93 perkembangannya jumlah produksi perikanan tangkap Kabupaten Malang periode
1990 – 2004.
Gambar 19 Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Malang periode 1990 – 2004
Dari sekitar 34 jenis ikan yang ditangkap dan didaratkan di Kabupaten Malang, terdapat tiga jenis ikan utama yang menunjukkan jumlah produksi yang
konsisten mulai 1990 sampai 2003, yaitu jenis cakalang, tongkol dan tuna.
4.3.2.3 Jenis konflik
Hasil pengamatan dan wawancara dengan stakeholder di lokasi penelitian berhasil diidentifikasi tujuh kasus konflik yang tercakup dalam lima jenis konflik
perikanan tangkap yaitu : 1 konflik retribusi
2 konflik tambat labuh 3 konflik daerah tangkap
4 konflik penggunaan potasobat-obatan 5 konflik nelayan lokal dengan andon
Gambaran lengkap mengenai konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
0.00 1,000.00
2,000.00 3,000.00
4,000.00 5,000.00
6,000.00 7,000.00
90 91
92 93
94 95
96 97
98 99
20 1
2 3
4
Tahun Jum
lah T
on
Produksi perikanan tangkap
43
Tabel 3. Tipologi konflik perikanan tangkap di Teluk Sendang Biru
Tahun Jenis Konflik
Penyebab Utama Pihak yang
terlibat Tipologi
Konflik Status penyelesaian
Teknik resolusi konflik
2004 Retribusi
Besaran retribusi 5 yang ditetapkan dalam Perda.
Nelayan bersedia membayar 5 dengan syarat fasilitas
PPI diperbaiki. Konflik hak pengelolaan retribusi dari
PPI Sendang Biru antara kabupaten dengan provinsi
Nelayan, Pemda
Proinsi Jatim, Pemkab
Malang dan KUD.
Manajemen Kesepakatan retribusi 3
Negosiasi
2004 Tambat labuh
Jumlah kapal yang berlabuh tidak seimbang dengan
fasilitas`tambat labuh Nelayan vs
nelayan, Pemda
Provinsi Jatim.
Manajemen Belum bisa
diselesaikan Avoidance
2003-2004 Daerah tangkap
Jumlah rumpon di fishing ground tidak memadai.
Jumlah sekoci 111, sementara rumpon hanya 3
unit. Sekoci lokal
vs sekoci lokal
Alokasi internal
Kel sekoci rumpon membuat rumpon bagi sekoci tanpa rumpon
Kel sekoci tanpa rumpon boleh memanfaatkannya Pemerintah harus membuat peraturan tentang
penggunaan rumpon dalam operasi penangkapan ikan .
Negosiasi
94
44 Tabel 3 Lanjutan
Tahun Jenis Konflik
Penyebab Utama Pihak yang
terlibat Tipologi
Konflik Status penyelesaian
Teknik resolusi konflik
2003-2004 Kecemburuan
nelayan payang atas hasil nelayan
sekoci yang lebih banyak. Nelayan
payang vs nelayan
sekoci.
Jumlah payang 23,
sementara rumpon
hanya 2 unit Alokasi
internal Kelompok payang diberi 1 rumpon, tetapi harus
membayar 5 kepada kelompok sekoci Negosiasi
2004 Longline menangkap ikan di
daerah rumpon sekoci Sekoci lokal
vs Longline dari Benoa
Alokasi internal
Pihak yang berkonflik sepakat untuk saling dan mengadakan komunikasi bila ada permasalahan.
Fasilitasi. Bertindak selaku
fasilitator adalah Dinas KP Provinsi
Jatim 1997
Nelayan lokal vs andon
Kecemburuan karena nelayan andon memperoleh
tangkapan lebih banyak Nelayan lokal
vs sekoci andon
Aloksi internal
Nelayan Sekoci andon dibatasi kuota, sementara tokoh masyarakat melakukan
sosialisasi keunggulan sekoci Nelayan sekoci andon untuk sementara waktu dititipkan di Prigi
Pembatasan jumlah sarana tangkap nelayan
Nelayan lokal diizinkan memanfaatkan rumpon nelayan andon Bugis
Negosiasi
95
45 Tabel 3 Lanjutan
Tahun Jenis Konflik
Penyebab Utama Pihak yang
terlibat Tipologi
Konflik Status penyelesaian
Teknik resolusi konflik
1996 Penggunaan potasobat
obatan Penggunaan potas oleh
nelayan Tambakrejo Nelayan
Tambakrejo vs Nelayan
Sendang Biru Sumbermanj
ing Alokasi
internal Didiamkan selesai dengan sendirinya. Konflik
ini kurang mendapatkan perhatian karena tidak berdampak langsung pada kepentingan nelayan.
Nelayan Sendang Biru sangat mengharapkan peran yang lebih aktif dari aparat pengawas.
Avoidance
96
97
Konflik retribusi
Konflik retribusi terjadi pada 2004, melibatkan nelayan, Pemerintah Daerah Pemprov. Jatim, Pemkab Malang dan Koperasi Unit Desa KUD.
Konflik terjadi disebabkan penetapan tarif retribusi melalui Peraturan daerah Perda sebesar 5 yang mendapatkan penolakan dari para nelayan. Menurut
nelayan Pemerintah tidak selayaknya menetapkan kenaikan tarif retribusi karena Pemerintah belum memberikan jaminan yang memadai terhadap kelancaran
operasional PPI. Kondisi ini menunjukkan bahwa konflik retribusi mempunyai kaitan yang erat dengan konflik tambat labuh. Proses resolusi konflik retribusi
sejauh ini dilakukan dengan adanya negosiasi antara Pemerintah Daerah Pemprov. Jatim, Pemkab Malang dan Koperasi Unit Desa KUD. Pada
dasarnya semua pihak memahami akan perlunya dikenakannya pungutan retribusi untuk keperluan operasional PPI, sehingga dicapai kesepakatan berupa penetapan
tarif retribusi sebesar 3 dari jumlah penjualan hasil tangkapan mereka. Pada 2004 besarnya retribusi yang berhasil dikumpulkan adalah 955 juta. Retribusi
tersebut ditarik dari penjualan kotor sebesar 32 milyar dengan hasil produksi lebih kurang 7.000 ton.
Konflik tambat labuh
Konflik tambat labuh terjadi pada 2004, melibatkan nelayan dengan pengelola PPI Pemprov. Jatim dan antar nelayan itu sendiri. Konflik terjadi
disebabkan sarana tambat labuh dermaga di PPI Pondokdadap yang terbatas, sehingga tidak mampu menampung aktivitas tambat labuh kapal ikan di PPI.
Wujud konflik berupa perselisihan antar nelayan untuk memperebutkan tempat tambat labuh. Konflik ini tidak sampai mencuat dan melibatkan kelompok yang
lebih besar karena masing-masing pihak dapat menahan diri. Disamping itu sangat sulit menentukan pihak aktor yang terlibat dalam konflik di lapangan disebabkan
adanya kecenderungan untuk saling melempar tanggung jawab terhadap kewajiban peningkatan sarana tambat labuh antar instansi pemerintah. Hingga saat
ini status penyelesaian konflik ini belum jelas dan menurut keterangan responden, konflik tambat labuh hanya dapat dituntaskan jika pemerintah daerah memperluas
fasilitas dermaga.
98
Konflik daerah tangkap
Pada tahun 2004 terjadi konflik daerah tangkap yang melibatkan nelayan long line andon dari Benoa Bali dengan nelayan sekoci lokal. Penyebab konflik
adalah karena nelayan long line menangkap ikan di fishing ground nelayan sekoci. Berdasarkan keterangan dari responden, skalasi konflik mencapai puncaknya
dengan adanya aksi saling merusak armada penangkapan. Nelayan sekoci memotong jaring dan mengambil pelampung milik nelayan long line, demikian
pula sebaliknya nelayan long line memutus tali rumpon milik nelayan sekoci. Konflik ini relatif sulit penyelesaiannya disebabkan pihak-pihak yang berkonflik
sulit untuk dipertemukan, karena keduanya tidak mendaratkan hasil tangkapannya pada pelabuhan yang sama; selain itu adanya kerusakan sarana tangkap belum
pernah dibuktikan kebenarannya dan hanya sebatas laporan atau dugaan. Oleh karena itu, proses resolusi konflik memerlukan intervensi dari pihak ke tiga yang
dalam hal ini dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur yang bertindak selaku fasilitator yang mempertemukan kedua belah pihak yang
berkonflik, dan dicapai kesepakatan ke dua belah pihak yang berkonflik sepakat untuk saling menghormati satu dengan lainnya dan akan mengadakan komunikasi
yang lebih intensif bila pada masa yang akan datang terdapat permasalahan serupa.
Konflik nelayan andon vs lokal
Perkembangan teknologi perikanan tangkap di Teluk Sendang Biru dimulai sejak tahun tujuh puluhan. Ketika itu masyarakat nelayan menggunakan
jaring, perawe pancing dan payang sebagai alat tangkap utama yang diintroduksi oleh nelayan dari Indramayu dan Cirebon. Tahun 1980, alat tangkap purse seine
dikenalkan di daerah ini sebagai komponen dari program Bimbingan Massal BIMAS. Fishing ground purse seine agak jauh dari pantai, sementara perawe
hanya di sekitar pantai. Pada saat penelitian dilakukan kapal purse seine tidak dijumpai di perairan Sendang Biru. Minat nelayan lokal untuk mengoperasikan
purse seiner sebenanya cukup tinggi namun tidak dapat direalisasikan disebabkan mereka tidak memiliki modal yang cukup untuk membuat sarana tersebut.
99 Pada tahun 1990, nelayan Sendang Biru menemukan benda yang terapung-
apung di laut, yang baru kemudian diketahui sebagai pelampung dari rumpon bekas nelayan Philipina dan mereka belum mengetahui fungsi dari
pelampungrumpon tersebut. Sampai pada tahun 1997, nelayan andon dari Sulawesi Selatan suku Bugis datang ke wilayah Sendang Biru menggunakan
sekoci sebanyak 12 – 13 perahu dengan alat tangkap hand line dilengkapi rumpon sebagai alat bantu penangkapan. Produktivitas hasil tangkapan nelayan andon
tersebut ternyata lebih tinggi dibandingkan produktivitas nelayan lokal, sehingga menimbulkan kecemburuan yang memicu terjadinya konflik antara nelayan lokal
dengan nelayan andon. Konflik mencapai puncaknya antara Juni hingga Agustus 1997, dimana nelayan lokal melakukan unjuk rasa menolak kehadiran nelayan
andon beroperasi di perairan Sendang Biru. Tokoh masyarakat setempat pada waktu itu berusaha meredam konflik
dengan memindahkan nelayan andon dari Sendang Biru ke Teluk Prigi. Pada saat yang sama, tokoh masyarakat setempat melakukan sosialisasi tentang manfaat
kehadiran nelayan andon untuk memacu perkembangan teknologi penangkapan ikan di Sendang Biru. Pada saat itu sebagian tokoh masyarakat mencoba untuk
mengadopsi teknologi penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan andon, dengan cara membuat sendiri perahu sekoci dengan alat tangkap hand line yang
dilengkapi dengan rumpon sebagai alat bantu penangkapan. Ternyata dengan teknologi penangkapan ini produktivitas hasil tangkapan nelayan lokal dapat lebih
meningkat dan mereka mulai memahami manfaat rumpon sebagai tempat berkumpulnya ikan tuna baby tuna, cakalang dan tongkol. Keberhasilan ini
mendorong timbulnya kesepakatan diterimanya nelayan andon di perairan Sendang Biru, dengan berbagai pengaturan seperti pembatasan jumlah sarana
tangkap nelayan andon dan pengaturan pemanfaatan rumpon secara bersama. Dalam perkembangan selanjutnya situasi ini memicu konflik susulan
karena tidak semua nelayan mampu membuat rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan. Konflik disebabkan terlalu banyaknya nelayan sekoci yang
beroperasi di lokasi rumpon, padahal kapasitas rumpon sangat terbatas. Berdasarkan pengalaman mereka kemudian dibuat suatu kesepakatan bahwa
pemanfaatan rumpon 1:5 artinya satu rumpon hanya diperuntukkan bagi lima
100 perahu sekoci. Pada awalnya kesepakatan ini dapat dipatuhi, tetapi dengan
semakin bertambahnya armada sekoci, mulai muncul tindakan-tindakan yang melanggar kesepakatan yang telah dibuat.
Disamping rumpon-rumpon yang dimiliki dan dimanfaatkan secara bersama-sama, beberapa nelayan andon memasang rumpon di lokasi yang
dirahasiakan. Konflik muncul pada saat lokasi rumpon tersebut diketahui oleh nelayan lainnya sehingga semakin banyak nelayan yang menangkap ikan di lokasi
rumpon tersebut. Menurut keterangan responden, pada satu rumpon seringkali dimanfaatkan oleh lebih dari lima sekoci dan bahkan mencapai 27 sekoci. Pada
saat itu muncul istilah ngintil, yakni nelayan pada malam hari mengikatkan sekocinya ke rumpon dan kemudian sekoci ke dua mengikatkan sekocinya pada
sekoci pertama dan seterusnya secara berantai. Pada kondisi jumlah sekoci melebihi kapasitas apung rumpon, maka pemilik rumpon memotong tali pengikat
dari sekoci yang ngintil sehingga dapat memicu terjadinya konflik. Dari pengalaman ini, pada tahun 2000 tokoh-tokoh nelayan di Sendang
Biru yang diwakili oleh ketua KUD Mina Jaya mengajukan permohonan bantuan rumpon pada Dinas Perikanan Provinsi Jawa Timur dan direalisasikan sebanyak
satu unit rumpon dan tahun 2001 sebanyak tiga unit rumpon. Di samping rumpon bantuan dari Dinas Perikanan Provinsi Jawa Timur, masyarakat secara kolektif
membuat rumpon secara swadana. Pada saat penelitian, penempatan rumpon- rumpon tersebut sudah semakin jauh dari wilayah Teluk Sendang Biru, bahkan
ada yang mencapai 125 mil dari Sendang Biru ke arah barat. Adanya perkembangan teknologi penangkapan ini menempatkan kawasan Sendang Biru
sebagai salah satu penghasil ikan pelagis besar yang cukup potensial. Pada tahun 2003-2004 terjadi konflik penggunaan rumpon melibatkan
nelayan sekoci lokal dengan nelayan payang lokal. Faktor penyebab konflik yang mencuat adalah rumpon-rumpon milik nelayan sekoci dianggap menghambat
pergerakan gerombolan ikan sehingga hasil tangkapan nelayan payang jumlahnya menurun. Berdasarkan pengamatan di lapangan faktor penyebab konflik yang
sesungguhnya adalah kecemburuan nelayan payang atas hasil tangkapan nelayan sekoci yang lebih banyak dengan harga jual yang tinggi. Kondisi ini mendorong
nelayan payang untuk menangkap ikan di lokasi rumpon nelayan sekoci. Konflik
101 penggunaan rumpon juga melibatkan nelayan sekoci lokal rumpon dengan
nelayan sekoci lokal yang tidak memiliki rumpon. Berdasarkan keterangan responden faktor penyebab konflik utama adalah jumlah rumpon di fishing
ground yang tidak memadai Pada saat itu, jumlah perahu payang sebanyak 23 unit sementara sekoci sebanyak 111 unit dengan jumlah rumpon sebanyak 3 unit.
Proses resolusi konflik dilakukan dengan melakukan negosiasi dan dicapai kesepakatan kelompok payang diberi 1 rumpon, tetapi harus memberikan 5
dari penjualan hasil tangkapannya kepada kelompok sekoci yang akan digunakan untuk biaya pemeliharaan rumpon.
Konflik penggunaan potasobat-obatan
Konflik penggunaan potas terjadi pada 1996, melibatkan nelayan Sendang Biru Sumbermanjing dengan nelayan Tambakrejo. Nelayan Tambakrejo
dicurigai menggunakan potas dalam operasi penangkapan ikan dan udang barong lobster di kawasan terumbu karang perairan Sendang Biru. Menurut nelayan
Sumbermanjing penggunaan potas dalam operasi penangkapan ikan sangat berbahaya karena akan berdampak pada perusakan terumbu karang. Konflik
penggunaan potas frekuensinya jarang terjadi, sehingga konflik ini tidak terlalu dihiraukan bahkan terkesan nelayan Sumbermajing membiarkan saja aktivitas
penangkapan ikan ini dan lebih mengharapkan adanya peran yang lebih aktif dari aparat pengawas pemerintah untuk menanggulangi permasalahan ini. Konflik ini
kurang mendapatkan perhatian karena dampaknya tidak langsung menyentuh kepentingan nelayan dan bersifat jangka panjang. Pada saat penelitian, tidak
dijumpai laporan atau kasus penangkapan ikan dengan menggunakan potas.
4.3.2.3 Pengelolaan konflik