67
perdebatan  panjang  publik  tentang  penyebab  dan  jalan keluar  atas kompleks-nya  masalah  lingkungan  yang  ada.  Tidak  memerlukan
demonstrasi publik yang punya resiko gampang disusupi kerusuhan massa. Tidak  membutuhkan  biaya  besar,  dan  bisa  memotong  kerumitan
menyatukan pandangan publik. Sederhananya  sikap  perduli  lingkungan  berbasis  praksis  demikian
dianggap lebih murah, efisien, dan kurang beresiko. Kampanyenya dengan mudah dapat menarik perhatian massa, dan di waktu yang sama tidak ada
resiko  apapun  karena toh gerakannya  tidak  mengkritik  negara  dan  tidak mengancam korporasi apapun .
Praktik  gaya  hidup  hijau  semakin  mendapatkan  perhatian melalui pembandingan  kota-kota  di  Indonesia  dengan  kota-kota  di  negara  lain –
umumnya  kota-kota  di  Eropa  atau  kota-kota  di Asia  Timur,  yakni Korea Selatan  dan  Jepang- yang  dianggap  lebih  bersih,  lebih  teratur,  dan  lebih
pintar  smart  city.  Misalnya  saja  kota  Kitakyushu  di  Jepang  sebagai  kota impian, situasinya berbanding  terbalik  dengan  kota  Jakarta  yang  perlu
mendapat pembenahan besar-besaran
53
. Kota menjadi sorotan utama karena kota hijau dianggap akan mampu
menyokong warganya untuk berkonsumsi secara hijau. Di kota ini warganya dianggap sejahtera sehingga mampu membeli barang-barang berlabel hijau
dan  memiliki  waktu  untuk  memperhatikan  konsumsi  energi  listrik  yang
53
“Kitakyushu, Kota Jorok yang Kini Eksotis”, Kompas, 10 Juli 2013, hlm. 27.
68
dipakainya.  Punya  waktu  untuk  mengatur  dan  mengolah  sendiri  sampah domestik, dan punya  waktu  untuk  merawat  kebun  kota  urban  farming.
Bahkan sebuah iklan produk Unilever Indonesia dengan berani mengatakan bahwa sebatang pohon akan lebih aman berada di kota daripada tumbuh di
hutan. Dengan  demikianlah sustainability  development atau  pembangunan
berkelanjutan  dianggap  tercapai,  yaitu “harmonisnya” pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan hidup. Inilah masa depan masyarakat
global yang dicita-citakan oleh rejim global.
2. Ekonomi Hijau
Wacana  lingkungan  hidup di  Indonesia setidaknya  berada  dalam  2  fase, yaitu  pada  masa  Orde  Baru  dan  Reformasi.  Pada  masa  Orde  Baru  isu
lingkungan hidup diperkenalkan dan dijalankan oleh negara. Soemarwoto 2001  menyebutkan  tonggak  sejarah wacana lingkungan  hidup  di
Indonesia terjadi pada penyelenggaraan Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengembangan Nasional di Universitas Padjadjaran tanggal 15-
18 Mei 1972. Seminar ini diadakan sebagai persiapan delegasi Indonesia mengikuti
Konferensi Lingkungan Hidup Sedunia di Stockholm pada bulan Juni 1972 yang  bertema  Hanya  Satu  Bumi. Karena  itu  seminar  ini  memakai  bahan-
bahan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh Panitia Penyelenggara PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Konferensi Stockholm. Namun sebelumnya isu ekologi sudah dihembuskan. Persoalannya  sama  dengan  isu  ekologi  yang  dikembangkan  oleh  aktivis
Malthussian  dan  OECD,  bahwa kepadatan  penduduk  adalah  akar persoalan.
Indonesia  berada  dalam  daftar  hitam. Bagian  dari  negara-negara Dunia Ketiga,  secara  ekonomi  jelas  tidak  kaya,  dan  memiliki  jumlah
penduduk  yang  sangat  besar. Indonesia  disebut  sebagai  negara berkelebihan penduduk yang menyebabkan eksploitasi  lingkungan secara
berlebihan  sehingga  menyebabkan  penipisan  sumber  daya  alam  dan tingkat kemiskinan yang tinggi.
54
Setelah  konferensi  Stockholm  selesai,  Presiden  Soeharto  kemudian mempersiapkan  sejumlah  tim  untuk  menyusun  berbagai  Keputusan
Presiden  Keppres  yang  menyangkut  soal  masyarakat,  lingkungan  hidup dan sumber daya alam. Dari sini dibentuklah Menteri Negara Pengawasan
Pembangunan  dan  Lingkungan  Hidup  Men-PPLH  tahun  1978  di  bawah pimpinan Prof. Dr. Emil Salim.
Masalah kependudukan menjadi masalah utama pemerintahan Orde Baru. Sebagai  bagian  dari  anggota  negara-negara  PBB, Indonesia
diwajibkan menyelenggarakan Sensus Nasional sekali tiap dasawarsa atau sepuluh tahun.
55
Program Keluarga Berencana digalakkan sejak tahun 1970
54
Drs.  N.  Daldjoeni  1981, Masalah  Penduduk  dalam  Fakta  dan  Angka,  Bandung:  Penerbit Alumni, hlm. 92.
55
Ibid, hlm. 27.
70
untuk  menekan  laju  pertumbuhan  penduduk. Kemudian program transmigrasi dilaksanakan untuk mengurangi tingkat kepadatan penduduk
di  Pulau  Jawa. Dan  akhirnya  Revolusi  Hijau  pun  dilaksanakan  untuk “mengatasi” krisis pangan.
Pada akhirnya hampir semua program kependudukan dan lingkungan hidup  itu  menuai  persoalan.  Program  Keluarga  Berencana  membuat
sejumlah  kematian  perempuan melalui efek  samping  pemakaian  alat kontrasepsi  yang  dipaksakan.  Program  transmigrasi  berakhir  dengan
sejumlah  konflik  horizontal  dan  kekerasan  budaya  di  sejumlah  wilayah, ditambah  eksploitasi  transmigran  nelayan  oleh  sejumlah  korporasi  yang
ber-kongkalikong dengan pejabat daerah.
56
Revolusi Hijau yang ditujukan untuk  menyelamatkan  krisis  pangan  berakhir  dengan  pemiskinan  dan
penurunan kesehatan petani, serta hilangnya diversitas varietas padi lokal Indonesia.
Di masa-masa ini sejumlah kekerasan ekologi dilakukan oleh aparat negara.  Pembangunan  waduk-waduk  dan  proyek-proyek  makro  lainnya
memakan  begitu  banyak  korban  jiwa.  Mulai  dari  buruh  yang  bekerja  di dalam  proyek  itu  maupun  sejumlah  warga  sekitarnya.  Hutan-hutan  yang
selama  ini menjadi  salah satu  sumber  pangan  warga  lokal  kemudian ditutup dari warga.
56
George  Junus  Aditjondro  2003, Kebohongan-Kebohongan  Negara,  Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, hlm. 11-29.
71
Termasuk petani yang mengusahakan beberapa jenis tanaman hutan. Mereka  diusir  dari  hutan  adat,  tanaman-tanaman  dirusak,  bahkan
kampung-kampung  para  petani  dibakar.  Semuanya  memakai alasan pelestarian  lingkungan.  Sejumlah  kasus  lingkungan  hidup  terjadi  karena
negara  yang  bekerjasama  dengan  sejumlah  korporasi  yang  mengambil keuntungan ekonomi.
57
Masa pasca reformasi persoalan ekologi diperkenalkan oleh banyak aktor.  Yang  paling  mencolok adalah  organisasi  non  pemerintah  atau
Lembaga Swadaya Masyarakat LSM serta kelompok-kelompok komunitas hijau  yang tumbuh  subur.  Pemerintahan  SBY  memang  telah  menyusun
dokumen  dengan  judul beraroma  birokratis,  yaitu  Rencana Aksi  Nasional Dalam  Menghadapi Perubahan  Iklim.  Salah  satu  isi  dokumen  ini  adalah
ajakan  kepada  individu-individu  untuk  terlibat  dalam  aksi  nasional menghadapi  perubahan  iklim  dengan  memberikan  panduan  untuk
mengubah gaya hidup konsumtif menjadi gaya hidup hijau. Presiden  SBY  juga  pernah  menyatakan  akan  mengubah  gaya  hidup
rakyat Indonesia agar beradaptasi terhadap situasi perubahan iklim lewat pidatonya  di  forum  World  Economics  Forum  di  Davos  di  tahun  2007.
Namun  rasa-rasanya  dua  hal  ini  kurang  cocok  jika  menyatakan  bahwa publik Indonesia mendapatkan informasi tentang gaya hidup hijau melalui
sosialisasi ala pemerintah.
57
Ibid.
72
Memang  program  Bank  Sampah  dan  Kebun  Organik  di  beberapa kelurahan  di  Pulau  Jawa  telah  dijalankan  oleh  RTRW  atas  kerjasama
dengan  Badan  Lingkungan  Hidup. Namun  program  ini  dijalankan  justru setelah  sebagian  besar  publik  mengetahui  informasi itu terlebih  dulu.
Sederhananya,  aksi  pemerintah  selalu  lebih  lambat  dibandingkan kecepatan publik  ataupun  korporasi  untuk  menangkap  informasi tentang
apa dan bagaimana gaya hidup hijau itu. Tersebarnya informasi mengenai gaya hidup hijau lebih menandakan
publik Indonesia yang kosmopolit. Kehadiran internet, televisi serta media cetak yang luas telah menjadi alat yang sangat efektif untuk itu. Lembaga
Swadaya Masyarakat dan kelompok-kelompok komunitas hijau pasca Orde Baru juga menjadi agen yang efektif. Umumnya LSM dan komunitas hijau
ini diisi mahasiswa dan pemuda yang mendapatkan akses informasi dengan cukup mudah lewat aneka teknologi
58
. Komunitas Earth Hour misalnya, cukup gencar berkampanye tentang
penghematan  energi  dan  gaya  hidup  hijau  lainnya  bukan  karena  anjuran pemerintah. Melainkan karena dibentuk oleh World Wild Fund WWF sejak
tahun 2009. Komunitas Indonesia Berkebun mulanya dibentuk di Bandung pada tahun 2011 lewat prakarsa Ridwan Kamil –sebelum menjadi walikota
Bandung-. Namun  komunitas  ini  juga  berdiri  bukan  karena  asuhan
58
Tentang teknis pengorganisasian dan kampanye yang dilakukan lembaga dan komunitas hijau dapat dibaca dalam Suharko dkk. 2014, Organisasi Pemuda Lingkungan Di Indonesia Pasca-
Orde Baru, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
73
pemerintah. Melainkan  ide  para  kosmopolit  Indonesia  yang  mencoba meniru urban farming yang ada di kota-kota besar dunia, seperti kota-kota
di Jepang ataupun Amerika Serikat. Pemerintah  sendiri  tampaknya  belum  bisa  melepaskan kelatahan
menampung  wacana  yang  sedang trend dan mencocokkannya  dengan proyek-proyek makro tanpa bersusah-payah menggali persoalan publiknya
sendiri.  Demikian  pula  dengan  wacana  pemanasan  global,  ide pembangunan  berkelanjutan  serta  konsep  ekonomi  hijau  yang  dijadikan
rumus mengatasi krisis lingkungan hidup di Indonesia. Sebelumnya  kelebihan  jumlah  penduduk  disebut  sebagai  faktor
utama  kemiskinan dan  berbagai  krisis,  maka  kini  pemanasan  global  yang disertai perubahan iklim dan bencana antropogenik lainnya disebut sebagai
penyebab kemiskinan dan kelaparan. Untuk itu digulirkanlah Ekonomi Hijau untuk mengatasi persoalan itu.
Ide  Ekonomi  Hijau  datang  dari  Presiden  Amerika  Serikat,  Barack Obama, dan dipakai oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono SBY
sejak  tahun 2007 sebagai strategi yang disebutkannya dapat mendukung diwujudkannya  pembangunan  berkelanjutan.  Ide  ini  mencakup  empat
konsep,  yakni pro-growth, pro-job, pro-poor,  dan pro-green atau  4P. Ekonomi Hijau menjadi satu dari dua isu utama yang dibicarakan dalam KTT
Rio +20 di Rio de Jeneiro, Brazil. Sembari bernostalgia membangkitkan lagi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
semangat  KTT  Bumi  tahun  1992 -tepat  20  tahun  sebelumnya  di  tempat yang sama.
Dalam  konferensi  ini  SBY  dengan  gagah  menyatakan  komitmen Indonesia  menurunkan emisi  karbon  sebesar 26  hingga  41  persen  hingga
tahun  2020  sambil  memasang  target  7  persen  pertumbuhan  ekonomi nasional  melalui  sistem  Ekonomi  Hijau. Tentu  saja “komitmen”  ini tidak
disambut  dengan  semangat  dan  sukacita  oleh  para  aktivis  lingkungan, akademisi,  termasuk  pejabat  di  departemen  terkait  lingkungan. Karena
seperti  biasa,  janji  SBY  di  dunia  internasional  terlampau “maju” jika membandingkan dengan situasi birokrasi pemerintahannya
59
. Secara  sederhana  Ekonomi  Hijau  berisi “harapan” kepada  sistem
pasar  untuk menyelesaikan  persoalan  ekologi. Karena  itu  isinya  berkisar pada  cara-cara  jual  beli  karbon  yang  disusun  dalam  Mekanisme
Pembangunan  Bersih  Clean  Development  Mechanism  [CDM], Pengurangan  Emisi  dari  Deforestasi  dan  Degradasi  Hutan  Reducing
Emission  from  Deforestation  and  Forest  Degradation  [REDD]  serta “harapan” terciptanya industri hijau.
CDM  dan  REDD  memfasilitasi  negara-negara  industri  untuk  tetap menjalankan bisnisnya seperti biasa dan memproduksi emisi karbon lebih
dari  yang  dibatasi  di  negaranya.  Tentu  dengan  syarat memberikan
59
Lihat  misalnya  pada  artikel  Sapariah  Saturi  “Penerapan  Ekonomi  Hijau  RI  masih  Banyak Kendala” dalam http:www.mongabay.co.idtagekonomi-hijau,  dibaca  tanggal  2  Februari
2016.
75
kompensasi uang yang ditaruh pada “perlindungan” hutan-hutan di negara- negara berkembang.  Sementara  industri  hijau menekankan pada  efisiensi
pemakaian sumber daya alam sembari memberi nilai pasar kepada segala sumber  daya  alam  serta  pemakaian  teknologi  baru  yang  lebih  efektif,
efisien dan “ramah lingkungan”. Indonesia di bawah rejim SBY yang berharap mendapatkan penilaian
yang baik dari dunia internasional menjalankan saran-saran Ekonomi Hijau. Ada 4 hal, yakni: 1 menciptakan kondisi domestik yang kondusif didukung
oleh  mekanisme  pembiayaan  yang  inovatif  serta  reformasi  fiskal,  2 menciptakan kemitraan publik dan swasta termasuk mekanisme pendanaan
investasi hijau, 3 investasi hijau dengan paket stimulus termasuk investasi hijau dalam anggaran rutin pemerintah, 4 mendukung terciptanya kondisi
global yang kondusif perdagangan, Hak Kekayaan Intelektual HKI, Official Development Agency ODA, teknologi transfer dan Perjanjian Multilateral
Lingkungan.
60
Seluruhnya  sesuai  dengan  yang  disarankan  oleh  sistem neoliberalisme. Menyerahkan  segalanya  ke  dalam  pasar  bebas,
menegaskan  kepemilikan  privat  dan  mengurangi  campur  tangan  negara lewat  deregulasi.  Di  sini  Indonesia  sungguh  menjadi  anak  yang  baik  yang
senantiasa  bergantung  kepada  dunia  internasional,  termasuk  menerima krisis apa yang boleh dihadapi serta bagaimana cara menghadapinya.
60
Dra. Liana Bratasida, M.Sc. dan Vrilly Natalia Rondonuwu, B.Sc., M.Min., 2011, hlm. 56.
76
Karenanya  tak  heran  program  MP3EI  Masterplan Percepatan  dan Perluasan  Ekonomi  Indonesia  2011-2025  nan  berlabel  hijau  kemudian
diluncurkan. Pemerintahan  SBY  rajin  memberikan  ijin  pertambangan  dan industri  perkebunan,  termasuk  di  hutan-hutan  lindung  serta  hutan  adat
yang telah lama dikelola sendiri oleh masyarakat. Privatisasi segala sumber daya alam tetap marak, termasuk air yang menjadi kebutuhan publik yang
amat penting. Publik semakin terbiasa melihat korporasi ber-merk hijau yang rajin
berkampanye soal penyelamatan lingkungan hidup. Mereka rajin menanam 1000 pohon, membuat berbagai acara event dengan tema krisis ekologi
serta berkampanye meminta masyarakat berhemat untuk menyelamatkan lingkungan. Ekonomi hijau memberi konteks besar pada gaya hidup hijau.
Negara  seperti  tidak  punya  alternatif  lain  tentang  bagaimana sebaiknya mengelola negara yang memiliki areal yang sangat luas, jumlah
penduduk  melimpah  serta  sumber  daya  beragam  dengan  berbagai persoalan  ekonomi,  sosial,  serta  lingkungan hidup yang  dihadapi  publik.
Ujung-ujungnya  menyerah  pada  mekanisme  pasar  yang ditekankan  oleh rejim global. Kerusakan yang diakibatkan oleh kapitalisme coba diselesaikan
dengan kapitalisme juga. Tidak ada perubahan struktural, korporasi tetap berbisnis  seperti  biasa,  sementara  publik –sang  korban- diminta,  bahkan
dipaksa  melakukan  banyak  hal  sebagai  cara  menebus  kesalahan – entah kesalahan siapa.
77
Karena  itu  persoalan  lingkungan  hidup  di  Indonesia  seperti  tidak mengalami perubahan berarti dengan masa sebelum reformasi. Persoalan
lingkungan  hidup  tetap  berada  dalam  pusaran  ekonomi  politik,  korupsi, perijinan  yang  tumpang  tindih.  Termasuk keberpihakan  aparat  kepada
korporasi dan konflik tenurial yang saling terpaut satu dengan lainnya.
61
Warga  diminta  melakukan  penghematan  energi,  sementara  perijinan pertambangan  batubara  diobral  kepada korporasi  dengan  pengawasan
hukum  yang  longgar.  Warga  diminta  mengkonsumsi  barang-barang  yang ber-label  hijau,  sementara  hingga  kini  belum  ada  produk  dalam  negeri
apapun yang telah memiliki pengakuan ramah lingkungan
62
. Hingga  kini  tidak  ada  badan  yang dibentuk  untuk mengeluarkan
sertifikasi  hijau  secara  resmi  dan  diakui.  Akibatnya  beberapa  pedagang Indonesia  harus  mendapatkan  label  hijau  dari  luar  negeri  dengan  biaya
yang mahal dan berakibat barang-barang label hijau itu pun menjadi jauh lebih mahal.
63
Warga diminta rajin menanam pohon sementara hutan-hutan ternyata dijual kepada korporasi yang kemudian dibakar untuk dijadikan perkebunan
61
Misalnya  berbagai  kasus  pekebunan  dan  hutan  di  Pulau  Kalimantan  dan  Sumatera, http:www.walhi.or.idkejahatan-hutan-masih-terjadi-di-kalteng.html
dan http:www.antarasumsel.comberita275620walhi-sumsel-laporkan-dugaan-korupsi-
perusahaan-perkebunan, dibaca pada 20 Mei 2016.
62
Petra  Widmer  dan  Heinz  Frick  2007, Hak  Konsumen  dan  Ekolabel,  Yogyakarta:  Penerbit Kanisius, hlm. 41.
63
Dalam http:properti.kompas.comread20150827090000521Sertifikasi.Label.Hijau.Domestik.Leb
ih.Murah dan http:www.cifor.orgfurnitureindustri-mebel-perajin-kecil-sulit-memperoleh- sertifikasi-ekolabel, dibaca pada 20 Mei 2016.
78
monokultur, sebagaimana peristiwa nasional kebakaran hutan yang terjadi di  sepanjang  tahun  2015  lalu.  Demikianlah  situasi  janggal yang  terjadi  di
publik Indonesia dalam menghadapi wacana krisis lingkungan hidup. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
BAB III Menata Hidup, Mengatur Konsumsi
Gerakan  lingkungan hidup dalam  sejarahnya  merupakan  bagian  dari  lahirnya gerakan  sosial  baru  di  Eropa Barat  dan  Amerika  Serikat.  Sehingga  tampaknya
wajar jika mengkaitkan isu dan gerakan lingkungan hidup, termasuk gaya hidup hijau,  sebagai  gerakan  perlawanan  terhadap  kekuasaan  yang  dianggap  tidak
menghasilkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Penelitian ataupun tulisan- tulisan mengenai  gerakan  lingkungan  hidup dan  gaya  hidup  hijau di  Indonesia
juga  pada  umumnya  diarahkan  untuk  melihatnya  sebagai  bagian  dari kemunculan gerakan sosial baru di Indonesia.
Namun penelitian saya justru memberikan temuan yang berbeda. Temuan penelitian saya  lebih mendekati  pernyataan  Khalisah  Khalid  Kompas,  2013.
Bahwa  gaya  hidup  hijau  sebagai  gerakan  penyelamatan  lingkungan  berbasis praksis  hanyalah  bagian  dari  pengkotak-kotakan  dan  distorsi  pemaknaan  isu
lingkungan hidup. Metode  etnografi  baru  yang  dilakukan  dalam  penelitian  ini  berupaya
menunjukkan dengan lebih  dekat pengalaman  hidup partisipan untuk memberikan  gambaran  realitas  pembanding. Hal  ini  menjadi  penting  agar kita
tidak terburu-buru menyatakan bahwa maraknya aktivisme gaya hidup hijau di Indonesia saat ini secara otomatis menjadi gerakan perlawanan ataupun gerakan
80
sosial  baru. Bagaimana jika  ternyata  segala  macam gerakan itu  justru menjadi aktivisme  yang  diinginkan  oleh  sistem  neoliberalisme  yang  sedang  menguasai
setiap lini hidup bernegara. Seluruh  partisipan  dalam  penelitian  ini  tinggal  di  wilayah  Provinsi  DI.
Yogyakarta.  Sebagian dari mereka  terlibat  aktif  dalam  komunitas  hijau,  dan beberapa diantaranya saling mengenal satu dengan yang lainnya. Mendapatkan
pendidikan  tinggi  dan digolongkan  sebagai  kaum  urban.  Jadi  mereka tinggal bukan  di  wilayah  terdampak  langsung  dengan  persoalan  lingkungan  hidup
misalnya  wilayah  pertambangan  ataupun  konflik  agraria. Pembagian  pada bagian data ini sesuai dengan kesamaan paling umum yang terlihat pada seluruh
partisipan.
A. Individualisasi
Dalam  demokrasi  partisipatori,  keterlibatan  publik  sebagai  warga  negara sangat penting  untuk  mengkritisi  kebijakan-kebijakan  yang  dianggap  tidak
memihak  keadilan  ekologis.  Keterlibatan  setiap  individu  dalam  mendorong kebijakan  publik  dibutuhkan.  Namun  dalam  fenomena  gaya  hidup  hijau  di
Indonesia, peranan individu ternyata mengalami distorsi pemaknaan karena semakin lama semakin menjauhkannya dari kebijakan politik
64
. Di  Indonesia  rangkaian  gaya  hidup  hijau  memang  tidak  menjadi  pola
hidup bersama yang dijalankan setiap warga negara dengan infrastruktur yang
64
Khalisah Khalid, “Lingkungan dan Distorsi Pemaknaan”, Kompas 28 Juni 2013, hlm. 6.
81
telah  disiapkan  oleh  pemerintah. Situasi  ini  sedikit  banyak  mengkondisikan subjek hijau untuk berkutat hanya di wilayah privat.
1. Mulai dari diri sendiri
Beberapa partisipan  yang  saya  temui  memiliki  kisah personal yang membuat mereka serius menerapkan gaya hidup hijau dan terlibat dalam
komunitas hijau. Kisah personal itu mengkaitkan persoalan hidup dengan informasi  tentang  lingkungan  hidup.  Pak  Soleh  misalnya,  mengkaitkan
penyakit asma yang ia derita dengan persoalan polusi udara dan makanan yang tidak sehat yang ia konsumsi saat tinggal di kota.
Ia kemudian  pindah  ke sebuah  desa  di selatan Yogyakarta.  Ia mengaku bahwa penyakit  asma-nya telah  sembuh  berkat  udara  segar  di
wilayah kediamannya yang hijau serta makanan organik yang ia produksi dan  konsumsi.  Bersama  keluarga  besarnya  ia  membangun “desa  privat”
yang ia nyatakan sebagai keluarga yang “connected with nature” melalui sistem permaculture yang mereka terapkan di desa ini.
Mbak Arma dan Mbak Nana pun demikian. Mbak Arma mengkaitkan ruam-ruam  pada kulitnya  dengan  makanan  yang  tidak  organik,  dipenuhi
unsur kimia dan karena itu tidak sehat. Ia kemudian memutuskan menjadi seorang vegetarian dan bekerja sebagai artisan roti-roti organik. Sementara
Mbak  Nana  mengkaitkan  riwayat  penyakit  kanker  yang  diderita  salah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
seorang  anggota  keluarganya  dengan  persoalan  makanan  serta situasi lingkungan hidup.
Namun  ketika  ditanya  lebih  lanjut,  persoalan  kesehatan  ternyata tidak cukup sebagai alasan mengapa subjek melakukan gaya hidup hijau.
Setiap  partisipan  memiliki  alasan  tambahan  sehingga gaya  hidup  hijau dapat  diterima  sebagai tindakan  yang  sudah  selayaknya  dilakukan.
Jawaban Mbak Arma bisa mewakili, ia katakan: “Mengapa  tidak?  Kenapa  nggak  mau,  ya  kan?  Makanya  gaya
hidup  hijau  ini  nggak  bisa  ditolak, movement-nya  udah  jelas, untuk kesehatan iya, untuk lingkungan jelas, manfaatnya lebih
banyak. Hari gini nggak go green nggak keren ya kan, kayaknya sekarang ini lagi gerakannya ya, movement gitu lho.”
Mbak Arma, wawancara, 19 Februari 2016 Alasan tambahan di luar kisah personal itu adalah bahwa gaya hidup
hijau  sudah  menjadi  sebuah  gerakan  lingkungan.  Dari  seluruh  partisipan, didapati  gerakan  lingkungan  hidup  itu  mencakup upaya  menolak produk
pertanian monokultur, pertanian dengan penggunaan pestisida dan pupuk sintesis, perlindungan kepada petani serta menentang penyiksaan terhadap
hewan-hewan. Namun  hal-hal  besar  ini  tentulah  membutuhkan  perjuangan  yang
harus  melibatkan  publik  yang  luas  dan  perubahan  struktur. Gerakan semacam  ini  mau  tak  mau  menuntut  perubahan  dalam  cara  bagaimana
seharusnya  negara  dengan  segala  sumber  dayanya  dikelola.  Jalannya menjadi  panjang  karena  harus  membangun  gerakan  publik  yang  bersifat
83
sangat  politis.  Membangun  gerakan  publik  membutuhkan  banyak perbincangan,  diskusi,  perdebatan,  penelitian  dan  sebagainya.  Sementara
pelibatan  banyak  orang  akan  membentur  kepentingan  tiap  orang  yang beragam  pula.  Belum  lagi  resiko  yang  akan  dihadapi  karena  akan
mengganggu  kepentingan  kekuasaan  tertentu  yang  mendapatkan keuntungan dengan situasi saat ini.
Susah, demikian  kira-kira  yang  terbayang saat membayangkan  jalan rumit serta resiko yang harus ditempuh itu. Karena itu cara yang ditempuh
para  partisipan  ini  bukanlah  jalan  yang  susah  itu,  namun  jalan  lain  yang memperkecil  resiko-resiko  itu.  Jalan  itu  adalah:  mulailah  dari  diri  sendiri.
Mas Hari mengatakan demikian: “Waktu  posisi saya sebagai mentri kordinator kebijakan dasar
regio  teknik  di  kampus,  dari  situ  kita  mikir  cara  perubahan pengelolaan energi yang paling efektif di Indonesia itu menurut
kami  adalah  per  individu-individu.  Mulai  dari  diri  kita  sendiri, tapi kita ngerasa nggak cukup kita sendiri gitu, yang punya gaya
hidup kayak gini, kita harus menularkan ini ke masyarakat yang lain.”
Mas Hari, wawancara, tanggal 4 Oktober 2015 Ide “mulai dari diri sendiri” juga menjadi tema utama dalam sebuah
diskusi komunitas  hijau dengan  judul  “Menjaga  Lingkungan  dari  Meja Makan”
65
. Diskusi  ini  menekankan bahwa perlawanan  terhadap  sistem pangan nasional yang tidak menguntungkan petani dan konsumen pangan
haruslah  dimulai  dari  meja  makan  individu.  Para  pemateri  diskusi  yang
65
Diskusi  ini  merupakan  salah  satu  kelas  diskusi  yang  diselenggarakan  oleh  Jagongan  Media Rakyat 2016, berlangsung tanggal 22 April 2016 di Museum Nasional Yogyakarta.