Jenis konflik Teluk Popoh .1 Keadaan umum lokasi

110 Gambar 24. Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Tulungagung periode 1990 - 2003 Dari sekitar 40 jenis ikan dan udang yang ditangkap dan didaratkan di Kabupaten Tulungagung, terdapat empat jenis ikan yang menunjukkan jumlah produksi yang konsisten mulai 1990 sampai 2003, yaitu jenis tongkol, kembung, layang dan peperek salem.

4.3.3.3 Jenis konflik

Hasil pengamatan dan wawancara dengan stakeholder di lokasi penelitian berhasil diidentifikasi tujuh kasus konflik yang tercakup dalam enam jenis konflik perikanan tangkap yaitu : 1 konflik retribusi 2 konflik daerah tangkap 3 konflik alat tangkap 4 konflik penggunaan potasobat-obatan 5 konflik bagi hasil 6 konflik nelayan lokal vs andon Gambaran lengkap mengenai konflik perikanan tangkap di Teluk Popoh dapat dilihat pada Tabel 4. 0.00 1,000.00 2,000.00 3,000.00 4,000.00 5,000.00 6,000.00 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 20 1 2 3 Tahun Jum lah To n Produksi perikanan tangkap Tabel 4. Tipologi konflik di Teluk Popoh Tahun Jenis konflik Penyebab utama Pihak yang terlibat Tipologi konflik Status penyelesaian Teknik resolusi konflik 2004 Alat tangkap Perbedaan persepsi pemahaman terhadap alat tangkap. Nelayan pancing menuduh bahwa jaring gillnet dasar menutupi karang hingga mati Nelayan Gillnet dasar vs pancing Alokasi internal Kesepakatan desa Negosiasi 2004 Bagi hasil Sistem bagi hasil yang dinilai tidak adil oleh juragan. Keluarga ABK mengambil ikan sebelum dibawa ke TPI. ABK dengan juragan purse seine Alokasi internal Proses Negosiasi 2004 Retribusi Bakul keberatan membayar retribusi yang besarnya Rp 500,-basket setiap membawa ikan keluar areal PPIwisata. Pengelola wisata mengeluhkan bau dari usaha perikanan Bakul vs Pengelola daerah wisata Alokasi eksternal Belum ada penyelesaian Fasilitasi 2004 Daerah tangkap Kecemburuan nelayan lokal terhadap nelayan andon atas hasil tangkapan Nelayan pancing lokal vs nelayan payang andon Alokasi internal Kesepakatan desa, yang ditengahi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan dan aparat. ABK andon dibatasi 5 orang sisanya nelayan lokal Mediasi 2000 Penggunaan potasobat-obatan Nelayan menuduh penggunaan obat- obatan pengusaha tambak udang yang membunuh ikan di sekitar pantai Pengusaha tambak vs nelayan Alokasi eksternal Kesepakatan desa Mediasi 1995-1997 Nelayan Blitar menggunakan kompresor dan potas untuk menangkap ikan karang. Nelayan Blitar vs nelayan lokal Alokasi internal Kesepakatan desa Mediasi 111 112 Konflik alat tangkap Konflik alat tangkap terjadi pada tahun 2004, melibatkan nelayan gill net dasar dengan nelayan pancing. Gill net atau jaring insang merupakan salah satu alat tangkap dominan yang diintroduksi di kawasan teluk Popoh. Pada mulanya nelayan menggunakan drift gill net jaring insang hanyut dengan hasil tangkapan yang cukup banyak, sehingga alat tangkap ini dapat digolongkan sebagai alat tangkap efektif untuk digunakan di perairan Teluk Popoh. Namun demikian, keberadaan alat tangkap ini mulai menimbulkan kecemburuan dari nelayan lain yang menggunakan alat tangkap berbeda, seperti nelayan pancing. Konflik dipicu oleh adanya penggunaan bottom gill net jaring insang dasar oleh nelayan. Nelayan pancing menuduh bahwa gill net dasar menutupi biota karang hingga mati, sehingga membuat ikan-ikan karang yang biasanya banyak terdapat di terumbu karang menjadi sulit didapatkan. Konflik ini sempat menimbulkan ketegangan diantara kelompok nelayan gill net dan kelompok nelayan pancing, tetapi tidak sampai ke tahap krisis karena dapat diredam oleh ke dua belah pihak dengan melakukan negosiasi guna mencari solusi yang dapat diterima oleh ke dua belah pihak. Konflik bagi hasil Konflik bagi hasil terjadi pada nelayan purse seine yang melibatkan juragan pemilik dengan ABK. Konflik ini disebabkan adanya anggapan juragan darat bahwa bagi hasil dinilai tidak adil dan lebih menguntungkan ABK. Kesepakatan tidak tertulis mengenai bagian untuk masing-masing pihak ditentukan berdasarkan hasil penjualan ikan di TPI, yang kemudian dibagi antara juragan darat dengan ABK. Dalam prakteknya, kesepakatan ini dilanggar oleh ABK karena mereka telah menyisihkan ikan hasil tangkapan sebelum dibawa ke TPI. Kebiasaan para nelayan ABK menyisihkan ikan hasil tangkapan dikenal dengan esekan. Karena jumlah ABK-nya yang cukup banyak maka esekannyapun akan semakin besar dan akhirnya mengurangi jumlah ikan yang akan dibawa ke TPI. Dengan demikian ABK memperoleh bagian yang lebih besar karena mereka memperoleh bagian dari bagi hasil serta esekan. 113 Konflik retribusi Konflik retribusi terjadi pada 2004, melibatkan nelayan, Pemerintah Daerah Pemprov. Jatim, Pemkab Malang dan Koperasi Unit Desa KUD. Konflik terjadi disebabkan penetapan tarif retribusi melalui Peraturan daerah Perda sebesar 5 yang mendapatkan penolakan dari para nelayan. Menurut nelayan Pemerintah tidak selayaknya menetapkan kenaikan tarif retribusi karena Pemerintah belum memberikan jaminan yang memadai terhadap kelancaran operasional PPI. Kondisi ini menunjukkan bahwa konflik retribusi mempunyai kaitan yang erat dengan konflik tambat labuh. Proses resolusi konflik retribusi sejauh ini dilakukan dengan adanya negosiasi antara Pemerintah Daerah Pemprov. Jatim, Pemkab Malang dan Koperasi Unit Desa KUD; Pada dasarnya semua pihak memahami akan perlunya dikenakannya pungutan retribusi ntuk keperluan operasional PPI, sehingga dicapai kesepakatan berupa penetapan tarif retribusi sebesar 3 dari jumlah penjualan hasil tangkapan mereka. Pada 2004 besarnya retribusi yang berhasil dikumpulkan adalah 955 juta. Retribusi tersebut ditarik dari penjualan kotor sebesar 32 milyar dengan hasil produksi lebih kurang 7.000 ton Konflik retribusi muncul pertama kali pada 1982 dan kemudian muncul kembali pada 2004, melibatkan bakul ikan dengan pengelola pariwisata. Konflik ini disebabkan karena bakul dikenakan biaya retribusi oleh pengelola daerah wisata . Besar tarif retribusi adalah Rp 500,-basket pada setiap kali membawa ikan keluar kawasan PPI. Para bakul berpendapat mereka telah membayar retribusi sebesar 3 persen kapada pemerintah sehingga seharusnya mereka tidak dibebani lagi dengan pungutan yang lain. Dilain pihak, pengelola daerah wisata berpendapat retribusi diperlukan karena para bakul telah memanfaatkan jalan akses yang dipelihara oleh pengelola pariwisata. Terkait dengan lokasi PPI yang berada di dalam kawasan wisata, pengelola wisata juga mengeluhkan adanya bau amis yang dirasakan mengganggu kenyamanan bagi pengunjung daerah wisata. Hingga saat ini status penyelesaian konflik ini belum jelas dan belum ada penyelesaian yang dapat diterima oleh ke dua belah pihak. Dalam proses resolusi konflik ini, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tulungagung berperan sebagai fasilitator. 114 Konflik perikanan tangkap muncul pertama kali dikalangan masyarakat nelayan melibatkan nelayan pancing dengan nelayan jaring insang monofilament dasar. Konflik terjadi karena adanya perbedaan persepsi yaitu nelayan pancing menuduh jaring insang monofilament dasar yang digunakan oleh nelayan jaring insang tertinggal dan menutupi karang sehingga karang tersebut mati dan ikan tidak berkumpul ditempat tersebut. Konflik alokasi sumberdaya eksternal melibatkan masyarakat nelayan dengan PT Perhutani. Dampak dari resesi ekonomi juga melanda masyarakat di Teluk Popoh. Hasil tangkapan ikan yang tidak mencukupi, mengakibatkan nelayan harus mencari sumber lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sumber lain yang dimaksudkan adalah perambahan hutan jati milik PT Perhutani yang berada di wilayah Teluk Popoh oleh masyarakat nelayan. Konflik daerah tangkap Konflik perebutan fishing ground melibatkan nelayan lokal dengan nelayan andon dari Pasuruan. Konflik ini disebabkan oleh adanya kecemburuan nelayan lokal terhadap nelayan andon yang produktivitas hasil tangkapannya lebih tinggi. Konflik mencapai puncaknya ketika terjadi pembakaran kapal nelayan andon oleh nelayan lokal. Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah juga diartikan oleh masyarakat nelayan secara sempit. Masyarakat lokal melarang nelayan andon beroperasi di perairan Teluk Popoh karena mereka merasa memiliki hak atas sumberdaya yang ada di lingkungan Teluk Popoh. Dari segi perkembangan sosial-ekonomi masyarakat nelayan setempat, peranan andon sebenarnya cukup signifikan karena nelayan andon memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan nelayan lokal pada penerimaan daerah berupa retribusi, disamping peranan dalam mengintroduksi teknologi penangkapan ikan dan etos kerja. Oleh karena itu kehadiran nelayan andon sangat penting baik bagi Pemerintah Daerah maupun bagi masyarakat lokal. Konflik penggunaan potasobat-obatan Konflik penggunaan potasobat-obatan melibatkan masyarakat nelayan dengan pengelola tambak. Masyarakat nelayan menuduh pengelola tambak telah menggunakan obat-obatan di tambaknya dan dibuang ke laut sehingga 115 menyebabkan populasi ikan di sekitar pantai menurun tajam. Puncak konflik terjadi ketika masyarakat menjarah tambak-tambak yang berada di sekitar Teluk Popoh. Konflik penggunaan potasobat-obatan juga terjadi di Teluk Popoh, melibatkan nelayan lokal dengan nelayan Blitar. Nelayan lokal menuduh nelayan Blitar menggunakan potas dalam operasi penangkapan ikan karang sehingga membahayakan kelestarian sumberdaya ikan di perairan Teluk Popoh.

4.3.3.4 Pengelolaan konflik