Hijau Sebagai Jalan Selamat 1. Gaya Hidup Hijau

67 perdebatan panjang publik tentang penyebab dan jalan keluar atas kompleks-nya masalah lingkungan yang ada. Tidak memerlukan demonstrasi publik yang punya resiko gampang disusupi kerusuhan massa. Tidak membutuhkan biaya besar, dan bisa memotong kerumitan menyatukan pandangan publik. Sederhananya sikap perduli lingkungan berbasis praksis demikian dianggap lebih murah, efisien, dan kurang beresiko. Kampanyenya dengan mudah dapat menarik perhatian massa, dan di waktu yang sama tidak ada resiko apapun karena toh gerakannya tidak mengkritik negara dan tidak mengancam korporasi apapun . Praktik gaya hidup hijau semakin mendapatkan perhatian melalui pembandingan kota-kota di Indonesia dengan kota-kota di negara lain – umumnya kota-kota di Eropa atau kota-kota di Asia Timur, yakni Korea Selatan dan Jepang- yang dianggap lebih bersih, lebih teratur, dan lebih pintar smart city. Misalnya saja kota Kitakyushu di Jepang sebagai kota impian, situasinya berbanding terbalik dengan kota Jakarta yang perlu mendapat pembenahan besar-besaran 53 . Kota menjadi sorotan utama karena kota hijau dianggap akan mampu menyokong warganya untuk berkonsumsi secara hijau. Di kota ini warganya dianggap sejahtera sehingga mampu membeli barang-barang berlabel hijau dan memiliki waktu untuk memperhatikan konsumsi energi listrik yang 53 “Kitakyushu, Kota Jorok yang Kini Eksotis”, Kompas, 10 Juli 2013, hlm. 27. 68 dipakainya. Punya waktu untuk mengatur dan mengolah sendiri sampah domestik, dan punya waktu untuk merawat kebun kota urban farming. Bahkan sebuah iklan produk Unilever Indonesia dengan berani mengatakan bahwa sebatang pohon akan lebih aman berada di kota daripada tumbuh di hutan. Dengan demikianlah sustainability development atau pembangunan berkelanjutan dianggap tercapai, yaitu “harmonisnya” pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan hidup. Inilah masa depan masyarakat global yang dicita-citakan oleh rejim global.

2. Ekonomi Hijau

Wacana lingkungan hidup di Indonesia setidaknya berada dalam 2 fase, yaitu pada masa Orde Baru dan Reformasi. Pada masa Orde Baru isu lingkungan hidup diperkenalkan dan dijalankan oleh negara. Soemarwoto 2001 menyebutkan tonggak sejarah wacana lingkungan hidup di Indonesia terjadi pada penyelenggaraan Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengembangan Nasional di Universitas Padjadjaran tanggal 15- 18 Mei 1972. Seminar ini diadakan sebagai persiapan delegasi Indonesia mengikuti Konferensi Lingkungan Hidup Sedunia di Stockholm pada bulan Juni 1972 yang bertema Hanya Satu Bumi. Karena itu seminar ini memakai bahan- bahan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh Panitia Penyelenggara PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 69 Konferensi Stockholm. Namun sebelumnya isu ekologi sudah dihembuskan. Persoalannya sama dengan isu ekologi yang dikembangkan oleh aktivis Malthussian dan OECD, bahwa kepadatan penduduk adalah akar persoalan. Indonesia berada dalam daftar hitam. Bagian dari negara-negara Dunia Ketiga, secara ekonomi jelas tidak kaya, dan memiliki jumlah penduduk yang sangat besar. Indonesia disebut sebagai negara berkelebihan penduduk yang menyebabkan eksploitasi lingkungan secara berlebihan sehingga menyebabkan penipisan sumber daya alam dan tingkat kemiskinan yang tinggi. 54 Setelah konferensi Stockholm selesai, Presiden Soeharto kemudian mempersiapkan sejumlah tim untuk menyusun berbagai Keputusan Presiden Keppres yang menyangkut soal masyarakat, lingkungan hidup dan sumber daya alam. Dari sini dibentuklah Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Men-PPLH tahun 1978 di bawah pimpinan Prof. Dr. Emil Salim. Masalah kependudukan menjadi masalah utama pemerintahan Orde Baru. Sebagai bagian dari anggota negara-negara PBB, Indonesia diwajibkan menyelenggarakan Sensus Nasional sekali tiap dasawarsa atau sepuluh tahun. 55 Program Keluarga Berencana digalakkan sejak tahun 1970 54 Drs. N. Daldjoeni 1981, Masalah Penduduk dalam Fakta dan Angka, Bandung: Penerbit Alumni, hlm. 92. 55 Ibid, hlm. 27. 70 untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Kemudian program transmigrasi dilaksanakan untuk mengurangi tingkat kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Dan akhirnya Revolusi Hijau pun dilaksanakan untuk “mengatasi” krisis pangan. Pada akhirnya hampir semua program kependudukan dan lingkungan hidup itu menuai persoalan. Program Keluarga Berencana membuat sejumlah kematian perempuan melalui efek samping pemakaian alat kontrasepsi yang dipaksakan. Program transmigrasi berakhir dengan sejumlah konflik horizontal dan kekerasan budaya di sejumlah wilayah, ditambah eksploitasi transmigran nelayan oleh sejumlah korporasi yang ber-kongkalikong dengan pejabat daerah. 56 Revolusi Hijau yang ditujukan untuk menyelamatkan krisis pangan berakhir dengan pemiskinan dan penurunan kesehatan petani, serta hilangnya diversitas varietas padi lokal Indonesia. Di masa-masa ini sejumlah kekerasan ekologi dilakukan oleh aparat negara. Pembangunan waduk-waduk dan proyek-proyek makro lainnya memakan begitu banyak korban jiwa. Mulai dari buruh yang bekerja di dalam proyek itu maupun sejumlah warga sekitarnya. Hutan-hutan yang selama ini menjadi salah satu sumber pangan warga lokal kemudian ditutup dari warga. 56 George Junus Aditjondro 2003, Kebohongan-Kebohongan Negara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 11-29. 71 Termasuk petani yang mengusahakan beberapa jenis tanaman hutan. Mereka diusir dari hutan adat, tanaman-tanaman dirusak, bahkan kampung-kampung para petani dibakar. Semuanya memakai alasan pelestarian lingkungan. Sejumlah kasus lingkungan hidup terjadi karena negara yang bekerjasama dengan sejumlah korporasi yang mengambil keuntungan ekonomi. 57 Masa pasca reformasi persoalan ekologi diperkenalkan oleh banyak aktor. Yang paling mencolok adalah organisasi non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat LSM serta kelompok-kelompok komunitas hijau yang tumbuh subur. Pemerintahan SBY memang telah menyusun dokumen dengan judul beraroma birokratis, yaitu Rencana Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Salah satu isi dokumen ini adalah ajakan kepada individu-individu untuk terlibat dalam aksi nasional menghadapi perubahan iklim dengan memberikan panduan untuk mengubah gaya hidup konsumtif menjadi gaya hidup hijau. Presiden SBY juga pernah menyatakan akan mengubah gaya hidup rakyat Indonesia agar beradaptasi terhadap situasi perubahan iklim lewat pidatonya di forum World Economics Forum di Davos di tahun 2007. Namun rasa-rasanya dua hal ini kurang cocok jika menyatakan bahwa publik Indonesia mendapatkan informasi tentang gaya hidup hijau melalui sosialisasi ala pemerintah. 57 Ibid. 72 Memang program Bank Sampah dan Kebun Organik di beberapa kelurahan di Pulau Jawa telah dijalankan oleh RTRW atas kerjasama dengan Badan Lingkungan Hidup. Namun program ini dijalankan justru setelah sebagian besar publik mengetahui informasi itu terlebih dulu. Sederhananya, aksi pemerintah selalu lebih lambat dibandingkan kecepatan publik ataupun korporasi untuk menangkap informasi tentang apa dan bagaimana gaya hidup hijau itu. Tersebarnya informasi mengenai gaya hidup hijau lebih menandakan publik Indonesia yang kosmopolit. Kehadiran internet, televisi serta media cetak yang luas telah menjadi alat yang sangat efektif untuk itu. Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok-kelompok komunitas hijau pasca Orde Baru juga menjadi agen yang efektif. Umumnya LSM dan komunitas hijau ini diisi mahasiswa dan pemuda yang mendapatkan akses informasi dengan cukup mudah lewat aneka teknologi 58 . Komunitas Earth Hour misalnya, cukup gencar berkampanye tentang penghematan energi dan gaya hidup hijau lainnya bukan karena anjuran pemerintah. Melainkan karena dibentuk oleh World Wild Fund WWF sejak tahun 2009. Komunitas Indonesia Berkebun mulanya dibentuk di Bandung pada tahun 2011 lewat prakarsa Ridwan Kamil –sebelum menjadi walikota Bandung-. Namun komunitas ini juga berdiri bukan karena asuhan 58 Tentang teknis pengorganisasian dan kampanye yang dilakukan lembaga dan komunitas hijau dapat dibaca dalam Suharko dkk. 2014, Organisasi Pemuda Lingkungan Di Indonesia Pasca- Orde Baru, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 73 pemerintah. Melainkan ide para kosmopolit Indonesia yang mencoba meniru urban farming yang ada di kota-kota besar dunia, seperti kota-kota di Jepang ataupun Amerika Serikat. Pemerintah sendiri tampaknya belum bisa melepaskan kelatahan menampung wacana yang sedang trend dan mencocokkannya dengan proyek-proyek makro tanpa bersusah-payah menggali persoalan publiknya sendiri. Demikian pula dengan wacana pemanasan global, ide pembangunan berkelanjutan serta konsep ekonomi hijau yang dijadikan rumus mengatasi krisis lingkungan hidup di Indonesia. Sebelumnya kelebihan jumlah penduduk disebut sebagai faktor utama kemiskinan dan berbagai krisis, maka kini pemanasan global yang disertai perubahan iklim dan bencana antropogenik lainnya disebut sebagai penyebab kemiskinan dan kelaparan. Untuk itu digulirkanlah Ekonomi Hijau untuk mengatasi persoalan itu. Ide Ekonomi Hijau datang dari Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, dan dipakai oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono SBY sejak tahun 2007 sebagai strategi yang disebutkannya dapat mendukung diwujudkannya pembangunan berkelanjutan. Ide ini mencakup empat konsep, yakni pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-green atau 4P. Ekonomi Hijau menjadi satu dari dua isu utama yang dibicarakan dalam KTT Rio +20 di Rio de Jeneiro, Brazil. Sembari bernostalgia membangkitkan lagi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 74 semangat KTT Bumi tahun 1992 -tepat 20 tahun sebelumnya di tempat yang sama. Dalam konferensi ini SBY dengan gagah menyatakan komitmen Indonesia menurunkan emisi karbon sebesar 26 hingga 41 persen hingga tahun 2020 sambil memasang target 7 persen pertumbuhan ekonomi nasional melalui sistem Ekonomi Hijau. Tentu saja “komitmen” ini tidak disambut dengan semangat dan sukacita oleh para aktivis lingkungan, akademisi, termasuk pejabat di departemen terkait lingkungan. Karena seperti biasa, janji SBY di dunia internasional terlampau “maju” jika membandingkan dengan situasi birokrasi pemerintahannya 59 . Secara sederhana Ekonomi Hijau berisi “harapan” kepada sistem pasar untuk menyelesaikan persoalan ekologi. Karena itu isinya berkisar pada cara-cara jual beli karbon yang disusun dalam Mekanisme Pembangunan Bersih Clean Development Mechanism [CDM], Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation [REDD] serta “harapan” terciptanya industri hijau. CDM dan REDD memfasilitasi negara-negara industri untuk tetap menjalankan bisnisnya seperti biasa dan memproduksi emisi karbon lebih dari yang dibatasi di negaranya. Tentu dengan syarat memberikan 59 Lihat misalnya pada artikel Sapariah Saturi “Penerapan Ekonomi Hijau RI masih Banyak Kendala” dalam http:www.mongabay.co.idtagekonomi-hijau, dibaca tanggal 2 Februari 2016. 75 kompensasi uang yang ditaruh pada “perlindungan” hutan-hutan di negara- negara berkembang. Sementara industri hijau menekankan pada efisiensi pemakaian sumber daya alam sembari memberi nilai pasar kepada segala sumber daya alam serta pemakaian teknologi baru yang lebih efektif, efisien dan “ramah lingkungan”. Indonesia di bawah rejim SBY yang berharap mendapatkan penilaian yang baik dari dunia internasional menjalankan saran-saran Ekonomi Hijau. Ada 4 hal, yakni: 1 menciptakan kondisi domestik yang kondusif didukung oleh mekanisme pembiayaan yang inovatif serta reformasi fiskal, 2 menciptakan kemitraan publik dan swasta termasuk mekanisme pendanaan investasi hijau, 3 investasi hijau dengan paket stimulus termasuk investasi hijau dalam anggaran rutin pemerintah, 4 mendukung terciptanya kondisi global yang kondusif perdagangan, Hak Kekayaan Intelektual HKI, Official Development Agency ODA, teknologi transfer dan Perjanjian Multilateral Lingkungan. 60 Seluruhnya sesuai dengan yang disarankan oleh sistem neoliberalisme. Menyerahkan segalanya ke dalam pasar bebas, menegaskan kepemilikan privat dan mengurangi campur tangan negara lewat deregulasi. Di sini Indonesia sungguh menjadi anak yang baik yang senantiasa bergantung kepada dunia internasional, termasuk menerima krisis apa yang boleh dihadapi serta bagaimana cara menghadapinya. 60 Dra. Liana Bratasida, M.Sc. dan Vrilly Natalia Rondonuwu, B.Sc., M.Min., 2011, hlm. 56. 76 Karenanya tak heran program MP3EI Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia 2011-2025 nan berlabel hijau kemudian diluncurkan. Pemerintahan SBY rajin memberikan ijin pertambangan dan industri perkebunan, termasuk di hutan-hutan lindung serta hutan adat yang telah lama dikelola sendiri oleh masyarakat. Privatisasi segala sumber daya alam tetap marak, termasuk air yang menjadi kebutuhan publik yang amat penting. Publik semakin terbiasa melihat korporasi ber-merk hijau yang rajin berkampanye soal penyelamatan lingkungan hidup. Mereka rajin menanam 1000 pohon, membuat berbagai acara event dengan tema krisis ekologi serta berkampanye meminta masyarakat berhemat untuk menyelamatkan lingkungan. Ekonomi hijau memberi konteks besar pada gaya hidup hijau. Negara seperti tidak punya alternatif lain tentang bagaimana sebaiknya mengelola negara yang memiliki areal yang sangat luas, jumlah penduduk melimpah serta sumber daya beragam dengan berbagai persoalan ekonomi, sosial, serta lingkungan hidup yang dihadapi publik. Ujung-ujungnya menyerah pada mekanisme pasar yang ditekankan oleh rejim global. Kerusakan yang diakibatkan oleh kapitalisme coba diselesaikan dengan kapitalisme juga. Tidak ada perubahan struktural, korporasi tetap berbisnis seperti biasa, sementara publik –sang korban- diminta, bahkan dipaksa melakukan banyak hal sebagai cara menebus kesalahan – entah kesalahan siapa. 77 Karena itu persoalan lingkungan hidup di Indonesia seperti tidak mengalami perubahan berarti dengan masa sebelum reformasi. Persoalan lingkungan hidup tetap berada dalam pusaran ekonomi politik, korupsi, perijinan yang tumpang tindih. Termasuk keberpihakan aparat kepada korporasi dan konflik tenurial yang saling terpaut satu dengan lainnya. 61 Warga diminta melakukan penghematan energi, sementara perijinan pertambangan batubara diobral kepada korporasi dengan pengawasan hukum yang longgar. Warga diminta mengkonsumsi barang-barang yang ber-label hijau, sementara hingga kini belum ada produk dalam negeri apapun yang telah memiliki pengakuan ramah lingkungan 62 . Hingga kini tidak ada badan yang dibentuk untuk mengeluarkan sertifikasi hijau secara resmi dan diakui. Akibatnya beberapa pedagang Indonesia harus mendapatkan label hijau dari luar negeri dengan biaya yang mahal dan berakibat barang-barang label hijau itu pun menjadi jauh lebih mahal. 63 Warga diminta rajin menanam pohon sementara hutan-hutan ternyata dijual kepada korporasi yang kemudian dibakar untuk dijadikan perkebunan 61 Misalnya berbagai kasus pekebunan dan hutan di Pulau Kalimantan dan Sumatera, http:www.walhi.or.idkejahatan-hutan-masih-terjadi-di-kalteng.html dan http:www.antarasumsel.comberita275620walhi-sumsel-laporkan-dugaan-korupsi- perusahaan-perkebunan, dibaca pada 20 Mei 2016. 62 Petra Widmer dan Heinz Frick 2007, Hak Konsumen dan Ekolabel, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm. 41. 63 Dalam http:properti.kompas.comread20150827090000521Sertifikasi.Label.Hijau.Domestik.Leb ih.Murah dan http:www.cifor.orgfurnitureindustri-mebel-perajin-kecil-sulit-memperoleh- sertifikasi-ekolabel, dibaca pada 20 Mei 2016. 78 monokultur, sebagaimana peristiwa nasional kebakaran hutan yang terjadi di sepanjang tahun 2015 lalu. Demikianlah situasi janggal yang terjadi di publik Indonesia dalam menghadapi wacana krisis lingkungan hidup. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 79

BAB III Menata Hidup, Mengatur Konsumsi

Gerakan lingkungan hidup dalam sejarahnya merupakan bagian dari lahirnya gerakan sosial baru di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Sehingga tampaknya wajar jika mengkaitkan isu dan gerakan lingkungan hidup, termasuk gaya hidup hijau, sebagai gerakan perlawanan terhadap kekuasaan yang dianggap tidak menghasilkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Penelitian ataupun tulisan- tulisan mengenai gerakan lingkungan hidup dan gaya hidup hijau di Indonesia juga pada umumnya diarahkan untuk melihatnya sebagai bagian dari kemunculan gerakan sosial baru di Indonesia. Namun penelitian saya justru memberikan temuan yang berbeda. Temuan penelitian saya lebih mendekati pernyataan Khalisah Khalid Kompas, 2013. Bahwa gaya hidup hijau sebagai gerakan penyelamatan lingkungan berbasis praksis hanyalah bagian dari pengkotak-kotakan dan distorsi pemaknaan isu lingkungan hidup. Metode etnografi baru yang dilakukan dalam penelitian ini berupaya menunjukkan dengan lebih dekat pengalaman hidup partisipan untuk memberikan gambaran realitas pembanding. Hal ini menjadi penting agar kita tidak terburu-buru menyatakan bahwa maraknya aktivisme gaya hidup hijau di Indonesia saat ini secara otomatis menjadi gerakan perlawanan ataupun gerakan 80 sosial baru. Bagaimana jika ternyata segala macam gerakan itu justru menjadi aktivisme yang diinginkan oleh sistem neoliberalisme yang sedang menguasai setiap lini hidup bernegara. Seluruh partisipan dalam penelitian ini tinggal di wilayah Provinsi DI. Yogyakarta. Sebagian dari mereka terlibat aktif dalam komunitas hijau, dan beberapa diantaranya saling mengenal satu dengan yang lainnya. Mendapatkan pendidikan tinggi dan digolongkan sebagai kaum urban. Jadi mereka tinggal bukan di wilayah terdampak langsung dengan persoalan lingkungan hidup misalnya wilayah pertambangan ataupun konflik agraria. Pembagian pada bagian data ini sesuai dengan kesamaan paling umum yang terlihat pada seluruh partisipan.

A. Individualisasi

Dalam demokrasi partisipatori, keterlibatan publik sebagai warga negara sangat penting untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak memihak keadilan ekologis. Keterlibatan setiap individu dalam mendorong kebijakan publik dibutuhkan. Namun dalam fenomena gaya hidup hijau di Indonesia, peranan individu ternyata mengalami distorsi pemaknaan karena semakin lama semakin menjauhkannya dari kebijakan politik 64 . Di Indonesia rangkaian gaya hidup hijau memang tidak menjadi pola hidup bersama yang dijalankan setiap warga negara dengan infrastruktur yang 64 Khalisah Khalid, “Lingkungan dan Distorsi Pemaknaan”, Kompas 28 Juni 2013, hlm. 6. 81 telah disiapkan oleh pemerintah. Situasi ini sedikit banyak mengkondisikan subjek hijau untuk berkutat hanya di wilayah privat.

1. Mulai dari diri sendiri

Beberapa partisipan yang saya temui memiliki kisah personal yang membuat mereka serius menerapkan gaya hidup hijau dan terlibat dalam komunitas hijau. Kisah personal itu mengkaitkan persoalan hidup dengan informasi tentang lingkungan hidup. Pak Soleh misalnya, mengkaitkan penyakit asma yang ia derita dengan persoalan polusi udara dan makanan yang tidak sehat yang ia konsumsi saat tinggal di kota. Ia kemudian pindah ke sebuah desa di selatan Yogyakarta. Ia mengaku bahwa penyakit asma-nya telah sembuh berkat udara segar di wilayah kediamannya yang hijau serta makanan organik yang ia produksi dan konsumsi. Bersama keluarga besarnya ia membangun “desa privat” yang ia nyatakan sebagai keluarga yang “connected with nature” melalui sistem permaculture yang mereka terapkan di desa ini. Mbak Arma dan Mbak Nana pun demikian. Mbak Arma mengkaitkan ruam-ruam pada kulitnya dengan makanan yang tidak organik, dipenuhi unsur kimia dan karena itu tidak sehat. Ia kemudian memutuskan menjadi seorang vegetarian dan bekerja sebagai artisan roti-roti organik. Sementara Mbak Nana mengkaitkan riwayat penyakit kanker yang diderita salah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 82 seorang anggota keluarganya dengan persoalan makanan serta situasi lingkungan hidup. Namun ketika ditanya lebih lanjut, persoalan kesehatan ternyata tidak cukup sebagai alasan mengapa subjek melakukan gaya hidup hijau. Setiap partisipan memiliki alasan tambahan sehingga gaya hidup hijau dapat diterima sebagai tindakan yang sudah selayaknya dilakukan. Jawaban Mbak Arma bisa mewakili, ia katakan: “Mengapa tidak? Kenapa nggak mau, ya kan? Makanya gaya hidup hijau ini nggak bisa ditolak, movement-nya udah jelas, untuk kesehatan iya, untuk lingkungan jelas, manfaatnya lebih banyak. Hari gini nggak go green nggak keren ya kan, kayaknya sekarang ini lagi gerakannya ya, movement gitu lho.” Mbak Arma, wawancara, 19 Februari 2016 Alasan tambahan di luar kisah personal itu adalah bahwa gaya hidup hijau sudah menjadi sebuah gerakan lingkungan. Dari seluruh partisipan, didapati gerakan lingkungan hidup itu mencakup upaya menolak produk pertanian monokultur, pertanian dengan penggunaan pestisida dan pupuk sintesis, perlindungan kepada petani serta menentang penyiksaan terhadap hewan-hewan. Namun hal-hal besar ini tentulah membutuhkan perjuangan yang harus melibatkan publik yang luas dan perubahan struktur. Gerakan semacam ini mau tak mau menuntut perubahan dalam cara bagaimana seharusnya negara dengan segala sumber dayanya dikelola. Jalannya menjadi panjang karena harus membangun gerakan publik yang bersifat 83 sangat politis. Membangun gerakan publik membutuhkan banyak perbincangan, diskusi, perdebatan, penelitian dan sebagainya. Sementara pelibatan banyak orang akan membentur kepentingan tiap orang yang beragam pula. Belum lagi resiko yang akan dihadapi karena akan mengganggu kepentingan kekuasaan tertentu yang mendapatkan keuntungan dengan situasi saat ini. Susah, demikian kira-kira yang terbayang saat membayangkan jalan rumit serta resiko yang harus ditempuh itu. Karena itu cara yang ditempuh para partisipan ini bukanlah jalan yang susah itu, namun jalan lain yang memperkecil resiko-resiko itu. Jalan itu adalah: mulailah dari diri sendiri. Mas Hari mengatakan demikian: “Waktu posisi saya sebagai mentri kordinator kebijakan dasar regio teknik di kampus, dari situ kita mikir cara perubahan pengelolaan energi yang paling efektif di Indonesia itu menurut kami adalah per individu-individu. Mulai dari diri kita sendiri, tapi kita ngerasa nggak cukup kita sendiri gitu, yang punya gaya hidup kayak gini, kita harus menularkan ini ke masyarakat yang lain.” Mas Hari, wawancara, tanggal 4 Oktober 2015 Ide “mulai dari diri sendiri” juga menjadi tema utama dalam sebuah diskusi komunitas hijau dengan judul “Menjaga Lingkungan dari Meja Makan” 65 . Diskusi ini menekankan bahwa perlawanan terhadap sistem pangan nasional yang tidak menguntungkan petani dan konsumen pangan haruslah dimulai dari meja makan individu. Para pemateri diskusi yang 65 Diskusi ini merupakan salah satu kelas diskusi yang diselenggarakan oleh Jagongan Media Rakyat 2016, berlangsung tanggal 22 April 2016 di Museum Nasional Yogyakarta.