Perkembangan oosit karang lunak Sarcophyton crassocaule hasil fragmentasi di gosong pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta

(1)

PERKEMBANGAN OOSIT KARANG LUNAK

Sarcophyton crassocaule

HASIL FRAGMENTASI DI GOSONG PRAMUKA,

KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

VIDIA CHAIRUN NISA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

PERKEMBANGAN OOSIT KARANG LUNAK

Sarcophyton

crassocaule

HASIL FRAGMENTASI DI GOSONG PRAMUKA,

KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Februari 2011

VIDIA CHAIRUN NISA C54051988


(3)

RINGKASAN

VIDIA CHAIRUN NISA. C54051988. Perkembangan Oosit Karang Lunak

Sarcophyton Crassocaule Hasil Fragmentasi Di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. Dibawah bimbingan MUJIZAT KAWAROE dan ADI WINARTO

Sarcophyton sp. merupakan salah satu dari beberapa jenis karang lunak yang saat ini menjadi pusat perhatian di bidang famasi . Sarcophyton

crassocaule mengandung bioaktif yang mengandung senyawa terpen yang memi-liki banyak fungsi diantaranya sebagai antimikroba, antikanker, antitumor, dan anti inflammantori. Potensi yang dimiliki oleh Sarcophytoncrassocaule memi-cu adanya kekhawatiran terganggunya keseimbangan alam karena pengambilan untuk skala produksi masal dari Sarcophyton sp. yang dapat menyebabkan keru-sakan ekosistem bahkan kepunahan dari spesies ini, maka dilakukanlah kegiatan fragmentasi karang lunak tersebut untuk memperbanyak jumlah koloni dari ka-rang lunak.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengamati perkembangan Oosit

Sarcophytoncrassocaule hasil fragmentasi dan alam, termasuk di dalamnya mengkaji jumlah dan ukuran gamet karang lunak Sarcophyton sp. hasil fragmen-tasi dan non fragmenfragmen-tasi (alam), serta mengkaji pengaruh perbedaan kedalaman lokasi penanaman hasil fragmentasi Sarcophytoncrassocaule terhadap repro-duksi karang lunak Sarcophyton sp.

Pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan memotong bagian tubuh pada tiap koloni karang lunak. Total populasi koloni yang diambil nyak 72 koloni, terdiri dari cabang koloni karang lunak hasil fragmentasi seba-nyak 24 koloni untuk kedalaman 3 m, 24 koloni untuk kedalaman 12 m, dan 24 koloni karang lunak non fragmentasi. Koloni karang lunak tersebut digunakan untuk sampel guna mengkaji gamet pada karang lunak non fragmentasi dan hasil fragmentasi kedalaman 3 dan 12 m.

Pengambilan sampel dilakukan saat umur fragmentasi mencapai 8 dan 10 bulan berdasarkan fase bulan Qomariah. Pembuatan preparat histologis dilaku-kan dengan metode parafin dengan cara memotong jaringan karang lunak setebal ±5 µm dan mewarnainya dengan pewarna ganda Hematoksilin Eosin (Kiernan, 1990 dan Gunarso, 1989).

Hasil pengamatan terhadap 72 koloni karang lunak yang diambil menunjukkan semua koloni teridentifikasi mengandung gamet betina. Terpisahnya gamet betina dan jantan pada cabang koloni yang berbeda menunjukkan bah-wa tipe seksualitas karang lunak Sarcophyton sp . adalah gonokhorik. Peng-gunaan metode fragmentasi pada kedalaman 3 dan 10 m menunjukkan pola per-kembangan yang tidak berbeda nyata sehingga pelaku bisnis dapat memilih kedalaman yang paling ekonomis menurut diantara kedua kedalaman tersebut untuk prosesfragmentasi dalam rangka memproduksi karang lunak dalam skala besar.


(4)

© Hak cipta milik Vidia Chairun Nisa, tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(5)

PERKEMBANGAN OOSIT KARANG LUNAK

Sarcophyton crassocaule

HASIL FRAGMENTASI DI GOSONG PRAMUKA,

KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

VIDIA CHAIRUN NISA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(6)

Judul : PERKEMBANGAN OOSIT KARANG LUNAK

Sarcophyton crassocaule HASIL FRAGMENTASI DI

GOSONG PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU JAKARTA

Nama : VIDIA CHAIRUN NISA

NRP : C54051988

Disetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si NIP. 19651213 199403 2 002

drh. Adi Winarto, Ph.D NIP. 19580516 198601 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Prof.Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M. Sc. NIP. 19580909 1983031 003


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul ”Perkembangan

Oosit Karang Lunak Sarcophyton crassocaule Hasil Fragmentasi Di Gosong

Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta” . Pada kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua, suami, serta adik atas segala doa dan dukungannya

2. Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si selaku dan drh. Adi Winarto, Ph.D sebagai pembimbing skripsi atas bimbingan, masukan, kritik yang sangat berharga dalam penyusunan skripsi.

3. Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA selaku dosen penguji yang telah memberikan koreksi dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Marsheilla Tjahjadi , sebagai rekan dalam kegiatan transplantasi dan monitoring karang lunak.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu saran dan kritik tetap penulis harapkan untuk menjadikan tulisan ini lebih baik. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan maupun sebagai tambahan informasi untuk memperkaya ilmu di kemudian hari.

Bogor, Mei 2011


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ………... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... . xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Sistematika Karang Lunak ... 4

2.3 Reproduksi Karang Lunak ... 8

2.3.1 Reproduksi Aseksual ... 8

2.3.2 Reproduksi Seksual ... 9

2.3.3 Gametogenesis ... 10

2.3.4 Pemijahan dan Fertilisasi ... 14

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Reproduksi Karang Lunak (Octocorallia)... 15

2.4.1 Faktor Internal ... 15

2.4.2 Faktor Eksternal ... 16

2.5 Faktor – faktor Pembatas Pertumbuhan Karang Lunak (Octocorallia) .... 18

III. BAHAN DAN METODE ... 20

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 20

3.3 Metode Kerja ... 21

3.3.1 Pembuatan Preparat Histologis ... 21

3.3.2 Pengamatan Mikroskopis ... 22

3.3.3 Pengukuran Parameter Lingkungan ... 23

3.4 Analisis Data ... 24

3.4.1 Analisis Deskriptif ... 24

3.4.2 Analisis Ragam ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1 Kondisi Lingkungan Stasiun Penelitian ... 25

4.2 Pengamatan Mikroskopis terhadap Sarcophyton crassaule ... 28

4.3 Oogenesis dan Ukuran Gamet Betina Karang Lunak Sarcophyton crassocaule ... 29

4.4 Pengaruh Fragmentasi pada Reproduksi Seksual Sarcophyton crassocaule ... 34


(9)

4.5 Pengaruh Kedalaman Lokasi Fragmentasi pada Reproduksi Seksual

Sarcophyton crassocaule . ... 39

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

5.1 Kesimpulan ... 45

5.2 Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Ukuran diameter oosit pada setiap tahap perkembangan S. glaucum yang di ambil pada Sodwana Bay ... 12 Tabel 2. Alat dan bahan yang digunakan pada saat penelitian ... 21 Tabel 3. Parameter fisika-kimia perairan yang diukur ... 23 Tabel 4. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia di stasiun penelitian... 25 Tabel 5. Ukuran diameter oosit pada setiap tahap perkembangan ... 30


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Penampang vertikal polip karang lunak (Bayer, 1956) ... 5

Gambar 2. Penampang vertikal autozooid (Fabricius dan Alderslade, 2001)... 6

Gambar 3. Sarcophyton crassocaule a. keadaan saat polip keluar ... 8

Gambar 4. Gambaran umum dari polip betina ... 10

Gambar 5. Gambaran umum dari polip jantan ... 13

Gambar 6. Peta perairan Pulau Pramuka sebagai lokasi penelitian ... 20

Gambar 7. Oogenesis tahap I karang lunak Sarcophyton crassocaule yang menempel pada saluran mesenteri... 30

Gambar 8. Oogenesis tahap II karang lunak Sarcophyton crassocaule yang menempel pada saluran mesenteri ... 31

Gambar 9. Rata-rata jumlah oosit pada karang lunak non fragmentasi dan fragmentasi umur 8 bulan setelah fragmentasi ... 35

Gambar 10. Komposisi rata-rata jumlah oosit tahap1 dan tahap 2 pada karang lunak non fragmentasi (alam) dan hasil fragmentasi umur 8 bulan setelah fragmentasi ... 36

Gambar 11.Rata-rata jumlah oosit pada karang lunak non fragmentasi & fragmentasi umur 10 bulan setelah fragmentasi ... 37

Gambar 12.Komposisi Rata-rata jumlah O1 dan O 2 pada karang lunak non fragmentasi dan fragmentasi umur 10 bulan setelah fragmentasi .. 38

Gambar 13.Rata-rata jumlah oosit pada karang lunak fragmentasi pada kedalaman 3 meter dan 12 meter pada umur 8 bulan setelah fragmentasi ... 40

Gambar 14.Komposisi Rata-rata jumlah O1 dan O2 pada karang lunak fragmentasi pada kedalaman 3 dan 12 meter 8 bulan setelah fragmentasi ... 41

Gambar 15.Rata-rata jumlah oosit pada karang lunak fragmentasi pada kedalaman 3 meter dan 12 meter pada umur 10 bulan setelah fragmentasi ... 42

Gambar 16. Komposisi Rata-rata jumlah O1 dan O2 pada karang lunak fragmentasi pada kedalaman 3 dan 12 meter , 10 bulan setelah fragmentasi……… 43


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data rata-rata jumlah telur pada bulan ke – 8 ... 51 Lampiran 2. Jumlah oosit pada setiap stage dan jumlah total telur pada 4 fase

bulan yang berbeda pada umur 8 dan 10 bulan . ... 59 Lampiran 3. Analisis ragam antara perlakuan non fragmentasi dan fragmentasi

jenis Sarcophyton crassocaule pada umur 8 bulan. ... 60 Lampiran 4. Analisis ragam antara perlakuan non fragmentasi dan fragmentasi

jenis Sarcophyton crassocaule pada umur 10 bulan. ... 61 Lampiran 5. Analisis ragam antara perlakuan produk fragmentasi dengan

kedalaman berbeda jenis Sarcophyton crassocaule pada umur 8 bulan. ... 62 Lampiran 6. Analisis ragam antara perlakuan produk fragmentasi dengan

kedalaman berbeda jenis Sarcophyton crassocaule pada umur 10 bulan. ... 63 Lampiran 7. Uji t-stat perlakuan non fragmentasi dan fragmentasi jenis

Sarcophyton crassocaule pada umur 8 bulan. ... 64 Lampiran 8. Uji t-stat perlakuan non fragmentasi dan fragmentasi jenis

Sarcophyton crassocaule pada umur 10 bulan. ... 66 Lampiran 9. Uji t-stat antara perlakuan produk fragmentasi dengan kedalaman

berbeda jenis Sarcophyton crassocaule pada umur 8 bulan. ... 68 Lampiran 10. Uji t-stat antara perlakuan produk fragmentasi dengan kedalaman

berbeda jenis Sarcophyton crassocaule pada umur 10 bulan. .... 69 Lampiran 11. Data mentah diameter Sarcophyton crassocaule... 70


(13)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekosistem terumbu karang yang terdapat pada perairan tropis dan subtropis pada umumnya didominasi oleh biota karang batu. Namun selain itu terdapat pula biota berupa karang lunak atau yang lebih dikenal sebagai Alcyonaria (Alcyionarian corals), merupakan salah satu jenis coelentrata dan memiliki pera-nan yang tidak kalah penting perapera-nannya dalam pembentukan fisik ekosistem terumbu karang. Seperti halnya dengan karang batu, karang lunak merupakan Coelenterata yang berbentuk polip yaitu bentuk seperti bunga yang kecil. Namun tidak seperti karang batu, tubuh Alcyonaria lunak tetapi disokong oleh sejumlah besar duri-duri yang kokoh, berukuran kecil dan tersusun sedemikian rupa sehingga tubuh Alcyonaria lentur dan tidak mudah putus. Duri-duri ini mengandung karbonat kalsium dan disebut spikula. Secara sepintas lalu

Alcyonaria nampak seperti tumbuhan, karena bentuk koloninya yang bercabang-cabang seperti pohon dan melekat pada substrat yang keras.

Karang lunak juga memiliki potensi yang sangat besar dalam bidang farmasi (obat-obatan). Potensial dikarenakan karang lunak (Alcyonaria) mangandung se-nyawa terpen yang dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan dalam bidang farmasi sebagai antibiotika , anti fungi hinga senyawa anti tumor.

Kajian tentang senyawa karang lunak yang telah banyak diteliti adalah kan-dungan kimianya. Senyawa terpen dari beberapa jenis karang lunak. Senyawa terpen merupakan senyawa kimia yang dihasilkan secara alamiah oleh tumbuh tumbuhan dan mengandung aroma atau bau yang harum. Senyawa terpen ini telah menarik perhatian para ahli kimia terutama yang meneliti senyawa-senyawa


(14)

alamiah karena dapat digunakan dalam bidang farmasi sebagai antibiotika, anti jamur dan senyawa anti tumor. Sedangkan kegunaannya bagi karang lunak itu sendiri ialah sebagai penangkal terhadap serangan predator, dalam hal mempere-butkan ruang lingkup, dan dalam proses reproduksi. Senyawa terpen ini pada karang lunak dihasilkan oleh zooxanthella yaitu alga uniseluler yang bersimbiosis dengan karang lunak.

Besarnya potensi yang dimiliki oleh karang lunak inilah dikhawatirkan ter-jadi eksploitasi besar-besaran pada karang lunak langung dari alam tanpa mem-perhatikan penurunan populasi yang ditimbukan serta kerusakan ekosistem akibat penurunan popolasi karang lunak tersebut. Karena sampai saat ini belum banyak usaha pembudidayaan karang lunak untuk produksi masal.

Menjawab tantangan di atas maka pembudidayaan adalah solusi untuk meng-hindari adanya kerusakan ekosistem. Salah satu pendekatanyang dilakukan untuk membudidayakan karang lunak adalah dengan metode fragmentasi dan fragmentasi buatan. Namun pengaruh fragmentasi terhadap perkembangan reproduksi seksual karang lunak belum diketahui sehingga

dibutuhkan adanya penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh fragmentasi tersebut terhadap reproduksi seksual karang lunak.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Mengamati perkembangan Oosit karang lunak (Sarcophyton crassocaule)

hasil fragmentasi dan non fragmentasi (alam).


(15)

c. Mengkaji pengaruh perbedaan kedalaman lokasi penanaman hasil frag-mentasi Sarcophyton crassocaule terhadap reproduksinya.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistematika Karang Lunak

Seperti halnya karang batu, karang lunak termasuk filum Coelenterata, kelas Anthozoa yaitu hewan yang bentuknya seperti bunga, dan disebut polip. Kelas Anthozoa dibagi dalam dua sub-kelas yaitu subkelas Zoantharia atau Hexacorallia atau Scleractinia dan sub-kelas Octocorallia atau lebih populer dengan Alcyonaria. Karang lunak termasuk dalam sub-kelas Alcyonaria. Sub-kelas Alcyonaria dibagi dalam enam bangsa (ordo) dan salah satu diantaranya ordo Alcyonacea yang merupakan karang lunak yang sebenarnya. Urut-urutan klasifikasi karang lunak adalah sebagai berikut :

Filum : Coelenterata Kelas : Anthozoa

Sub-Kelas : Octocorallia (Alcyonaria)

Ordo : Alcyonacea

Sub ordo : Alcyoniina

Famili ; Alcyoniidae

Genus : Sarcophyton

Species : crassocaule

(Prat, 1903 in Manupputy, 2002)

2.2 Morfologi Karang Lunak

Seperti namanya karang lunak memiliki tubuh dengan struktur yang lunak namun lentur serta mempunyai tangkai yang melekat pada substrat yang keras


(17)

terutama karang mati. Walaupun zat penyusun karang lunak dan karang lunak dan karang keras sama yaitu zat kapur , tubuh karang lunak ini lebih lunak dan kenyal. Hal ini dikarenakan karang lunak tidak memiliki kerangka kapur yang keras seperti halnya karang batu.

Gambar 1. Penampang vertikal polip karang lunak (Bayer, 1956)

Bagian atas tangkai disebut kapitulum, bentuknya bervariasi antara lain seperti jamur, bentuk lobus atau bercabang-cabang. Variasi bentuk inilah yang menentukan bentuk koloni secara keseluruhan, hal mana sangat membantu dalam pengenalan jenis di lapangan. Kapitulum mengandung polip sehingga disebut bagian fertil, sedangkan tangkainya lebih banyak mengandung spikula yaitu duri-duri kecil dari karbonat kalsium yang berfungsi sebagai penyokong jaringan tubuh, sehingga disebut bagian steril. Polip dapat dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu antokodia, kaliks dan antostela.


(18)

Antokodia merupakan bagian yang terdapat di permukaan koloni dan bersifat retraktil, yaitu dapat ditarik masuk ke dalam jaringan tubuh. Apabila antokodia ditarik ke dalam, maka yang nampak dari atas adalah pori-pori kecil seperti bintang. Bangunan luar dari pori-pori inilah yang disebut kaliks.

Gambar 2. Penampang vertikal autozooid (Fabricius dan Alderslade, 2001)

Daerah pada antokodia ditemukan tentakel yang berjumlah delapan dengan deretan duri-duri di sepanjang sisinya. Duri-duri ini disebut pinnula, fungsinya untuk membantu mengalirkan air dan zat-zat makanan ke dalam mulut. Selain tentakel, ditemukan mulut sifonoglifa) yang melanjutkan diri membentuk septa. Antokodia juga mengandung spikula yang letaknya berderet sampai ke ujung masing-masing tentakel. Pada pangkal tentakel terdapat mulut yang berbentuk kepingan yang disebut stomodeum. Lanjutan mulut berupa saluran pendek disebut farinks atau esofagus. Bagian dalam farinks disusun oleh sel-sel epitel kelenjar dan sel-sel epitel kolumnar yang berflagela. Fungsi flagela untuk


(19)

membantu mengalirkan air ke dalam rongga perut pada proses respirasi. Sel-sel epitel tadi tersusun sedemikian rupa sehingga bagian dalam farinks berbentuk alur-alur yang disebut sifonoglifa. Bagian polip dimana sifinoglifa terletak disebut bagian ventral, sebaliknya yang berseberangan dengannya disebut bagian dorsal.

Rongga gastrovaskuler atau rongga perut ditemukan pada daerah kaliks, terusan dari farinks (yang terbagi menjadi delapan dan disebut septa), benang-benang septa dan organ reproduksi atau gonad. Septa membagi rongga perut menjadi delapan ruangan. Ujung akhir septa menebal membentuk benang septa dan menggantung bebas di dalam rongga perut. Dua di antara delapan septa tadi lebih panjang dan melebar ke bagian basal polip, mengandung banyak flagela dan fungsinya untuk membantu menyalurkan air dan sisa-sisa makanan ke atas untuk dibuang ke luar. Sedangkan enam septa lainnya pendek-pendek, mengandung selsel kelenjar yang fungsinya membantu proses pencernaan makanan. Masing-masing septa mempunyai otot retraktor yang fungsinya membantu kontraksi antokodia. Beberapa jenis karang lunak dari marga Sarcophyton dapat menjadi indikator arus di perairan sekelilingnya. Bila arus cukup deras antokodia akan mencuat keluar untuk mengambil air dan zat-zat makanan ke dalam.

Jenis karang lunak yang akan kami bahas dalam penelitian ini adalah

Sarcophytoncrassocaule (Moser, 1919). Berikut ini adalah gambar dari bagian dari karang lunak yang kami teliti secara umum.


(20)

A

B

Gambar 3. Sarcophyton crassocaule a. keadaan saat polip keluar b. bentuk koloni

2.3 Reproduksi Karang Lunak 2.3.1 Reproduksi Aseksual

Reproduksi aseksual pada habitat alami merupakan mekanisme penting dalam meningkatkan jumlah individu dalam suatu koloni. Reproduksi ini dilakukan dengan cara pertumbuhan koloni, fragmentasi, tunas, pembelahan melintang, dan pencabikan pedal (Sprung dan Delbeek, 1997dalam Setyawan, 2008).

a. Fragmentasi, penempelan fragmen buatan akan berhasil dengan baik bila kondisi lingkungan pun optimal dan substrat dasarnya pun baik. Karang lunak yang paling mudah diperbanyak adalah genus dari Sarcophyton, Sinularia, Xenia, dan Anthelia. Fragmentasi dapat juga terjadi karena adanya predator dan


(21)

Sarcophyton dapat merusak koloni. Namun, penggunaan fragmentasi mampu menghasilkan sejumlah keturunan dari sisa jaringan.

b. Pembentukan tunas, biasa terjadi pada karang lunak masif seperti

Sarcophyton di bagian dekat dasar tangkai atau pada bagian pinggir kapitulum. Jika pertunasan terjadi pada koloni yang masih kecil, maka anak dan induk akan tumbuh bersama-sama untuk membentuk koloni bertangkai banyak. Bila koloni induk yang bertunas sudah berukuran besar maka tunas yang tumbuh akan tetap kerdil karena terhalang oleh koloni induk.

c. Pembelahan melintang, terjadi pada Xenia spp, dimana pembelahan diawali dengan terpisahnya tangkai mulai dari dasar terus memanjang ke arah vertikal diantara dua cabang terbesar, hingga akhirnya dapat menghasilkan dua koloni berukuran sama. Proses ini memakan waktu beberapa bulan untuk sampai benar-benar terpisah. Namun untuk Xenia spp hanya membutuhkan waktu satu minggu saja.

d. Pencabikan pedal (pedal laceration), koloni benar-benar bergerak melintasi substrat mengikuti jaringan bagian basalnya. Selanjutnya, jaringan ini dapat terus menempel atau menjadi terlepas dan menjadi individu baru.

2.3.2 Reproduksi Seksual

Seksualitas karang lunak (Alcyonacea) dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu hermaprodit dan gonokhorik (Hwang dan Song, 2007).

a. Hermaprodit, yaitu koloni atau polip karang lunak yang mampu

meng-hasilkan gamet jantan dan betina selama hidupnya. Tipe hermaprodit ditemukan pada Alcyonium dan Xenia.


(22)

b. Gonokhorik, merupakan tipe paling umum pada karang lunak. Polip atau koloni karang lunak gonokhorik hanya menghasilkan gamet jantan atau betina saja selama hidupnya. Tipe gonokhorik dapat ditemukan pada Anthelia,

Sinularia, Sarcophyton, Lobophytum, Cladiella, Dendronephthya, dan sebagainya.

2.3.3 Gametogenesis

Gametogenesis pada umumnya terjadi pada polip autozooid yang memiliki alat kelamin atau gonad.

Gambar 4. Gambaran umum dari polip betina (Scale bars ¼ 1000 lm (A) and 250 lm(B and C). (D.G. Fautin et all , 2004 )

Simpson (2008) menjelaskan bahwa secara umum, baik pada polip betina atau jantan, gamet berkembang di sepanjang non asulkal mesenteri dan seringkali ditemukan pada bagian dasar polip karang lunak. Dan Gambar 4 memperlihatkan gamet yang berada di dalam rongga polip. Gambar A, adalah gambaran umum


(23)

dari polip betina yang menunjukkan tatanan dan perbedaan ukuran oosit pada stage III dan IV . Sedangkan pada Gambar B Stage I dan II oosit yang tertanam di mesenteri . Gambar C , stage III dan IV oosit dalam rongga polip. Huruf c

menunjukkan Coenenchyme, Sedangkan huruf m adalah mesentery filamen; huruf n menunjukkan nucleus ; o1 , adalah stage awal dari dari oosit; o2 , stage II oosit ; o3 , stage III oosit, o4 fase matang oosit IV; oa bagian oral dari polip ; pc rongga polip ; f lapisan folikel sel.

Gamet berasal dari gastrodermis dan akan melekat pada mesenteri dengan bantuan tangkai pedikel pada awal masa perkembangannya. Selama proses perkembangan, gamet seringkali dibungkus oleh lapisan folikel yang berasal dari sel-sel yang terspesialisasi pada gastrodermis. Dengan ukuran yang semakin meningkat, gamet akan terlepas menuju rongga gastrovaskular atau tetap bertahan pada mesenteri hingga proses pematangan gamet selesai.

Studi 2-tahun di reproduksi dalam spesies yang paling umum, Sarchophyton glaucum., yang dilakukan di KwaZulu-Natal mengungkapkan gametogenesis dalam koloni jantan membutuhkan waktu 9-10 bulan sedangkan untuk koloni betina membutuhkan waktu 16-18 bulan (D.G. Fautin et all , 2004)

(1) Oogenesis

Proses oogenesis ditandai dengan adanya proses vitellogenik (Simpson, 2008) yang melibatkan pembentukan lemak heterosintetik. Gelembung

bermembran pada ooplasma bersatu membentuk butiran lemak yang akan mengisi ooplasma. Menurut Hwang dan Song (2007), perkembangan oosit (oogenesis) dapat dibedakan menjadi 5 tahap. Tabel 1 adalah pembagian stage oosit telur menurut D.G. Fautin, et all , 2004 . Mereka membagi stage oosit telur pada


(24)

penelitian mereka di Kwazulu Natal dengan spesies Sarchophyton glaucum

dengan perbedaan diameter dan ciri-ciri seperti yag di tampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Ukuran diameter oosit pada setiap tahap perkembangan S. glaucum yang di ambil pada Sodwana Bay

Stage

Diameter rata-rata

(µm) n Deskripsi

I 14.3 ± 4.0 14

pada stage awal ini di cirikan dengan oosit yang berada di dalam

mesoglea dari mesentary filamen dengan ukuran nukleus yang besar

II 48.0 ± 25.4 23

oosit secara terpisah menempel pada mesentary dengan menggunakan

pedikel, nukleus terpusat di vacuolate ooplasma dengan nukleolus yang menyolok

III 165.7 ± 52.7 46

oosit dengan vakuola terdistribusi secara terpisah di dalam ooplasma dan menjalani

proses pematangan telur (vitellogenesis)

IV 513.1 ± 67.1 30

vakuola tersebar merata di seluruh ooplasma azooxanthellate, dan granulanya

tampak nyata. Nukleus terletak di pinggiran oosit matang.

V Disintegrasi atretic dan tanpa definisi morfologi internal

Oosit tahap I ditandai dengan nukleus yang berukuran besar. Oosit primordial ini melekat pada mesoglea pada mesenteri. Oosit tahap II terlihat pada rongga gastrovaskular dengan posisi masih melekat pada mesenteri dengan bantuan pedikel. Proses vitellogenik dimulai pada oosit tahap III dengan ukuran oosit yang makin membesar. Pembesaran ini disebabkan oleh pembentukan butiran lemak di dalam oosit. Pada tahap ini, oosit biasanya sudah mulai terlepas dari mesenteri menuju rongga gastrovaskular.

Oosit tahap IV ditandai dengan semakin membesarnya ukuran oosit karena butiran lemak sudah menyebar ke seluruh bagian oosit sehingga warnanya mulai


(25)

menjadi terang. Pada oosit tahap V, oosit atau telur telah matang dan mencapai ukuran maksimum dengan warna yang telah menjadi terang. Telur yang matang ditandai dengan banyak butiran-butiran lemak di dalamnya.

(2) Spermatogenesis

Hwang dan Song (2007) membedakan perkembangan spermatogenesis menjadi 4 tahap. Tahap I biasanya ditandai dengan berkumpulnya

spermatogonia di mesoglea pada mesenteri. Pada tahap II (spermatosit) sudah memiliki batas dan bentuk yang jelas dan melekat pada mesenteri dengan bantuan pedikel. Tahap III, ukuran kista sperma menjadi semakin besar. Spermatosit berkembang menjadi spermatid yang jumlahnya sangat banyak dan tersusun di bagian tepi dari kista. Pada tahap IV, spermatosit telah matang dengan berkembang menjadi spermatozoa yang telah memiliki ekor.

Gambar 5. Gambaran umum dari polip jantan (Scale bars 1000 µm (A) and 250 lm(B and D) 100 µm. (D.G. Fautin et all , 2004 )


(26)

Gambar 5 menunjukkan perkembangan perkembangan spermatit pada

Sarcophyton glaucum. (A) Gambaran umum dari polyp jantan menunjukkan perkembangan sperma, (B) Sperma dengan spermatogonia dan spermatosit, (C) Spermatosit dengan spermatid , (D) Sperma matang dengan ekor . Huruf c

menunjukkan Coenenchyme; oa bagian oral dari polip ; pc rongga polip ; s1, Stage I Spermatositdengan spermatogonia; s2 , Stage II .spermatosit yag

menempel pada pedikel ; s3 , Stage III; s4 , Stage IV sperma yang telah matang.

2.3.4 Pemijahan dan Fertilisasi

Karang lunak alcyonacea memiliki tiga cara reproduksi untuk menjamin kesuksesan reproduksinya yaitu pemijahan gamet ke kolom perairan (broadcast spawning), internal brooding, dan external brooding (Hwang dan Song, 2008).

a. Pemijahan gamet ke kolom perairan, merupakan cara reproduksi yang paling umum terjadi pada karang lunak alcyonacea. Cara ini akan disertai dengan proses fertilisasi dan perkembangan embryo di kolom perairan. Proses pemijahan pada karang lunak biasanya mengikuti pemijahan massal secara serempak dengan organisme lain di ekosistem terumbu karang sebagai suatu bentuk strategi untuk mengurangi tekanan predasi pada gamet yang baru saja dikeluarkan (Simpson, 2008).

b. Internal brooding biasa terjadi pada genus Xenia, Heteroxenia, dan

Anthelia. Telur biasanya tetap berada di dalam polip hingga akhirnya terjadi proses pembuahan dan larva akan dikeluarkan ke kolom perairan.


(27)

c. External brooding, terjadi pada genus Alcyonium dan Capnella. Telur akan dikeluarkan di permukaan koloni karang lunak dan menunggu hingga terjadi proses fertilisasi. Cara ini merupakan strategi terhadap rendahnya kesuburan gamet sebagai upaya untuk meningkatkan kelangsungan hidup larva dari bahaya predasi.

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Reproduksi Karang Lunak (Octocorallia) Pola reproduksi karang lunak yang di dalamnya termasuk gametogenesis dan strategi atau cara dalam melakukan reproduksi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh bisa berupa faktor eksternal dan faktor internal.

2.4.1 Faktor Internal Ukuran dan Umur Koloni

Karang lunak memiliki ukuran dan umur yang bervariasi dalam proses kematangannya untuk melakukan reproduksi. Di dalam satu spesies, ukuran koloni merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan kematangan reproduksi. Lobophytum crassum dengan diameter kurang dari 18 cm belum bisa menghasilkan gamet untuk bereproduksi sementara Heteroxenia fuscescens

tidak akan mencapai kematangan reproduksi hingga ukuran koloninya mencapai volu-me 10 cm3 . Hal ini merupakan strategi dalam melakukan reproduksi dimana energi/sumber daya dalam koloni dialokasikan terlebih dahulu untuk pertumbuhan koloni hingga mencapai ukuran minimum untuk melakukan reproduksi (Gutiérrez dan Lasker, 2004).


(28)

Penelitian yang dilakukan di KwaZulu-Natal yang menggunakan

Sarchophyton glaucum, mengungkapkan bahwa gametogenesis dalam koloni laki-laki membutuhkan waktu 9-10 bulan sedangkan untuk koloni betina membu-tuhkan waktu 16-18 bulan (D.G. Fautin et all , 2004 ).

2.4.2 Faktor Eksternal (1) Ketersediaan Makanan

Ketersediaan sumber makanan yang terdapat di perairan mempengaruhi waktu terjadinya gametogenesis dan proses spawning pada beberapa karang lunak. Hartnoll (1975) menjelaskan bahwa perkembangan gamet pada

Alcyonium digitatum terjadi pada awal musim semi dan panas dimana sumber makanan planktonik sangat melimpah di perairan. Proses spawning pada spesies ini terjadi pada pertengahan musim dingin dimana pada saat awal musim semi, larva dari hasil proses pembuahan di kolom perairan akan memiliki banyak persediaan makanan untuk berkembang. Benayahu (1991) menjelaskan bahwa proses pembentukan larva planula pada Acabaria biserialis di Laut Merah terjadi setelah terjadinya blooming musiman pada fitoplankton.

(2) Fase Bulan

Karang lunak yang tumbuh di perairan dangkal, tingkah laku pengeluaran telur ke perairan (spawning) memiliki hubungan dengan fase bulan. Gamet dilepas ke perairan pada saat atau menjelang bulan purnama dan pada sekitar atau menjelang fase bulan baru/mati. Bahkan proses spawning juga terjadi pada fase bulan tiga perempat (Simpson, 2008). Namun, hasil yang berkebalikan


(29)

fase bulan dengan pelepasan larva planula pada karang lunak Heteroxenia fuscescens.

(3) Suhu Perairan

Suhu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam reproduksi gamet pada karang lunak. Choi dan Song (2007) menjelaskan bahwa jumlah oosit pada setiap polip meningkat setiap bulan hingga suhu perairan mencapai nilai tertinggi dan menurun seiring dengan turunnya suhu perairan. Begitu juga dengan jumlah gamet jantan yang meningkat pada bulan Agustus dan Desember dimana suhu perairan meningkat. Pada bulan oktober, jumlah gamet jantan mulai menurun karena suhu perairan menurun secara cepat.

(4) Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya berpengaruh terhadap reproduksi karang lunak

dihubungkan dengan tingkat kejernihan perairan dan sedimentasi. Kojis dan Quinn (1984) menjelaskan bahwa kedua faktor tersebut bisa menurunkan tingkat kesuburan polip. Hal ini disebabkan energi yang digunakan untuk melakukan reproduksi menjadi berkurang karena menurunnya intensitas cahaya untuk proses fotosintesis oleh alga zooxanthellae di dalamnya dan pengalokasian energi / sumber daya untuk membersihkan diri dari sedimen.

(5) Habitat

Jenis-jenis karang lunak hidup di daerah pasang surut sampai kedalaman 200 m. Umumnya syarat-syarat hidupnya sama dengan karang batu. Hewan ini menyukai perairan yang hangat atau sedang terutama di Indo-Pasifik. Ada beberapa jenis yang dapat hidup sampai ke kedalaman 3.000 m.


(30)

Dan secara umum, karang lunak di daerah tropis melakukan reproduksi dengan cara melepaskan gametnya ke kolom perairan secara serempak dengan organisme lain di ekosistem terumbu karang sedangkan pada karang lunak di daerah subtropis menunjukkan proses gametogenesis yang lama dan melakukan reproduksi secara brooding (Cordes et al., 2001).

Pengaruh habitat pada reproduksi karang lunak juga terlihat pada tipe seksualitas yang terjadi pada spesies Heteroxenia elizabethae. Di Great Barrier Reef, spesies ini menunjukkan tipe seksualitas gonokhorik sedangkan di Laut Merah, spesies ini menujukkan tipe seksualitas hermaprodit.

2.5 Faktor – faktor Pembatas Pertumbuhan Karang Lunak (Octocorallia) Faktor pembatas adalah faktor- faktor lingkungan yang dapat mempenga-ruhi laju pertumbuhan suatu individu di dalam habitatnya. Pertumbuhan dan per-kembangan karang lunak dipengaruhi oleh :

(1) Suhu

Menurut Nybakken (1992), pertumbuhan karang mencapai maksimum pa-da suhu optimum 25-29 °C pa-dan bertahan hidup sampai suhu minimum 15°C pa-dan maksimum 36°C. Pertumbuhan optimal terjadi di perairan yang memiliki rata-rata suhu tahunan 23-25°C . Suhu ekstrim yang masih dapat ditoleransi adalah 36-40°C.

(2) Kecerahan dan Kedalaman

Hewan karang pembentuk terumbu membutuhkan sinar matahari bagi zooxanthellae untuk berfotosintesis. Cahaya adalah suatu faktor yang paling penting yang membatasi terumbu karang sehubungan dengan laju fotosintesis oleh


(31)

zooxanthellaes simbiotik dalam jaringan karang (Nybakken, 1992). Menurut Nybakken (1992), terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50-70 meter. Zooxanthellae sebagai alga simbiotik yang memerlukan cahaya matahari sehingga terjadi sedikit pertumbuhan di bawah kedalaman 46 meter dan di bawah kedalaman 90 meter terumbu karang sudah sangat jarang. Faktor kecerahan dan kedalaman pada karang lunak berperan untuk melakukan proses fotosintesis, hal ini dikarenakan karang lunak membutuhkan cahaya yang cukup.

(3) Salinitas

Salinitas rata-rata di daerah tropis adalah 35 ‰ dimana masih berada pada kisaran optimum untuk pertumbuhan karang yaitu 34-36‰ (Supriharyono, 2000). Nybakken (1992) menyatakan bahwa toleransi organisme karang terhadap

salinitas berkisar antara 32-35‰. (4) Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman menunjukkan aktivitas ion H+ dalam air. Menurut Tomascik (1997), habitat yang cocok bagi pertumbuhan karang memiliki kisaran pH 8, 2-8, 5.

(5) Pergerakan Arus

Pergerakan arus sangat diperlukan untuk tersedianya aliran suplai makanan (dalam bentuk jasad renik) dan suplai oksigen yang segar, serta menjaga agar terumbu karang terhindar dari timbunan kotoran/endapan (Sukarno et all, 2006).


(32)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Sampel karang lunak yang digunakan untuk penelitian di laboratorium diperoleh dari stasiun pengamatan yang berada di Area Perlindungan Laut, Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Pengambilan dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap I (umur 8 bulan setelah fragmentasi) dilakukan pada tanggal 8, 15, 22, dan 29 Mei 2009 serta tahap II (umur 10 bulan setelah transplantasi) dilakukan pada tanggal 7, 14, 21, dan 28 Juli 2009. Pengolahan sampel, pembuatan, dan pengamatan preparat histologis dilakukan di Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dari bulan Maret hingga Oktober 2009.


(33)

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat yang di gunakan untuk pemotongan sampel , pewarnaan dan penghitungan telur. Adapun alat dan bahan tersebut akan disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Alat dan bahan yang digunakan pada saat penelitian

Pengolahan Sampel

Alat Bahan

Alat pemanas air Eyela Water Bath

SB-650 Formalin 10%

Basket jaringan

Karang lunak Sarcophyton crassocaule

Blok kayu Air destilasi dan air kran

Botol film dan plastik sampel Enthellan Pisau cutter

Etanol (70%, 80%, 90%, dan 100%)

Embedding Consule Tissue-Tek TEC Asam Formik Gelas objek dan cover glass Asam Klorida Inkubator Eyela Soft Incubator SL-450N Parafin

Inkubator Memmert Pewarna Hematoxylin dan Eosin

Jarum Xylol

Mikrometer objectif dan okuler Mikroskop cahaya dan stereo Olympus

CH 20

Mikrotom Spencer 820

Tutup Pagoda

3.3 Metode Kerja

3.3.1 Pembuatan Preparat Histologis

Pembuatan preparat histologis dilakukan dengan metode parafin (Gunarso, 1989 dan Kiernan, 1990) dengan tahapan mencakup: (1) Pengambilan jaringan (trimming) menggunakan silet; (2) Fiksasi (fixation); (3) Dekalsifikasi (decalcification); (4) Dehidrasi (dehydration) menggunakan alkohol bertingkat


(34)

(70 – 100% ); (5) Penjernihan (clearing) menggunakan xylol; (6) Infiltrasi parafin (infiltration) menggunakan parafin cair dalam inkubator bersuhu 65 Penanaman (embedding) menggunakan parafin; (8) Penyayatan (sectioning) menggunakan mikrotom (±5µm); (9) Afiksing (afixing); (10) Deparafinasi (deparaffination) menggunakan xylol; (11) Rehidrasi (rehydration)

menggunakan alkohol bertingkat (100-70%) dan air (12) Pewarnaan (staining) menggunakan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE), tahap akhir adalah mounting

dengan menggunakan entelan. Pembuatan preparat histologi dilakukan sebanyak 6 sayatan untuk setiap cabang koloni karang lunak yang diolah. Selanjutnya, pengamatan struktur histologis dilakukan terhadap kehadiran dan perkembangan gonad (telur dan sperma). Tahap terakhir dilakukan pemotretan atau

mikrofotografi menggunakan mikroskop yang dilengkapi kamera dengan perbesaran 40x , 100x , dan 200x

3.3.2 Pengamatan Mikroskopis

Pengamatan preparat histologis dilakukan di Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengamatan pada mikro-skop dilakukan dengan perbesaran lensa sebesar 40x, 100x, 200x, dan 400x. Objek yang diamati pada pengamatan ini, antara lain:

a. Tahap perkembangan oosit

Perkembangan oosit diamati berdasarkan ciri morfologi dan ukuran dalam setiap tahap perkembangannya.


(35)

b. Jumlah oosit

Jumlah oosit ditentukan berdasarkan jumlah gamet yang ditemukan dalam setiap cabang koloni (jumlah oosit per cabang koloni)

c. Diameter oosit

Oosit yang diukur adalah oosit yang tampak nukleus atau nukleolusnya. Panjang oosit diukur pada bagian oosit yang paling panjang sedangkan lebarnya diukur secara tegak lurus terhadap garis panjangnya.

3.3.3 Pengukuran Parameter Lingkungan

Parameter lingkungan yang diukur adalah parameter fisika dan kimia yang dilakukan secara in situ dan pengamatan melalui analisis laboratorium.

Parameter yang akan diukur, satuan, dan alat/metode yang digunakan dalam pengukuran pa-rameter lingkungan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Parameter fisika-kimia perairan yang diukur

Parameter Satuan Alat/ metode

Suhu ◦C Termometer Hg

Kecerahan meter (m) Secchi disk

Kecepatan arus cm/s Floating Droadge

Kedalaman meter (m) Depth gauge

Derajat keasaman Ph Kertas Ph

Fosfat mg/l

APHA, 20th/1998 4500-P-E-Ascorbic Acid/Spektrofotometer

Nitrat mg/l

APHA, 20th/1998 4500-Si-O2-E/Spektrofotometer


(36)

3.4 Analisis Data

3.4.1 Analisis Deskriptif

Pengamatan yang dilakukan dengan mikroskop untuk menganalisa kembangan gamet dilakukan dengan perbesaran lensa sebesar 400x. Tahap per-kembangan gamet dan pengaruh fase bulan Qomariyah dianalisis secara deskriptif berdasarkan keberadaan gamet pada setiap fase bulan Qomariah dengan meng-amati karakter gamet pada preparat histologis dan gambar hasil mikrofotografi kemudian membandingkannya dengan pustaka terbaru dan jurnal terkait.

3.4.2 Analisis Ragam

Jumlah gamet dinyatakan dengan jumlah gamet yang ditemukan per cabang koloni. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan uji t ,

menggunakan selang kepercayaan 95% yang dioperasikan dengan bantuan

software Microsoft Excel 2007. Analisis ini dilakukan untuk melihat pengaruh penggunaan metode fragmentasi dan kedalaman lokasi fragmentasi terhadap perkembangan reproduksi karang lunak Sarcophyton crassaule dalam setiap fase bulan Qomariyah.

Analisis ragam akan menunjukkan beda nyata atau tidak pada

perkembangan reproduksi karang lunak Sarcophyton crassaule berdasarkan kedalaman dan penggunaan metode fragmentasi. Jika nilai thit < t one tail maka terima Ho berarti tidak ada perbedaan yang nyata pada perkembangan reproduksi karang lunak terhadap kedalaman ataupun penggunaan metode fragmentasi. Jika nilai thit > t onetail maka tolak Ho yang berarti ada perbedaan yang nyata pada perkembangan reproduksi karang lunak terhadap kedalaman ataupun penggunaan metode fragmentasi.


(37)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Lingkungan Stasiun Penelitian

Parameter fisika dan kimia yang diukur untuk mengetahui kondisi stasiun penelitian meliputi; suhu, kecerahan, kecepatan arus, pH, oksigen terlarut, nitrat, dan fosfat. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia di stasiun penelitian

Parameter Tahap

Kedalaman

Baku mutu 3 meter 12 meter

Suhu (◦C)

1

28.7 27.4

28-30 2

29.5 27.8

Kecepatan arus (cm/s) 1 29.1

2 25.4

Salinitas

1

33 33

33-34 2

33 33

Derajat keasaman (pH)

1

8.08 8.05

7-8.5 2

8 8

Baku mutu kualitas air (mg/l) 1

5.621 5.631

>5 2

5.243 5.646

Fosfat (mg/l) 1 0.015 0.146

0.015

2 0.022 0.014

Nitrat (mg/l

1

0.034 0.029

0.008 2

0.21 0.007

Berdasarkan data yang di dapatkan dari lingkungan stasiun penelitian di dapatkan beberapa informasi penting, diantaranya adalah suhu perairan pada stasiun penelitian pada kedalaman 3 meter adalah sebesar 28.7 oC pada tahap 1 dan 29.5 oC pada tahap 2. Sedangkan suhu perairan pada kedalaman 12 meter


(38)

adalah sebesar 27.4 oC dan 27.8 oC pada tahap 1 dan 2 pengukuran, perbedaan suhu tersebut dapat disebabkan karena perbedaan kedalaman sehingga terjadi layetring suhu di perairan , untuk kedalaman 3 meter besar suhunya masih dalam kisaran baku mutu , sedangkan untuk kedalaman 12 meter kisaran suhunya berada di bawah standar baku mutu namun masih dalam pertumbuhan maksimum karena menurut pertumbuhan karang mencapai maksimum pada suhu optimum 25-29 °C ( Nybakken , 1992).

Tabel di atas menunjukkan nilai kecepatan arus pada kedalaman 3 meter sebesar 29.1 cm/s sedangkan pada kedalaman 12 meter kecepatannya sebesar 25.4 cm/s. Penyebab arus permukaan lebih cepat di bandingkan kecepatan arus pada perairan dalam, hal ini di sebabkan karena arus pada daerah dangkal di pengaruhi oleh angin. Bagi karang arus berperan untuk membawa masuk makanan ke habitat koral dan mengangkut limbah dari koloni karang dan merangsang

terjadinya fotosintesis (Fabricius, K dan P.Alderslade ) . Namun jika dilihat dari kondisi rak-rak fragmentasi dapat dilihat bahwa terjadi penumpukan pertumbuhan alga di sekitar rak-rak transplant yang menjadi indikator bahwa bahan organik pada daerah tersebut berada dalam jumlah yang besar. Banyaknya bahan organik pada suatu perairan dapat dikarena dekatnya lokasi perairan dengan darat dan kurang berperannya kecepatan arus pada lokasi tersebut untuk membawa limbah atau bahan organik keluar dari habitat karang itu sendiri.

Kondisi di atas diperkuat dengan data dari kandungan senyawa fosfat dan nitrat yang ada pada lokasi penelitian yang di tampilkan pada table di atas yang hasilnya adalah sebagai berikut nilai kandungan fosfat pada kedua kedalaman memiliki kisaran nilai fosfat yang jauh berbeda jika di bandingkan dengan nilai


(39)

baku mutu kualitas air. Nilai kandungan nitrat pada kedalaman 3 meter

menunjukkan selang nilai 0.034 - 0.21 mg/ l nilai ini jauh melampaui nilai baku mutu yang hanya sebesar 0.008 mg/l. Hal ini juga terjadi pada kedalaman 12 meter dimana nilai dari kandungan nitratnya antara 0.07- 021mg/l .

Fosfat adalah indikator jumlah nutrient yang berada pada kolom perairan yang dibutuhan oleh fitoplankton termasuk alga untuk meakukan fotosintesis , Selain nilai kandungan Fosfat nilai kandungan nitrat juga menjadi indikator apakah perairan tersebut subur atau kaya nutrient. Tingginya kandungan nitrat dan fosfat pada kolom perairandapat memacu pertumbuhan alga yang akhirnya akan memacu kompetisi cahaya dan ruang bagi pertumbuhan koral itu sendiri. Tingginya nilai kedua nutrient seperti yang telah di jelaskan pada paragraph sebelumnya bahwa hal ini dibuktikan dengan keruhnya perairan di sekitar lokasi penanaman karang lunak hasil transplantasi yang menandakan tingginya bahan organik yang berada di kolom perairan dan tumbuhnya banyak alga di rak fragmentasi.

Data salinitas yang didapatkan dari hasil pengukuran pada kedua tahap pengambilan pada dua kedalaman air adalah sama yaitu 33 o/oo. Dan nilai ini masih berada dalam kisaran baku mutu salinitas untuk karang yaitu 33-34 o/oo . Maka perairan tersebut dapat dikatakan baik karena masih dalam kisaran salinitas yang di maksud.

Informasi untuk nilai derajat keasaman didapatkan kisaran ph yaitu antara 8

– 8.08 yang dan kisaran tersebut masih berada dalam kisaran baku mutu kualitas air masih berada pada yaitu antara 7 – 8.5. Begitupun dengan nilai pengukuran oksigen terlarut pada kedua kedalaman stasiun penelitian seluruhnya berada di


(40)

atas 5 mg/l dan hal ini sesuai dengan baku mutu kualitas air untuk karang. Nutrien seperti nitrat dan fosfat mempengaruhi pertumbuhan alga pada karang. Alga cenderung tumbuh lebih baik pada perairan yang kaya akan nutrien. Gambar 7 mrnunjukkan kondisi alga yang tumbuh di sekitar rak penanaman fragmentasi karena pengaruh kandungan bahan organik perairan.

4.2 Pengamatan Mikroskopis terhadap Karang Lunak Sarcophyton

crassaule

Menentukan seksualitas dari karang lunak maka dibutuhkan pendekatan yang dilakukan dengan melakukan pengamatan histologis tentang keberadaan gamet jantan (spermatosit) dan gamet betina (oosit) pada setiap bagian tubuh koloninya. Mengingat pengambilan dilakukan tanpa memperhatikan jenis kelamin di koloni pada area pertumbuhan di alam upaya identifikasi dalam koloni dan system reproduksi Sarcophyton crassocaule hingga kini belum banyak di laporkan

Pengamatan yang dilakukan terhadap sayatan menegak bagian tubuh koloni karang lunak menunjukkan gamet di temukan tidak merata pada seluruh bagian sayatan yang di amati. Gamet dalam hal ini Oosit ditemukan dalam posisi soliter (terpisah) dan berkelompok dengan gamet lain pada rongga gastrovaskuler yang tersebar pada bagian tubuh koloni. Hasil yang di dapatkan adalah posisi gamet yang berada di rongga gastrovaskuler cenderung menempel pada mesenteri , dan untuk gamet yang berada pada tahap perkembangan awal cenderung


(41)

adanya stage lanjutan sehingga posisi untuk stage akhir tidak dapat di gambarkan pada penelitian kali ini.

Hasil lain yang didapatkan dari pengamatan selain melihat posisi dan pola penyebaran dari Oosit adalah semua koloni (72 koloni sampel) yang diamati secara mikroskopis semuanya adalah koloni betina. Hal ini dibuktikan dengan tidak di temukan spermatosit pada saat pengamatan dilakukan. Keseragaman dari jenis kelamin karang dikarenakan karang yang digunakan untuk melakukan

fragmentasi diambil pada lokasi yang sama baik untuk penanaman 3 m, 12 m maupun karang lunak control (non transplant) . Hanya ditemukannya Oosit pada semua koloni yang diteliti memberikan informasi bahwa pada lokasi tersebut

Sarcophyton crassocaule bersifat gonokhorik (Hwang dan Song, 2007; Simpson, 2008).

4.3 Oogenesis dan Ukuran Gamet Betina Karang Lunak Sarcophyton

crassocaule

Penelitian yang dilakukan di KwaZulu-Natal mengungkapkan

gametogenesis Sarchophyton glaucum dalam koloni laki-laki membutuhkan waktu 9-10 bulan sedangkan untuk koloni betina membutuhkan waktu 16-18 bulan (D.G. Fautin et all , 2004 ). Dan perkembangan dari Oosit dapat diamati dengan melihat perbedaan diameter gamet dan ciri morfologi yang kita amati dalam preparat histologis karang lunak yang telah di buat.

Tahap oogenesis dapatditentukan dengan mengidentifikasi berdasarkan ciri-ciri perkembangan oosit pada Dendronephthya gigantea (Hwang dan Song, 2007), dimana mereka mengklasifikasikan oosit dalam lima tahapan berdasarkan


(42)

ciri dan morfologi dari telur. Oogenesis yang ditemukan pada penelitian kali hanya di temukan dalam dua tahap pertumbuhan yaitu oosit tahap I dan oosit tahap II . Tabel berikut akan menunjukkan tahapan oosit dan diameter dari oosit yang ditemukan pada penelitian kali ini.

Tabel 5. Ukuran diameter oosit pada setiap tahap perkembangan

Tahap Diameter (µm)

Rata±SD n

I 6.36±1.26 50

II 9.2 ±1.02 50

(Sumber : Diolah dari lampiran 11)

Gambar 7. Oogenesis tahap I karang lunak Sarcophyton crassocaule yang menempel pada saluran mesenteri (Tanda panah menunjukkan O1 dengan skala garis 20 µm)


(43)

Gambar 8. Oogenesis tahap II karang lunak Sarcophyton crassocaule yang menempel pada saluran mesenteri (Tanda panah menunjukkan O2 dengan skala garis 20 µm)

Dua gambar di atas menunjukkan kecenderungan pada oosit tahap I dite-mukan berkelompok dengan oosit tahap I lainnya dan menempel pada mesoglea di mesenteri filament. Kita dapat melihat pada Gambar 7 bahwa Oosit tahap I memiliki ciri-ciri yaitu batasan antara nucleus, nucleolus dan sitoplasmanya belum jelas. Dan dari Tabel 5 didapatkan bahwa pada oosit tahap I memiliki diameter rata-rata 6.36±1.26 µm (n=50).

Oosit tahap dua digambarkan dengan cukup jelas pada Gambar 8, jika dibandingan dengan Oosit tahap I maka pada Oosit tahap II batasan antara

nukleus, nukleoulus dan sitoplasma sudah jelas terlihat . Pada Oosit tahap II telur di temukan di ronga gastrovaskuler atau masih melekat pada mesenteri yang


(44)

terhubung melalui pedikel (Gambar 8) . Pada oosit tahap II memiliki ukuran diameter 9.2 ±1.02 µm (n=50).

Hasil yang didapatkan penelitian kali ini adalah tidak di temukan perkembangan gametogenesis yang lengkap (Stage I hingga Stage V) Hal ini dapat dikaitkan dengan beberapa faktor diantaranya adalah faktor internal yang memepengaruhi perkembangan gamet karang yang menyebutkan bahwa karang lunak memiliki ukuran dan umur yang bervariasi dalam proses kematangannya untuk melakukan reproduksi. Di dalam satu spesies, ukuran koloni merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan kematangan reproduksi.

Lobophytum crassum dengan diameter kurang dari 18 cm belum bisa

menghasilkan gamet untuk bereproduksi sementara Heteroxenia fuscescens tidak akan mencapai kematangan reproduksi hingga ukuran koloninya mencapai volume 10 cm3 . Hal ini merupakan strategi dalam melakukan reproduksi dimana energi/sumber daya dalam koloni dialokasikan terlebih dahulu untuk pertumbuhan koloni hingga mencapai ukuran minimum untuk melakukan reproduksi (Gutiérrez dan Lasker, 2004).

Fragmentasi yang menggunakan jenis Sarcophyton crassocaule ini meng-ambil sampel dengan diameter kapitulum antara 5-6 cm . Dari ukuran diameter tersebut maka dapat dilihat bahwa ukuran dan umur dari Sarcophyton crassocaule

yang di ambil untuk fragmentasi masih jauh dari ukuran untuk bereproduksi hal inilah yang menyebabkan tidak ditemukannya gametogenesis secara lengkap da-lam tubuh Sarcophyton crassocaule. Sedangkan jika di kaji dari segi umur menu-rut penelitian yang dilakukan di KwaZulu-Natal mengungkapkan gametogenesis Sarchophyton glaucum dalam koloni laki-laki membutuhkan


(45)

waktu 9-10 bulan sedangkan untuk koloni betina membutuhkan waktu 16-18 bulan (D.G. Fautin et all , 2004 ). Sedangkan umur karang lunak Sarcophyton crassocaule yang di-gunakan untuk fragmentasi kali ini adalah 8 dan 10 bulan. Maka jika dikaji dari segi umur maka dapat dikatakan bahwa faktor umur menjadikan Sarcophyton crassocaule ini belum layak untuk dikaji dari proses gametogenesis yang berlangsung pada koloni yang di fragmentasi.

Tidak hanya faktor internal yang mempengaruhi kematangan gonad ter-nyata faktor eksternal berupa intensitas cahaya berpengaruh terhadap reproduksi karang lunak dihubungkan dengan tingkat kejernihan perairan dan sedimentasi. Kojis dan Quinn (1984) menjelaskan bahwa kedua faktor tersebut bisa menurun-kan tingkat kesuburan polip. Hal ini disebabmenurun-kan energi yang digunamenurun-kan untuk melakukan reproduksi menjadi berkurang karena menurunnya intensitas cahaya untuk proses fotosintesis oleh alga zooxanthellae di dalamnya dan pengalokasian energi atau sumber daya untuk membersihkan diri dari sedimen. Hal ini mempe-ngaruhi kematangan gonad Sarcophyton crassocaule pada proses fragmentasi, terbukti dari tingginya nilai pospat dan nitrat yang di dapatkan pada pembahasan sebelumnya mengindikasikan bahwa pada stasiun pengamatan tersebut kandungan bahan organiknya tinggi sehingga mempengaruhi pertumbuhan alga pada rak frag-mentasi sehingga kematangan gonad dari karang lunak sulit dicapai karena ener-ginya digunakan untuk berkompetisi dengan cahaya dengan alga karena sulitnya melakukan fotosintesis.


(46)

4.4 Pengaruh Fragmentasi pada Reproduksi Seksual Sarcophyton crassocaule

Menurut Sprung dan Delbeek (1997) dalam Setyawan ( 2008) Fragmentasi adalah penempelan fragmen buatan akan berhasil dengan baik bila kondisi

lingkungan pun optimal dan substrat dasarnya pun baik. Tujuan utama fragmentasi karang adalah untuk memperbaiki kualitas terumbu karang seperti meningkatnya tutupan karang hidup, keanekaragaman hayati dan keunikan topografi karang (Clark dan Edwards, 1998).

Penelitian ini ingin meliihat pengaruh dari jumlah oosit antara produk hasil fragmentasi dengan alam. Nilai yang kami bandingkan adalah nilai jumlah rata-rata oosit yang pada karang non fragmentasi yang berada pada kedalaman yang sama (12 m) dengan karang fragmentasi.

Gambar 9 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah oosit pada karang lunak fragmentasi memiliki nilai yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan nilai karang lunak non transplantasi (pada 3 fase bulan yaitu purnama, tiga perempat dan mati baru) , namun jika dihitung secara statistik nilai keduanya tidak berbeda nyata. Hal ini di perkuat lagi dengan dilakukan analisis ragam yang

menggunakan uji t. Hasil yang di dapatkan dari analisis ragam terhadap

penggunaan metode fragmentasi pada rata-rata jumlah oosit menunjukkan bahwa nilai P value > 0.05.


(47)

Gambar 9. Rata-rata jumlah oosit pada karang lunak non fragmentasi (alam) dan hasil fragmentasi umur 8 bulan setelah fragmentasi

Diterimanya Ho menjelaskan bahwa antara rata-rata jumlah oosit karang lunak pada hasil fragmentasi dengan non fragmentasi tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Namun adanya nilai yang lebih tinggi pada karang lunak hasil fragmentasi dapat disebabkan sebagai proses homeostasis yang terjadi pada organisme yang mengalami keadaaan stress akan berusaha memproduksi lebih banyak telur , namun hanya pada tingkat awal perkembangan karena untuk mematangkannya dibutuhkan banyak energi dan energi tersebut diprioritaskan oleh karang lunak untuk menyembuhkan dirinya dan bertahan dari lingkungan sekitarnya.


(48)

Gambar 10. Komposisi rata-rata jumlah oosit tahap1 dan tahap 2 pada karang lunak non fragmentasi (alam) dan hasil fragmentasi umur 8 bulan setelah fragmentasi

Keterangan : (O1) Oosit tahap I, (O2) Oosit tahap II, (P) Fase bulan Purnama, (T) Fase bulan Tiga per empat, (M) Fase bulan Mati, (S) Fase bulan Seperempat

Gambar 10 menunjukkan bahwa walaupun secara statistik rata-rata jumlah oosit pada karang lunak hasil fragmentasi dengan karang lunak non fragmentasi (alam) tidak berbeda nyata terlihat bahwa komposisi dari keseluruhan jumlah oosit (O1 dan O2 ) antara karang lunak non fragmentasi dengan hasil fragmentasi setelah umur 8 bulan didominasi dengan oosit tahap satu (O1) pada setiap fase bulan pada kedua jenis karang lunak tersebut.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

P T M S P T M S

Alam 12 Meter

8 Bulan Setelah Transplantasi

rata-rata jumlah oosit O2 rata-rata jumlah oosit O1


(49)

Gambar 11. Rata-rata jumlah oosit pada karang lunak non fragmentasi (alam) dan hasil fragmentasi umur 10 bulan setelah fragmentasi

Gambar 11 menunjukkan nilai rata-rata jumlah oosit pada karang lunak non fragmentasi (alam) dan hasil fragmentasi pada kedalaman yang sama (12 m) namun pada umur yang berbeda (10 bulan). Seperti halnya yang terjadi pada Gambar 9 yaitu pada umur 8 bulan dari tabel dapat dilihat terdapat perbedaan nilai antara karang lunak hasil fragmentasi dengan karang lunak non trasplantasi pada fase bulan tiga perempat dan seperempat . Dimana nilai pada fase bulan tersebut karang lunak hasil fragmentasi memiliki nilai jumlah yang lebih besar di

bandingkan dengan karang non fragmentasi.

Hasil di atas apabila diuji secara statistik maka hasil yang didapatkan adalah terima Ho atau tidak ada perbedaan nyata antara nilai jumlah karang lunak hasil fragmentasi dengan non fragmentasi karena hasil yang di dapatkan dari analisis ragam terhadap penggunaan metode fragmentasi pada rata-rata jumlah oosit menunjukkan bahwa nilai P value > 0.05. Dilihat dari ritme jumlah telur pada tiap fase bulannya, hasil yang di dapatkan adalah karang lunak hasil fragmentasi


(50)

memiliki ritme yang sama dengan karang lunak non transplant yaitu mengalami kenaikan pada fase bulan tiga perempat, penurunan pada fase bulan mati baru dan terus turun hingga fase bulan seperempat. Hal ini dapat diasumsikan karena pada umur 10 bulan karang lunak hasil fragmentasi berada pada kondisi

pemulihan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan dengan karang lunak pada umur 8 bulan. Proses penyembuhan dari luka yang terjadi pada saat proses fragmentasi telah berjalan baik sehingga ritme tubuh karang lunak hasil fragmentasi menjadi lebih normal.

Gambar 12. Komposisi Rata-rata jumlah oosit tahap1 dan tahap 2 pada karang lunak non fragmentasi (alam) dan hasil fragmentasi umur 10 bulan setelah fragmentasi

Keterangan : (O1) Oosit tahap I, (O2) Oosit tahap II, (P) Fase bulan Purnama, (T) Fase bulan Tiga per empat, (M) Fase bulan Mati, (S) Fase bulan Seperempat

Gambar 12 menunjukkan komposisi O1 dan O2 pada karang lunak

fragmentasi (12 meter) dan non fragmentasi pada umur 10 bulan. Komposisi rata-rata jumlah pada kedua tahap tersebut didominasi oleh oosit tahap pertama (O1)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

P T M S P T M S

Alam 12 Meter

10 Bulan Setelah Transplantasi

rata-rata jumlah oosit O2

rata-rata jumlah oosit O1


(51)

pada setiap fase bulan baik pada karang lunak non fragemntasi maupun karang lunak hasil fragmentasi. Hal ini menunjukkan baik karang lunak non fragmentasi maupun fragmentasi belum mencapai kemaanganseksual.

Fragmentasi di gunakan sebagai salah satu solusi untuk memperbanyak koloni karang lunak tanpa menunggu proses alami yang cenderung lama dan terpengaruh banyak faktor baik internal maupun eksternal . Pada hasil yang di dapatkan jumlah gamet pada masa awal fragmentasi cenderung bersifat labil atau tidak sama dengan jumlah oosit yang ada di alam , hal ini di buktikan pada Gambar 10 dimana jumlahnya cukup berbeda dan tidak sesuai dengan keadaan pada alam (terjadi kenaikan jumlah pada fase bulan seperempat sementara pada karang lunak non fragmentasi mengalami penurunan). Hal ini dapat disebabkan karena karang lunak fragmentasi masih melakukan proses penyesuaian terhadap lingkungan dan proses penyembuhan luka yang terjadi pada tubuhnya, sehinga reproduksinya menjadi tidak stabil. Ketika kondisi karang telah mulai pulih maka yang terjadi adalah ritme positif dari jumlah telur perfase bulan pada karang lunak hasil fragmentasi menjadi sama dengan karang hasil non fragmentasi .

4.5 Pengaruh Kedalaman Lokasi Fragmentasi pada Reproduksi Seksual

Sarcophyton crassocaule .

Karang lunak hasil fragmentasi diberikan perlakuan yang berbeda yaitu rak ditanam pada kedalaman 3m dan 12 meter. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah ada pengaruh kedalaman terhadap reproduksi karang lunak yang dapat dilihat dari kepadatan oosit pada masing-masing koloni fragmentasi pada perlakuan yang berbeda tersebut. Hal ini juga dilakukan untuk mengetahui


(52)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

purnama tigaperempat mati baru seperempat

R ata -rata ju m lah o o si t (p e r lap an g p an d an g )

Fase Bulan Qomariyah

3meter

12meter kedalaman mana yang paling baik untuk melakukan fragmentasi tanpa menggangu proses reproduksi seksualnya.

Gambar 13 memperlihatkan bahwa terjadi ritme yang sama antara karang lunak pada kedua kedalaman fragmentasi dimana nilai dari jumlah oositnya cenderung naik dari fase bulan purnama ke fase bulan tigaperempat pada umur 8 bulan namun pada fase bulan mati baru menuju seperempat untuk karang lunak yang di fragmentasi pada kedalaman 12 meter mengalami penurunan rata-rata jumlah oosit.

Gambar 13. Rata-rata jumlah oosit pada karang lunak fragmentasi pada kedalaman 3 meter dan 12 meter pada umur 8 bulan setelah fragmentasi

Ketidakteraturan ritme jumlah oosit pada setiap fase bulannya dapat

dikarenakan kondisi karang yang belum stabil dalam mengobati luka dan berjuang dengan lingkungan barunya. Hal ini diperkuat dengan dilakukannya analisis ragam atara keduanya pada kedalaman lokasi penanaman fragment yang berbeda,


(53)

hasil yang di dapatkan adalah pada selang kepercaaan 95% memperlihat-kan nilai P value > 0.05 (Lampiran 9 dan 10) . Hal ini berarti Terima Ho atau bisa

diinterpretasikan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara jumlah oosit pada kedalaman karang lunak hasil fragmentasi pada kedalaman 3 meter dengan 12 meter pada umur 8 bulan.

Gambar 14. Komposisi Rata-rata jumlah oosit tahap1 dan tahap 2 pada karang lunak fragmentasi pada kedalaman 3 dan 12 meter , 8 bulan setelah fragmentasi

Keterangan: (O1) Oosit tahap I, (O2) Oosit tahap II, (P) Fase bulan Purnama, (T) Fase bulan Tiga per empat, (M) Fase bulan Mati, (S) Fase bulan Seperempat.

Gambar 14 menunjukkan komposisi antara oosit tahap pertama dan oosit tahap kedua pada karang lunak hasil fragmentasi yang ditanam pada kedalaman yang berbeda yaitu 3 dan 12 meter. Komposisi rata-ratajumlah oosit

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

P T M S P T M S

3 Meter 12 Meter

8 Bulan Setelah Transplantasi

Rata-rata jumlah oosit O2 Rata-rata jumlah oosit O1


(54)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

purnama tigaperempat mati baru seperempat

R at a -rat a jum lah oo si t (pe r lapang pandang)

Fase Bulan Qomariyah

3meter 12meter

menunjukkan bahwa komposisi oosit tahap pertama mendominasi oosit tahap kedua pada setiap fase bulan dikedua kedalaman lokasi penanaman tersebut.

Gambar 14 menunjukkan pengaruh kedalaman lokasi penanaman fragmen pada umur 10 bulan. Jika dilihat pada gambar tersebut maka kita masih melihat adanya perbedaan jumlah oosit antara kedalaman tiga dan 12 meter . Pada kedalaman 3 meter rata-rata jumlah oosit jauh terlihat lebih besar jika

dibandingkan dengan rata-rata jumlah oosit pada kedalaman 12 meter. Hal ini dapat disebabkan karena posisi kedalaman 3 meter memiliki karakteristik habitat yang lebih menantang bagi karang lunak itu sendiri , dari segi arus perairan dan pertumbuhan alga akibat banyaknya bahan organik yang terdapat pada kedalaman tersebut sehingga keadaanya jauh lebih stress dibandingkan dengan karang lunak hasil fragmentasi yang di tanam pada kedalaman 12 meter.

Gambar 15. Rata-rata jumlah oosit pada karang lunak fragmentasi pada kedalaman 3 meter dan 12 meter pada umur 10 bulan setelah fragmentasi

Kita melakukan analisis ragam untuk mendukung hasil pada Gambar 14 , hasil yang di dapatkan adalah pada selang kepercaaan 95% memperlihatkan nilai P > 0.05 (Lampiran 9 dan 10) . Hal ini berarti Terima Ho atau bisa


(55)

diinterpretasikan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara jumlah oosit pada kedalaman karang lunak hasil fragmentasi pada kedalaman 3 meter dengan 12 meter pada masa fragmentasi 10 bulan. Dari hasil ini maka dapat diambil

informasi bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara lokasi penanaman karang pada kedalaman 3 meter dengan 12 meter sehingga kedalaman lokasi penanaman frgamen karang lunak tidak berpengaruh pada perkembangan reproduksi karang lunak Sarcophyton crassocaule.

Gambar 16. Komposisi Rata-rata jumlah oosit tahap1 dan tahap 2 pada karang lunak fragmentasi pada kedalaman 3 dan 12 meter , 10 bulan setelah fragmentasi

Keterangan : (O1) Oosit tahap I, (O2) Oosit tahap II, (P) Fase bulan Purnama, (T) Fase bulan Tiga per empat, (M) Fase bulan Mati, (S) Fase bulan Seperempat

Gambar 16 menunjukkan adanya peningkatan komposisi jumlah oosit tahap kedua jika dibandingkan dengan 8 bulan setelah fragmentasi. Untuk karang lunak yang difragmentasi dan ditanam pada kedalaman 3 meter komposisi O2 dan O1 cukup seimbang sedangkan pada karang lunak yang ditanam pada kedalaman

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

P T M S P T M S

3 Meter 12 Meter

10 Bulan Setelah Transplantasi

Rata-rata jumlah Oosit O2

Rata-rata jumlah Oosit O1


(56)

12 meter komposisi O1 masih mendominasi O2 dari rata-rata jumlah oosit yang ditemukan pada bulan 10 setelah proses fragmentasi dilakukan.


(57)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

 Perkembangan Oosit karang lunak Sarcophyton crassocaule antara hasil fragmentasi dan non fragmentasi (alam) tidak berbeda nyata pada umur 8 bulan maupun 10 bulan setelah fragmentasi.

 Fragmentasi tidak mempengaruhi perkembangan Oosit pada karang lunak baik pada bulan ke -8 maupun ke-10 setelah fragmentasi.

 Kedalaman penanaman hasil fragmentasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara penanaman di kedalaman 3 ataupun 12 meter.

5.2 Saran

 Perlu diadakan penelitian minimal 16-18 bulan agar didapatkan rangkaian

proses gametogenesis yang lengkap dari karang lunak.

 Ukuran karang yang dijadikan untuk fragmentasi harus sesuai dengan

ukuran siap spawning dari karang lunak, agar bisa dilihat pengaruh nyata dari tranplantasi terhadap perkembangan gamet secara utuh.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Bayer, F.M., 1956. Octocorallia. in: Treatise on Invertebrata Paleontology, Part F Coelenterata. University of Kansas Press, Lawrence.

Benayahu, Y. 1991. Reproduction and developmental pathways of Red Sea Xeniidae (Octocorallia, Alcyonacea). Hydrobiologia 216/217: 125-130. (R.C. Moore ed.). Geological Society of America and Univ. Kansas Press, Lawrence.

Birkeland, C. 1997. LifeandDeath of Coral Reefs. Chapman and Hall. International Thamson publishing. New York.

Choi, E.J. dan J.I Song, . 2007. Reproductive Biology of the Temperate Soft Coral Dendronephthya suensoni (Alcyonacea: Nephtheidae). Integrative Biosciences 11: 215-225.

Cordes, E.E., Nybakken, dan D. G Van. 2001. Reproduction and growth of

Anthomastus ritteri (Octocorallia: Alcyonacea) from Monterey Bay, California, USA. MarBiol 138: 491-501.

D.G. Fautin, J.A. Westfall, P. Cartwright, M. Daly & C.R. Wyttenbach (eds). 2004. Coelenterate Biology 2003: Trends in Research on Cnidaria and Ctenophora. Hydrobiologia 530/531: 399–409 . Kluwer Academic Publishers.. Amsterdam.

Fabricius, K. dan P, Alderslade. 2001. Soft Coral and Sea Fans : A Comprehensive guide to the tropical shallow-water genera of the CentralWest Pasific, the Ocean and the Red Sea. Australian Institute of Marine Science. Townsville.

Gunarso, W. 1989. Bahan Pengajaran Mikroteknik. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gutiérrez, C. dan H.R Lasker, . 2004. Reproductive biology, development, and planula behavior in the Caribbean gorgonian Pseudopterogorgia

elisabethae. Invertebr Biol 123(1): 54–67

Haris, A. 2001. Laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup fragmentasi buatan karang lunak (Octocorallia: Alcyonacea) Sarcophyton

trocheliophorum Von Marenzeller dan Lobophytum strictum Tixier-Durivault di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(59)

Harrison, P. L. dan C. C. Wallace. 1990. Reproduction, dispersal and

recruitment of scleractinian corals in Z. Dubinsky (ed.), Coral Reefs. Ecosystems of the world. Volume 25. Elsevier. Amsterdam.

Hartnoll, R.G. 1975. The annual cycle of Alcyonium digitatum. Estuarine and Coastal Marine Science 3: 71–78 .

Hwang, S.J. dan J.I Song, . 2007. Reproductive biology and larval development of the temperate soft coral Dendronephthya gigantea

(Alcyonacea: Nephtheidae). Mar Biol 152:273–284

Kiernan, J.A. 1990. Histological and Histochemical Methods: Theory and Practice. 2nd Edition. Pergamon Press. Oxford.

Kojis, B.L. dan Quinn, N.J. 1984. Seasonal and Depth Variation in Fecundity of Acropora palifera at Two Reefs in Papua New Guinea. Coral reef

3:165172

Manuputty, A.E.W. 2002. Karang Lunak (Soft Coral) Perairan Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta.

Margono, W. 2009. Perkembangan Dan Pertumbuhan Karang Jenis

Lobophyllia hemprichii Yang Difragmentasikan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Michalek-Wagner, K. dan B. L. Willis. 2001. Impacts of bleaching on the soft coral Lobophytum compactum. I. Fecundity, fertilization and off spring viability. Coral Reefs. 19: 231–239.

Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologi. Terjemahan oleh Eidman, M., D. G. Bengen, Koesoebiono, M. Hutomo dan Sukristijono. PT. Gramedia , Jakarta.

Setyawan , E, 2008 . Perkembangan Gamet Karang Lunak Sinularia dura Hasil Fragmentasi Di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Sukarno, M., M. Hutomo, K. Moosa dan P. Darsono.1981. Terumbu Karang di Indonesia: Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. LON – LIPI. Jakarta. Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit


(60)

Simpson, A. Reproduction in Octocorals (Subclass Octocorallia): A Review of Published Literature. Darling Marine Center, University of Maine. http://www.google.co.id/search?q=reproductive+biology+of+octocorallia &ie=utf-8&oe=utf-&aq=t&rls=org.mozilla:enUS:official&client=firefox-a [20 Agustus 2008] .

Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji dan M. K. Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Sea Part II. Periplus Editions Ltd. Singapore.


(61)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Banyuwangi, Jawa Timur pada tanggal 22 Desember 1986, anak pertama dari dari dua

bersaudara dari ayah Sugiarto Kudus dan ibu Nurul Badriah. Pendidikan dasar penulis di awali di SD YPPSB Kalimantan Timur (1993-1999). Pada tahun 1999-2002 penulis melanjutkan pendidikan lanjutan pertama di SLTPN 06 Mataram NTB, pada tahun 2002 hingga tahun 2005 penulis melanjutkan ke pendidikan menengah atas di SMUN 1 Mataram NTB. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2005 dan memilih Program Studi Ilmu Kelautan , Departemen Ilmu dan Tekhnologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama di IPB, dibidang organisasi penulis aktif di himpunan profesi HIMITEKA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Tekhnologi Kelautan). Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Ilmu dan Tekhnologi

Kelautan penuis melakukan penelitian mengenai “Perkembangan Oosit Karang

Lunak Sarcophyton crassocaule Hasil Fragmentasi Di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta.


(62)


(63)

Lampiran 1. Data rata-rata jumlah telur pada bulan ke – 8 (8 Mei 2009 -29 Mei 2009) dan bulan ke 10 (7 Juli – 28 Juli 2009)

Sample Ulangan D1 D2 D3 D4 D5

O1 O2 O1 O2 O1 O2 O1 O2 O1 O2

8 Mei 2009

Alam

K1

P1 36 1 33 4 74 8 52 10 33 0

P2 36 1 41 0 22 1 75 0 37 3

P3 23 0 40 4 46 0 86 4 50 7

K2

P1 33 7 52 2 76 1 98 10 75 0

P2 0 35 50 5 65 0 71 0 64 6

P3 24 13 42 0 40 0 25 15 42 0

K3

P1 27 4 34 3 0 12 22 0 43 0

P2 29 0 33 0 38 2 15 4 42 0

P3 41 0 44 0 39 3 26 4 42 2

x 28 7 41 2 44 3 52 5 48 2

DENSITAS 34 43 47 57 50

3 Meter K1

P1 62 0 60 11 110 31 33 29 86 30

P2 78 10 55 19 3 11 42 15 48 12

P3 79 17 63 25 98 15 111 9 43 15

K2

P1 31 17 35 5 20 31 24 16 20 12

P2 38 9 46 12 45 12 45 14 70 20

P3 44 20 55 20 35 8 80 16 77 8

K3

P1 35 13 90 12 63 8 67 10 64 15

P2 24 5 60 47 76 7 50 8 53 11

P3 54 19 57 13 60 23 70 39 79 15

x 49 12 58 18 57 16 58 17 60 15

DENSITAS 62 76 73 75 75

12 Meter

K1

P1 45 29 24 10 20 0 28 13 56 19

P2 50 10 36 8 37 9 35 20 56 19

P3 20 7 24 3 45 19 45 21 0 10

K2

P1 35 19 21 3 37 4 18 4 83 48

P2 53 56 7 34 25 36 12 53 11

P3 44 18 54 24 47 22 64 17 36 6

K3

P1 33 39 28 5 32 5 16 4 50 16

P2 25 3 41 20 29 14 36 11 44 9

P3 38 12 46 21 49 9 65 14 37 9

x 38 15 37 11 37 12 38 13 46 16

DENSITAS 53 48 49 51 62

15 Mei 2009


(64)

Sample Ulangan D1 D2 D3 D4 D5

O1 O2 O1 O2 O1 O2 O1 O2 O1 O2

P2 15 8 46 18 34 13 53 5 21 4

P3 39 0 86 11 61 15 22 9 37 6

K2

P1 68 9 120 24 173 52 38 23 60 14

P2 44 14 49 11 59 83 85 13 104 20

P3 46 21 68 13 77 11 89 12 46 5

K3

P1 25 0 20 0 39 0 33 0 50 0

P2 30 0 42 1 48 2 39 1 51 0

P3 45 0 42 0 37 0 56 0 34 0

x 38 6 56 9 63 21 50 7 46 6

DENSITAS 44 65 85 58 52

3 Meter K1

P1 32 2 16 40 1 36 34 2

P2 31 1 80 15 40 84 6 64 8

P3 67 31 16 86 9 120 118 8

K2

P1 85 5 47 4 49 2 60 13 59 5

P2 50 3 95 0 56 1 69 2 36 1

P3 46 0 16 8 39 1 32 1 60 0

K4

P1 80 14 81 16 60 18 50 5 45 0

P2 61 20 72 20 74 10 53 15 68 6

P3 40 5 78 18 77 15 34 8 55 11

x 55 6 57 11 58 6 60 6 60 5

Densitas 60 68 64 65 64

12 Meter

K1

P1 31 17 35 6 45 18 49 27 30 20

P2 37 31 49 16 41 15 68 26 22 11

P3 17 13 21 21 46 29 43 20 36 29

K2

P1 57 23 28 18 35 18 77 16 46 22

P2 115 29 80 38 75 13 53 11 143 4

P3 53 12 74 11 53 14 62 8 35 11

K3

P1 74 20 76 13 25 16 51 14 43 29

P2 31 13 73 24 48 2 80 17 54 13

P3 36 7 51 5 28 0 64 8 66 15

x 50 18 54 17 44 14 61 16 53 17

DENSITAS 68 71 58 77 70

22 Mei 2009

Alam

K1

P1 58 5 74 7 82 4 38 6 49 7

P2 49 3 44 0 60 4 41 6 63 0

P3 46 11 80 8 65 8 24 10 40 4

K2

P1 52 30 136 20 58 24 88 36 41 21

P2 157 16 30 22 106 25 84 17 94 40


(65)

Sample Ulangan D1 D2 D3 D4 D5

O1 O2 O1 O2 O1 O2 O1 O2 O1 O2

K3

P1 84 16 91 19 103 24 67 13 49 12

P2 79 6 39 19 25 12 37 24 97 53

P3 33 13 21 3 96 31 22 8 45 38

x 65 12 62 13 72 16 50 15 61 23

DENSITAS 77 75 89 65 84

3 Meter K1

P1 25 15 69 35 64 23 39 6 78 22

P2 56 17 26 12 93 19 33 8 70 34

P3 40 5 75 7 76 21 102 12 117 9

K2

P1 41 39 64 41 67 15 74 10 137 86

P2 63 37 132 17 104 59 109 22 82 17

P3 81 41 85 61 115 30 60 20 27 13

K3

P1 63 13 63 10 52 9 39 8 39 6

P2 45 3 39 7 26 8 52 6 38 11

P3 29 5 49 8 43 7 30 3 31 2

x 49 19 67 22 71 21 60 11 69 22

DENSITAS 69 89 92 70 91

12 Meter

K1

P1 39 41 49 67 59 59 38 33 55 29

P2 79 49 32 31 51 40 33 10 62 16

P3 29 29 62 8 100 8 30 18 35 13

K2

P1 27 22 42 36 88 22 58 26 21 8

P2 29 8 74 16 21 9 89 4 46 8

P3 39 16 33 9 57 11 64 27 66 30

K3

P1 29 8 21 6 16 10 15 11 42 8

P2 22 10 36 12 38 5 30 3 29 0

P3 41 2 36 4 13 1 24 2 40 0

x 37 21 43 21 49 18 42 15 44 12

DENSITAS 58 64 68 57 56

29 Mei 2009

Alam

K1

P1 53 25 32 45 92 26 78 11 63 14

P2 107 40 54 19 75 41 81 53 62 45

P3 43 15 45 37 85 52 74 49 53 35

K5

P1 87 42 77 40 62 29 56 35 74 36

P2 71 53 49 50 75 49 66 37 57 19

P3 48 29 39 58 61 52 22 16 0 ##

K6

P1 32 60 48 0 37 8 41 10 20 20

P2 75 23 93 21 60 27 81 23 51 15

P3 13 7 28 10 30 19 50 18 33 7

x 59 33 52 31 64 34 61 28 46 33


(1)

t-Test: Two-Sample Assuming Unequal

Variances

t Critical one-tail 2.131846782

P(T<=t) two-tail 0.997286108


(2)

Lampiran 9. Uji t-stat antara perlakuan produk fragmentasi dengan kedalaman berbeda jenis Sarcophyton crassocaule pada umur 8 bulan

Untuk 3 dan 12 meter Hipotesis Ho=H1

Karena P > 0.05 maka terima Ho=H1 bahwa tidak ada perbedaan nyata antara jumlah oosit pada perlakuan antara karang pada kedalaman 3 dan 12 meter

t-Test: Two-Sample Assuming Unequal

Variances

Variable 1 Variable 2

Mean 73.45 67.25555556

Variance 67.27452675 217.3236214

Observations 4 4

Hypothesized Mean Difference 0

df 5

t Stat 0.734372361

P(T<=t) one-tail 0.247847832 terima

t Critical one-tail 2.015048372

P(T<=t) two-tail 0.495695665


(3)

Lampiran 10. Uji t-stat antara perlakuan produk fragmentasi dengan kedalaman berbeda jenis Sarcophyton crassocaule pada umur 10 bulan

Hipotesis Ho=H1

Karena P > 0.05 maka terima Ho=H1 bahwa tidak ada perbedaan nyata antara jumlah oosit pada perlakuan antara karang pada kedalaman 3 dan 12 meter

t-Test: Two-Sample Assuming Unequal Variances

Variable 1 Variable 2

Mean 77.74444444 50.66666667

Variance 125.3111111 534.4023045

Observations 4 4

Hypothesized Mean Difference 0

df 4

t Stat 2.108459957

P(T<=t) one-tail 0.0513343 terima

t Critical one-tail 2.131846782

P(T<=t) two-tail 0.102668599


(4)

Lampiran 11. Data mentah diameter Sarcophyton crassocaule Skala Dp O1 Skala Dpk O1 Skala Dp

O2 Skala Dpk O2 O1 (µm) O2 (µm)

0.18 0.18 0.4 0.35 5.674653 11.82219

0.25 0.25 0.4 0.28 7.881463 10.71879

0.25 0.18 0.35 0.3 6.778058 10.2459

0.25 0.2 0.35 0.3 7.093317 10.2459

0.25 0.2 0.35 0.3 7.093317 10.2459

0.28 0.2 0.32 0.3 7.566204 9.773014

0.12 0.1 0.32 0.3 3.467844 9.773014

0.2 0.15 0.4 0.2 5.517024 9.457755

0.2 0.18 0.3 0.3 5.989912 9.457755

0.12 0.1 0.4 0.35 3.467844 11.82219

0.12 0.12 0.35 0.25 3.783102 9.457755

0.25 0.2 0.35 0.25 7.093317 9.457755

0.2 0.18 0.35 0.28 5.989912 9.930643

0.22 0.2 0.25 0.25 6.620429 7.881463

0.3 0.2 0.3 0.2 7.881463 7.881463

0.2 0.2 0.3 0.28 6.30517 9.142497

0.28 0.22 0.4 0.2 7.881463 9.457755

0.2 0.15 0.4 0.3 5.517024 11.03405

0.2 0.2 0.35 0.2 6.30517 8.669609

0.25 0.2 0.32 0.25 7.093317 8.984868

0.25 0.25 0.25 0.25 7.881463 7.881463


(5)

Skala Dp O1 Skala Dpk O1 Skala Dp

O2 Skala Dpk O2 O1 (µm) O2 (µm)

0.3 0.2 0.4 0.2 7.881463 9.457755

0.1 0.1 0.3 0.3 3.152585 9.457755

0.3 0.2 0.4 0.2 7.881463 9.457755

0.25 0.2 0.35 0.2 7.093317 8.669609

0.25 0.25 0.3 0.2 7.881463 7.881463

0.3 0.2 0.3 0.25 7.881463 8.669609

0.25 0.2 0.3 0.25 7.093317 8.669609

0.25 0.25 0.28 0.28 7.881463 8.827238

0.25 0.2 0.3 0.25 7.093317 8.669609

0.2 0.2 0.3 0.25 6.30517 8.669609

0.2 0.2 0.28 0.25 6.30517 8.354351

0.15 0.2 0.3 0.3 5.517024 9.457755

0.15 0.15 0.3 0.22 4.728878 8.196721

0.2 0.18 0.35 0.25 5.989912 9.457755

0.25 0.15 0.3 0.28 6.30517 9.142497

0.2 0.2 0.28 0.28 6.30517 8.827238

0.22 0.2 0.38 0.25 6.620429 9.930643

0.2 0.18 0.35 0.25 5.989912 9.457755

0.22 0.15 0.22 0.2 5.832282 6.620429

0.2 0.2 0.3 0.3 6.30517 9.457755

0.2 0.15 0.3 0.28 5.517024 9.142497

0.3 0.2 0.25 0.24 7.881463 7.723834


(6)

Skala Dp O1 Skala Dpk O1 Skala Dp

O2 Skala Dpk O2 O1 (µm) O2 (µm)

0.25 0.2 0.32 0.22 7.093317 8.51198

0.2 0.2 0.35 0.3 6.30517 10.2459

0.2 0.18 0.3 0.3 5.989912 9.457755

0.25 0.18 0.3 0.25 6.778058 8.669609

0.12 0.1 0.3 0.3 3.467844 9.457755

standart deviasi 1.265806 1.022591

rata-rata 6.365069 9.208701

Skala Dp O1 = Skala DIAMETER Terpanjang dari O1 Skala Dpk O1 = Skala DIAMETER Terpendek dari O1

Cara menkonversi menjadi nilai Diameter Oosit adalah :

On =(( (Skala Dp On + Skala Dpk O1)/2 )/ 31.75 )*1000 = y µm Ket : 1 mm = 31.75 skala ruler pada adobe photoshop