Terlalu Banyak Konsumsi Manusia Sebagai Persoalan 1. Terlalu Banyak Manusia

57 data pendukung. Meski negara-negara Utara hanya diisi oleh seperlima penduduk dunia, namun tingkat konsumsinya mencapai dua-pertiga pangan dunia. Negara-negara kaya mengkonsumsi tiga-perempat energi serta mineral, dan ternyata 85 kayu dipakai di sini. Negara-negara kaya seperti Amerika Serikat mengonsumsi sekitar 60 gas alam dunia, 40 batubara dan 30 minyak tanah, sekaligus menghasilkan 25 polusi udara di dunia 42 . Sementara di negara-negara Selatan yang memiliki 4 milyar penduduk, 60 diantaranya justru tidak mendapat akses sanitasi yang memadai. Bahkan 30 tidak mampu mendapat air bersih dan 25 diantaranya tidak mampu memiliki rumah. Kesejahteraan 225 orang saja yang tergolong kaya setara dengan pendapatan 47 penduduk dunia 2,5 milyar orang dalam setahun 43 . Data-data demikian menunjukkan situasi ekosistem dunia nyatanya tidak dipengaruhi oleh jumlah penduduk. Melainkan oleh sistem ekonomi dan politik, kekayaan dan konsumsi masyarakat di negara-negara Utara amat berlebihan jika dibandingkan dengan situasi negara-negara Selatan. Argumen Venkataraman ini awalnya sangat politis. Kolonialisme dan kapitalisme telah membuat negara-negara Utara memiliki modal untuk mensejahterakan masyarakatnya. Sementara di saat yang sama negara- 42 J. Milburn Thomson 2009, Keadilan dan Perdamaian terj., Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, hlm. 115. 43 UNEP 2007, Concept Paper for the Task Force on Sustainable Lifestyle, hlm. 3. 58 negara Selatan harus bergulat dengan kemiskinan dan sistem pasar yang hanya memberatkan saja. Namun menguatnya neoliberalisme yang dibawa pemerintahan Ronald Reagan dan Margaret Thatcher di era 1980-an dengan mudah ‘membelokkan’ argumen ini ke dalam persoalan konsumsi individu. Para ekonom neoliberal semacam The Institute of Economic Affairs IEA Inggris –kelompok think tank yang menyusun sistem neoliberalisme- sejak tahun 1990-an ikut bersuara tentang isu ini. Mereka membawa ide pasar sebagai solusi persoalan lingkungan, yang akhirnya mendasari segala kebijakan yang dibuat oleh PBB menghadapi isu ekologis. Termasuk di dalamnya adalah perdagangan karbon dan privatisasi sumber daya alam seperti hutan, pulau dan wilayah pertambangan 44 . Gb. 2.3. Kampanye UNEP Salah satu kampanye United Nation Environment Programme UNEP di atas menunjukkan betapa besarnya rata-rata konsumsi seseorang. Tidak tanggung-tanggung, 25-30 ton material tiap tahunnya, setara dengan berat 12 mobil. Kelompok Earth Hour Indonesia dibawah World Wild Fund 44 Beder Sharon 2001 “Neoliberal Think Tanks and Free Market Environmentalist”, Environmental Politics Journal 2, Vol. 10, dibaca dalam bentuk pdf. 59 WWF mengabarkan: “Jika pada periode 1970-2010 bumi masih bisa memenuhi kebutuhan manusia, tiga tahun setelahnya fakta mengejutkan menyebutkan bahwa manusia memerlukan satu setengah bumi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pola konsumsi manusia meningkat secara signifikan, melesat meninggalkan pertumbuhan sumberdaya alam SDA yang tak seberapa. Bila dibiarkan, diprediksi pada periode 2013-2050 kita membutuhkan tiga bumi guna mendukung kehidupan manusia.” 45 Betapa mengerikannya kini akibat yang ditimbulkan manusia, bahkan bumi tak akan sanggup memenuhi kebutuhannya. Tentu saja baik UNEP maupun WWF menyamakan begitu saja perilaku konsumsi masyarakat Utara dengan masyarakat Negara Ketiga, daya belanja masyarakat kaya dengan ‘kemampuan belanja’ masyarakat yang miskin. Pengaruh konsumsi individu dalam kerusakan lingkungan hidup semakin tegas dalam konsep jejak karbon. Konsep ini mulai dipakai pada tahun 2007 untuk menghitung emisi karbon yang dihasilkan dalam produksi energi listrik. Awalnya jejak karbon dipakai untuk membandingkan jumlah emisi karbon dari energi listrik yang dihasilkan oleh beberapa jenis bahan bakar, yaitu gas alam, minyak bumi, batubara, panas bumi, energi nuklir, tenaga air, panas matahari serta tenaga angin. Hasilnya memang tidak ada yang baru. Hanya semakin membuktikan 45 Ciptanti Putri “Terapkan Gaya Hidup Hijau untuk Selamatkan Bumi” dalam http:www.wwf.or.idberita_faktablog?33183Terapkan-Gaya-Hidup-Hijau-untuk- Selamatkan-Bumi dibaca tanggal 3 Desember 2015. 60 batubara disusul minyak bumi sebagai bahan bakar paling kotor, sementara panas matahari dan tenaga angin hampir tidak menghasilkan emisi karbon. Namun perhitungan jejak karbon ini menggunakan energi listrik sebagai dasar perhitungannya, sehingga beban emisi karbon ditimpakan kepada semua barang dan jasa yang menggunakan listrik. Jadi bukan kepada sistem yang masih menggunakan bahan bakar energi batubara dan minyak sebagai penghasil listrik. Televisi yang kita beli dan kita tonton, komputer atau laptop yang kita pakai, lampu yang kita pakai di malam hari serta kertas-kertas yang kita pakai untuk belajar. Demikianlah jejak karbon disederhanakan begitu saja defenisinya, menjadi “paparan emisi karbon yang dihasilkan dari gaya hidup seseorang, yakni gaya hidup yang memanfaatkan konsumsi barang dan jasa” 46 . Di Indonesia, salah satu komunitas yang khusus berkampanye tentang perhitungan jejak karbon adalah Institute for Essential Services Reform IESR Indonesia. Salah satu contoh perhitungannya adalah: “Penggunaan energi listrik untuk keperluan sehari-hari, misalnya penerangan atau menyalakan perangkat personal notebook, HP, PDA, dsb juga memproduksi sejumlah CO 2 yang berasal dari pembangkit listrik yang memasok energi listrik yang dipakai. Untuk setiap lampu berdaya 10 Watt yang dinyalakan selama 1 jam, CO 2 yang dihasilkan adalah 9,51 g CO 2 . 46 Dalam http:www.iesr.or.idkkv3tentang-jejak-karbon dibaca tanggal 3 Desember 2015. 61 Penggunaan kertas yang dicetak mengeluarkan karbon sebesar 226,8 g CO 2 untuk setiap lembarnya. Perjalanan 1 km dengan menggunakan mobil akan menghasilkan 200 g CO 2 , dengan asumsi menggunakan perhitungan jaringan listrik Jawa-Madura-Bali.” 47 Melalui konsep jejak karbon, kegiatan konsumsi sehari-hari –entah berlebihan entah tidak- s emakin sah sebagai penyebab meningkatnya emisi karbon yang menghasilkan pemanasan global dan perubahan iklim. Melalui konsumsinya, manusia harus berhadapan dengan sebuah doktrin yang menuding dirinya sebagai pelaku kejahatan besar, karena menyangkut bumi yang cuma satu, milik bersama, terbatas dan dibutuhkan generasi masa depan. Kesuraman masa depan Indonesia yang berkarakter kepulauan dan tidak tergolong negara kaya digambarkan lebih spesifik. Mencairnya es di kutub akan membuat pulau-pulau di Indonesia tenggelam. Khususnya pulau-pulau yang kecil dan berada di wilayah perbatasan garis pantai Indonesia, termasuk wilayah pesisir utara Pulau Jawa. Pemanasan global akan membuat beberapa jenis penyakit semakin sulit untuk diatasi. Misalnya malaria, demam berdarah, diare dan gizi buruk, karena perubahan pola distribusi penyakit yang dibawa hewan pembawa. Meskipun tanpa isu pemanasan global, pemerintah telah menunjukkan ketidakmampuannya mengatasi persoalan ini. Krisis pangan 47 Ibid. 62 membuat hutan-hutan di Kalimantan, Sumatera dan Papua ‘terpaksa’ dibuka demi memenuhi kebutuhan pangan, namun di saat yang sama disesali betapa luasnya hutan yang harus dialihfungsikan. Seolah-olah masalah yang sedang dihadapi sekarang adalah persoalan simalakama. Jika memilih menutup industri, maka pertumbuhan ekonomi akan berhenti dan tidak berhasil mensejahterakan rakyat. Sebaliknya jika memilih pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, maka ‘terpaksa’ mengorbankan lingkungan hidup. Wacana lingkungan diarahkan menjadi persoalan yang membuat manusia menjadi sungguh tak berdaya, pilihan dibuat seterbatas mungkin. Maka demikianlah sabda World Wild Fund WWF, “...meski kelihatannya mengkhawatirkan dan sulit, tapi bukannya tidak mungkin. Masalahnya ada pada kita, kita yang menyebabkan masalah, maka kita juga bisa menemukan jalan keluarnya”. 48 Jalan keluar itu adalah konsep pembangunan berkelanjutan sustainable development dan gaya hidup berkelanjutan sustainable life style yang sangat dikenal sebagai gaya hidup hijau. Publik ditawarkan harus menempuh jalan yang telah dibuat oleh rejim neoliberal jika tak ingin bertemu kiamat krisis lingkungan hidup dan masa depan suram. Ketidakmampuan mengelola negara kini ditutupi 48 World Wild Fund WWF “Living Planet Report 2014” dibaca dalam http:wwf.panda.orgabout_our_earthall_publicationsliving_planet_report tanggal 3 Desember 2015. 63 dengan ketidakmampuan publik mengelola pertumbuhan populasi dan mengelola pola konsumsinya.

B. Hijau Sebagai Jalan Selamat 1. Gaya Hidup Hijau

Konsep antroposentrisme mendominasi dalam percakapan tentang ekologi dalam konferensi-konferensi PBB, khususnya Konferensi Tingkat Tinggi KTT I Bumi di Brazil tahun 1992. Konferensi ini juga mengesahkan konsep sustainability development pembangunan berkelanjutan sebagai jalan keluar mengatasi persoalan antroposentris tersebut. Namun setelah 20 tahun berlalu, konsep ini dinyatakan gagal dijalankan, karena krisis lingkungan tetap terjadi dan suhu bumi tidak menunjukkan tanda-tanda akan menurun menuju suhu yang ideal. Tidak ada indikasi perubahan apapun 49 . Konsep pembangunan berkelanjutan sepintas memang begitu menggoda sebagai jalan keluar krisis ekologi. Konsep ini menawarkan “...to ensure that it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own need”. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi 49 Sulung Prasetyo “Dunia Gagal Terapkan Pembangunan Berkelanjutan” dalam https:jurnalbumi.wordpress.com20120619dunia-gagal-terapkan-pembangunan- berkelanjutan-2 dibaca pada 7 Desember 2015. 64 saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka 50 . Sedari awal diperkenalkannya ide ini oleh PBB, dokumen Our Common Future 1987 telah menyatakan pembangunan berkelanjutan membutuhkan individu untuk bersedia mengadopsi gaya hidup berkelanjutan, misalnya menata pola pemakaian energinya. Dengan alasan si individu adalah bagian dari populasi yang banyak dan sedang mengejar taraf hidup lebih tinggi sehingga menimbulkan beban pada berbagai sumber daya alam 51 . Karenanya gaya hidup berkelanjutan disusun dan direkomendasikan kepada individu dalam Agenda 21 1992 bab 4 dengan judul “Changing Consumption Patterns”. Ide ini dilanjutkan kemudian dalam laporan-laporan UNEP UN Environment Programme di tahun-tahun berikutnya. Bahkan Hari Bumi atau World Earth Day WED tahun 2015 dengan gagah memasang tema “Seven Billion Dreams. One Planet. Consume with Care.”. Tema ini berisi harapan kepada 7 milyar penduduk bumi untuk menyelamatkan 1 bumi dengan cara berkonsumsi dengan hati-hati dalam mengkonsumsi 3 material penting, yakni air, pangan dan energi. Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK menterjemahkannya sebagai “Mimpi dan Aksi Bersama 50 United Nation 1987, Report of the World Commision on Environment and Development: Our Common Future, hlm. 15. 51 United Nation 1987, hlm. 15. 65 untuk Keberlanjutan Kehidupan di Bumi” untuk dijadikan sebagai tema utama rangkaian acara Hari Lingkungan Hidup tahun 2015. Sama seperti sebelumnya, kampanye tema ini juga dimulai dengan pemaparan krisis akibat kehadiran 7 milyar manusia yang memperebutkan sumber daya alam yang sangat terbatas. Misalnya dengan menyatakan bahwa 7 milyar manusia memperebutkan air tawar yang hanya sebanyak 0,5 dari jumlah air dunia. Situasi makin buruk melalui pernyataan tentang ketidakhati-hatian dalam mengkonsumsi pangan telah menyumbang 22 emisi karbon 52 . Setelah penceritaan krisis-krisis itu wacana dilanjutkan dengan ‘memanggil’ 7 milyar manusia untuk memperhatikan pola konsumsinya agar terjadilah living sustainability. Ia dianggap sebagai pola hidup yang diisi dengan rangkaian tindakan yang lebih banyak dan lebih baik agar tidak membebani bumi yang terbatas. Rangkaian tindakan itu tentu saja berupa consume with care, berhati-hatilah dalam berkonsumsi. Di Indonesia gaya hidup berkelanjutan atau living sustainability ini sangat populer sebagai gaya hidup hijau. Mengganti istilah ‘berkelanjutan’ menjadi ‘hijau’ membantu pengaturan pola konsumsi ini menjadi lebih mudah dimengerti artinya. Begitu mudahnya sehingga kini gaya hidup hijau 52 Dalam http:www.unep.orgwedthemesustainable-consumpion.asp dan http:www.hijauku.com20150605aksi-7-miliar-manusia-ciptakan-perubahan, dibaca tanggal 7 Desember 2015. 66 tinggal berupa panduan how-to, contoh-contoh perilaku hidup sehari-hari yang dikategorikan sebagai gaya hidup hijau. Aktivis serta komunitas hijau membuat daftar gaya hidup hijau lebih banyak, lebih detail, dan lebih praktis. Tentu disertai alasan-alasan sains sebagai data pendukung untuk membuat daftar itu terasa lebih sahih dan sulit dibantah. Mulai dari pemisahan sampah organik dan anorganik, hingga sampah kertas, sampah plastik, sampah baterai dan obat-obatan yang dikategorikan sebagai sampah beracun. Termasuk contoh hidup hijau di rumah, kantor, bahkan urusan transportasi serta liburan hingga cara merayakan hari besar agama yang ramah lingkungan. Salah satu kampanye komunitas Earth Hour adalah ajakan untuk membeli barang dan jasa yang dianggap berasal dari bahan yang tidak merusak lingkungan hidup atau menggunakan proses tertentu yang dianggap ramah lingkungan. Misalnya membeli bahan makanan organik serta membeli barang dengan label ramah lingkungan. Membeli produk kosmetika yang tidak menggunakan hewan sebagai alat uji coba serta membeli dari produsen yang menyisihkan hasil penjualannya sebagai donasi penyelamatan lingkungan. Berdonasi adalah ajakan yang selalu diminta oleh hampir semua lembaga swadaya masyarakat sebagai cara publik mendukung apa yang sedang dikonsentrasikan oleh LSM tersebut. Bisa dikatakan seluruh gaya hidup hijau di atas adalah cara paling mudah untuk menarik perhatian massa. Tidak memerlukan diskusi dan 67 perdebatan panjang publik tentang penyebab dan jalan keluar atas kompleks-nya masalah lingkungan yang ada. Tidak memerlukan demonstrasi publik yang punya resiko gampang disusupi kerusuhan massa. Tidak membutuhkan biaya besar, dan bisa memotong kerumitan menyatukan pandangan publik. Sederhananya sikap perduli lingkungan berbasis praksis demikian dianggap lebih murah, efisien, dan kurang beresiko. Kampanyenya dengan mudah dapat menarik perhatian massa, dan di waktu yang sama tidak ada resiko apapun karena toh gerakannya tidak mengkritik negara dan tidak mengancam korporasi apapun . Praktik gaya hidup hijau semakin mendapatkan perhatian melalui pembandingan kota-kota di Indonesia dengan kota-kota di negara lain – umumnya kota-kota di Eropa atau kota-kota di Asia Timur, yakni Korea Selatan dan Jepang- yang dianggap lebih bersih, lebih teratur, dan lebih pintar smart city. Misalnya saja kota Kitakyushu di Jepang sebagai kota impian, situasinya berbanding terbalik dengan kota Jakarta yang perlu mendapat pembenahan besar-besaran 53 . Kota menjadi sorotan utama karena kota hijau dianggap akan mampu menyokong warganya untuk berkonsumsi secara hijau. Di kota ini warganya dianggap sejahtera sehingga mampu membeli barang-barang berlabel hijau dan memiliki waktu untuk memperhatikan konsumsi energi listrik yang 53 “Kitakyushu, Kota Jorok yang Kini Eksotis”, Kompas, 10 Juli 2013, hlm. 27.