palawija serta lahan tidur. Keempat tipe dudukuhan ini dibedakan berdasarkan struktur fisik serta jenis tanaman dominan. Dudukuhan kayu-kayuan cenderung
mengarah pada penanaman satu atau dua jenis pepohonan kayu untuk tujuan komersil. Dudukuhan buah-kayu memiliki kerapatan pohon buah dan kayu yang
relatif lebih tinggi. Dudukuhan buah-kayu-pisangpalawija biasanya memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibanding tipe dudukuhan lainnya. Tipe dudukuhan
berupa lahan tidur adalah lahan-lahan yang dibiarkan tidak terurus oleh pemilik lahan terutama disebabkan lokasinya yang jauh dari desa dan biasanya terletak di
bagian perbukitan dengan tingkat kemiringan cukup curam. Selain didominasi oleh semak belukar umumnya lahan tidur ditumbuhi bambu yang permudaannya
berlangsung alami dan setiap tahun dipanen hasilnya Manurung et al., 2003; Manurung, 2005.
Proses terbentuknya dudukuhan dimulai dari pembukaan lahan sebagai ladang huma. Ladang huma biasanya merupakan integrasi antara penanaman padi
huma dengan jenis tanaman pertanian, tanaman semusim, pisang dan tanaman pepohonan. Pada tahap selanjutnya padi huma tidak menjadi tanaman pokok
karena tergantikan oleh berbagai jenis tanaman lain. Keadaan ini secara bertahap akan merubah lahan beralih fungsi menjadi lahan hutan. Dudukuhan
mengembalikan fungsi hutan dan memberikan masukan bagi masyarakat juga membangun hubungan sosial antar masyarakat Santosa, 2006.
E. Kinerja Pengelolaan Kehutanan Masyarakat di Indonesia
Ukuran kinerja suatu sistem produksi dapat dianalisis berdasarkan beberapa karakteristik seperti produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, penyebaran dan
kemerataannya. Setiap kegiatan pengelolaan hutan memiliki kinerja yang berbeda-beda. Kinerja pengelolaan hutan dapat dinilai berdasarkan pada empat
indikator yaitu produktivitas, keberlanjutan, keadilan manfaat dan efisiensi Suharjito et al., 2000. Yusran 2005 mengkaji kinerja pengelolaan hutan kemiri
di Sulawesi Selatan dari aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Kinerja ekonomi menggambarkan besarnya keuntungan yang diperoleh pemilik sumberdaya.
Kinerja ekologi menggambarkan kemampuan menjaga ekosistim secara berkelanjutan yang terlihat dari keadaan hutannya. Kinerja sosial menggambarkan
pengetahuan dan kelembagaan lokal yang berkaitan dengan distribusi manfaat dan nilai-nilai sosial dalam sistem hutan.
Menurut Conway 1987 dalam Suharjito et al., 2000, produktivitas adalah keluaran produk bernilai per unit input sumber daya. Budidarsono 2002
mendefinisikan produktivitas wanatani sebagai kemampuan untuk berproduksi secara finansial dan ekonomi. Produktivitas diukur dari seberapa besar wanatani
mampu memberikan keuntungan berupa pendapatan bersih. Pada dasarnya besaran fisik produktivitas mempengaruhi besaran pendapatan dan memberi
dampak bagi kesejahteraan petani pengelola. Keberlanjutan diartikan sebagai kemampuan suatu agroekosistem untuk
menjaga produktivitasnya dari waktu ke waktu. Keberlanjutan diidentifikasi berdasarkan keberadaan agroekosistim dari waktu ke waktu pada tingkat
produktivitas barang atau jasa tertentu Suharjito et al., 2000. Salah satu sasaran dalam setiap usaha pertanian adalah produksi yang berkelanjutan yang dicirikan
oleh stabilitas produksi dalam jangka panjang. Conway 1987 dalam Suharjito et al., 2000 mendefinisikan keadilan
manfaat sebagai pemerataan distribusi proyek dari agroekosistem di antara yang berhak menerima manfaat. Keadilan manfaat diukur berdasarkan tingkat distribusi
penguasaan sumberdaya hutan dan akses terhadap manfaat yang diterima oleh satuan masyarakat desa atau kampung. Mekanisme keadilan manfaat mendukung
tercapainya keberlanjutan, produktivitas dan efisiensiSuharjito et al., 2000. Tietenberg 1992 dalam Yusran 2005 mengemukakan bahwa pengelolaan
suatu sumberdaya akan efisien dan lestari apabila struktur property rights sumberdaya terdefenisikan dengan baik. Hal ini dicirikan oleh empat komponen
yaitu : 1 universality dimana semua sumberdaya dimiliki secara individu dan seluruh hak-hak atas pemilikan lahan bersifat khusus, 2 transferability yaitu
semua hak kepemilikan dapat dipindahtangankan dari satu pemilik kepada pemilik lainnya secara sukarela, 3 exclusivity dimana semua manfaat dan biaya
yang timbul dari kepemilikan dan penggunaan lahan harus dinikmati dan ditanggung oleh pemiliknya, dan 4 enforceability yaitu hak kepemilikan harus
aman dari gangguan atau penjarahan pihak lain. Menurut Budidarsono 2002
penilaian efisiensi suatu sistem agroforestri dapat dilakukan dengan membandingkan manfaat yang dihasilkan dengan biaya yang sudah dikeluarkan
pengelola sumberdaya. Dapat disimpulkan bahwa Tietenberg 1992 dalam Suharjito et al., 2000 mengkaji efisiensi pengelolaan sumberdaya dengan
menggunakan pendekatan kelembagaan sedangkan Budidarsono mengkaji efisiensi dengan pendekatan fisik berupa manfaat yang diperoleh pada satu satuan
waktu pengelolaan. Kinerja pengelolaan hutan dipengaruhi oleh:
1. Sistem pengelolaan, yaitu sistem penguasaan dan pengambilan keputusan,
apakah secara individual atau komunal. Sistem penguasaan dan pengambilan keputusan pengelolaan mempengaruhi responsibilitas terhadap ekonomi pasar
dan model ekonomi sosialnya. 2.
Orientasi usaha, apakah subsisten atau komersial. Tingkat subsistensi dan komersialisasi merupakan ukuran responsibilitas terhadap ekonomi pasar.
3. Jenis dan keragaman produk yang dikonsumsi dan dipasarkan merupakan
respons terhadap kebutuhan dan pasar yang sekaligus mempengaruhi kinerja pengelolaannya.
Tingkat produktivitas dan efisiensi sistem pengelolaan secara individual, dengan orientasi usaha komersial dan jenis produk monokultur cenderung lebih
tinggi. Keberlanjutan dan tingkat pemerataan sistem pengelolaan cenderung lebih tinggi pada hutankebun yang dikelola secara komunal, berorientasi subsisten dan
berbentuk agroforest kompleks sehingga menghasilkan produk dengan jenis dan tingkat keragaman tinggi Suharjito et al., 2000.
Kajian kinerja pengelolaan kehutanan masyarakat di beberapa daerah di Indonesia menjadi bukti kongkrit keberhasilan pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat
Suharjito et al., 2000.
II. Produktivitas
Produktivitas kebun kemenyan di Tapanuli Utara dihitung sebagai hasil produksi getah kemenyan per kg per hektar per tahun yang dikalikan dengan
harga rata-rata getah kemenyankg. Dengan rata-rata penguasaan lahan 2 hektar serta tingkat harga getah kemenyan rata-rata Rp 4.000 per kg maka pendapatan
rumah tangga yang diperoleh pengelola ± Rp. 2.800.000 per tahun Suharjito et al., 2000.
Sistem tembawang di Kalimantan Barat menghasilkan biji tengkawang sebanyak 300 kg per hektar per tahun untuk musim biasa dan 600 kgha dalam
siklus 3 – 5 tahun pada musim besar. Momberg dalam de Foresta et al., 2001 mencatat 75 hasil tengkawang nasional berasal dari pengelolaan tembawang.
Pada awalnya tengkawang merupakan hasil asli hutan. Saat ini hampir seluruh biji tengkawang dikumpulkan dari hasil budidaya di kebun. Harga jual biji
tengkawang pada musim biasa sekitar Rp. 800kg sedangkan pada musim besar harga per kg biji tengkawang sekitar Rp. 500 - 700kg. Pada tingkat harga tersebut
produktivitas tembawang dari hasil biji tengkawang Rp. 240.000 untuk musim biasa dan antara Rp. 300.000 - Rp. 420.000 untuk musim besar. Hasil buah
dilaporkan mencapai 20 - 50 kg per pohon dengan harga jual Rp. 500kg Sundawati, 1993 dalam Suharjito et al., 2000.
Penilaian produktivitas juga dapat dilihat secara kualitatif. Hal ini disebabkan karena hal-hal yang berkaitan dengan produktivitas belum
teridentifikasi secara menyeluruh. Suharjito et al., 2000 mengemukakan bahwa produktivitas hutan adat Tenganan di Bali diidentififkasi berdasarkan adanya
beberapa aturan yang membatasi produk buah hanya dapat dikonsumsi secara bebas atau dipasarkan dengan ijin bila sudah jatuh ke atas tanah. Penebangan kayu
dilakukan sangat terbatas terhadap kayu mati atau kayu hasil penjarangan. Hasil kayu juga hanya diperuntukkan untuk keperluan lokal setempat. Suharjito et al.,
2000 juga meninjau produktivitas lembo melalui beragamnya hasil lembo baik dari jenis kayu atau buah, getah, rotan dan hasil lain. Hasil yang beragam
memberikan kontribusi pendapatan yang cukup tinggi bagi pengelola lembo.
Orientasi peningkatan produktivitas juga dilihat dengan berkembangnya pengetahuan lokal pada berbagai tahapan pengelolaan lahan.
III. Keberlanjutan
Keberlanjutan dinilai berdasarkan keberadaan suatu sistem pengelolaan lahan dari waktu ke waktu pada tingkat produktivitas tertentu. Repong damar di
Daerah Krui, Lampung merupakan contoh pola pengelolaan yang terbukti mampu berproduksi dalam jangka panjang, mendatangkan keuntungan ekonomi serta
memiliki landasan sosial yang kokoh Wijayanto, 2001. Suharjito et al., 2000 mengidentifikasi keberlanjutan sistem ini melalui berkembangnya pengetahuan
tradisional yang berorientasi pada pengaturan dan pembatasan pengambilan hasil getah damar. Fenomena ini memperlihatkan kecenderungan masyarakat petani
pengelola untuk mempertahankan keberadaan repong damar serta meningkatkan level produktivitas.
Pengelolaan kebun hutan Durian di Benawai Agung, Kecamatan Sukadana Kalimantan Barat telah berlangsung lama Salafsky, 1994 . Jenis tanaman utama
yang terdapat pada semua tipe kebun pepohonan campuran adalah durian. Durian memiliki tingkat kepadatan pohon yang paling tinggi dibandingkan dengan jenis
lain. Ukuran diameter pohon durian yang cukup besar menunjukkan bahwa kebun-kebun durian di Benawai Agung merupakan kebun tua. Pada awalnya hasil
kebun durian hanya digunakan untuk konsumsi sendiri. Saat ini harga kebun dan nilai pohon buah yang semakin meningkat menyebabkan para petani berupaya
memperluas kebun miliknya. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa kebun durian sangat menguntungkan sehingga para petani cenderung mempertahankan
keberadaannya. IV.
Keadilan Manfaat Keadilan manfaat pada sistem pengelolaan repong damar di Krui Lampung
diidentifikasi berdasarkan akses kegiatan pengelolaan yang cukup terbuka terhadap berbagai pihak, besarnya manfaat atau efek ganda yang diperoleh dari
pengelolaan serta terbukanya berbagai macam kegiatan yang menjadi sumber
kehidupan. Keadilan manfaat juga diidentifikasi dengan terbukanya peluang berbagai anggota masyarakat manapun untuk terlibat dalam pengelolaan repong
damar. Tembawang di Kalimantan Barat dibedakan menurut pola pemilikan.
Menurut de Foresta et al., 2000 terdapat empat tipe tembawang. Tipe pertama adalah tembawang milik bersama yang hak pemanfaatannya dimiliki bersama-
sama penduduk satu desa atau lebih. Tipe kedua adalah tembawang waris tua yang dimiliki oleh kelompok seketurunan dengan usia kepemilikan antara tiga
hingga enam generasi. Tipe ketiga adalah tembawang waris muda yang hak pemanfaatannya dimiliki secara bersama-sama oleh satu keluarga besar dengan
usia kepemilikan antara satu sampai dua generasi. Tipe terakhir adalah tembawang pribadi yang merupakan tembawang muda dan dimiliki secara
perorangan. Sistem kepemilikan seperti ini didasarkan pada sistem pewarisan Dayak Kodan pedalaman yaitu tembawang tidak dibagi ketika sang pemilik
meninggal. Keadilan manfaat dapat diidentifikasi berdasarkan beragamnya akses kepemilikan sehingga semua bagian masyarakat dan individu dapat menikmati
hasil tembawang. Pada hutan adat Tenganan di Bali, keadilan manfaat baru dapat diukur pada
tingkat subsisten. Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, penduduk setempat diperbolehkan mengambil buah-buahan yang sudah jatuh ke atas tanah. Untuk
tujuan komersial, keadilan manfaat belum dapat diukur secara pasti karena ketidakpastian produktivitas buah dan kayu serta keharusan memperoleh ijin dari
kepala desa untuk pemanfaatan produk lahan. V.
Efisiensi Penilaian efisiensi hutan kemenyan di Tapanuli Utara didasarkan pada
perhitungan ratio input-output. Perhitungan input produksi dilakukan terhadap input produksi yang paling intensif yaitu tenaga kerja. Tenaga kerja yang
digunakan dalam pengusahaan hutan kemenyan 60 berasal dari keluarga dan sisanya 40 berasal dari tenaga upahan. Komposisi tenaga kerja yang terlibat
dalam pengusahaan hutan Kemenyan adalah 95 kaum pria dan sisanya wanita.
Bila jumlah jam kerja antara 90 – 100 HOKhektartahun dengan upah tenaga kerja Rp 6.000HOK maka biaya tenaga kerja dapat mencapai Rp.
600.000hektartahun. Penghasilan yang diperoleh dari getah kemenyan mencapai Rp. 1.400.000ha per tahun. Dapat disimpulkan bahwa pengelolaan kebun
kemenyan tergolong efisien karena pendapatan jauh lebih besar dari biaya. Apabila hasil-hasil suplemen seperti buah nangka, durian dan duku turut
diperhitungkan maka pengusahaan lahan akan memberikan penghasilan yang lebih tinggi Suharjito et al., 2000.
Suharjito et al., 2000 mengidentifikasi efisiensi pengelolaan Repong damar di daerah Krui Lampung berdasarkan pendekatan kelembagaan. Efisiensi
teridentifikasi melalui jelasnya hak-hak yang berkaitan dengan pemilikan, penguasaan dan pengelolaannya. Efisiensi juga tergambar dari tersedia dan
dihormatinya berbagai aturan main yang disepakati bersama antara lain meliputi pembatasan pengambilan hasil getah damar serta penentuan batas kebun dengan
menggunakan jenis pohon tertentu pinang.
III. METODOLOGI PENELITIAN