis masyarakat yang dimulai sejak Maret 2001 Wiryawan et al., 2002. Rusaknya ekosistem terumbu karang harus diatasi melalui pengendalian
secara menyeluruh. Pengendalian menyeluruh tersebut merupakan strategi pengelolaan lingkungan terumbu karang yang meliputi eksploitasi secara lestari,
perlindungan serta pencegahan terhadap polusi dan degradasi yang disebabkan oleh aktivitas manusia Suharsono, 1996. Demi kelancaran proses tersebut,
terlebih dahulu perlu diketahui status dan kondisi sumberdaya terumbu karang di perairan ini dengan melakukan survei dan pengamatan langsung ke lapangan.
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kondisi substrat dasar dan ikan karang di DPL Pulau Sebesi, Lampung tahun 2007.
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keadaan umum lokasi penelitian 2.1.1. Letak geografis dan administrasi wilayah
Pulau Sebesi terletak di Teluk Lampung dan dekat Gunung Krakatau Pulau Rakata. Sebagian besar daratan Pulau Sebesi tersusun dari endapan gunung api
muda dan merupakan daratan perbukitan. Bukit tertinggi di Pulau Sebesi mencapai 884 meter dari permukaan laut dengan bentuk kerucut yang mempunyai
tiga puncak. Sebagian daratan Pulau Sebesi tersusun dari endapan gunung api muda yang terdiri dari lava andesit-basal, breksi, dan tuf. Pantai Timur Pulau
Sebesi tersusun dari formasi alluvium yang terdiri dari kerakal, kerikil, lempung, dan gambut Wiryawan et al., 2002.
Angin yang bertiup di sekitar Pulau Sebesi merupakan angin musim yang berubah arah dua kali dalam setahun dengan rata-rata kecepatan 3-7 knot. Rata-
rata curah hujan di sekitar Pulau Sebesi adalah 230 mm per bulan dengan jumlah hari hujan 11 kali. Rata-rata suhu bulanan sebesar 28,5
o
C dengan perbedaan suhu maksimum dan minimum sebesar 11,8
o
C Wiryawan et al., 2002. Akses menuju pulau Sebesi adalah dari pelabuhan Canti yang ada di Kalianda,
Lampung Selatan. Transportasi dari Canti ke Pulau Sebesi menggunakan perahu motor yang berangkat sekali dalam sehari. Selain dari Canti, ke Pulau Sebesi juga
dapat ditempuh dari Cilegon, Provinsi Banten dengan menggunakan perahu motor yang biasanya mengangkut kelapa dan kopra Wiryawan et al., 2002.
Penduduk Pulau Sebesi berjumlah 471 kepala keluarga atau 2015 jiwa. Mayoritas penduduknya sebagian besar sebagai buruh yaitu mencapai 57 365
jiwa. Sedangkan penduduk yang mempunyai pekerjaan selain buruh yaitu petani
sebesar 17,2 110 jiwa, nelayan 16,7 107 jiwa, pedagang sebesar 1,4 9 jiwa, wiraswasta 6,6 42 jiwa, dan Pegawai negeri 1,1 7 jiwa.
2.1.2. Ekosistem pesisir 2.1.2.1. Ekosistem mangrove
Saat ini habitat mangrove di Pulau Sebesi hanya ada di satu lokasi yaitu antara Dusun Tejang dan Regahan Lada dengan luas sekitar 1 Ha. Jenis tumbuhan yang
ada di hutan mangrove adalah Avicenia marina Api-api, Rizhophora sp. Bakau, Sonneratia sp. Gogem, Bruguiera sp. Tanjang dan Xylocarpus sp.
dengan jenis yang dominan tumbuh adalah Bakau dan Api-api. Kondisi hutan mangrove saat ini cukup memprihatinkan akibat dari penebangan kayu dan
pengambilan biota di lokasi hutan mangrove tersebut Wiryawan et al., 2002.
2.1.2.2. Ekosistem lamun
Ekosistem lamun dapat ditemui di sekitar pantai yang berpasir putih di daerah Tejang dan Regahan Lada. Padang lamun yang ada di Pulau Sebesi berfungsi
untuk mencegah pelumpuran atau sebagai filter alami perairan sehingga tetap bersih. Padang Lamun umumnya tumbuh di depan ekosistem mangrove. Jenis
padang lamun yang ditemukan di Pulau Sebesi adalah Enhalus sp., Thalasia sp., Halophilia
sp. Wiryawan et al., 2002.
2.1.2.3. Ekosistem terumbu karang
Secara umum hampir seluruh Pulau Sebesi dikelilingi oleh terumbu karang. Luas daerah terumbu karang di Pulau Sebesi dan Pulau Umang adalah 58,98 ha.
Tutupan karang hidup seluas 31,64 ha, sedang sisanya 27,34 ha berupa karang mati seperti pecahan karang Wiryawan et al., 2002. Ikan karang yang
ditemukan di terumbu karang sebanyak 168 spesies dalam 28 famili dimana ikan utamanya berasal dari famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae, Caesionidae,
dan Lethridae ikan indikator dari famili Chaetodontidae dan ikan yang berfungsi dalam rantai makanan dari famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae,
Labridae, Siganidae, Mulidae, dan Apogonidae. Ikan yang sering ditemukan hampir di setiap perairan adalah ikan dari famili Pomacentridae, Labridae,
Acanthuridae, Mulidae, dan Chaetodontidae Wiryawan et al., 2002.
2.2. Daerah perlindungan laut Pulau Sebesi
Pulau Sebesi secara geografis berada pada posisi 05 55’37,43” - 05
58’44,48” LS dan 105
27’ 30.50” - 105 30’47,54” BT. Pulau Sebesi termasuk ke dalam
wilayah administrasi Desa Tejang Pulau Sebesi Kecamatan Raja Basa Kabupaten Lampung Selatan. Desa Tejang Pulau Sebesi terdiri dari empat dusun yaitu :
Dusun I Bangunan, Dusun II Inpres, Dusun III Regahan Lada, dan Dusun IV Segenom. Luas wilayah Pulau Sebesi adalah 2620 ha dengan panjang pantai
19,55 km Wiryawan et al., 2002. Menurut Tulungen et al 2002 tujuan penetapan DPL berbasis masyarakat
antara lain : 1
Meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan, di sekitar daerah perlindungan.
2 Menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut seperti
keanekaragaman terumbu karang, ikan, tumbuhan dan organisme lainnya. 3
Dapat dikembangkan sebagai tempat yang cocok untuk daerah wisata. 4
Meningkatkan pendapatan kesejahteraan masyarakat setempat.
5 Memperkuat masyarakat setempat dalam rangka pengelolaan sumberdaya
alam mereka. 6
Mendidik masyarakat dalam hal perlindungan konservasi sehingga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan kewajiban masyarakat untuk
mengambil peran dalam menjaga dan mengelola sumberdaya secara lestari. 7
Sebagai lokasi penelitian dan pendidikan keanekaragaman hayati pesisir dan laut bagi masyarakat, sekolah, lembaga penelitian dan perguruan tinggi.
2.3. Biologi hewan karang
Klasifikasi karang keras menurut Veron 1986 berdasarkan kerangka karang adalah :
Filum : Cnidaria Kelas : Anthozoa
Subkelas : Hexacorallia Ordo : Scleractinia
Subkelas : Octocorallia Ordo : Stolonifera
Coenothecalia Kelas : Hydrozoa
Ordo : Milleporina Stylasterina
Terumbu karang adalah endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang dihasilkan oleh karang Filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Madreporaria
Scleractinia dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme- organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat CaCO
3
Nybakken, 1992.
Karang merupakan binatang sederhana, berbentuk tabung dengan mulut berada di atas yang juga berfungsi sebagai anus. Mulut dikelilingi oleh tentakel
yang berfungsi sebagai penangkap makanan. Mulut dilanjutkan dengan tenggorokan yang pendek yang langsung menghubungkan dengan rongga perut.
Di dalam rongga perut berisi semacam usus yang disebut dengan mesentri filamen yang berfungsi sebagai alat pencerna Suharsono, 1996.
Dinding polip karang terdiri dari tiga lapisan yaitu ektoderma, endoderma, mesoglea. Ektoderma merupakan jaringan terluar yang terdiri dari berbagai jenis
sel yang antara lain sel mukus dan sel nematokis. Jaringan endoderma berada di lapisan dalam yang sebagian besar selnya berisi sel algae yang merupakan
simbion karang, sedangkan mesoglea adalah jaringan yang berada di tengah antara keduanya yang berupa lapisan seperti jelly Suharsono, 1996. Seluruh
permukaan jaringan karang juga dilengkapi oleh silia dan flagela yang berkembang dengan baik di lapisan luar tentakel. Struktur polip dan kerangka
kapur hewan karang terdiri dari lempeng dasar, epiteka, koralit, koralum, kalik, kosta dan kolumela Gambar 1. Lempeng dasar terletak di dasar sebagai pondasi
dari septa yang muncul membentuk struktur yang tegak dan melekat pada dinding yang disebut epiteka Suharsono, 1996.
Koralit yaitu keseluruhan skeleton yang terbentuk dari satu polip, keseluruhan skeleton yang dibentuk oleh keseluruhan polip dalam satu individu atau satu
koloni disebut koralum. Kalik merupakan permukaan koralit yang terbuka, septa yang tumbuh hingga mencapai dinding luar dari koralit dinamakan kosta.
Struktur yang terdapat di dasar dan tengah koralit yang merupakan kelanjutan dari septa disebut kolumella Suharsono, 1996.
Sumber : Birkeland, 1997 Gambar 1. Struktur polip kerangka karang
2.3.1. Cara makan
Karang merupakan hewan karnivora, seperti juga sebagian besar anggota filumnya. Karang mempunyai tentakel-tentakel yang dipenuhi kapsul-kapsul
nematokis yang digunakan untuk menyengat dan menangkap organisme plankton kecil Nybakken, 1992.
Menurut Birkeland 1997, karang memiliki dua cara untuk mendapatkan makan, yaitu :
1. Menangkap zooplankton yang melayang dalam air. 2. Menerima hasil fotosintesis zooxanthellae.
Ada dua mekanisme bagaimana mangsa yang ditangkap karang dapat mencapai mulut :
1. Mangsa ditangkap lalu tentakel membawa mangsa ke mulut
2. Mangsa ditangkap lalu terbawa ke mulut oleh gerakan silia di sepanjang tentakel Birkeland, 1997.
Menurut Nybakken 1992 mengatakan bahwa plankton hanya memenuhi sebagian kecil jumlah makanannya, yaitu 5-10 dari seluruh kebutuhannya.
Selebihnya sumber makanan didapatkan dari hasil fotosintesis zooxanthellae yang terdapat dalam jaringan polip karang.
2.3.2. Kalsifikasi
Proses kalsifikasi adalah proses mineralisasi yang terjadi di luar kalikoblas epidermis. Bahan utama yang digunakan untuk kalsifikasi merupakan hasil
metabolisme yang disekresikan, dan terdiri dari beberapa substansi muchopolysacarida
, yang memungkinkan karang mengikat kalsium Ca
2+
dari air laut Suharsono, 1984. Goreau dan Goreau 1959 mengatakan peranan
zooxanthellae dalam kalsifikasi sangat penting. Jika zooxanthellae tidak
melakukan fotosintesis atau dipindahkan dari jaringan karang maka reaksi pembentukan CaCO
3
menjadi lambat. Menurut Sya’rani 1982 CaCO
3
arogonite inilah yang mengendap dan membentuk karang. Asam karbonat H
2
CO
3
berubah menjadi ion hidrogen H
+
dan karbonat HCO
3 -
yang cenderung berubah menjadi H
2
O dan CO
2
. Reaksi ini terjadi di dalam tubuh karang, dimana pembentukan air dan karbondioksida
dipercepat oleh adanya enzim Anhirase Mapstone, 1990 in Azis, 2002.
2.3.3. Reproduksi
Reproduksi hewan karang dapat secara seksual maupun aseksual Birkeland, 1997. Reproduksi secara aseksual karang dilakukan dengan membentuk tunas.
Tunas yang baru akan tumbuh menjadi individu yang baru. Suharsono 1996, mengatakan bahwa pertunasan hewan karang dibagi menjadi 2 dua yaitu
pertunasan intratentakuler dan pertunasan ekstratentakuler. Pertunasan intratentakuler terjadi dimana, mulut baru muncul di dalam
lingkaran tentakel, sedangkan pada ekstratentakuler mulut baru muncul di samping mulut yang lain Tomasick et al.,1997. Selain itu juga hewan karang
dapat bereproduksi dengan fragmentasi, yaitu koloni baru muncul dari patahan koloni induknya Gambar 2 Birkeland, 1997.
Sumber : Tomascik et al.,1997 Gambar 2. Reproduksi hewan karang secara pertunasan intratentakuler dan
pertunasan ekstratentakuler Reproduksi seksual terjadi setelah adanya fertilisasi Birkeland, 1997. Setelah
fertilisasi lalu terbentuk larva planula yang berenang bebas dan bila larva tersebut menetap di dasar maka akan berkembang biak menjadi koloni yang baru
Gambar 3 Nybakken, 1992.
Sumber : Nybakken, 1992 Gambar 3. Reproduksi hewan karang secara seksual. A polip dewasa; B larva
planula; C planula stadium akhir; D polip muda
2.4. Faktor pembatas