1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Isu-isu tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti air, tanah, hutan dan kelautan-perikanan, merupakan topik yang semakin penting
dalam kajian akademik, khususnya setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi. Kedudukan dan nilai sumberdaya alam sangat strategis dalam menjaga
kelangsungan hidup sebagian besar penduduk. Kedudukan tersebut juga ditentukan oleh tingkat ketergantungan penduduk terhadap sumberdaya alam.
Semakin tinggi tingkat ketergantungan penduduk pada sumberdaya alam maka semakin tinggi pula nilai strategis sumberdaya tersebut.
Sumberdaya ikan masih dianggap memiliki sifat terbuka open access dan milik bersama common property, artinya setiap orang mempunyai hak untuk
memanfaakan sumberdaya tersebut. Persoalan hak pemanfaatan tidak hanya melibatkan satu pihak, yakni masyarakat lokal atau nelayan, tetapi juga pihak-
pihak lain seperti pengusaha dan pemerintah. Berbagai pihak yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam sering berbenturan sehingga
menimbulkan konflik. Setiap pengguna sumberdaya merasa memiliki hak yang sama dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Sifat pemanfaatan sumberdaya
yang demikian akan mengakibatkan konflik antar pengguna sumberdaya, khususnya antar kelompok nelayan. Christy 1987.
Nikijuluw 2002 menyebutkan dalam pemanfaatan sumberdaya milik bersama dibatasi dan dilandasi beberapa hak yang memberikan jaminan bagi
pemegangnya, yaitu : 1 Hak akses, adalah hak untuk masuk ke dalam sumberdaya yang memiliki
batas-batas fisik yang jelas. 2 Hak memanfaatkan, adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya dengan
cara-cara dan tehnik produksi sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang berlaku.
2 3 Hak mengatur, adalah hak untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya serta
meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya melalui upaya pengkayaan stok ikan serta pemeliharaan serta perbaikan lingkungan.
4 Hak eksklusif, adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan apakah hak akses tersebut dapat dialihkan kepada orang lain, dan
5 Hak mengalihkan, adalah hak untuk menjual atau menyewakan ke empat hak tadi kepada orang lain.
Ke lima hak di atas dapat bersifat terpisah dan tidak saling berpengaruh antara satu dengan yang lain. Pemegang hak pada sumberdaya milik bersama
dapat dibagi ke dalam : 1 Pengguna sumberdaya
Pengguna sumberdaya merupakan mereka yang menggunakan atau memanfaatkan sumberdaya karena memiliki atau diberi hak akses dan hak
memanfaatkan. Pengguna sumberdaya memiliki otoritas untuk masuk dan memanfaaatkan sumberdaya yang biasanya melalui lisensi atau izin. Meski
demikian, merekahanya sekedar pengguna yang berotoritas atau resmi, tetapi tidak memiliki hak-hak kolektif hak mengatur, hak eksklutif dan hak
mengalihkan. Jika disebutkan di dalam aturan-aturan operasional, hak akses dan hak memanfaatkan yang dipegang pengguna atau sementara melalui penjualan
hak atau penyewaan. Pengalihan hak seperti ini tidak sama dengan mengalihkan yang merupakan hak kolektif.
Kehadiran pengguna atau pemegang izin yang menggunakn hak akses dan hak memanfaatkan sumberdaya ini dapat dijumpain di banyak perikanan di dunia.
Di Indonesia, perikanan skala besar umumnya dikuasai pengguna sumberdaya, yaitu mereka yang masuk dan memanfaatkan sumberdaya berdasarkan izin
penangkapan ikan yang dikeluarkan pemerintah. Meski demikian mereka sekedar pengguna yang tidak dapat mengalihkan haknya kepada orang lain.
2 Claimant Claimant yaitu individu pemegang hak yang sama seperti yang dipegang
pengguna sumberdaya, namun memiliki hak lain, yaitu hak mengatur atau mengelola sumberdaya. Dengan demikian dari sisi kepemilikan hak, seorang
3 claimant dapat secara kolektif menentukan cara dan metoda memanfaatkan mutu
sumberdaya melalui konservasi atau pengayaan lingkungan. Meski demikian, seorang claimant tidak memiliki hak untuk menentukan siapa yang boleh atau
tidak boleh memanfaatkan sumberdaya. Begitu juga seorang claimant tidak dapat mengalihkan atau menyerahkan hak mengaturnya kepada orang lain.
Menjadi seorang claimant tentu saja dituntut lebih banyak tanggung jawab dibandingkan dengan seorang pengguna atau sekedar pemegang izin. Hal ini
disebabkan disamping memanfaatkan sumberdaya, seorang claimant memiliki hak atau bertangung jawab untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya itu. Jika
seorang pengguna hanya mengeksploitasi sumberdaya, seorang claimant memiliki hak untuk mengembangkan konservasi sumberdaya itu. Disaat seorang
pengguna hanya berpikir tentang saat ini, seorang claimant berpikir tentang masa depan sumberdaya yang akan dimanfaatkannya. Jadi dari sisi kelangsungan dan
keberlanjutan sumberdaya, kehadiran seorang claimant lebih diperlukan dari seorang pengguna.
3 Proprieator Proprietor adalah individu yang memiliki hak akses, hak memanfaatkan,
hak mengatur dan hak eksklusif terhadap suatu sumberdaya milik bersama common property. Satu-satunya hak yang tidak dipegang proprietor adalah hak
mengalihkan. Namun kehadiran seorang proprietor jauh lebih bermanfaat dibanding seorang claimant atau seorang pengguna yang berizin karena seoarang
proprietor secara kolektif dapat menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh memanfaatkan sumberdaya.
4 Pemilik Selain memiliki hak kolektif mengatur dan hak eksklusif, seorang individu
juga memiliki hak untuk menjual atau mengalihkan hak mengatur dan hak eksklusif yang dimilikinya sehingga orang yang membeli menjadi pemilik baru
sumberdaya. Jadi seorang pemilik sumberdaya memiliki keseluruhan hak kolektif disamping hak untuk akses dan memanfaatkan sumberdaya. Oleh karena itu
seorang pemilik lebih besar otoritasnya dan pemegangn hak lainnya.
4 Priscoly 2002 menyatakan bahwa konflik sumberdaya alam dapat
disebabkan oleh miskinnya komunikasi, adanya perbedaan persepsi, pertarungan ego, perbedaan personalitas serta masalah stereotype, perbedaan pandangan
tentang baik dan buruk konflik nilai, perbedaan kepentingan dan faktor struktural. Konflik perikanan tangkap sangat bervariasi antar wilayah dan antar
waktu.Bennett dan Neiland 2000 menyatakan bahwa konflik bersifat multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam hubungan yang
kompleks. Tiga dimensi yang mempengaruhi timbulnya konflik, adalah aktor, ketersediaan sumberdaya dan dimensi lingkungan.
Konflik perikanan tangkap secara umum terkait dengan pemanfaatan sumberdaya ikan yang sudah tergolong langka. Kelangkaan dimaksud terkait
dengan masalah produksi, yaitu semakin sedikitnya ikan yang dapat ditangkap oleh nelayan not enough fish. Pada umumnya, pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik adalah kelompok nelayan tradisional. Keragaman jenis konflik perikanan tangkap banyak disebabkan oleh keragaman persepsi nelayan tentang pengelolaan
sumberdaya ikan. Potensi konflik perikanan tangkap dapat disebabkan oleh prinsip hunting dimana nelayan harus selalu memburu dimana ikan berada, suatu
persaingan yang mengakibatkan terjadinya akumulasi unit penangkapan ikan pada tempat dan waktu yang sama.
Berbagai jenis konflik yang sering terjadi dalam pengelolaan perikanan tangkap Indonesia adalah konflik yang timbul karena pemahaman yang keliru
mengenai batas-batas perairan setelah diberlakukannya otonomi daerah, perebutan daerahlokasi penangkapan, perbedaan kualitas dan kapasitas peralatan tangkap
antar kelompok nelayan, pelanggaran batas wilayah perairan, serta pelanggaran hak ulayat laut masyarakat lokal.
Sebagai contoh adalah konflik perikanan tangkap yang terjadi di Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan data dari Dinas Perikanan Jawa Timur 2005, tercatat
bahwa pada kurun waktu 2001-2005 telah terjadi kasus konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan sebanyak 31 kali. Konflik pemanfaatan sumberdaya
perikanan berdasarkan agregasi data yang sama menunjukkan bahwa sebagian besar penyebab munculnya kasus konflik diantaranya adalah : 1 kecemburuan
5 sosial akibat perbedaan hasil tangkapan antara nelayan lokal dan andon, 2
kecemburuan sosial akibat penggunaan alat tangkap yang berbeda, 3 perebutan daerah penangkapan ikan fishing ground, dan 4 penggunaan alat tangkap
illegal. Sebagian besar kasus konflik pemanfaatn sumberdaya ikan di Jawa Timur terjadi di sekitar perairan pantai utara Laut Jawa dan timur Selat Bali Jawa
Timur. Informasi tentang kasus konflik yang terjadi di perairan selatan Jawa Timur berdasarkan data-data yang dikemukakan relatif minim. Namun, minimnya
data tersebut tidak berarti bahwa kasus-kasus serupa dan faktor-faktor penyebabnya tidak terjadi di perairan selatan Jawa Timur.
Pada tahun 70-an terjadi konflik yang melibatkan nelayan skala kecil dengan nelayan purse seine. Konflik tersebut dikenal sebagai Malapetaka Muncar
Malamun yang berlangsung hingga tahun 80-an. Pada tahun 90-an konflik bergeser tidak hanya melibatkan nelayan skala kecil dan nelayan purse seine,
tetapi juga antar nelayan skala keciltradisional Anonimous 2001. Di Teluk Prigi, Kabupaten Trenggalek misalnya, konflik terjadi antara
nelayan payang dengan nelayan purse seine. Penggunaan lampu yang berlebihan pada operasi penangkapan ikan oleh perahu payang skala kecil ternyata
mengganggu operasi perahu purse seine skala besar, serta tumpang tindihnya fishing ground ikan sasaran yang sama Anonimous 2002. Demikian halnya
dengan daerah lain seperti di Teluk Sedang Biru, Kabupaten Malang. Konflik terjadi antara nelayan pancing dengan nelayan purse seine dan payang.
Dibandingkan Teluk Prigi dan Teluk Sendang Biru, konflik perikanan tangkap di Teluk Popoh mempunyai intensitas yang paling sedikit.
Konflik yang terkait dengan hukum dan peraturan adalah akibat terbatasnya pemahaman nelayan, sehingga banyak terjadi pelanggaran terhadap
peraturan tersebut. Selain itu juga konflik juga sering terjadi disebabkan adanya perbedaan nilai, yaitu pandangan tentang baik dan buruk, serta kurangnya
pengetahuan dari aparat penegak hukum memperbesar terjadinya frekuensi pelanggaran. Hal ini dapat dilihat dari kasus penggunaan kompresor dan potas,
pencurian, perusakan lingkungan dan sumberdaya habitat serta kasus nelayan andon.
6 Konflik perikanan tangkap juga sering terjadi karena peraturan lokal
kurang komprehensif dan sangat sempit jangkauannya. Hal ini memberikan peluang pada setiap orang
untuk melakukan intepretasi yang berbeda terhadap peraturan tersebut. Ada bentuk aturan lokal yang sudah disepakati oleh nelayan
yaitu sejenis hak penggunaan wilayah untuk perikanan HPWP atau lebih dikenal sebagai territorial use right for fisheries TURF. Namun organisasi dan
perangkat hukum dari aturan lokal tersebut masih bersifat non formal. TURF berhubungan dengan perikanan tangkap, seperti pada kasus jaring tarik pukat
pantai di Prigi, Jawa Timur. Sebagian nelayan sebenarnya sudah memahami pentingnya mempertahankan habitat dan keberadaan sumberdaya pantai, terutama
untuk kasus-kasus nelayan di Prigi. Pelanggaran atau perusakan habitat dan
sumberdaya mengakibatkan terjadinya konflik antar nelayan.
Kesenjangan sosial-ekonomi dan kemiskinan juga merupakan faktor penyebab konflik perikanan tangkap. Berbagai tindak kekerasan dalam menyikapi
konflik perikanan tangkap sering dipicu oleh faktor ini. Tantangan terberat yang dihadapi adalah jika kelangsungan hidup menjadi terganggu karena hasil
tangkapan ikan yang terbatas. Pemerintah telah berupaya untuk mengatasi konflik perikanan tangkap
yang muncul dengan mengeluarkan berbagai peraturan, namun hasilnya masih belum efektif. Anonimous 2002, menyebutkan beberapa faktor yang
menyebabkan peraturan dan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap belum efektif, yaitu 1 Perangkat peraturan yang terlalu kompleks dan bahkan tidak
diketahui dan dimengerti oleh nelayan dan 2 Kurangnya tingkat pengetahuan penegak hukum. Faktor lain yang menyebabkan peraturan dan kebijakan
pengelolaan perikanan tangkap PT belum efektif adalah perangkat peraturan yang belum dibuat berdasarkan kebutuhan bersama, yaitu Pemerintah, swasta dan
masyarakat nelayan. Pengelolaan konflik conflict management memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap perencanaan pengelolaan sumberdaya, termasuk ke dalamnya sumberdaya perikanan tangkap, karena tanpa pengelolaan yang tepat maka
7 konflik dapat menghambat partisipasi masyarakat dan berpengaruh terhadap
produktivitas nelayan. Para ahli sumberdaya perikanan menyebutkan faktor utama yang
menyebabkan terjadinya eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya perikanan tangkap dan degradasi lingkungan di daerah pesisir adalah masalah sosial,
ekonomi dan politik. Untuk itu perhatian utama pengelolaan sumberdaya perikanan hendaknya dihubungkan dengan masalah kesejahteraan manusia dan
konservasi sumberdaya perikanan guna kelangsungan hidup generasi yang akan datang, sehingga sudah sewajarnya bila faktor manusia actor menjadi perhatian
utama dalam sistem pengelolaan sumberdaya perikanan dan bukan faktor sumberdayanya Pomeroy 2004.
Menyadari tentang sifat konflik perikanan tangkap, guna memberikan resolusi yang optimum, baik untuk konflik yang sedang terjadi maupun yang
mungkin terjadi, diperlukan identifikasi menyeluruh tentang pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Identifikasi ini perlu dilakukan guna menyusun model
resolusi konflik perikanan tangkap yang efektif. Pendekatan yang baik untuk menyusun rencana pengelolaan konflik adalah dengan mengajak pihak-pihak
yang berkepentingan berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang sama terhadap suatu konflik, dinamikanya dan pengaruhnya di masyarakat
sehingga akan lebih mampu menginterpretasikan konflik yang ada, mengenali tanda–tanda meningkatnya konflik dan memperkirakan dampak konflik tersebut.
Dengan memiliki ketrampilan mengelola konflik, seperti memetakan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, menyusun strategi untuk
menyeimbangkan kekuatan, merefleksikan sikap yang dimiliki ketika menghadapi konflik, sampai pada pilihan teknik resolusi konflik; diharapkan dapat dihasilkan
resolusi konflik yang menyeluruh, sehingga keputusan atau kesepakatan yang dihasilkan dapat berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang
terkait Anonimous 2002. Disamping itu, resolusi konflik akan meningkatkan hubungan di antara pihak yang berkonflik dan secara otomatis jalan keluar yang
diambil akan menjadi pendorong mereka untuk berperilaku menghindari konflik, dan atau memelihara komitmen yang sudah ada.
8 Untuk menyelesaikan konflik telah banyak upaya yang dilakukan, namun
sampai sejauh ini hasilnya masih kurang memuaskan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hasil proses resolusi konflik belum memuaskan, yaitu 1
belum dikenalinya tipologi konflik, dan 2 belum tepatnya teknik resolusi konflik yang digunakan. Tanpa memiliki pemahaman tentang tipologi konflik, maka akan
sulit untuk memberikan resolusi konflik yang tepat. Pemahaman terhadap tipologi konflik memberikan manfaat yang signifikan, karena dengan pemahaman ini
maka outcome dari proses resolusi konflik dapat diprediksi dengan baik Obserschall 1973.
Pengelolaan konflik umumnya masih dilakukan secara parsial dan bersifat ad hock. Proses resolusi konflik belum dilakukan dengan benar, dan komitmen
yang dihasilkan belum mengikutsertakan seluruh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Hal ini mengakibatkan pengelolaan konflik belum menyentuh
akarpokok konflik, tetapi hanya merubah konflik yang terbuka menjadi konflik laten yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali.
Berdasarkan uraian diatas, maka terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian pada saat menganalisis konflik dan menyusun model
pengelolaan konflik perikanan tangkap, yaitu : 1 Bagaimana tipologi konflik perikanan tangkap yang terjadi?
2 Bagaimana upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pengelolaan konflik perikanan tangkap?
3 Bagaimana efektivitas pengelolaan konflik perikanan tangkap yang telah dan sedang terjadi ?, serta
4 Bagaimana model pengelolaan konflik perikanan tangkap yang efektif? Disertasi ini disusun dengan sistematika atau pola beberapa judul yang
setiap judulnya merupakan artikel sebagai berikut : 1
Pendahuluan, menerangkan mengenai latar belakang, tujuan dan manfaat dilakukannya penelitian.
2 Pendekatan teoritis analisis konflik dan pengelolaan konflik, akan
menerangkan mengenai berbagai pendekatan yang pernah digunakan dalam pengelolaan konflik.
9 3
Metodologi umum penelitian, yang menerangkan mengenai lokasi penelitian, responden, pengumpulan data, variabel penelitian, pengolahan
data dan analisis data. 4
Tipologi konflik perikanan tangkap, menerangkan mengenai faktor penyebab konflik, tehnik resolusi dan efektivitas resolusi konflik menurut
responden. 5
Keefektivan tehnik resolusi konflik perikanan tangkap, yang menerangkan mengenai efektivitas resolusi konflik di lokasi penelitian berdasarkan alat
analisis yang digunakan. 6
Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap, yang menerangkan mengenai model pengelolaan konflik perikanan tangkap yang dibangun
berdasarkan hasil analisis, berbagai referensi dan pengalaman negara lain dalam pengelolaan konflik.
1.2 Tujuan