Pendekatan Pengelolaan Perikanan Berbasis Resolusi Konflik

44 Gambar 8. Hubungan upaya penangkapan ikan dengan populasi ikan

2.4 Pendekatan Pengelolaan Perikanan Berbasis Resolusi Konflik

Strategi pengelolaan perikanan tangkap yang cenderung tanpa batas dan lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi economic based fisheries resource management, telah terbukti berakibat buruk terhadap kelangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan. Dalam situasi pemanfaatan sumberdaya ikan yang serba tak terkendali, kelangkaan scarcity atau penipisan sumberdaya ikan terjadi. Kompleksitas dari kondisi yang demikian itu dapat menjadi faktor pemicu terjadinya konflik perikanan tangkap. Pengelolaan sumberdaya ikan pada hakekatnya adalah pengelolaan terhadap manusia yang memanfaaatkan ikan tersebut. Pengelolaan terhadap manusia adalah pengaturan tingkah laku mereka dalam hal pengelolaan sumberdaya. Alasan yang lebih rasional dan obyektif tentang perlunya sumberdaya perikanan yang lebih baik, kenyaataan bahwa persedian ikan di dunia makin berkurang. Hasil penelitian terakhir Food and Agricultural Organization FAO mengungkapkan bahwa produksi ikan dunia cenderung stabil atau meningkat dengan persentase yang kecil pertahun selama lima tahun terakhir. Produksi ikan dari kegiatan penangkapan ikan di laut justru menunjukkan gejala mulai menurun, yaitu dari 84,7 juta ton pada 1994 menjadi 84,1 juta ton pada 1999. Hal ini mengindikasikan pentingnya pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya untuk menjamin ketersedian ikan bagi kegiatan penangkapan. Fish Stock tons Growth in the Fish Stock tons YE YE 1 YE 2 YE 3 YE 4 Low effort level → low harvests High effort level → low harvests Medium effort level → high harvests 45 Sumberdaya perikanan itu sangat penting dalam pembangunan perikanan berbasis sumberdaya resources based development. Tanpa sumberdaya pembangunan perikanan tidak akan ada, jadi segala kegiatan yang berhubungan dengan pembangunana perikanan, jika sumberdayanya tidak tersedia maka kegiatan pembangunan itu akan sia-sia. Sukses tidaknya suatu pengelolaan sumberdaya sangat bergantung pada rezim atau sistem pengelolaan sumberdaya itu sendiri. Oleh karena itu hal yang lebih hakiki dalam upaya mengelola sumberdaya perikanan adalah memahami rezim yang berlaku. Berdasarkan dari rezim yang berlaku itulah rumusan strategi pengelolaan perikanan secara tepat dapat dilakukan. Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat PSPBM dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanannya sendiri dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya. PSPBM menyangkut pula pemberian tanggung jawab ke masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan kehidupan mereka. Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah mencakup semua tahapan dan komponen pengelolaan sumberdaya perikanan mulai dari pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemanfaatan dan evaluasi dilakukan oleh pemerintah. Pengelolaan oleh pemerintah ini dilaksanakan lembaga atau instansi yang ada di tingkat pemerintahan pusat dan daerah. Co-management perikanan adalah rezim derivatif yang berasal dari rezim PSPBM dan rezim oleh pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah. Co- management dapat didefinisikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dengan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan. Berdasarkan definisi ini maka masyarakat dan pemerintah bertanggung jawab bersama-sama dalam mengelola sumberdaya perikanan. Menurut Pameroy and Berkes 1997 terdapat sepuluh tingkatan atau bentuk co-management yang dapat disusun dari bentuk yang paling sedikit 46 partisipasi masyarakat hingga yang paling tinggi partisipasi masyarakat. Bila suatu tanggung jawab dan wewenang masyarakat rendah pada suatu bentuk co- management maka tanggung jawab pemerintah akan tinggi. Sebaliknya bila tanggung jawab dan wewenang masyarakat tinggi, maka tanggung jawab dan wewenang pemerintah rendah. Kesepuluh bentuk co-management tersebut adalah: 1 Masyarakat hanya memberikanan informasi kepada pemerintah dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan rumusan manajemen. 2 Masyarakat dikonsultasikan oleh pemerintah. 3 Masyarakat dan pemerintah saling bekerjasama. 4 Masyarakat dan pemerintah saling berkomunikasi. 5 Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi. 6 Masyarakat dan pemerintah saling memberi nasehat dan saran. 7 Masyarakat dan pemerintah melakukan kegiatan atau aksi bersama. 8 Masyarakat dan pemerintah bermitra. 9 Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah. 10 Masyarakat berperan dalam melakukan koordinasi antar lokasi atau antar daerah dan hal tersebut didukung oleh pemerintah. Selain hirarki co-managament seperti diatas, Nielsen and Sen 1996 sebelumnya mengajukan suatu hirarki lain yang lebih sederhana yang terdiri dari lima bentuk co-management. Kelima bentuk tersebut adalah 1 instruksi, 2 konsultasi, 3 koperasi, 4 pengarahan, dan 5 informasi. Penjelasan singkat tentang kelima bentuk co management ini adalah sebagai berikut. Pertama, co-management instruktif. Pada bentuk co-management ini, tidak banyak informasi yang saling ditukarkan di antara pemerintah dan nelayan. Tipe co-management ini hanya berbeda dari rezim pengelolaan oleh pemerintah dalam hal adanya sedikit dialog antara kedua pihak. Namun proses dialog yang terjadi bisa dipandang sebagai suatu ini, pemerintah menginformasikanan kepada nelayan tentang rumusan-rumusan pengelolaan sumberdaya perikanan yang pemerintah rencanakan untuk dilaksanakan. Kedua, co-management konsultatif. Bentuk co-management ini menempatkan masyarakat pada posisi yang hampir sama dengan pemerintah. 47 Dengan kata lain, masyarakat mendampingi pemerintah dalam menjalankan co- management. Oleh karena itu, ada mekanisme yang membuat sehingga pemerintah berkonsultasi dengan masyarakat. Meskipun masyarakat bisa memberikan masukan tersebut kepada pemerintah, keputusan apakah masukan tersebut harus digunakan tergantung sepenuhnya pada pemerintah. Dengan kata lain, pemerintahlah yang berperan dalam perumusan pengelolaan sumberdaya perikanan, Bentuk ketiga adalah co-management kooperatif. Bentuk ini menempatkan masyarakat dan pemerintah pada posisi yang sama atau sederajat. Dengan demikian, semua tahapan manajemen sejak pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi dan pemantauan institusi co-management berada pada di pundak kedua pihak. Dengan kata lain, masyarakat dan nelayan adalah mitra yang sama kedudukannya. Keempat, bentuk co-management pendampingan atau advokasi. Pada bentuk co-management ini, peran masyarakat cenderung lebih besar dari peran pemerintah. Masyarakat memberi masukan kepada pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan. Lebih dari itu, masyarakat justru dapat mengajukan usul rancangan keputusan yang hanya tinggal dilegalisir oleh pemerintah. Kemudian, pemerintah mengambil keputusan serta menentukan sikap resminya berdasarkan usulan atau inisiatif masyarakat. Peran pemerintah lebih banyak bersifat mendampingi atau memberikan advokasi kepada masyarakat tentang apa yang sedang mereka kerjakan. Kelima, bentuk co-management informasi. Pada bentuk ini, di satu pihak peran pemerintah makin berkurang dan di pihak lain peran masyarakat lebih besar dibandingkan dengan empat bentuk co-management sebelumnya.Dalam hal ini pemerintah hanya memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa yang sepatutnya dikerjakan oleh masyarakat. Dalam kontribusi yang lebih nyata, pemerintah menetapkan delegasinya untuk bekerjasama dengan masyarakat dalam seluruh tahapan pengelolaan perikanan, sejak pengumpulan data, perumusan kebijakan, implementasi, serta pemantauan dan evaluasi. Hasil pekerjaan delegasi pemerintah dilaporkan atau diinformasikan yang bersangkutan kepada pemerintah. 48

2.5 Kerangka Pemikiran